Keindahan Tersembunyi: Cerpen Tentang Desa Hijau yang Menemukan Makna Kehidupan

Posted on

Pernah nggak sih, kamu merasa bahwa keindahan itu nggak cuma soal pemandangan yang indah, tapi juga soal perjalanan yang bikin hati nyentuh?

Cerita ini bakal bawa kamu ke sebuah desa yang hijau dan damai, tempat dimana bukan cuma alamnya yang indah, tapi juga perjalanan dalam diri yang nggak kalah memukau. Kalau kamu siap untuk ngikutin petualangan, yuk simak ceritanya!

 

Keindahan Tersembunyi

Langit yang Terlalu Hijau

Pagi itu terasa seperti biasa, atau setidaknya begitu yang kurasakan saat membuka jendela kamar. Udara segar yang langsung menyentuh wajahku seolah menyapa, membawa aroma tanah basah dan rerumputan. Di luar, Desa Naga Sutra tetap seperti yang kukenal, selalu hijau, selalu tenang, seolah dunia ini terjaga dalam balutan kedamaian yang tak pernah hilang.

Aku berdiri di sana, memandang sawah yang membentang luas di bawah bukit-bukit kecil, terlihat seperti lukisan hidup. Seolah setiap garis pada pemandangan itu dipahat dengan tangan yang penuh kehati-hatian, membuatnya sempurna. Di atas sana, langit biru terbentang lebar, seakan tak ada yang mampu mengotori keindahannya. Dan di antara semuanya, desa ini—terutama di pagi hari seperti ini—selalu tampak lebih hijau, lebih indah dari hari sebelumnya.

Senyuman pun terukir di bibirku. Tidak ada yang lebih menenangkan daripada menjadi bagian dari tempat yang tampak begitu sempurna, sebuah tempat yang rasanya tidak akan pernah berubah. Aku merasa sangat beruntung bisa hidup di sini.

Tapi meskipun semuanya tampak sempurna, ada sesuatu yang membuatku bertanya-tanya. Apakah kehidupan yang sempurna ini benar-benar bisa dipahami sepenuhnya? Ataukah aku hanya terlalu terbiasa dengan keindahan yang ada?

Tanpa banyak berpikir lagi, aku memutuskan untuk berjalan-jalan. Rasanya sudah lama aku tidak menyusuri jalan setapak yang mengarah ke hutan kecil di pinggir desa. Jalan yang dulu sering aku lalui saat kecil, saat dunia terasa lebih sederhana, lebih mudah dipahami.

Dengan langkah ringan, aku berjalan melewati rumah-rumah kayu yang menghampar di sepanjang jalan. Semuanya tampak sama seperti dulu, dengan pekarangan yang tertata rapi dan tanaman-tanaman yang tumbuh subur di setiap sudut. Di kejauhan, aku melihat para petani yang mulai menggarap sawah, dengan gerakan yang sudah sangat terlatih. Mereka seolah tahu betul cara menjaga tanah dan tanaman agar tetap hijau, tetap hidup.

Setiap langkahku semakin mendekat ke hutan kecil yang selalu terasa seperti tempat rahasia. Hutan itu, meski tidak begitu besar, selalu memiliki daya tarik tersendiri. Pohon-pohon tinggi menjulang dengan daun-daun yang berkilau dihantam sinar matahari pagi, seolah memberi aku rasa kedamaian yang tak terungkapkan. Di sini, aku merasa bisa bernafas lebih dalam, lebih leluasa.

Tapi hari itu, hutan kecil itu terasa sedikit berbeda.

Aku berhenti di sebuah batu besar yang ada di tepi sungai kecil yang mengalir di tengah hutan. Di sana, aku melihatnya. Seorang pria duduk dengan tenang, memandang ke arah aliran sungai. Wajahnya tidak begitu tampak jelas dari kejauhan, namun ada sesuatu yang berbeda pada dirinya. Bukan, dia bukan orang desa. Aku yakin, aku belum pernah melihatnya sebelumnya.

Penasaran, aku mendekat. Ketika langkahku semakin mendekat, dia menoleh, dan aku dapat melihat matanya—mata yang tampak tenang, penuh kedamaian. Sebuah senyuman kecil terukir di bibirnya, seakan dia tahu aku akan datang.

