Kehilangan Sahabat untuk Selamanya: Cerita Tentang Penyesalan, Perpisahan, dan Harapan Baru

Posted on

Pernah nggak sih, kamu ngerasa salah banget sama seseorang yang udah jadi bagian penting dalam hidup kamu? Kayak kamu nyesel banget udah nggak bisa kembali ke masa lalu dan ngubah semuanya.

Ini cerita tentang El yang akhirnya harus ngerasain kehilangan sahabatnya, Marisse, karena kesalahan yang dia buat. Cuma, siapa yang bisa bilang kalau perpisahan itu selalu berarti akhir? Mungkin, justru ada harapan baru yang nunggu di depan sana.

 

Kehilangan Sahabat untuk Selamanya

Benang yang Mulai Kusut

Hari itu, seperti biasa, Elverio dan Marisse berjalan bersama menuju sekolah, meskipun terasa sedikit berbeda. Ada sesuatu yang mengganjal di antara mereka, meski tak ada kata-kata yang bisa menjelaskan dengan jelas. Pagi itu, langit cerah, tetapi entah kenapa El merasa ada kabut yang menyelimuti hatinya.

“Lo kenapa sih, Mar? Dari tadi keliatan nggak semangat banget,” tanya El sambil memandang Marisse yang berjalan di sampingnya. Marisse hanya tersenyum tipis, tetapi matanya tak pernah benar-benar menatapnya.

“Apa maksud kamu?” jawab Marisse, suaranya agak datar. Ia sepertinya sedang memikirkan sesuatu yang jauh di sana, lebih jauh dari tempat mereka berdiri saat itu.

“Ya lo kayak lagi mikirin hal lain aja. Biasa kita ngobrol, tapi hari ini nggak ada topik yang nyambung,” El mencoba mengangkat pembicaraan, meskipun ia tahu ada sesuatu yang tidak biasa. Biasanya, Marisse tidak segan untuk menceritakan apapun yang ada di pikirannya, dari masalah kecil di sekolah hingga drama-drama teman-temannya.

Marisse menghela napas, kemudian berkata dengan suara yang hampir tak terdengar, “Aku cuma capek, El.” Tapi nada itu, buat El, terdengar seperti jawaban yang terburu-buru.

Pagi itu, mereka tiba di sekolah, tapi sikap Marisse makin membuat El bingung. Mereka biasanya selalu duduk berdua di kantin, tertawa tentang hal-hal sepele, atau berbicara tentang mimpi mereka. Tetapi tidak kali ini. Marisse hanya duduk diam di meja, sibuk menatap ponselnya, sementara El duduk di seberang, menunggu untuk berbicara, meski tak tahu harus mulai dari mana.

Jam istirahat pun datang. Seperti biasa, para teman mereka mulai berkumpul di pojok kantin, dan El melihat Marisse berbicara dengan Alandro, teman sekelas baru mereka. Mereka tertawa bersama, dan El merasa ada sesuatu yang berubah. Sejak kapan Marisse lebih sering bersama Alandro daripada dengannya?

Tanpa sadar, rasa cemburu mulai merayap di hati El. Ia tak bisa menjelaskan mengapa, tapi sesuatu dalam dirinya mulai terganggu setiap kali melihat Marisse tersenyum begitu lepas dengan orang lain.

El bangkit dari tempat duduknya dan mendekat ke meja tempat Marisse duduk, mencoba untuk tidak terlihat terlalu marah. “Lo nggak usah terlalu deket sama dia, Mar,” ucapnya dengan nada yang lebih keras dari yang dia maksudkan. “Gue nggak ngerti kenapa lo selalu sibuk sama orang lain kalau kita lagi bareng.”

Marisse menatap El dengan kening berkerut. “Apa maksud kamu, El? Aku cuma ngobrol sama teman. Kenapa lo jadi baper kayak gini?” jawabnya, sedikit terkejut.

“Lo nggak ngerti kan? Aku cuma merasa kayak… kita jadi jauh aja gitu.” El mencoba menahan emosinya, meski amarah itu mulai terasa di tenggorokannya. “Kenapa sih lo nggak pernah meluangkan waktu buat gue lagi?”

Marisse terdiam sejenak. Dia menatap El, bukan dengan tatapan marah, tetapi dengan sesuatu yang sulit dimengerti. “El,” katanya perlahan, “kamu nggak pernah ngerti aku. Kita emang udah nggak seperti dulu, itu bukan salah gue.”

