Daftar Isi
Pernah nggak sih kepikiran kalau ada banyak kata dalam bahasa Indonesia yang dulu sering dipakai, tapi sekarang udah kayak hantu—ada, tapi nggak kelihatan?
Kita terlalu sibuk ngomong pakai kata-kata yang lebih gampang, lebih keren, atau lebih tren, sampai lupa kalau bahasa kita sendiri punya keindahan yang nggak kalah dari bahasa mana pun. Cerpen ini bakal ngajak kamu menyelami perjalanan menemukan kata-kata yang hampir lesap dan gimana cara kita bisa bikin mereka bernapas lagi. Siap buat petualangan ini?
Keindahan Bahasa Indonesia yang Terlupakan
Jejak Kata di Papan Tulis
Pagi itu, sinar matahari menyelinap masuk melalui celah jendela kelas. Hawa yang masih sedikit sejuk berpadu dengan suara riuh rendah para siswa yang belum siap untuk memulai pelajaran. Beberapa masih sibuk mengobrol, ada yang bersandar di kursi sambil menggulir layar ponsel, sementara yang lain memilih menatap ke luar jendela dengan tatapan kosong.
Ketika langkah berat namun teratur terdengar memasuki kelas, suasana sedikit mereda. Pak Gatra, guru bahasa Indonesia yang terkenal dengan metode mengajarnya yang unik, berdiri di depan kelas dengan senyum tipis. Ia bukan tipe guru yang suka membentak, tapi entah bagaimana, setiap kali ia berbicara, semua orang pasti mendengarkan.
Tanpa banyak kata, ia mengambil spidol dan menuliskan sesuatu di papan tulis. Bahasa adalah jembatan peradaban.
Lalu, ia berbalik menghadap kelas, menatap para siswanya satu per satu.
“Aku mau tanya sesuatu,” katanya pelan, tapi suaranya jelas terdengar di seluruh kelas. “Kamu semua sadar nggak, kalau bahasa Indonesia itu lebih dari sekadar alat buat ngobrol sehari-hari?”
Beberapa siswa saling bertukar pandang. Svara, siswi yang selalu mendapat nilai terbaik di mata pelajaran ini, mengangkat tangan dengan cepat.
“Jelas, Pak. Bahasa itu identitas kita,” katanya mantap.
Pak Gatra mengangguk kecil, lalu menatap ke arah lain. “Kalau yang lain? Ada yang punya pendapat berbeda?”
Seorang siswa bernama Barna, yang duduk di bagian belakang dan terkenal suka menjawab asal-asalan, mengangkat tangan malas.
“Ya… tapi kalau dipikir-pikir, Pak, kita kan udah pakai bahasa Indonesia tiap hari. Berarti, ya udah aman-aman aja, kan?” ujarnya sambil mengangkat bahu.
Pak Gatra tersenyum tipis, lalu kembali menulis di papan tulis. Kali ini, ia menuliskan tiga kata: Serapan, Globalisasi, Kemalasan.
“Tiga hal ini yang bisa jadi masalah,” katanya, sambil menepuk-nepuk papan tulis. “Kamu tahu, Barna? Bahasa itu bisa berkembang, tapi juga bisa punah kalau kita nggak menjaganya.”
Beberapa siswa mulai tampak tertarik. Bahkan, mereka yang tadi asyik main ponsel mulai memperhatikan.
Svara kembali mengangkat tangan. “Pak, kalau bahasa berkembang, bukannya itu hal yang bagus?”
“Tentu,” jawab Pak Gatra. “Tapi berkembang yang seperti apa dulu? Coba aku tanya, siapa di sini yang lebih sering bilang download daripada unduh?”
Hampir seluruh siswa di kelas mengangkat tangan, beberapa bahkan terkekeh.
“Lalu, siapa yang lebih sering pakai kata chat dibanding surel atau obrolan?”
Kelas kembali ramai dengan suara gumaman. Hampir semua setuju kalau mereka memang lebih sering menggunakan kata serapan asing dibanding kata-kata asli bahasa Indonesia.
Pak Gatra menghela napas pelan, lalu bersandar di meja guru.
