Keindahan di Balik Mataku: Cerita Misteri dan Kekuatan Rahasia dalam Pandangan

Posted on

Kadang kita nggak sadar, matamu bisa jadi pintu masuk ke dunia yang jauh lebih aneh dan menarik dari yang pernah kamu bayangkan.

Ada keindahan dan rahasia yang tersembunyi di baliknya, sesuatu yang bahkan kamu sendiri belum sepenuhnya ngerti. Yuk, ikutin cerita ini, karena apa yang akan kamu lihat lewat mata Fen, mungkin bakal bikin kamu mikir ulang tentang segala hal yang kamu anggap biasa.

 

Keindahan di Balik Mataku

Di Balik Cermin Senja

Langit sore itu tidak seperti biasanya. Cahaya matahari yang hangat mulai meredup, dan semburat oranye meresap ke dalam setiap sudut ruang, menciptakan bayangan lembut di dinding. Di luar jendela, pepohonan bergoyang perlahan, seakan menari mengikuti irama angin yang menyusup di antara daun-daun. Namun, aku hanya duduk di depan cermin besar yang ada di kamarku, memperhatikan wajahku sendiri.

Tidak ada yang istimewa dari diriku. Hanya mataku. Mataku yang tidak pernah bisa dilihat seperti milik orang lain. Sejak dulu, aku sudah tahu bahwa mereka yang melihatku akan segera mengalihkan pandangan, merasa ada sesuatu yang aneh di sana. Seperti ada sesuatu yang tak dapat mereka tangkap, namun terus menarik perhatian mereka.

Aku tahu persis, mereka tidak akan pernah mengerti. Begitu banyak yang bertanya, tapi hanya sedikit yang berani mencoba menyingkapnya. Mereka yang berusaha terlalu keras untuk memahami, malah akan takut dan menjauh.

“Fenya, kenapa kamu selalu melihat ke sana?” Suara Rona tiba-tiba terdengar dari belakang. Aku menoleh sebentar, lalu kembali memandang ke cermin.

“Melihat apa?” jawabku sambil tersenyum tipis. Sering kali aku merasa aneh, tapi aku tak bisa mengungkapkan apa yang aku rasakan. Ada sesuatu di balik mataku, sesuatu yang lebih besar daripada sekadar pandangan biasa. Tapi aku tak bisa memberitahunya. Tak bisa menjelaskan hal yang bahkan aku sendiri tak tahu sepenuhnya.

“Kamu selalu melihat ke arah yang kosong, yang nggak ada apa-apa. Ada yang kamu cari?” Dia duduk di sampingku, wajahnya penuh rasa ingin tahu, namun ada keraguan di matanya. Aku tahu dia takut.

Aku tidak menjawab, hanya mengalihkan pandangan ke luar jendela. Malam akan segera datang, dan langit sudah semakin gelap. Mungkin Rona masih bertanya-tanya, tapi dia tidak akan tahu jawabannya. Aku tak akan pernah memberitahunya.

“Kadang kamu bikin aku penasaran, Fen,” katanya lagi, kali ini nada suaranya lebih lembut. “Kamu punya mata yang berbeda. Aku nggak tahu kenapa, tapi aku merasa kayak… ada yang mengawasi dari sana.”

Aku menoleh padanya, mataku yang dalam seakan menembus hingga ke inti dirinya. “Aku hanya melihat dunia berbeda,” jawabku, perlahan. Kata-kataku selalu terasa seperti teka-teki yang tak bisa dipecahkan, seolah aku mengundang lebih banyak pertanyaan tanpa memberikan jawaban.

Rona menatapku dengan intens, namun dia tidak bertanya lagi. Mungkin dia merasa sudah cukup mendalam, atau mungkin dia sudah mulai lelah mencoba mengerti. Aku bisa melihat rasa penasaran itu bercampur dengan sedikit ketakutan. Tetapi aku juga bisa melihat ada sesuatu yang lain. Mungkin sedikit pengertian. Atau hanya rasa ingin tahu yang tak terucapkan.