“Jadi lo nyalahin gue?” El merasa kata-katanya kini keluar dengan lebih tajam. “Lo yang lebih sering minggat sama orang lain, dan gue yang harusnya ngerti? Gue yang salah?”

Marisse bangkit dari tempat duduknya, dan untuk pertama kalinya, dia menatap El dengan tatapan yang asing. “Kadang-kadang lo terlalu egois, El,” jawabnya, suara sedikit bergetar. “Aku butuh ruang, aku butuh sesuatu yang lebih dari sekedar apa yang kita punya.”

El terdiam, mulutnya terasa kering. Kata-kata itu seperti pisau yang menancap di hatinya. “Mar, aku nggak ngerti apa yang lo mau. Aku nggak ngerti kenapa kita jadi begini.”

“Karena kadang,” Marisse melanjutkan dengan nada yang lebih pelan, “kita nggak bisa selalu bersama. Kita berubah, El. Dan lo harus belajar nerima itu.”

Tanpa menunggu jawaban, Marisse berbalik dan meninggalkan El yang masih terdiam, terperangkap dalam pikirannya sendiri. Langkahnya terasa berat, seberat perasaan yang mendalam di hati El. Tapi ego yang membebani dirinya, membuatnya merasa, meski tersakiti, ia tetap benar.

Malam itu, mereka berdua tak berbicara sepatah kata pun. El mencoba menghubungi Marisse, namun pesan-pesan itu hanya terhenti di dalam kotak keluar, tak pernah mendapat balasan. Marisse tak menjawab panggilannya, tak memberikan kesempatan untuk memperbaiki keadaan. El merasa semakin terperangkap dalam rasa bersalah yang tumbuh begitu cepat. Tapi egonya, seperti tembok yang tidak bisa ditembus, terus menahan kata maaf yang sebenarnya ingin ia ucapkan.

Hari-hari berlalu. Keheningan yang datang di antara mereka terasa semakin dalam. Marisse lebih sering menghabiskan waktu dengan Alandro, dan El merasa semakin tersisih. Ia tahu hubungan mereka tak lagi seperti dulu, namun ia enggan mengakui bahwa semuanya salah dirinya. Dalam kebisuan itu, El merasakan bagaimana benang-benang persahabatan mereka mulai terurai, satu per satu.

Namun, meskipun begitu, ia tetap berharap, berharap agar semuanya bisa kembali seperti semula. Tanpa ia tahu, keinginannya yang tak pernah terucap akan membawa semuanya pada titik yang jauh lebih menyakitkan.

 

Diam yang Menghancurkan

Minggu-minggu berikutnya berjalan dengan sunyi. Elverio merasa semakin terisolasi, dikelilingi oleh kegelisahan yang tak pernah bisa dia lepaskan. Setiap kali ia melihat Marisse di sekolah, ada perasaan berat yang menekan dadanya, tetapi ia tak pernah tahu bagaimana cara menyelesaikannya. Marisse, yang dulunya selalu ada untuknya, kini tampak begitu jauh, seolah-olah ada tembok tak terlihat yang membatasi mereka.

El mencoba untuk fokus pada pelajaran, berusaha melupakan apa yang terjadi. Namun, setiap kali ia melihat senyum Marisse yang kini hanya teruntai untuk orang lain, hatinya terasa pedih. Meskipun ia masih bertemu dengan Marisse di kantin atau di ruang kelas, mereka tak pernah berbicara lebih dari sekedar salam biasa. Tidak ada lagi tawa, tidak ada lagi percakapan yang tak pernah berujung. Hanya ada keheningan, yang semakin menekan dada El.

Pada suatu sore yang mendung, El memutuskan untuk mengunjungi rumah Marisse setelah sekolah. Entah kenapa, ada dorongan kuat yang menggerakkannya untuk berbuat sesuatu, meskipun ia tahu bahwa sudah terlambat untuk memperbaiki keadaan. Setiba di depan pintu rumah Marisse, El ragu sejenak, meraba-raba ponselnya dan berniat mengirim pesan. Namun, tangannya berhenti. Ia sadar, tak ada kata-kata yang cukup untuk menembus jarak ini. Lalu, ia menekan bel.

Pintu terbuka. Ibu Marisse yang menyambut dengan senyuman lembut, meski ada sesuatu di matanya yang membuat El merasa canggung. “El, kamu datang? Marisse ada di kamarnya,” katanya, mempersilakan El masuk.