“Kamu semua lihat sendiri, kan?” katanya sambil melipat tangan di dada. “Serapan itu wajar, apalagi di era globalisasi kayak sekarang. Tapi kalau kita lebih sering pakai kata asing sampai akhirnya lupa kata kita sendiri, lama-lama bahasa kita bakal luntur.”
Barna mengernyit. “Tapi, Pak, bahasa itu kan harus praktis. Kalau semua orang lebih nyaman pakai kata serapan, ya tinggal pakai aja. Nggak masalah, kan?”
Pak Gatra tersenyum kecil. “Nah, ini yang jadi masalah ketiga. Kemalasan. Kita jadi malas belajar kata-kata baru yang sebenarnya sudah ada dalam bahasa kita sendiri. Makanya, aku mau kasih tantangan buat kamu semua.”
Mata para siswa mulai berbinar penuh rasa penasaran.
“Tantangan?” tanya Svara.
Pak Gatra mengangguk. “Aku mau kamu semua bikin satu paragraf pakai kata-kata bahasa Indonesia yang jarang digunakan. Tanpa serapan asing yang nggak perlu. Bisa?”
Beberapa siswa menghela napas, sebagian lagi tampak berpikir keras. Barna menatap kosong ke depan kelas, lalu menggaruk kepalanya.
“Ini susah, Pak,” katanya akhirnya.
Pak Gatra hanya tersenyum, lalu menepuk pundaknya pelan. “Makanya, kamu harus coba. Karena kalau bukan kita yang menjaga bahasa kita sendiri, siapa lagi?”
Suasana kelas perlahan berubah. Tidak ada lagi yang sibuk bermain ponsel atau melamun. Semua mulai sibuk mencari kata-kata yang selama ini jarang mereka dengar, mencoba menyusun paragraf dengan bahasa Indonesia yang lebih kaya.
Dan itulah awal dari perjalanan mereka dalam menemukan kembali keindahan bahasa yang selama ini tersembunyi di balik kata-kata asing yang terus menguasai percakapan sehari-hari.
Serapan, Globalisasi, dan Kemalasan
Suasana kelas masih dipenuhi gumaman kecil. Beberapa siswa sibuk menulis, sementara yang lain tampak kesulitan mencari kata-kata yang diminta oleh Pak Gatra. Svara sudah selesai lebih dulu, seperti biasa. Ia melipat tangannya di atas meja, sesekali melirik teman-temannya yang masih berpikir keras.
Barna, yang tadi sempat mengeluh, kini malah mengetuk-ngetukkan ujung pensil ke keningnya. “Aku nggak bisa, Pak,” katanya akhirnya. “Kepalaku rasanya kosong.”
Pak Gatra menatapnya dengan santai. “Kenapa kosong?”
“Aku nggak tahu harus pakai kata apa.”
Pak Gatra mengangguk pelan. “Kamu sadar nggak, Barna? Itu tandanya selama ini kamu nggak terlalu peduli sama kosakata bahasa Indonesia. Kita semua kebanyakan pakai kata-kata yang itu-itu aja.”
Barna mengerutkan keningnya. “Jadi… ini salah aku?”
“Bukan salah kamu,” kata Pak Gatra. “Tapi ini bukti kalau kita terlalu terbiasa pakai kata-kata yang sudah akrab di telinga kita. Dan yang akrab itu, ya, kebanyakan kata serapan.”
Kelas hening sesaat. Svara menatap Pak Gatra dengan penuh minat. “Jadi, menurut Bapak, serapan itu buruk?”
“Tidak juga,” jawab Pak Gatra. “Serapan itu bisa memperkaya bahasa kita. Tapi kalau kita terlalu bergantung pada kata asing, lama-lama kita bisa lupa kalau kita punya padanannya sendiri.”
Pak Gatra berjalan pelan ke papan tulis, lalu menuliskan beberapa kata:
Efektif = Mujarab
Revolusi = Pergolakan
Respon = Tanggapan
Upgrade = Tingkatkan
Popularitas = Kepopuleran
“Ada banyak kata dalam bahasa Indonesia yang sebenarnya bisa menggantikan kata-kata serapan ini. Tapi kita lebih sering memilih kata serapan karena lebih singkat, lebih keren, atau karena kita pikir semua orang pasti paham.”