“Kenapa kamu duduk di sini?” tanyaku, sedikit terkejut dengan kehadirannya yang tiba-tiba. “Bukankah ini tempat yang seharusnya kosong?”

Dia tersenyum lagi, kali ini lebih lebar. “Desa ini terlalu indah,” jawabnya pelan, suaranya terdengar dalam dan menenangkan. “Aku datang ke sini untuk mencari jawabannya.”

Aku terdiam. Jawaban yang sama sekali tidak aku duga. “Jawaban apa?” tanyaku, sedikit bingung.

Dia menatapku sejenak, lalu mengalihkan pandangannya kembali ke sungai yang mengalir pelan. “Keindahan,” katanya, “Keindahan yang sering kali kita lihat tanpa benar-benar memahaminya.”

Aku mengerutkan dahi. Keindahan? Apa yang dia maksud? Desa ini memang indah, tapi apakah ada hal yang perlu dipahami lebih dalam? Bukankah semuanya sudah sempurna seperti ini?

“Keindahan ini… Apa yang kamu rasakan tentangnya?” lanjutnya, seolah membaca pikiranku. “Apakah itu membuatmu merasa damai, atau malah semakin merasa kosong?”

Aku terdiam. Untuk pertama kalinya, aku merasa seperti ada yang mengganjal. Keindahan desa ini, yang selalu aku anggap sebagai anugerah, kini terasa seolah mengundang pertanyaan yang lebih dalam. Apakah aku benar-benar memahami apa arti semua ini?

“Kenapa kamu merasa kosong?” tanyaku, kali ini sedikit lebih serius.

Lelaki itu menghela napas panjang, seakan ada sebuah beban yang ia bawa. “Kadang, keindahan yang berlebihan justru membuat kita lupa untuk melihat hal-hal yang lebih dalam. Kita terjebak dalam kesempurnaan yang ada, dan itu membuat kita merasa terasing.”

Aku mengangguk pelan, merasa ada kebenaran dalam kata-katanya. Tapi masih ada perasaan aneh yang menggelitik. Aku menghabiskan hampir seluruh hidupku di desa ini, di tengah keindahan yang seolah tak ada habisnya. Namun, baru sekarang aku mulai merasa ada yang hilang, entah itu rasa kedamaian atau justru sesuatu yang lebih besar.

“Saya tidak tahu, desa ini memang indah, tapi kenapa rasanya semakin berat?” gumamku, lebih pada diriku sendiri daripada kepada lelaki itu.

Lelaki itu hanya tersenyum dan berdiri. “Mungkin, keindahan yang terlalu sempurna justru mengundang kita untuk mencari arti sejati di baliknya.”

Aku memandangnya, bingung. “Arti sejati?”

“Ya,” jawabnya pelan. “Arti yang lebih dalam daripada sekadar pemandangan hijau atau udara segar. Kehidupan ini lebih dari itu, meski sering kali kita lupa mencarinya.”

Aku terdiam, memikirkan kata-kata lelaki itu. Dia berjalan menjauh tanpa mengucapkan kata lagi, meninggalkanku dengan pertanyaan yang kini mulai mengganggu pikiranku. Aku berdiri di sana, memandangi sungai yang mengalir dengan tenang, namun hatiku merasa jauh lebih gelisah daripada sebelumnya.

 

Jejak Langkah yang Terlupakan

Hari-hari setelah pertemuanku dengan lelaki asing itu terasa berlalu begitu saja, namun entah kenapa, ada sesuatu dalam diriku yang seolah tidak bisa berhenti memikirkan kata-katanya. Setiap kali aku berjalan melewati jalan setapak yang dulu aku kenal, setiap kali aku duduk di teras rumah yang menghadap ke sawah, perasaan itu terus muncul, mengganggu ketenangan yang sebelumnya begitu mudah kurasakan.

Aku mulai merasakan ada kekosongan dalam kedamaian yang selalu mengelilingiku. Apa yang aku cari? Keindahan itu sendiri? Atau ada hal lain yang lebih dalam yang belum kutemukan?

Hari itu, seperti biasanya, aku memutuskan untuk berjalan ke tempat yang selalu membuatku merasa nyaman—sebuah pohon besar di pinggir desa yang sudah ada sejak aku kecil. Dari sana, aku bisa melihat hampir seluruh desa, dari hamparan sawah yang hijau hingga atap-atap rumah yang tersebar rapi di antara pepohonan. Tempat ini selalu memberiku rasa damai. Namun, kali ini, aku tidak bisa merasa sepenuhnya tenang.

Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar di belakangku, cukup keras untuk mengalihkan pikiranku. Aku menoleh dan melihat seorang lelaki yang tampaknya tidak asing. Matanya, yang aku kenal dari pertemuan kita sebelumnya, kini memandangku dengan sedikit kerutan di dahi.

“Lagi-lagi kamu,” ujarnya, namun kali ini dengan nada yang sedikit lebih santai. “Kenapa selalu di tempat ini?”

Aku mengangkat bahu, berusaha tidak terlihat canggung. “Tempat ini selalu memberiku rasa nyaman. Tapi sepertinya kamu lebih tahu tempat ini daripada yang aku kira.”

Dia tertawa pelan, seolah tersenyum pada kebodohanku yang tidak bisa menangkap makna dari kehadirannya. “Mungkin aku lebih sering mencari ketenangan di sini daripada kamu,” jawabnya, berjalan lebih dekat ke arahku dan duduk di bawah pohon besar itu, tepat di sebelahku. “Ada yang mengganggu pikiranmu?”

Aku menatapnya, merasa sedikit bingung. Apa yang harus aku katakan? Aku tidak tahu apakah aku siap untuk berbicara tentang perasaan yang muncul setelah percakapan kita sebelumnya. Tapi entah kenapa, ada rasa nyaman yang muncul begitu saja ketika berada di dekatnya, seolah dia bisa mengerti apa yang ada di dalam pikiranku tanpa perlu aku katakan apa-apa.

“Keindahan desa ini… Sepertinya tidak pernah ada habisnya, kan?” Aku memulai percakapan dengan kalimat yang terasa kosong. “Tapi aku mulai merasa… semakin tidak tahu apa yang kucari.”

Dia mengangguk pelan, seolah dia mengerti betul perasaanku. “Keindahan itu… kadang hanya menjadi ilusi. Kita terperangkap dalam apa yang terlihat indah tanpa benar-benar memahaminya,” katanya, dengan nada yang lebih dalam.

“Lalu apa yang seharusnya kita cari?” tanyaku, masih tidak mengerti.

Dia diam sejenak, seolah mencerna pertanyaanku, lalu menjawab dengan suara yang lebih serius. “Terkadang, kita harus mencari sesuatu di luar keindahan itu—sesuatu yang lebih dalam dari sekadar pemandangan yang kita lihat setiap hari. Sesuatu yang memberi kita arti sejati dalam hidup ini.”

Aku terdiam, mencerna kata-katanya. Sebelumnya, aku merasa semua sudah sempurna di sini. Desa ini sudah cukup indah. Tapi kenapa, setelah percakapan itu, seakan ada ruang kosong yang mulai terbuka, menunggu untuk diisi dengan pertanyaan-pertanyaan yang belum ada jawabannya?

“Kenapa kamu terus berbicara tentang arti sejati?” tanyaku lagi, sedikit kesal pada diriku sendiri karena tidak bisa mengerti apa yang dia maksud. “Apa yang membuatmu begitu yakin ada hal yang lebih dari ini?”

Lelaki itu menatapku dengan tatapan yang cukup tajam, namun tetap tenang. “Karena aku merasa… keindahan ini seharusnya membuat kita lebih bijaksana, bukan malah membuat kita berhenti bertanya. Keindahan ini tidak bisa membuat kita terlena. Ada yang lebih besar yang harus kita temui.”

Aku mengangguk, tapi hatiku terasa lebih berat. Aku merasakan ada sesuatu yang lebih dalam yang perlu aku pahami, sesuatu yang melebihi semua yang pernah kurasakan tentang desa ini.

Kami duduk dalam keheningan beberapa saat, hanya suara angin yang terdengar, menyejukkan suasana yang agak canggung. Aku merasa aneh, seperti sedang berada di tempat yang aku kenal, tapi kali ini seakan ada dimensi baru yang muncul—dimensi yang sebelumnya tak pernah ada.

Setelah beberapa saat, lelaki itu bangkit dan melangkah perlahan ke arahku. “Jangan terjebak dalam keindahan yang terlalu sempurna. Kamu harus berani melihat lebih dari itu.”

Dia berbalik untuk pergi, meninggalkanku yang masih merenung. Sebelum dia benar-benar menghilang, dia menoleh lagi. “Kadang, kita harus mencari apa yang kita takuti untuk benar-benar menemukan jawaban.”