“Apa kamu nggak ingin tahu juga, Rona?” tanyaku setelah hening yang panjang. “Apa kamu nggak ingin tahu apa yang aku lihat?”

Dia terdiam sejenak, menatapku dengan tatapan yang lebih tajam. Mungkin dia mencoba membaca ekspresiku, mencoba menemukan tanda-tanda yang aku sembunyikan. Tapi aku tahu dia tidak akan pernah benar-benar melihat apa yang ada di balik mataku.

Rona mengangguk pelan, meski matanya masih ragu. “Aku ingin tahu,” katanya akhirnya, suaranya nyaris berbisik, “tapi… kadang rasanya kayak kamu menyembunyikan sesuatu yang terlalu dalam.”

Aku tersenyum, bukan senyum yang biasa. Senyum yang lebih seperti menyimpan sebuah rahasia.

“Ada banyak hal yang tersembunyi, Rona. Tapi itu bukan untuk dilihat oleh semua orang,” jawabku dengan lembut. Aku tahu, kalimat itu akan mengingatkannya bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari dunia yang dia kenal. Sesuatu yang tak bisa dicerna hanya dengan mata telanjang.

Sekarang, Rona semakin diam, seolah-olah menerima kenyataan bahwa dia tidak akan pernah mendapatkan jawabannya. Mungkin dia merasa bingung, atau mungkin dia hanya menyerah untuk mencari tahu lebih jauh. Aku bisa merasakannya, seolah ada jarak yang mulai terbentuk antara kami.

Pikiranku kembali terbang ke tempat lain. Ke dalam dunia yang hanya bisa aku lihat—dunia yang ada di balik mataku. Ada sesuatu yang lebih dalam, lebih misterius, sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Sesuatu yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang benar-benar berani menatap lebih lama.

Suatu malam, saat aku sendirian di kamarku, aku berdiri lagi di depan cermin besar itu. Mataku menatap kosong, tetapi dalam kekosongan itu ada kilatan samar, seperti bayangan yang bergerak cepat. Aku tahu, aku tidak sendirian. Ada sesuatu yang selalu hadir, mengikutiku, menungguku untuk menyadarinya.

Aku menarik napas dalam-dalam, menatap cermin dengan penuh perhatian. Ketika aku menatap lebih dalam, aku bisa merasakan kehadiran itu semakin kuat. Suatu kilatan cahaya berpendar di dalam mataku, seolah membuka pintu ke dunia yang lebih jauh. Dunia yang aku tahu, tapi tak bisa kujelaskan.

Tiba-tiba, aku mendengar ketukan di pintu kamar. Rona, tentu saja. Aku membuka pintu dengan sedikit enggan. Matanya kembali menunjukkan rasa ingin tahu yang tak terbendung, tapi kali ini ada sedikit ketakutan di sana. “Fenya, kamu… kamu baik-baik saja?”

Aku hanya mengangguk pelan, memaksakan senyum agar dia tidak terlalu khawatir. “Aku baik-baik saja, Rona. Jangan khawatir.”

Dia menatapku sejenak, lalu mengangguk, meski aku tahu dia tidak sepenuhnya percaya. Mungkin dia merasa ada sesuatu yang tidak beres, tapi aku tidak akan memberi jawaban lebih dari itu.

Rona tersenyum sedikit, lalu berjalan pergi, meninggalkanku di kamar yang sunyi. Aku kembali duduk di depan cermin, menatap mataku yang penuh dengan rahasia. Dunia ini tidak akan pernah sama jika dilihat hanya dengan mata biasa. Dan aku, aku adalah salah satu dari mereka yang tahu.

