Daftar Isi
Pernah nggak sih kamu merasa hidup di kota itu kayak mengejar sesuatu yang nggak pernah jelas? Semua serba cepat, serba target, sampai lupa menikmati yang ada di sekitar kita. Tapi, apa jadinya kalau kita berhenti sejenak dan nyoba melihat dunia dengan cara yang berbeda?
Cerita ini tentang Ardi, seorang pemuda kota yang dipaksa berhenti dan melihat kehidupan yang jauh lebih sederhana tapi penuh arti di Desa Mandalika. Siap-siap terinspirasi dan mungkin, ngelihat hidup dari sudut pandang yang baru. Let’s go!
Kisah Ardi dan Desa Mandalika
Kembali ke Mandalika
Ardi menatap jalanan yang sudah lama tak ia lewati, seolah ingin memastikan bahwa ini adalah kenyataan, bukan sekadar bayangan dari masa lalu yang kini pudar. Mandalika—desa kecil yang dulu selalu menjadi tempat pelariannya setelah seharian bersekolah atau bekerja di kota. Jalanan berbatu, rumah-rumah yang sederhana, dan kebun-kebun luas yang menghijau, semuanya terasa asing sekaligus akrab.
Namun, perasaan canggung yang muncul saat kakinya menginjak tanah desa ini tak bisa ia sembunyikan. Tiga tahun berada di kota besar, meraih apa yang menurutnya akan membawa kebahagiaan—pencapaian profesional, prestasi, dan kehidupan sosial yang gemerlap—ternyata tidak memberi kebahagiaan seperti yang ia bayangkan. Kehidupan kota yang penuh hiruk-pikuk, yang dulu ia impikan, kini terasa hampa.
“Gimana rasanya balik lagi, Ardi?” suara lembut itu menyadarkan Ardi dari lamunannya. Fira, tetangga yang dulu dekat dengannya, kini sudah berkeluarga dan memiliki dua anak. Senyum ramahnya menyambut Ardi yang terkejut melihatnya begitu dewasa, meskipun mereka hanya berjarak beberapa tahun saja.
Ardi tersenyum kaku. “Aku… nggak tahu, Fira. Rasanya aneh. Aku bahkan nggak tahu harus mulai dari mana.”
Fira tertawa ringan, membuat Ardi merasa sedikit lebih santai. “Nggak usah cemas. Semua orang di sini juga ngerasain hal yang sama saat pertama kali pulang. Kita semua punya tempat di sini, kamu nggak perlu merasa asing.” Fira berjalan mendekat, matanya yang tajam memandang Ardi dengan penuh pengertian. “Mandalika ini punya cara untuk membuat kamu merasa diterima. Lambat laun, kamu akan merasa seperti bagian dari rumah sendiri.”
Ardi mengangguk, meskipun masih ada keraguan yang mengganjal di pikirannya. Ia masih belum bisa membayangkan bisa betah di sini, apalagi setelah merasakan kemewahan dan kenyamanan kota. Tapi di sisi lain, entah mengapa, ada sesuatu yang membuatnya ingin mencoba untuk kembali. Sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kenangan masa kecil yang indah.
Hari pertama di Mandalika dimulai dengan hal-hal sederhana. Warga desa sedang berkumpul di balai desa untuk membicarakan persiapan musim tanam padi. Ardi, yang dulu enggan untuk terlibat dalam kegiatan desa, kali ini hanya bisa mengamati dari jauh. Ketika Fira mengajaknya bergabung, ia hanya bisa mengangguk.
Saat Ardi duduk di samping beberapa warga desa, suasana terasa hangat. Saling sapa, tawa ringan, dan percakapan yang tak terburu-buru. Mereka tampaknya sudah saling mengenal begitu lama. Tidak ada tekanan, tidak ada jarak—hanya kebersamaan yang mengalir begitu alami. Ardi merasa asing, namun ada sesuatu yang menenangkan di sini.
“Ardi, ayo ikut bantuin! Kalau kamu nggak turun tangan, siapa lagi yang bakal bantu?” panggil seorang lelaki tua bernama Pak Darto yang terlihat sibuk menyiapkan alat untuk bertani.
Ardi terkejut, namun Fira segera memberi dorongan. “Ayo, kamu nggak bisa diam aja. Nanti kita bareng-bareng kok, nggak akan berat. Kita semua saling bantu di sini.”