Aku hanya bisa diam, menatap punggungnya yang semakin menjauh. Kata-katanya menyusup dalam pikiranku, dan tiba-tiba aku merasa seperti berada di persimpangan jalan. Apakah aku benar-benar sudah memahami hidupku di desa ini? Apakah keindahan ini yang aku cari, atau ada sesuatu yang lebih besar yang belum aku temukan?

Sebelum aku bisa memutuskan apapun, aku mendengar suara gemericik air yang mengalir di bawah pohon itu, suara yang selalu ada, tapi hari ini terdengar begitu berbeda. Seolah ada sesuatu yang menunggu untuk ditemukan.

 

Menyusuri Jejak yang Tersisa

Hari-hari terus berlalu, namun ada semacam perubahan yang mulai tumbuh dalam diriku. Desa yang selalu kurasa sempurna kini terasa berbeda. Ada keraguan, sebuah pertanyaan yang menghantui pikiranku. Apa yang sebenarnya aku cari di sini? Kenapa aku merasa tidak puas meskipun semuanya terlihat begitu sempurna?

Aku kembali ke tempat yang dulu selalu membuatku merasa tenang—tepi sungai yang mengalir di pinggir desa, tempat di mana aku pertama kali menghabiskan waktu untuk merenung. Kini, sungai itu tampak lebih hidup, aliran airnya berkilau di bawah sinar matahari, namun ada rasa kosong di dalam hatiku. Seakan aliran itu sendiri tidak cukup untuk menenangkan kekosongan yang baru saja muncul.

Aku duduk di atas batu besar yang terletak di tepi sungai, menatap air yang terus mengalir, mencoba menemukan jawabannya. Tapi tidak ada jawaban yang bisa kudapatkan. Hanya suara alam yang berbisik lembut, hanya angin yang menari di antara daun-daun pohon, mengingatkanku pada sesuatu yang aku tak tahu apa.

Tak lama setelah itu, aku mendengar langkah kaki mendekat, suara yang begitu familiar. Aku menoleh dan melihat lelaki itu, dengan wajah yang tampak lebih serius daripada biasanya. Seolah dia tahu aku sedang mencari sesuatu yang belum aku temukan.

“Lagi-lagi di sini,” katanya sambil melangkah perlahan mendekat. “Pikirkan apa yang aku katakan sebelumnya.”

Aku tidak menjawab, hanya menatap air dengan tatapan kosong. Dalam keheningan itu, aku merasakan kehadirannya tanpa perlu kata-kata lebih. Seperti ada sesuatu yang tak terucapkan, tapi bisa dipahami hanya dengan kehadiran.

“Kenapa kamu selalu mengatakan hal-hal yang membuatku merasa bingung?” ujarku akhirnya, mengalihkan pandangan ke arahnya. “Kenapa tidak ada satu pun dari ini yang mudah dipahami?”

Dia tersenyum, senyum yang kali ini terasa lebih bijaksana, bukan sekadar senyum yang diberikan untuk menenangkan hati. “Karena hidup tidak pernah sesederhana itu. Jika semuanya mudah dimengerti, kamu tidak akan pernah menemukan yang lebih besar, yang lebih bermakna. Kita semua hanya menunggu untuk menemukan jawabannya. Tapi sering kali, jawabannya bukanlah apa yang kita pikirkan.”

Aku menghela napas panjang. “Aku merasa seperti terjebak. Di sini, di desa ini. Semua terlihat begitu sempurna, namun ada bagian dari diriku yang terasa hilang.”

Lelaki itu mengangguk pelan, lalu duduk di sampingku, cukup dekat untuk membuatku merasa nyaman tanpa ada keharusan untuk berkata-kata lebih. “Itu hal yang biasa. Keindahan bisa jadi jebakan, dan kamu hanya perlu melihat lebih dalam. Apa yang kamu cari, Lavender? Apakah kamu mencari keindahan yang tidak ada habisnya, atau ada sesuatu yang lebih dari itu?”

Aku menoleh ke arahnya, merasakan keheningan di antara kami yang lebih dalam dari sekadar tidak ada suara. Apa yang sebenarnya aku cari? Keindahan itu sendiri? Atau aku mencari arti hidup yang lebih besar?