 

Tatapan yang Tak Terlihat

Hari-hari berlalu dengan perlahan, dan setiap langkahku semakin terasa berat, seperti ada sesuatu yang mengikatku di tempat yang sama. Namun, anehnya, aku tidak merasa kesepian. Malah, semakin aku memperhatikan mataku di cermin, semakin aku merasa terhubung dengan sesuatu yang jauh lebih besar. Dunia luar mungkin melihatku biasa saja, tetapi mataku tidak pernah bisa disamakan dengan pandangan mereka.

Rona mulai jarang bertanya, meski aku tahu dia masih merasa penasaran. Dia lebih memilih untuk duduk di dekatku tanpa mengatakan apa-apa, hanya menatapku sesekali dengan mata yang penuh tanda tanya. Aku bisa merasakan ketidakpastian itu. Namun, ada satu hal yang aku tahu: dia belum siap untuk melihat lebih dalam.

Namun, bukan hanya Rona yang memperhatikan. Ada sesuatu yang lebih kuat yang mengamati—sesuatu yang lebih sulit dimengerti oleh siapapun, bahkan aku sendiri. Aku merasakannya setiap malam, ketika langit semakin gelap, dan kedalaman mataku semakin membawaku jauh dari dunia ini.

Suatu malam yang sepi, aku berjalan menyusuri jalanan kota yang mulai sepi. Lampu-lampu jalanan menyala dengan terang, menciptakan bayang-bayang panjang di trotoar. Aku tidak tahu kemana aku akan pergi, hanya ingin menghindari kegelapan yang semakin dekat di dalam pikiranku. Sesuatu—atau seseorang—seperti mengikutiku dari kejauhan. Aku bisa merasakannya di setiap langkah, di setiap nafas yang tertahan di udara malam.

Aku berhenti di depan sebuah toko lama yang sudah tutup. Cermin besar yang terpasang di dinding toko itu memantulkan bayanganku. Mataku terlihat seperti mencuri perhatian, seolah ada sesuatu yang bergerak di dalamnya. Aku menatapnya dengan penuh perhatian, dan dalam pantulan itu aku melihat… bayangan lain.

Aku terkejut. Bukan hanya bayanganku yang ada di sana. Ada sesuatu yang lebih gelap, lebih tajam—seperti sebuah sosok yang menatap balik. Aku hampir tidak bisa mempercayai apa yang kulihat, tapi rasanya seperti mataku mengenali sesuatu yang sudah lama tersembunyi. Tangan ku bergetar ketika aku mengangkatnya untuk menyentuh permukaan cermin, berharap bahwa itu hanya bayangan semata. Namun, begitu aku menyentuh kaca, seketika aku merasakan sesuatu yang dingin dan menjalar ke seluruh tubuhku, seperti aliran energi yang tak terlihat.

“Fenya…” sebuah suara lembut terdengar dari belakangku. Aku menoleh cepat, dan Rian muncul dari balik bayangan pohon besar yang ada di seberang jalan. Rian, pria yang sudah lama tidak aku lihat, berdiri dengan senyum tenang di wajahnya, seolah-olah dia tahu apa yang baru saja kulihat. “Kamu baik-baik saja?”

Aku mengangguk, meskipun tubuhku masih terasa dingin. “Aku hanya… melihat sesuatu.” Suaraku agak terganggu, seolah kata-kata itu keluar tanpa bisa aku kendalikan.

Dia melangkah lebih dekat, matanya masih menatapku dengan penuh perhatian. “Aku tahu,” jawabnya pelan, “Ada sesuatu di matamu, Fen. Sesuatu yang membuatmu… berbeda.”

Aku terdiam, tidak tahu bagaimana harus menjawabnya. Sejak pertama kali bertemu dengannya, ada sesuatu yang aneh tentang Rian. Dia tidak pernah merasa terkejut atau takut dengan hal-hal yang kuperlihatkan. Dia justru seolah tahu lebih banyak dari yang aku tahu. “Kamu selalu melihat hal-hal yang lebih dalam, bukan?” lanjutnya.