Dengan sedikit ragu, Ardi berdiri dan bergabung. Ia mulai belajar lagi tentang kehidupan desa—dari cara menyiapkan alat bertani yang ternyata jauh lebih rumit dari yang ia kira, hingga cara memilih benih padi yang baik. Setiap gerakan dan penjelasan warga desa terasa begitu alami, seolah mereka sudah melakukan ini sepanjang hidup mereka.
“Gini, Ardi, kamu harus tahu kalau bertani itu bukan cuma soal menanam. Yang paling penting itu hubungan kita dengan tanah, dengan alam. Kalau kita jaga itu, hasilnya akan maksimal,” ujar Pak Darto sambil menunjukkan bagaimana cara menyiapkan lahan.
Ardi yang merasa canggung mulai meresapi kata-kata Pak Darto. Tanpa sadar, ia mulai ikut mengaduk tanah dengan hati-hati, seperti yang diajarkan. Ia merasakan kedekatan dengan alam yang tak pernah ia rasakan sebelumnya, meskipun di kota banyak tempat hijau yang bisa ia nikmati.
Namun, kehidupan desa tak selalu sempurna. Malam itu, hujan turun dengan derasnya. Dalam sekejap, jalanan desa mulai terendam air. Ardi terbangun mendengar suara hujan yang begitu kencang, disertai dengan suara teriakan dari luar. Warga desa berlarian, membawa barang-barang ke tempat yang lebih tinggi, berusaha menghindari banjir yang semakin meluas.
Fira muncul di depan rumahnya, matanya penuh kecemasan. “Ardi, kamu bisa bantu angkat barang-barang ke atas? Kita nggak bisa diam aja, banjir bisa datang kapan saja!”
Ardi, yang awalnya ragu untuk terlibat lebih jauh, merasa ada dorongan yang tak bisa ia hindari. Tanpa banyak bicara, ia mengikuti Fira yang sudah lebih dulu bergerak cepat. Di luar, banjir sudah mulai menggenangi beberapa rumah, dan semua orang tampak sibuk. Ardi, meskipun bingung, ikut membantu sekuat tenaga.
Lalu, ada suara yang mengagetkannya. “Ardi, tolong bawa ini ke rumah Pak Darto!” Seru seorang wanita yang sedang memegang kardus berisi barang-barang berharga.
Tanpa banyak bicara, Ardi berlari menuju rumah Pak Darto dengan air yang mulai menggenangi pergelangan kakinya. Sesampainya di sana, ia disambut dengan senyum lelah Pak Darto yang berkata, “Terima kasih, Ardi. Kamu cepat sekali.”
Malam itu, Ardi melihat betapa warga desa bekerja tanpa kenal lelah. Semua orang—tak peduli usia atau status—terjun langsung, saling membantu, mengangkat barang-barang, dan memastikan bahwa yang lebih tua atau yang lemah bisa selamat. Tak ada yang mengeluh, tak ada yang merasa terbebani.
Pada saat itu, Ardi merasa ada sesuatu yang menyentuh hatinya. Sesuatu yang lebih besar dari apa yang pernah ia alami di kota. Di sini, di Mandalika, tidak ada yang merasa sendirian. Tidak ada yang merasa lebih rendah atau lebih tinggi dari yang lain. Semua bergerak bersama, sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Ardi berdiri di tengah kerumunan, merasakan kehangatan yang luar biasa. Meskipun hujan masih turun deras, Ardi merasa jauh lebih tenang. Keputusan untuk kembali ke Mandalika, yang semula ia ragu, kini terasa benar. Ada sesuatu yang lebih besar di balik kehidupan sederhana ini—kekuatan kebersamaan yang bisa mengatasi apa pun.
Namun, masih ada banyak yang harus ia pelajari. Ini baru awal dari perjalanan yang akan membawanya lebih dalam ke dalam kehidupan sosial yang selama ini ia hindari. Bagaimana ia akan beradaptasi dengan semua ini? Apa yang akan terjadi selanjutnya?
Bab berikutnya mungkin akan memberi jawabannya.
Di Tengah Banjir, Kita Bersatu
Pagi itu, hujan masih mengguyur Mandalika. Langit tampak kelabu tanpa tanda-tanda cerah. Suara gemericik air yang mengalir di sepanjang jalan desa bercampur dengan suara orang-orang yang bekerja bersama untuk mengamankan desa dari banjir. Beberapa rumah sudah terendam hingga setinggi pinggang. Warga bekerja cepat, mendirikan pos darurat di balai desa, sementara yang lain membantu memindahkan barang-barang ke tempat yang lebih tinggi.