Salah satu siswa, Rehan, mengangkat tangan. “Tapi, Pak, kalau misalnya aku ngomong ‘tingkatkan’ daripada ‘upgrade’, nanti orang malah bingung karena nggak terbiasa denger?”
“Itu dia masalahnya,” kata Pak Gatra sambil tersenyum. “Kenapa orang lebih terbiasa dengar ‘upgrade’ daripada ‘tingkatkan’? Karena kita yang membuatnya begitu. Kalau kita yang membiasakan pakai bahasa sendiri, lama-lama orang lain juga akan ikut terbiasa.”
Barna menghela napas. “Tapi, Pak, aku udah nulis satu paragraf, nih. Coba Bapak baca, deh.”
Pak Gatra mengambil kertas yang diberikan Barna dan membacanya pelan.
“Aku ingin memperbaiki cara berpikirku supaya lebih efektif dalam menghadapi permasalahan. Terkadang aku merasa perlu melakukan upgrade terhadap kebiasaanku agar bisa lebih produktif. Namun, aku juga sadar bahwa tanpa revolusi dalam diriku sendiri, semua usaha itu akan sia-sia. Aku ingin mendapatkan popularitas bukan karena pencitraan, tapi karena kualitas yang aku tingkatkan.”
Pak Gatra tersenyum kecil. “Bagus. Tapi ini masih penuh dengan kata serapan.”
Barna mendengus. “Aku udah berusaha keras, Pak.”
“Dan aku menghargai usahamu. Sekarang, coba ganti kata-kata serapan itu dengan padanan bahasa Indonesia.”
Barna menggaruk kepalanya. “Aku nggak tahu harus pakai kata apa…”
“Nah, itulah inti masalahnya,” kata Pak Gatra. “Kita punya bahasanya, tapi kita nggak tahu. Kita malas mencari tahu. Akhirnya, kita terus pakai kata serapan karena itu yang kita anggap paling gampang.”
Svara tersenyum kecil. “Jadi ini yang Bapak maksud dengan globalisasi bisa menggerus bahasa kita?”
“Tepat sekali,” jawab Pak Gatra. “Globalisasi itu nggak bisa kita hindari. Teknologi, tren, budaya luar, semua masuk ke dalam kehidupan kita. Tapi pertanyaannya, apakah kita hanya akan ikut arus, atau kita bisa tetap menjaga identitas kita sendiri?”
Kelas kembali hening. Beberapa siswa mulai mengangguk-angguk, seolah baru menyadari sesuatu.
“Tapi, Pak,” kata Barna lagi, “kalau semua orang tetap nyaman pakai kata serapan, bukannya kita yang berusaha ini bakal dianggap aneh?”
Pak Gatra tertawa kecil. “Mungkin. Tapi perubahan selalu dimulai dari sedikit orang. Dan siapa tahu, justru kamu yang nantinya bisa mengubah kebiasaan orang lain.”
Barna tidak menjawab. Ia hanya menatap kertasnya, lalu menghela napas panjang.
“Baiklah, aku coba lagi,” katanya akhirnya.
Pak Gatra tersenyum puas. “Bagus. Karena bahasa kita bukan sesuatu yang boleh kita biarkan lenyap begitu saja.”
Pelajaran bahasa Indonesia hari itu terasa berbeda. Tidak ada lagi siswa yang sekadar duduk diam atau bermain ponsel. Semua mulai berpikir, menimbang kata, dan memahami bahwa bahasa yang selama ini mereka anggap remeh sebenarnya adalah jati diri yang harus mereka jaga.
Dan bagi Pak Gatra, itu adalah awal yang baik.
Bahasa yang Tertinggal di Halaman Belakang
Pelajaran Pak Gatra hari itu berakhir dengan banyak kepala yang dipenuhi pertanyaan. Namun, bukan pertanyaan yang membosankan seperti biasanya, melainkan yang menggugah rasa ingin tahu.
Svara melangkah keluar kelas sambil memegang buku catatannya. Ia merasa ada sesuatu yang menggelitik pikirannya sejak diskusi tadi. Kakinya membawanya ke perpustakaan, tempat ia berharap bisa menemukan jawaban dari keresahannya.
Barna menyusul dari belakang. “Hei, kamu serius banget, sih? Mau cari apa di perpustakaan?”
Svara menoleh sekilas. “Aku penasaran.”