Aku tidak menjawab, hanya mengangguk sedikit. Aku merasa ada sesuatu yang tak bisa aku ungkapkan, meskipun dia sudah memahaminya lebih dari yang aku kira. “Kamu bisa melihatnya juga, kan?” tanyaku, suara ku hampir tidak terdengar. Aku ingin tahu apakah dia memiliki mata yang sama seperti aku. Mata yang melihat lebih dari sekadar dunia fisik.

Rian tidak langsung menjawab. Dia hanya berdiri di sebelahku, menatap langit malam yang kosong. “Aku… aku tidak tahu. Tapi aku tahu ada sesuatu yang kamu sembunyikan. Dan aku ingin tahu lebih banyak.”

Aku merasa ada sesuatu yang mengikat kami, sebuah benang tak terlihat yang menghubungkan kami lebih dari sekadar kebetulan. Rian tidak bertanya lebih lanjut, tetapi aku tahu, kami berdua sedang berada dalam perjalanan yang sama—perjalanan untuk memahami sesuatu yang jauh lebih besar daripada yang bisa kami bayangkan.

Di tengah malam yang sunyi, kami berdiri di depan cermin itu. Aku bisa merasakan energi yang bergerak di dalamku, yang sama sekali tidak bisa aku jelaskan. Dunia ini tidak lagi sama setelah aku melihat apa yang tersembunyi di balik mataku, dan aku merasa seolah-olah aku sudah berada di ambang sesuatu yang luar biasa. Sesuatu yang aku harus hadapi, meskipun aku belum siap.

“Apa yang akan kamu lakukan, Fen?” Rian bertanya dengan suara lembut, namun penuh ketegasan. “Kamu akan terus menutup mata terhadap semua ini, atau kamu akan melihat lebih jauh lagi?”

Aku memandangnya, dan untuk pertama kalinya, aku merasa seolah aku bisa mempercayai seseorang. Mataku, yang selama ini aku sembunyikan, kini merasa lebih ringan. Ada sesuatu di dalam diri Rian yang membuatku merasa bahwa mungkin, untuk pertama kalinya, aku tidak perlu menyembunyikan semua yang aku rasakan.

“Tidak ada lagi yang bisa aku sembunyikan,” jawabku akhirnya. “Aku harus melihatnya, Rian. Meskipun itu berarti aku harus menghadapi kenyataan yang lebih besar dari apa pun yang bisa aku bayangkan.”

Dia tersenyum tipis, seolah dia sudah menunggu jawabanku. “Aku akan menemanimu,” katanya, dengan keyakinan yang tak tergoyahkan. “Kamu tidak sendiri, Fen.”

Dan malam itu, di bawah cahaya rembulan yang semakin redup, kami berdua melangkah menuju jalan yang tak terlihat, mengikuti sesuatu yang lebih besar dari kami.

 

Menembus Lensa Waktu

Langit pagi mengubah warna birunya menjadi samar-samar, seakan-akan alam sedang memperlihatkan warna lain yang tidak pernah dilihat oleh mata biasa. Aku merasakannya lagi, getaran halus di dalam diriku. Seperti ada sesuatu yang menggeliat, bangun, dan mulai bergerak dengan cepat. Mataku, yang selama ini kututupi dengan segala kebisuan dan keraguan, kini merasa semakin terbuka.

Rian dan aku tidak berbicara banyak tentang apa yang terjadi malam itu, tapi aku tahu dia merasakan hal yang sama. Kami tidak membahasnya langsung, namun ada keheningan yang penuh pengertian di antara kami. Saat aku menatapnya, ada yang berbeda dari dirinya. Seperti ada aura misterius yang mengelilinginya, seolah dia menyimpan kunci untuk memahami lebih jauh tentang mataku—tentang apa yang terjadi, dan apa yang akan terjadi setelah ini.