Ardi berdiri di depan posko bersama Fira. Ia menggulung lengan bajunya, tangan dan kakinya masih basah kuyup setelah semalaman ikut membantu. Tubuhnya pegal, tetapi ada semangat yang menggelitik dirinya untuk terus bergerak.
“Fira, ini banjir begini sering terjadi ya?” tanyanya sambil menatap genangan air yang semakin meluas.
Fira mengangguk. “Iya, hampir tiap tahun. Tapi biasanya nggak separah ini. Hujannya lama banget kali ini.”
Seorang ibu tua yang sedang membagikan makanan lewat di depan mereka. “Ardi, nak, tolong bawain ini ke tenda sebelah. Anak-anak di sana butuh sarapan.”
Tanpa berpikir dua kali, Ardi mengambil keranjang berisi nasi bungkus itu. “Iya, Bu. Saya bawain sekarang.”
Fira ikut membantunya membawa beberapa botol air minum. Saat mereka berjalan, genangan air sesekali membuat Ardi tergelincir. Fira tertawa kecil melihatnya.
“Kamu nggak terbiasa, ya?” goda Fira sambil berjalan dengan langkah yang lebih luwes.
Ardi tertawa masam. “Jelas nggak. Di kota nggak ada genangan begini. Kalau ada banjir, orang-orang tinggal di rumah aja, nunggu bantuan datang. Nggak ada yang saling bantu kayak di sini.”
Fira menoleh, tersenyum kecil. “Di sini beda. Kalau kita nggak saling bantu, siapa lagi yang bisa diandalkan? Kita nggak punya pemerintah yang sigap kayak di kota. Tapi justru itu yang bikin kita jadi dekat. Kadang-kadang, bencana malah bikin kita sadar kalau kita ini satu keluarga besar.”
Kata-kata Fira terngiang di kepala Ardi ketika mereka sampai di tenda darurat. Di sana, anak-anak kecil sedang duduk di atas tikar sambil memeluk satu sama lain untuk mengusir dingin. Mata mereka berbinar saat melihat nasi bungkus dan air yang dibawa Ardi dan Fira.
“Terima kasih, Om,” kata seorang anak laki-laki sambil memeluk nasi bungkusnya.
Ardi tertegun. Sederhana sekali cara mereka merasa bahagia. Di kota, semua terasa lebih rumit. Orang-orang mengejar materi yang lebih besar, sementara di sini, sebungkus nasi saja sudah cukup untuk membuat mereka tersenyum.
Siang itu, Ardi melihat sendiri bagaimana desa Mandalika bergerak bersama. Para pria bekerja keras membuat tanggul darurat untuk menghalau air, sementara para wanita memasak makanan di dapur umum. Anak-anak yang lebih besar ikut membantu mengangkut barang-barang ringan, dan bahkan para lansia tidak tinggal diam—mereka merajut tikar dari daun pandan untuk digunakan di posko.
Saat istirahat sejenak di posko, Ardi duduk bersandar di dinding bambu sambil meneguk teh hangat. Pak Darto duduk di sebelahnya, menatap ke arah ladang yang kini tergenang air.
“Ardi, di kota kamu kerja apa, nak?” tanya Pak Darto tiba-tiba.
“Saya kerja di kantor, Pak. Bidang pemasaran,” jawab Ardi singkat.
Pak Darto mengangguk pelan, kemudian berkata, “Di sini, nggak ada kantor kayak di kota. Tapi kita semua punya tugas masing-masing. Kalau di kota, mungkin kamu mikir pekerjaan itu buat diri sendiri. Tapi di desa, kita kerja untuk orang lain juga. Beda rasa tanggung jawabnya.”
Ardi terdiam. Ia tahu Pak Darto tidak bermaksud merendahkan kehidupannya di kota, tetapi kata-katanya membuat Ardi merenung. Di kota, ia bekerja untuk mendapatkan penghasilan, untuk memenuhi ambisinya. Di sini, semua yang dilakukan warga punya tujuan yang lebih besar—untuk memastikan orang lain juga baik-baik saja.
Ketika sore tiba, hujan mulai mereda, tetapi air belum surut. Desa masih sibuk, dan Ardi menyadari bahwa rasa lelah yang ia rasakan tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan semangat warga desa yang tidak pernah pudar.
“Ardi, sini bantuin!” teriak Fira dari kejauhan.