Aku teringat perkataan-perkataan yang sering terucap di desa ini, tentang menjaga tradisi, tentang mempertahankan kesederhanaan. Tapi apakah itu cukup? Apakah itu bisa memenuhi hatiku yang mulai merasakan kehampaan yang tak terisi oleh apa pun?

“Keindahan bukan hanya apa yang terlihat di luar,” lanjutnya dengan tenang, seolah bisa membaca pikiranku. “Kadang, apa yang kita lihat hanya lapisan luar dari sesuatu yang jauh lebih dalam. Kita hanya perlu berani untuk melihatnya.”

Aku terdiam. Apa yang dia katakan, rasanya begitu tepat, meski aku masih tidak bisa menggenggam maknanya sepenuhnya. Aku ingin tahu, aku ingin menemukan apa yang lebih dari sekadar pemandangan indah di desa ini. Tetapi, di sisi lain, aku takut jika aku mulai mencari, aku akan kehilangan apa yang selama ini kubanggakan—kesempurnaan desa ini.

Kami duduk dalam keheningan yang panjang, hanya terdengar gemericik air yang terus mengalir. Dalam diamnya, aku merasa ada sesuatu yang berubah, seolah dunia ini tidak hanya sekadar indah, tapi juga penuh misteri yang menunggu untuk diungkap. Ada sesuatu yang lebih dalam yang harus ditemukan, dan meskipun aku tidak tahu apa itu, aku merasa seperti berada di persimpangan jalan yang akan membawa aku ke arah yang tak terduga.

Setelah beberapa lama, lelaki itu bangkit, menatapku dengan serius. “Jangan terlalu lama terjebak dalam ketenangan ini, Lavender. Suatu saat, kamu harus berani melangkah untuk mencari yang lebih dari ini.”

Aku menatapnya dengan perasaan campur aduk. Apa yang dia maksudkan? Apa yang harus aku cari? Tapi aku tahu, dalam hati, bahwa perjalanan ini baru saja dimulai.

“Aku akan mencari apa yang hilang,” kataku akhirnya, walau aku tidak tahu pasti apa yang harus ku cari. “Tapi aku takut, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.”

Dia tersenyum, senyum yang seperti memberi kekuatan padaku, lalu berkata dengan lembut, “Itulah bagian dari perjalanan. Tak ada yang mudah, tapi yang terpenting adalah kamu mulai melangkah.”

Dan dengan itu, dia berjalan pergi, meninggalkan aku dalam kesendirian yang kini terasa berbeda. Tanpa kata-kata, aku tahu satu hal: perjalanan mencari makna hidup ini belum berakhir.

 

Menemukan Keindahan yang Tersembunyi

Pagi itu, langit tampak berbeda dari biasanya. Tidak ada awan yang menggantung, hanya biru yang begitu luas, seolah mengundang untuk meresapi kedamaian yang terhampar. Angin yang berhembus pelan menggerakkan daun-daun di pepohonan, menciptakan simfoni alam yang terasa begitu harmonis. Namun, meskipun alam sekitarku tetap memukau, hatiku tak lagi seutuhnya tenang seperti dulu. Ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang harus kutemukan.

Sejak pertemuan terakhir kami, perasaan itu tidak pernah benar-benar menghilang. Aku merasakan sebuah perubahan dalam diriku—keinginan untuk lebih dari sekadar hidup dalam kenyamanan yang biasa. Keindahan yang selama ini kusanjung, tiba-tiba terasa seolah hanya permukaan dari sesuatu yang lebih dalam, yang lebih berharga.

Hari itu, aku memutuskan untuk meninggalkan jalan setapak yang biasa kutempuh setiap pagi. Jalan-jalan yang sudah lama kutahu dan yang selalu memberiku kenyamanan tiba-tiba terasa sempit, seolah mengikatku pada rutinitas yang tidak lagi memberikan kepuasan. Aku ingin mencari sesuatu yang berbeda, meskipun aku tidak tahu persis apa yang akan kutemukan.

Aku melangkah melewati batas desa, menuju area hutan kecil yang jarang dijamah orang. Jalanan yang tadinya dipenuhi rumput hijau dan pohon-pohon rindang kini semakin jarang. Tanahnya yang berdebu dan udara yang lebih sepi menyadarkanku akan kenyataan yang sudah lama kutinggalkan: ada banyak hal di luar sana yang tidak pernah kulihat.