Pagi itu, aku berjalan menyusuri lorong sekolah dengan langkah yang sedikit lebih ringan. Namun, di balik itu semua, ada rasa cemas yang menggantung di hati. Aku mulai menyadari bahwa dunia ini bukan hanya sekadar tentang apa yang kita lihat, tetapi tentang apa yang tersembunyi dalam setiap ruang dan waktu. Mata yang bisa melihat lebih dalam, seperti mataku, bisa memecahkan banyak rahasia, dan aku tahu, semakin dalam aku menelusuri dunia ini, semakin aku akan menemukan hal-hal yang sulit untuk diterima.

“Fen, kamu terlihat berbeda.” Rona menghampiriku di aula. Matanya meneliti wajahku, mencoba membaca sesuatu yang tak terungkapkan.

Aku terdiam sejenak, merasakan tatapannya yang tajam. Rona selalu memiliki cara untuk membuatku merasa seperti dia bisa membaca setiap gerak tubuhku. Dia menyadari ada yang berubah, bahkan jika aku tidak mengatakannya.

“Ada apa, Rona?” aku mencoba mengalihkan perhatiannya.

Dia mengangkat alis, lalu tersenyum kecil. “Kamu tidak bisa menutupi itu, Fen. Ada yang berbeda denganmu, dan aku tahu kamu sedang berusaha untuk tidak membicarakannya.”

Aku menghela napas, mencoba untuk tidak menunjukkan kegelisahan yang mulai merayapi setiap bagian dalam diriku. “Kamu tahu, Rona… Terkadang, ada hal-hal yang lebih baik tidak diketahui.”

Tapi Rona tidak mudah menyerah. “Apakah itu yang kamu rasakan selama ini? Ada sesuatu yang kamu sembunyikan, kan?” tanyanya lebih pelan, lebih serius. “Kamu tidak perlu merasa takut, Fen. Aku akan selalu ada untukmu.”

Aku menatapnya, mencari jawaban yang tepat, yang bisa menjelaskan rasa yang mendalam di dalam diriku. Tapi aku tahu jawabannya belum waktunya. Aku belum siap untuk berbagi semuanya dengan siapapun. Tidak dengan Rona, tidak dengan siapapun. Hanya ada satu orang yang membuatku merasa sedikit lebih tenang, dan dia adalah Rian.

Sejak malam itu, kami berdua semakin sering bertemu, tapi bukan untuk berbicara tentang apa yang ada di dalam mataku. Kami lebih banyak berjalan bersama, menelusuri tempat-tempat yang tampaknya tidak terlalu penting, namun bagiku, setiap tempat menjadi lebih hidup. Setiap sudut kota ini memiliki cerita yang belum terungkapkan, dan mataku mulai menangkap lebih banyak dari yang bisa dipahami oleh orang biasa.

Hari demi hari, aku merasa semakin kuat. Namun, ada satu hal yang masih menghantui pikiranku: bayangan yang selalu ada di dalam mataku. Bayangan itu tidak hanya ada di dalam cermin atau di tempat gelap. Ia ada dalam setiap alur pikiranku, seolah-olah ia mengikuti setiap langkah yang aku ambil. Aku mulai merasa terjebak, namun entah mengapa, aku juga merasa seperti ini adalah jalan yang harus kutempuh.

Rian, di sisi lain, semakin tampak tidak asing dengan perubahan ini. Setiap kali kami berbicara, matanya tidak lagi melihatku seperti sebelumnya. Ada pemahaman yang lebih dalam, seolah dia mengerti lebih banyak tentang diriku daripada yang aku pahami tentang diriku sendiri.

“Fen,” katanya suatu hari, saat kami duduk di bangku taman yang sepi. “Ada satu hal yang harus kamu tahu tentang matamu.”

Aku menoleh, merasa lebih tertarik dari sebelumnya. “Apa maksudmu?”