Ardi segera berlari mendekat. Fira dan beberapa pria sedang memasang tali di sebuah perahu kayu kecil yang akan digunakan untuk mengangkut lansia ke tempat yang lebih aman. Ia ikut menarik tali itu dengan sekuat tenaga, meskipun tangannya sudah mulai terasa kaku karena dingin.
Setelah perahu berhasil dilepas, Fira menepuk pundaknya. “Kamu mulai terbiasa, ya. Nggak kelihatan kayak orang kota lagi.”
Ardi tertawa, meskipun tubuhnya hampir ambruk karena lelah. “Mungkin. Tapi aku masih jauh dari kalian semua. Kalian luar biasa.”
Fira menggeleng. “Nggak ada yang luar biasa di sini, Ardi. Kita cuma manusia biasa yang berusaha saling bantu. Itu aja.”
Kata-kata itu kembali menggema di benak Ardi. Malam itu, saat ia merebahkan diri di kamar kecil yang sudah disiapkan untuknya di rumah Fira, Ardi merenung. Apa yang sebenarnya ia cari selama ini? Hidup di kota memberinya banyak kemewahan, tetapi di sini, di Mandalika, ia menemukan sesuatu yang tidak pernah ia temukan sebelumnya: makna kebersamaan yang sesungguhnya.
Banjir belum surut, dan Ardi tahu bahwa perjuangan belum selesai. Tapi di tengah semua ini, ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Ia mulai melihat kehidupan sosial dari sudut pandang yang berbeda—sebuah pelajaran yang tak akan ia dapatkan di tempat lain.
Dan ia tahu, perjalanan ini baru saja dimulai.
Api yang Menghangatkan Jiwa
Malam itu, suara jangkrik bersaing dengan gemuruh air yang masih mengalir deras di beberapa sudut desa. Ardi duduk di depan api unggun kecil yang dinyalakan di halaman balai desa. Nyala api yang menari-nari menghangatkan tubuhnya yang kelelahan, tetapi pikirannya terus berkelana. Sekelilingnya, beberapa warga juga duduk, saling berbagi cerita untuk mengusir dingin dan menenangkan hati setelah hari yang melelahkan.
Fira datang membawa termos besar dan beberapa gelas logam. Wajahnya terlihat lelah, tetapi senyumnya tetap merekah. “Ardi, teh hangat lagi? Ini spesial, ada jahe,” katanya sambil menyodorkan gelas.
Ardi mengambilnya tanpa ragu. “Kamu sendiri nggak capek, Fir? Dari tadi muter terus.”
Fira duduk di sebelahnya, menuang teh untuk dirinya sendiri. “Capek sih, tapi nggak apa-apa. Kalau semua orang mikirin capek, siapa yang akan bantu? Lagi pula, aku suka begini. Kerasa lebih hidup.”
Ardi menghirup teh jahe itu, merasakan hangatnya mengalir di tenggorokannya. Ia memandangi Fira yang tampak begitu nyaman di tengah situasi yang menurutnya kacau. “Aku penasaran, Fir. Kamu nggak pernah pengin pindah ke kota? Hidup di tempat yang lebih nyaman?”
Fira mengangkat bahu sambil tersenyum tipis. “Kota memang menawarkan banyak hal, tapi aku nggak yakin itu cocok buat aku. Di sini, aku punya semuanya. Bukan soal uang atau fasilitas, tapi aku punya orang-orang yang selalu ada. Teman, keluarga, tetangga. Hidupku terasa lebih penuh di sini.”
Ardi merenung sejenak. Jawaban itu sederhana, tetapi mengandung kedalaman yang membuatnya berpikir. Ia teringat kehidupannya di kota—apartemen yang sunyi, jam kerja panjang, dan interaksi yang serba formal. Di sana, ia punya segalanya, tapi sering kali merasa ada yang kurang.
Di tengah percakapan mereka, suara Pak Darto tiba-tiba memecah keheningan. “Ardi, kamu bisa bantu sedikit lagi? Ada satu rumah di ujung desa yang harus kami cek. Takutnya, air mulai naik di sana.”
“Bisa, Pak. Sekarang?” tanya Ardi, meletakkan gelasnya.
Pak Darto mengangguk. “Sekarang, sebelum terlambat. Kamu ikut, Fira?”
Fira langsung bangkit. “Tentu.”
Mereka bertiga berjalan menuju rumah kecil di ujung desa yang dimaksud Pak Darto. Jalanan gelap dan licin, diterangi oleh senter yang dibawa oleh Pak Darto. Rumah itu milik seorang nenek bernama Mbok Sri, yang selama ini tinggal sendirian.