Berjalan semakin jauh, aku merasakan ketenangan yang tak bisa dijelaskan. Tidak ada lagi suara riuh orang-orang atau ketenangan yang hanya dipenuhi oleh pemandangan indah. Di sini, aku merasa sendirian dengan pikiranku, dan semakin lama aku semakin merasa bahwa ketenangan yang sebenarnya justru datang dari ruang yang lebih hampa—ruang yang bukan hanya dipenuhi oleh keindahan yang tampak di luar, tetapi juga ruang yang menuntut penemuan lebih jauh di dalam diriku.

Di tengah hutan itu, aku berhenti. Matahari yang perlahan mendekati senja memberi nuansa emas pada pepohonan sekitar. Di sana, di tempat yang terasa begitu jauh dari desa, aku merasa seperti menemukan bagian dari diriku yang telah lama terkubur. Ada suara burung yang berkicau dengan bebas, angin yang membelai wajahku, dan sejenak, aku bisa mendengar suara hatiku dengan jelas.

“Apa yang sebenarnya kucari?” bisikku pada diri sendiri.

Tiba-tiba, bayangan lelaki itu muncul dalam pikiranku. Kata-katanya yang penuh makna seolah kembali hidup. Keindahan ini memang menenangkan, tapi di balik keindahan itu, ada sesuatu yang lebih dalam yang menunggu untuk ditemukan. Sesuatu yang lebih berarti daripada sekadar pemandangan indah.

Aku kembali melangkah, menapaki jalan yang belum pernah kutemui sebelumnya. Kaki-kakiku terasa lebih ringan, seolah dunia ini menawarkan jalan baru yang lebih cerah. Aku berjalan hingga sampai di sebuah lembah kecil yang tersembunyi, dengan aliran sungai jernih yang mengalir deras. Di sini, aku merasa seolah dunia berhenti berputar sejenak, memberi ruang untuk meresapi keindahan yang lebih sederhana namun lebih mendalam.

Aku duduk di tepi sungai, membiarkan air yang mengalir menenangkan pikiranku. Tak ada suara lain selain gemericik air dan desiran angin yang menyentuh kulit. Aku menutup mataku sejenak, merasakan kedamaian yang hadir bukan dari luar, tetapi dari dalam diri yang mulai memahami bahwa keindahan yang hakiki tidak selalu harus dilihat dengan mata. Terkadang, yang terpenting adalah bagaimana kita melihat dengan hati dan bagaimana kita merasakannya dengan jiwa.

Waktu berlalu tanpa terasa, hingga matahari hampir tenggelam. Aku menyadari bahwa meskipun aku tidak menemukan jawaban yang jelas, aku telah menemukan sesuatu yang lebih berharga: sebuah perjalanan, sebuah pencarian, dan pemahaman bahwa keindahan sejati ada dalam penerimaan kita terhadap apa yang kita temui, baik itu yang mudah atau sulit dipahami.

Aku bangkit, melangkah pulang dengan perasaan yang berbeda. Jalan pulang kali ini terasa lebih terang, seolah setiap langkahku kini mengarah pada sebuah pemahaman baru—keindahan yang tak hanya ditemukan di luar, tetapi juga di dalam diri.

Ketika aku tiba di desa, langit malam telah menggelap, dan bintang-bintang mulai bermunculan. Namun, malam ini aku tidak merasa kesepian. Di bawah langit yang dipenuhi cahaya bintang, aku tahu, seperti aliran sungai yang tak pernah berhenti mengalir, perjalanan ini pun akan terus berlanjut. Aku sudah menemukannya—keindahan yang tersembunyi dalam setiap langkah, dalam setiap pencarian, dan dalam setiap keputusan untuk terus maju.

Dengan senyum kecil di wajah, aku melangkah pulang, siap untuk menjelajahi apa yang masih tersembunyi di balik keindahan dunia ini.

 

Dan akhirnya, setelah semua perjalanan itu, aku sadar bahwa keindahan bukan cuma soal apa yang kita lihat, tapi juga apa yang kita rasakan dan temukan di dalam diri.

Desa ini mungkin hanya sepotong kecil dari dunia, tapi pelajaran yang aku bawa pulang darinya bakal terus menemani setiap langkahku. Keindahan sejati, ternyata, ada di mana-mana, asalkan kita tahu cara melihatnya.

Leave a Reply