Dengan perasaan cemas yang menggumpal di dadanya, El melangkah ke dalam rumah. Suasana di sana tak banyak berubah. Foto-foto mereka berdua saat masih kecil, saat mereka tertawa bersama, menghiasi dinding ruang tamu. Setiap langkah El terasa berat, seolah-olah ia sedang berjalan di lorong kenangan yang membuatnya semakin teringat pada Marisse yang dulu.

Saat tiba di depan kamar Marisse, El ragu sejenak sebelum mengetuk pintu. Tak ada jawaban. Ia mengetuk lagi, kali ini sedikit lebih keras, dan akhirnya suara Marisse terdengar dari dalam. “Masuk aja,” katanya, tanpa antusiasme.

El membuka pintu pelan-pelan dan masuk. Marisse duduk di tepi tempat tidur, memandang jendela yang menampilkan pemandangan kota yang tampak buram di balik hujan yang turun deras. Suasana di kamar itu terasa sangat hening. Hening yang lebih mencekam daripada nyaman.

“Mar,” El mulai, mencoba mengontrol suara yang terasa serak di tenggorokannya. “Aku… aku minta maaf. Aku tahu aku salah.”

Marisse tetap diam, tidak melihat ke arahnya. “Lo nggak perlu minta maaf, El. Aku yang harusnya mengerti. Mungkin kita memang udah nggak cocok lagi,” jawabnya pelan, suara yang terdengar jauh dan kehilangan semangat. “Aku… aku nggak tahu lagi apa yang kita punya sekarang.”

Setiap kata yang keluar dari mulut Marisse membuat El merasa semakin terjerat dalam penyesalan. Ia tahu, terlalu banyak kata-kata yang tak terucapkan, terlalu banyak hal yang terabaikan. Tetapi di saat itu, El sadar, kesalahannya lebih dari sekedar ego yang menutupi pandangannya.

“Mar… lo jangan kayak gini. Aku nggak mau kehilangan lo,” El berkata dengan suara bergetar. “Gue nggak pernah maksud buat nyakitin lo. Gue cuma… gue cuma nggak ngerti, dan sekarang gue nyesel.”

Marisse akhirnya menoleh, matanya sedikit memerah, tetapi tidak ada air mata yang mengalir. “Kita semua kadang nggak ngerti, El. Tapi kadang, waktu nggak bisa kita balikkan. Aku nggak tahu apakah aku bisa terus ada buat lo seperti dulu.”

Keheningan kembali menyelimuti mereka berdua. El ingin sekali mengatakan lebih banyak, tetapi kata-katanya terasa begitu hampa. Ia ingin memperbaiki semuanya, tapi bagaimana bisa, ketika semuanya sudah berubah begitu drastis? Semua yang ada di hadapannya hanya sebuah bayangan dari sahabat yang dulu begitu dekat.

“Lo harus tahu, El,” Marisse melanjutkan, suaranya kini lebih tenang namun tetap terkesan jauh. “Kadang, orang berubah dan kita nggak bisa ngelawan itu. Gue nggak bisa terus hidup di masa lalu, di tempat yang selalu ada lo. Gue butuh lebih, El, dan itu nggak bisa gue temuin kalau kita terus kayak gini.”

Mendengar itu, El merasa seperti ada sesuatu yang robek di dalam dirinya. Tidak ada kata-kata yang bisa menenangkan hatinya yang hancur. Marisse benar. Mereka berdua sudah berubah, dan apa yang mereka miliki kini terasa seperti reruntuhan masa lalu yang tak bisa dibangun kembali.

“Mar,” kata El, suara semakin pelan. “Gue nggak tahu apa yang bakal gue lakuin kalau lo nggak ada. Tapi gue ngerti, sekarang, gue ngerti banget kalau gue nggak bisa lagi cuma mikirin diri gue sendiri.”

Marisse menatapnya lama, seakan mencoba melihat apakah kata-kata El tulus. Namun, entah mengapa, sesuatu dalam dirinya merasa bahwa ia sudah cukup terluka untuk bertahan dalam hubungan yang sudah retak. “Mungkin… mungkin ini yang terbaik, El.”