Sesampainya di sana, mereka menemukan Mbok Sri sedang duduk di atas dipannya, dengan air yang sudah mencapai lutut. Wajahnya tenang, seolah tidak terpengaruh oleh situasi yang mengancam itu.
“Mbok, ayo kita pindah ke posko. Airnya sudah tinggi,” kata Pak Darto dengan nada penuh perhatian.
Mbok Sri hanya tersenyum kecil. “Darto, aku sudah tua. Kalau harus pindah, aku malah bikin repot. Lebih baik aku di sini aja.”
Fira berlutut di depan Mbok Sri, memegang tangannya. “Mbok, kalau Mbok kenapa-kenapa, kami yang akan sedih. Kami nggak mau Mbok sendirian di sini. Ayo, Mbok. Kami bantu.”
Setelah bujukan yang panjang, akhirnya Mbok Sri setuju untuk dibawa ke posko. Ardi membantu menggendong nenek itu melewati jalan berlumpur, sementara Fira membawa barang-barang yang dianggap penting oleh Mbok Sri. Perjalanan itu tidak mudah, tetapi saat mereka tiba di posko, Ardi merasa lega.
“Terima kasih, ya, nak,” kata Mbok Sri sambil memegang tangan Ardi. “Kamu orang baik. Semoga hidupmu selalu diberkahi.”
Kata-kata itu menggetarkan hati Ardi. Ia hanya tersenyum kecil, tetapi dalam hatinya, ia merasa seperti menemukan sesuatu yang selama ini ia cari.
Malam semakin larut, dan Ardi kembali duduk di dekat api unggun. Pak Darto dan Fira bergabung dengannya. Kali ini, suasana lebih hening, hanya ditemani suara api yang berderak pelan.
“Pak Darto,” panggil Ardi setelah beberapa saat. “Kalau banjir ini selesai, apa yang biasanya dilakukan warga?”
Pak Darto menghela napas panjang. “Ya, mulai dari nol lagi. Bersihkan rumah, ladang, perbaiki apa yang rusak. Hidup terus berjalan, Ardi. Bencana itu cuma salah satu ujian.”
Fira menimpali. “Tapi kalau kami kerja sama, semua terasa lebih ringan. Desa ini sudah biasa menghadapi hal seperti ini. Bukan soal seberapa parah bencananya, tapi seberapa kuat kami bertahan bersama.”
Kata-kata itu membuat Ardi terdiam lagi. Selama ini, ia mengukur keberhasilan dari seberapa banyak yang bisa ia capai sendiri. Tapi di sini, keberhasilan diukur dari seberapa baik orang-orang bisa bertahan bersama.
Hujan mulai reda, dan bintang-bintang perlahan muncul di langit. Bagi Ardi, malam itu adalah malam yang berbeda. Ia merasa ada api yang menyala, bukan hanya di depan mereka, tetapi juga di dalam dirinya—sebuah kesadaran baru tentang makna kehidupan yang lebih luas dari sekadar dirinya sendiri.
Di tengah kegelapan malam, Ardi tersenyum kecil. Mandalika telah memberinya pelajaran berharga, dan ia tahu bahwa perjalanan ini belum selesai. Ada banyak hal yang masih harus ia pelajari, banyak hal yang masih harus ia lakukan.
Cahaya di Ujung Jalan
Pagi menjelang dengan langit yang bersih, seolah hujan semalam adalah kisah lama yang sudah berlalu. Matahari memancarkan sinarnya, menembus celah-celah dedaunan yang masih basah. Desa Mandalika terlihat seperti seorang pejuang yang memar, tapi tetap berdiri tegak.
Ardi bangun lebih awal dari biasanya, badannya sedikit pegal karena tidur di balai desa. Namun, ada semangat aneh yang menggerakkan tubuhnya untuk segera beraktivitas. Di halaman, ia melihat Fira sudah sibuk menyusun logistik yang tersisa.
“Pagi, Fir,” sapa Ardi sambil meregangkan tubuh.
Fira menoleh, tersenyum kecil. “Pagi juga. Kamu cepat bangun, ya. Biasanya orang kota lebih suka tidur lama, kan?”
Ardi tertawa. “Mungkin aku mulai ketularan kebiasaan orang desa.”