“Penasaran soal apa?”
Svara menatapnya sambil tersenyum kecil. “Kata-kata yang kita lupa.”
Perpustakaan sore itu sepi. Hanya ada beberapa siswa yang sedang sibuk membaca, dan seorang pustakawati yang sedang merapikan rak-rak buku. Svara langsung menuju rak bahasa, jari-jarinya menyusuri deretan buku lama yang jarang disentuh.
“Aku merasa aneh,” katanya pelan, matanya masih sibuk mencari sesuatu.
“Kenapa?” Barna bertanya, ikut melihat-lihat buku yang ada di rak.
“Karena kita tumbuh dengan bahasa Indonesia, tapi kita nggak benar-benar mengenalnya. Kita pakai setiap hari, tapi kita nggak peduli kalau sedikit demi sedikit, banyak kata menghilang.”
Svara menarik sebuah buku tebal berjudul Kamus Bahasa Indonesia Lama. Ia membolak-balik halamannya dengan penuh minat. Banyak kata di dalamnya yang terasa asing.
Barna mendekat dan mengintip. “Bapak kemarin pernah bilang, bahasa itu seperti rumah. Harus dirawat biar nggak hancur.”
Svara mengangguk. “Iya, tapi gimana kalau rumah itu sudah ditinggalkan terlalu lama? Bisa-bisa kita nggak tahu lagi bentuk aslinya.”
Barna tertawa kecil. “Kamu ngomongnya kayak detektif bahasa.”
“Aku cuma nggak mau suatu hari nanti anak-anak kita nggak bisa ngerti apa yang kita bilang karena bahasanya sudah berubah total.”
Svara menemukan sebuah kata yang menarik. “Eh, lihat ini!”
Barna mendekat, lalu membaca pelan, “‘Pilah-pilih — sinonim dari seleksi atau pemilahan. Dulu digunakan dalam percakapan sehari-hari sebelum digantikan oleh kata serapan ‘filter’ atau ‘seleksi’.’”
Ia mengernyit. “Aku nggak pernah dengar orang ngomong ‘pilah-pilih’ lagi.”
“Itulah masalahnya.”
Svara terus membaca. Semakin dalam ia menggali, semakin banyak kata-kata yang terasa seperti harta karun yang terlupakan.
Lalu, sesuatu menarik perhatiannya.
Ia menunjuk sebuah kata dan membaca keras-keras, “Lesap.”
Barna mengangkat alis. “Apa itu?”
“Hilangkan. Lenyap. Tapi lebih puitis,” kata Svara sambil tersenyum tipis.
Barna berpikir sejenak. “Jadi kalau kita bilang ‘ingatan itu lesap dari benakku’… Wah, keren juga.”
Svara mengangguk penuh semangat. “Tapi kita malah lebih sering pakai ‘hilang’ atau ‘lupa’. Kata-kata ini jadi tertinggal di halaman belakang.”
Barna bersandar di rak sambil mendesah. “Aku jadi sadar sesuatu.”
“Apa?”
“Kita bukan cuma malas mencari tahu, tapi kita juga terlalu nyaman dengan apa yang ada. Kita nggak pernah mempertanyakan kenapa kita berhenti pakai kata-kata ini.”
Svara menutup bukunya perlahan. “Mungkin karena kita pikir nggak ada bedanya.”
Barna menatap rak buku yang dipenuhi bahasa yang perlahan dilupakan. “Tapi ada bedanya, kan?”
Svara tersenyum kecil. “Ada. Dan aku mau membuktikannya.”
Barna menatapnya dengan penasaran. “Buktikan gimana?”
Svara mengambil buku catatannya dan mulai menulis. “Kita mulai dari satu langkah kecil. Kita pakai kata-kata ini dalam percakapan kita.”
Barna menatap kata-kata yang mulai memenuhi halaman kosong itu. Seolah-olah, kata-kata itu kembali bernapas setelah sekian lama terpinggirkan.
Dan bagi Svara, ini bukan sekadar tugas sekolah lagi. Ini adalah perjalanan menemukan kembali bagian dari dirinya yang hampir lesap.
Kata yang Kembali Bernapas
Hari itu, kelas Pak Gatra kembali penuh dengan diskusi. Kali ini, suasananya berbeda. Svara duduk di barisan depan, siap dengan catatan yang penuh coretan. Barna di sebelahnya, sesekali melirik dengan ekspresi setengah penasaran, setengah khawatir.