Rian menarik napas panjang. “Kamu bisa melihat sesuatu yang tersembunyi di dalam dunia ini, Fen. Mata kamu bukan hanya melihat dunia fisik. Mereka melihat lebih dalam, lebih jauh. Kamu bisa melihat waktu, bisa melihat masa lalu dan masa depan, tapi dengan harga yang besar.”

Aku merasa jantungku berdegup lebih kencang. “Masa lalu dan masa depan?” aku bertanya, mencoba memahaminya. “Kamu… maksudmu aku bisa melihat semuanya?”

Rian mengangguk, wajahnya serius. “Ya. Tapi tidak semua orang bisa menerima itu. Tidak semua orang bisa memahami apa yang sebenarnya ada di balik itu. Itulah sebabnya matamu begitu rahasia, begitu penuh dengan keindahan sekaligus bahaya. Mereka hanya akan mengerti jika waktunya tiba.”

Aku terdiam, mencerna kata-katanya yang penuh makna. Apakah ini yang sebenarnya terjadi padaku? Apakah aku benar-benar bisa melihat lebih jauh, lebih dalam? Aku merasa dunia ini semakin kabur, semakin sulit dipahami. Namun, di sisi lain, aku merasa seperti ada kekuatan yang mulai mengalir dalam diriku.

Rian menatapku dengan tatapan yang penuh makna. “Tapi Fen,” katanya perlahan, “jangan biarkan matamu mengendalikanmu. Kamu harus mengendalikan mereka.”

Aku mengangguk pelan, meskipun hatiku masih dipenuhi keraguan. Mataku, dengan segala kekuatannya, kini menjadi bagian dari siapa aku. Aku harus siap menghadapi apa yang akan datang.

 

Menyatu dengan Kegelapan

Malam itu, aku kembali berdiri di depan cermin besar yang tak pernah bisa kutinggalkan. Sudah beberapa hari sejak aku mendengar kata-kata Rian, dan meskipun aku berusaha untuk mengabaikannya, kata-kata itu terus bergema di dalam kepalaku. “Jangan biarkan matamu mengendalikanmu.” Aku tahu, kata-kata itu lebih dari sekadar peringatan—mereka adalah kunci untuk memahami diri sendiri, dan mungkin juga kunci untuk mengungkap misteri yang telah mengikatku.

Cermin itu tidak hanya memantulkan bayanganku, tetapi juga sesuatu yang jauh lebih dalam. Ada sesuatu yang masih tersembunyi, sesuatu yang lebih kuat dari apapun yang aku bayangkan. Aku menatap mataku sendiri, semakin dalam, hingga aku merasa seolah aku sedang menembus dimensi lain. Warna merah yang selalu ada di iris mataku semakin nyata, seolah melibatkan seluruh dunia dalam tarikan magnetiknya. Namun kali ini, aku tidak takut. Aku merasa seolah aku berada di tempat yang seharusnya, di tempat yang selama ini aku hindari.

Aku menarik napas dalam-dalam, merasakan energi itu mengalir ke seluruh tubuhku. Mataku semakin terang, seperti menyerap semua cahaya di sekitar, dan tiba-tiba aku melihat sesuatu—sesuatu yang lebih nyata dari sekadar bayangan. Di balik pantulan cermin, aku melihat sosok gelap yang mengamati aku. Ia bukan Rian, bukan Rona, dan juga bukan siapapun yang aku kenal. Sosok itu tampak seperti sebuah bagian dari diriku yang terlupakan, bagian yang selama ini aku abaikan.

Aku ingin menjerit, namun suaraku tidak keluar. Sebaliknya, aku merasa seperti terhisap lebih dalam ke dalam dunia yang tak bisa dijangkau oleh orang biasa. Ada kesunyian yang menyesakkan, seolah waktu dan ruang tak lagi menjadi batasan. Aku bisa merasakan semua—segala sesuatu yang telah terlewatkan, segala sesuatu yang akan datang. Aku melihat kenangan, masa depan, dan semua kemungkinan yang tak terhitung jumlahnya. Waktu ini, untuk pertama kalinya, bukan lagi sekadar angka pada jam dinding. Ini adalah sesuatu yang lebih besar, lebih mengerikan, dan lebih indah.