El terdiam, dan untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa kepergian Marisse—meskipun ia tidak menginginkannya—adalah keputusan yang tak bisa lagi ia pungkiri. Ia mengangguk perlahan, mencoba mengerti, meskipun hatinya terasa hancur. Tidak ada yang bisa ia lakukan lagi. Semua yang mereka bangun sudah retak, dan El tahu, tidak ada jalan kembali.

Sebelum keluar dari kamar, El menoleh sekali lagi ke Marisse. “Aku bakal selalu inget kita, Mar. Terima kasih udah jadi sahabat gue.”

Marisse hanya mengangguk, wajahnya tertunduk, dan El tahu bahwa kata-kata itu adalah yang terakhir kali akan mereka ucapkan sebagai sahabat.

 

Menghadapi Kehilangan

Hari-hari setelah percakapan itu berlalu begitu lambat bagi Elverio. Setiap langkahnya terasa seperti berat yang tak bisa dia tanggung. Kehilangan Marisse tidak hanya menyisakan ruang kosong dalam hidupnya, tetapi juga rasa hampa yang mencekam. Dia tahu bahwa apa yang terjadi adalah akibat dari kesalahan yang tak bisa dia perbaiki. Marisse sudah memutuskan untuk melanjutkan hidupnya tanpa El, dan meskipun El mencoba menipu dirinya dengan menganggap dia bisa menerimanya, kenyataannya jauh berbeda.

Di sekolah, El merasa seperti asing di tempat yang dulunya penuh dengan kenangan. Ketika dia melihat tempat-tempat yang biasa mereka lewati bersama, rasanya seperti ada yang hilang, sesuatu yang sangat penting yang membuat semuanya terasa lengkap. El berusaha untuk berfokus pada pelajaran, mencoba melupakan Marisse dan kembali ke rutinitasnya, tetapi itu seperti mencoba berenang melawan arus. Semakin keras dia berusaha, semakin dalam ia tenggelam.

Suatu hari, El bertemu dengan Alandro di kantin. Alandro, yang dulu bukan orang yang terlalu dekat dengannya, kini tampak seperti satu-satunya teman yang tersisa di sekitarnya. Mereka duduk bersama, meskipun percakapan mereka terasa kikuk di awal.

“Lo masih sering ngobrol sama Marisse?” tanya El, membuka topik dengan hati-hati.

Alandro menatapnya sebentar sebelum akhirnya menjawab, “Kita ngobrol sesekali, tapi… lo tahu sendiri kan, dia nggak kayak dulu lagi.”

El hanya mengangguk. “Iya, gue ngerti,” jawabnya dengan suara berat. “Gue udah terlalu banyak salah sama dia.”

Alandro memandangnya, lalu berkata dengan lembut, “Gue nggak bisa bilang apa-apa soal itu, El. Tapi lo harus tahu, kadang kita nggak bisa ngontrol apa yang terjadi dalam hubungan. Yang bisa kita lakuin cuma coba belajar dari kesalahan dan melangkah maju.”

El menunduk, merenungi kata-kata Alandro. Melangkah maju—satu kalimat yang seharusnya memberi semangat, tetapi saat itu terasa seperti sebuah langkah yang terlalu jauh untuk dia ambil. Bagaimana bisa dia melangkah maju jika dia masih terjebak dalam bayang-bayang masa lalu? Jika hatinya masih berharap untuk memperbaiki semuanya?

Hari-hari berikutnya, El mencoba untuk tetap bertahan. Ia mulai lebih sering menghabiskan waktu dengan teman-teman lainnya, mencoba untuk melepaskan diri dari kenangan bersama Marisse. Tapi setiap kali ia melihat senyum teman-temannya yang tampak begitu alami, ia merasa semakin terasing. Dia tahu bahwa dia tak akan pernah bisa kembali ke tempat yang dulu, tempat yang penuh tawa dan kebersamaan.

Suatu sore yang kelabu, saat hujan turun perlahan, El duduk sendiri di taman belakang sekolah. Ia memandangi tetesan hujan yang jatuh, menatap ke bumi yang basah, seolah-olah menunggu sesuatu yang bisa membawanya keluar dari kepedihan ini. Waktu itu, tidak ada yang istimewa. Semua tampak biasa. Namun, hati El terasa hancur, dan ia merasa tak ada jalan keluar.

Dia menunggu pesan dari Marisse yang tak kunjung datang. Sudah seminggu lebih sejak percakapan terakhir mereka. Tidak ada kata maaf, tidak ada perbaikan. Hanya ada diam, yang semakin menggerogoti setiap bagian dari dirinya.