Pak Gatra menatap mereka dengan penuh minat. “Baiklah, minggu lalu kita sudah membahas bagaimana bahasa berkembang. Sekarang, siapa yang mau berbagi sesuatu?”
Svara langsung mengangkat tangan. “Saya, Pak.”
Mata seluruh kelas tertuju padanya. Tapi Svara tidak gentar. Ia membuka buku catatannya dan mulai berbicara dengan tenang.
“Kita tumbuh dengan bahasa Indonesia, tapi kita jarang benar-benar memikirkannya. Kita pakai setiap hari, tapi seringkali kita memilih jalan pintas dengan kata-kata yang lebih populer, lebih mudah, atau lebih singkat. Tanpa sadar, kita membiarkan sebagian dari bahasa kita lenyap.”
Pak Gatra menyandarkan tubuhnya ke meja. “Lanjutkan.”
Svara menatap teman-temannya. “Aku dan Barna mulai eksperimen kecil. Selama seminggu, kami mencoba menggunakan kata-kata yang sudah jarang dipakai.”
Beberapa teman mulai berbisik. Barna melirik Svara dengan geli, seolah berkata, kamu serius banget, ya?
Svara tersenyum kecil lalu menatap kelas. “Kata pertama yang kami coba pakai adalah lesap.”
Beberapa orang mengernyit. Seorang siswa di belakang bertanya, “Lesap? Maksudnya kayak… hilang?”
“Mirip,” kata Svara. “Tapi ‘lesap’ punya nuansa berbeda. Bayangkan ingatan tentang seseorang yang perlahan memudar, bukan sekadar hilang begitu saja. Kata itu lebih halus, lebih puitis.”
Pak Gatra tersenyum tipis. “Menarik. Terus?”
“Kami juga pakai pilah-pilih, bukan filter.”
Salah satu teman mereka, Rega, mengangkat tangan. “Aku pernah dengar orang tuaku pakai itu. Tapi aku nggak pernah pakai sendiri.”
“Itulah masalahnya,” kata Barna, akhirnya ikut bicara. “Banyak kata-kata yang sebenarnya masih ada, tapi kita biarkan tersisih begitu saja.”
Kelas mulai riuh. Beberapa orang mulai menyebut kata-kata lain yang jarang mereka dengar lagi.
Pak Gatra tampak puas. “Jadi, dari eksperimen ini, apa yang kalian simpulkan?”
Svara menarik napas dalam. “Bahasa itu hidup. Ia berubah, berkembang, dan bisa juga terlupakan. Tapi kalau kita sadar akan itu, kita bisa memilih untuk menjaga kata-kata yang berharga.”
Kelas hening sejenak. Lalu, Pak Gatra menepuk tangannya sekali. “Bagus. Kalian sudah melakukan sesuatu yang bahkan banyak orang dewasa pun lupa: menghidupkan kembali bahasa kita sendiri.”
Svara dan Barna saling berpandangan. Ada rasa lega, ada rasa bangga.
Saat bel berbunyi, semua mulai berkemas. Barna menatap Svara dengan senyum miring. “Jadi, sekarang kita resmi jadi pejuang kata-kata?”
Svara tertawa kecil. “Aku nggak tahu. Tapi aku akan terus mencari kata-kata yang terlupakan.”
Barna memasukkan bukunya ke dalam tas. “Kalau begitu, aku bakal bantu kamu biar kata-kata itu nggak lesap lagi.”
Svara tersenyum. Untuk pertama kalinya, ia merasa ada sesuatu yang benar-benar ingin ia perjuangkan.
Bahasa itu bukan sekadar alat komunikasi. Ia adalah bagian dari siapa kita. Dan selama masih ada yang peduli, kata-kata itu akan terus bernapas.
Bahasa itu hidup, tapi cuma kalau ada yang peduli. Kalau kita terus lupa sama kata-kata kita sendiri, lama-lama mereka bakal benar-benar lenyap, digantikan oleh sesuatu yang lebih asing. Jadi, pertanyaannya sekarang: kamu mau jadi bagian dari yang melupakan atau yang menghidupkan?