Aku terhuyung mundur, mencoba melepaskan diri dari tatapan mataku sendiri, namun semuanya terasa seolah tak mungkin. Aku tidak bisa melarikan diri dari diri sendiri. Sosok itu di balik cermin mendekat, dan aku bisa merasakan keberadaannya dengan jelas. Matanya—mataku—tampak menyelam lebih dalam, menuntut aku untuk melihat semua kebenaran yang tersembunyi.

“Fen…” Suara itu, suara yang aku kenal. Suara Rian. “Apa yang kamu lihat?”

Aku berbalik, dan Rian berdiri di belakangku, dengan ekspresi yang sulit dibaca. Matanya tidak lagi tampak kebingungannya yang biasa. Ada ketenangan di sana, seolah dia sudah menunggu saat ini. “Aku melihat… semuanya,” jawabku, suara ku terdengar lebih serak dari yang kuinginkan. “Aku melihat semua yang tersembunyi di balik mata ini.”

Rian mendekat, lalu berdiri di sampingku. Tatapannya tidak berpaling dari mataku, bahkan saat aku merasa aku sedang tenggelam di dalamnya. “Kamu tidak sendirian,” katanya dengan penuh keyakinan. “Aku di sini, Fen. Kita akan melalui ini bersama.”

Aku menatapnya, merasakan getaran yang sama di dalam tubuhku. Ada sesuatu yang sangat kuat di dalam mataku, lebih kuat dari apapun yang bisa dijelaskan oleh kata-kata. Mataku bukan hanya melihat dunia—mereka adalah penghubung antara dunia yang tampaknya terpisah. Mereka adalah pintu gerbang menuju realitas yang lebih luas, yang penuh dengan kebenaran dan juga bahaya. Aku bisa merasakan semuanya, dan aku tahu, aku harus siap untuk apa yang akan datang.

Aku berbalik lagi ke arah cermin. Sosok itu kini hilang, tetapi ada sesuatu yang berubah dalam refleksi diriku sendiri. Aku tahu, apa yang aku lihat adalah bagian dari diriku yang telah lama terkubur, bagian yang aku takuti untuk menghadapinya. Namun, dalam tatapanku yang dalam, aku merasa seolah aku menerima semua itu. Tidak ada lagi rasa takut. Tidak ada lagi penolakan.

“Ini baru permulaan,” bisik Rian, suaranya terdengar sangat dekat, meskipun kami tak saling menyentuh. “Perjalananmu baru saja dimulai, Fen.”

Aku mengangguk perlahan, merasakan beban yang berat tapi juga penuh harapan. Ada kekuatan di dalam mataku—di dalam diriku—yang kini tidak lagi menakutkan. Aku tahu, dunia ini lebih besar dari yang aku lihat, dan kini aku siap untuk menembus batas-batasnya.

Aku mengambil langkah pertama, menghadap dunia yang penuh dengan misteri, dengan Rian di sisiku. Dan meskipun tidak ada kepastian tentang apa yang akan datang, aku tahu satu hal: aku sudah siap untuk menjalani hidup dengan mata yang tak lagi tertutup.

 

Jadi, siapa yang tahu apa lagi yang bisa kamu lihat kalau berani menatap lebih dalam? Fen baru saja mulai memahami kekuatan yang ada dalam dirinya, dan mungkin, kamu juga akan mulai melihat dunia dengan cara yang berbeda setelah ini. Karena, kadang, keindahan sejati memang tersembunyi di tempat yang paling tak terduga—di balik mata kita sendiri.

Leave a Reply