Tiba-tiba, ponsel El bergetar. Pesan singkat masuk. Dari Marisse.

“El, aku ingin lo tahu, gue nggak benci sama lo. Gue cuma butuh waktu.”

Membaca pesan itu, El merasa seperti ada angin yang menyentuh hatinya. Tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkan betapa lega dan sesaknya dia sekaligus. Itu bukan sebuah pemulihan, bukan pula sebuah solusi. Tetapi itu adalah awal dari sesuatu yang belum pasti.

Dengan tangan yang gemetar, El membalas pesan itu.

“Mar, gue nggak tahu harus mulai dari mana. Tapi gue minta maaf, lebih dari apapun. Gue cuma pengen lo tahu kalau gue menyesal.”

Marisse tak langsung membalas. Beberapa menit berlalu, dan El merasa hatinya kembali terasa kosong. Namun, pesan kedua datang.

“Aku tahu lo menyesal, El. Gue nggak akan pernah lupa semuanya yang kita lewatin. Tapi kita butuh waktu, nggak cuma buat kita, tapi buat diri kita masing-masing.”

El menatap layar ponselnya, membaca pesan itu berulang kali. Kata-kata itu membawa kelegaan yang aneh. Tidak ada jaminan bahwa mereka bisa kembali seperti dulu, tetapi sedikit harapan itu cukup untuk membuatnya merasa, mungkin, suatu saat nanti, mereka bisa mulai memperbaiki apa yang telah rusak. Mungkin, tidak hari ini, atau minggu depan, tapi waktu akan menunjukkan apa yang bisa mereka lakukan dengan luka yang ada.

Malam itu, El terlelap dengan perasaan yang campur aduk—rasa kehilangan yang masih membekas, tetapi juga secercah harapan yang mulai tumbuh. Kehilangan tidak bisa dihindari, namun ia kini tahu bahwa perjalanan mereka belum berakhir. Mungkin, pada akhirnya, mereka akan menemukan jalan yang berbeda, atau mungkin mereka akan menemukan jalan kembali. Tetapi satu hal yang pasti: mereka tidak akan melupakan masa lalu mereka, meski tak ada lagi yang bisa mengembalikannya.

Menemukan Jalan Baru

Beberapa bulan berlalu sejak percakapan terakhir mereka. Elverio kini berjalan dengan langkah yang lebih ringan, meski kenangan akan Marisse masih terkadang datang mengusik. Kehidupan di sekolah terasa sedikit lebih mudah untuk dijalani, meski Marisse tak lagi ada di sana seperti dulu. Tapi El merasa ada perubahan dalam dirinya, meskipun perasaan itu datang perlahan. Ada sesuatu yang sudah dia pelajari, sesuatu yang mengubah cara pandangnya.

Di satu sisi, ia merasa seolah-olah dirinya telah ditinggalkan. Tapi di sisi lain, ia tahu bahwa perpisahan ini juga membuka matanya untuk hal-hal yang lebih penting dalam hidupnya. El mulai memperbaiki hubungan dengan teman-temannya yang lain, sesuatu yang dulu ia abaikan demi fokus pada Marisse. Mereka menerima El kembali, meskipun tidak semuanya bisa dipulihkan seperti sebelumnya. Namun, yang terpenting baginya adalah dia mulai memahami bahwa hidup bukan hanya tentang satu orang, tetapi juga tentang dirinya sendiri dan orang-orang yang ada di sekitarnya.

Suatu sore, saat El sedang duduk di taman belakang sekolah, ia menerima sebuah pesan lagi dari Marisse. Pesan yang terasa sangat berbeda dari yang pernah ia terima sebelumnya.

“El, aku sudah mulai merasa lebih baik. Aku harap kamu juga begitu. Kita nggak perlu jadi seperti dulu, tapi aku rasa kita bisa mulai jadi teman lagi, jika itu yang kamu inginkan.”

Membaca pesan itu, El merasakan perasaan yang sulit dijelaskan. Ada perasaan lega, ada perasaan yang penuh harapan. Tidak ada lagi rasa sesak di dada, tidak ada lagi penyesalan yang mendalam. Hanya ada kelegaan dan, mungkin, sedikit kebahagiaan. Meskipun mereka tidak akan bisa kembali ke masa lalu, mereka kini memiliki kesempatan untuk membangun sesuatu yang baru. Sesuatu yang lebih matang dan lebih realistis.

El membalas pesan itu dengan cepat, tangan gemetar karena perasaan yang datang begitu mendalam.

“Mar, gue nggak tahu gimana masa depan kita, tapi gue siap untuk coba. Gue akan terima apapun yang lo pilih.”

Setelah mengirim pesan itu, El merasa sebuah beban terlepas dari pundaknya. Tidak ada lagi kata-kata yang bisa menjelaskan betapa besarnya arti pesan itu. Mereka mungkin tidak bisa kembali seperti dulu, tetapi mereka bisa mulai dari awal. Mungkin tidak sebagai sahabat seperti sebelumnya, tetapi sebagai dua orang yang telah tumbuh, belajar, dan saling memahami bahwa mereka perlu ruang untuk berkembang.

Hari demi hari, El merasakan perasaan itu semakin berkembang. Ia mulai membuka hati untuk pertemanan baru, meskipun tidak ada yang bisa menggantikan Marisse. Tapi ia tahu bahwa hidup terus berjalan, dan setiap langkah yang diambilnya membawa dia ke tempat yang baru, ke arah yang berbeda, dan mungkin lebih baik. Ada banyak orang di luar sana yang bisa memberikan kebahagiaan, dan mungkin, suatu hari nanti, El akan menemukan kebahagiaan yang lebih besar, yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Pada suatu pagi yang cerah, El dan Marisse bertemu di sebuah kafe kecil. Mereka duduk berseberangan, secangkir kopi di tangan mereka. Tidak ada kata-kata besar yang mereka ucapkan. Hanya ada keheningan yang nyaman, seolah-olah mereka telah menerima kenyataan bahwa hidup terus berjalan, dan meskipun banyak hal yang telah berubah, masih ada kesempatan untuk memulai lagi.

“Lo kelihatan baik, El,” kata Marisse, tersenyum lembut.

El membalas senyum itu, meskipun ada sedikit rasa canggung yang masih terasa. “Gue juga mulai merasa baik, Mar.”

Mereka berbicara tentang banyak hal—tentang hidup, tentang perubahan, tentang hal-hal yang terjadi selama berbulan-bulan mereka terpisah. Tidak ada pembicaraan besar, hanya percakapan biasa. Tetapi di antara percakapan itu, ada kenyataan yang tak terucapkan: mereka telah menemukan tempat mereka masing-masing. Mungkin mereka tidak akan pernah kembali menjadi seperti dulu, tetapi mereka kini bisa saling menghormati jarak yang ada, dan itu sudah cukup untuk mereka.

El menatap Marisse dengan senyum yang tulus. “Terima kasih udah datang, Mar. Gue nggak tahu apa yang bakal terjadi, tapi gue senang kita bisa duduk di sini sekarang.”

Marisse tersenyum balik. “Gue juga, El. Mungkin ini awal yang baru.”

Dan dengan itu, mereka duduk bersama, menikmati kehadiran satu sama lain dalam cara yang lebih matang. Tidak ada janji-janji besar, tidak ada harapan yang terlalu tinggi, hanya dua orang yang mencoba menjalani hidup mereka dengan cara yang lebih baik. Mereka mungkin tak lagi sama, tetapi mereka masih bisa berbagi kebersamaan dalam bentuk yang berbeda. Sesuatu yang sederhana, tetapi sangat berarti.

Hidup terus berjalan, dan meskipun kehilangan itu terasa seperti bagian yang hilang, pada akhirnya, El menyadari bahwa ia bisa terus tumbuh dan menemukan jalan baru. Begitu juga dengan Marisse. Semua yang mereka alami—perpisahan, penyesalan, dan harapan—telah membentuk mereka menjadi orang yang lebih kuat. Kini, mereka tahu bahwa terkadang, jalan terbaik adalah menerima kenyataan, dan melangkah maju dengan kepala tegak.

 

Jadi, kadang perpisahan memang nggak bisa dihindari, dan kita harus belajar nerima kenyataan, meskipun rasanya sakit. Tapi, siapa yang tahu?

Mungkin dengan kehilangan itu, kita bisa jadi lebih kuat dan menemukan jalan yang lebih baik. Jadi, meskipun nggak bisa kembali ke dulu, mungkin aja ada kesempatan baru yang datang. Semua akan baik-baik aja, kok. Itu yang El dan Marisse pelajarin, dan siapa tahu, kamu juga.

Leave a Reply