Fira melanjutkan pekerjaannya, tetapi Ardi tetap berdiri di sana, memperhatikan bagaimana setiap gerakan Fira tampak penuh tujuan. Ia merasa ada sesuatu yang harus ia katakan, tetapi belum tahu bagaimana memulainya.
Tidak lama kemudian, Pak Darto datang membawa selembar kertas dan pena. “Ardi, bisa bantu survei singkat? Kita mau buat daftar kebutuhan warga sebelum bantuan dari kabupaten datang.”
Ardi mengangguk. “Tentu, Pak. Saya siap.”
Dengan tugas di tangan, Ardi berjalan keliling desa, menyapa setiap keluarga yang ia temui. Setiap percakapan memberi pandangan baru tentang kehidupan di Mandalika. Ia mendengar cerita tentang tanaman yang gagal panen, ternak yang hilang, tetapi juga tentang harapan dan rencana untuk memulai kembali.
Ketika ia kembali ke balai desa, daftar kebutuhan warga sudah lengkap. Pak Darto menerima kertas itu dengan senyum lebar. “Kamu cepat belajar, Ardi. Kalau terus begini, bisa-bisa kami culik kamu jadi warga tetap di sini.”
Candaan itu membuat semua orang tertawa, tetapi di dalam hati Ardi, ada sebuah pertanyaan serius: mungkinkah Mandalika memang tempat di mana ia seharusnya berada?
Hari itu, beberapa bantuan dari kabupaten mulai berdatangan. Truk-truk besar membawa bahan makanan, selimut, dan obat-obatan. Warga Mandalika bekerja sama menurunkan barang-barang tersebut dengan cekatan. Ardi ikut membantu, meski peluh mulai membasahi wajahnya.
Saat istirahat siang, ia duduk di bawah pohon besar di dekat balai desa. Fira datang membawa nasi bungkus dan botol air.
“Capek?” tanya Fira, menyerahkan makanan itu.
“Capek, tapi puas,” jawab Ardi sambil membuka bungkus nasinya. “Aku nggak pernah ngerasain hal seperti ini di kota. Di sini, semua terasa lebih nyata.”
Fira memandangnya dengan mata berbinar. “Nyata, ya? Menarik dengar itu dari kamu. Apa yang kamu maksud?”
Ardi berhenti sejenak, berpikir. “Di kota, aku selalu dikejar target. Kerja, uang, prestasi. Tapi di sini, aku belajar sesuatu yang lebih sederhana tapi lebih dalam: bagaimana saling mendukung, bagaimana berbagi tanpa pamrih. Itu yang selama ini aku cari.”
Fira tersenyum lembut. “Kadang, apa yang kita cari sebenarnya sudah ada di depan kita. Kita cuma perlu waktu untuk menyadarinya.”
Percakapan itu menggantung di udara, tetapi bagi Ardi, itu seperti konfirmasi dari sesuatu yang telah ia rasakan sejak ia tiba di Mandalika.
Sore harinya, Ardi berdiri di tepi ladang yang mulai surut dari genangan air. Ia memandangi desa yang pelan-pelan kembali bangkit. Anak-anak sudah berlarian lagi, tawa mereka membelah udara. Warga mulai membereskan puing-puing dan mengeringkan perabotan mereka.
Pak Darto menghampirinya, membawa secangkir kopi hangat. “Ardi, besok kamu balik ke kota, ya?”
Ardi terkejut. “Kok tahu, Pak?”
Pak Darto tersenyum kecil. “Firasat. Lagipula, saya tahu kamu orang sibuk. Tapi saya harap, Mandalika meninggalkan kesan baik buat kamu.”
Ardi memegang cangkir itu erat-erat. “Pak, jujur, saya belum yakin apakah kota benar-benar tempat saya seharusnya berada.”
Pak Darto menepuk pundaknya dengan hangat. “Kamu punya pilihan, Ardi. Apapun yang kamu pilih nanti, ingatlah bahwa di mana pun kamu berada, hidup adalah soal memberi arti, bukan soal di mana kita tinggal.”
Kata-kata itu melekat di hati Ardi. Ia tahu ia harus kembali ke kota, setidaknya untuk menyelesaikan hal-hal yang belum selesai di sana. Tetapi Mandalika telah memberinya arah baru, sebuah cara pandang yang tidak pernah ia miliki sebelumnya.
Keesokan harinya, Ardi berdiri di depan bus yang akan membawanya ke kota. Fira ada di sana, berdiri dengan tangan yang penuh tanah karena baru saja membantu warga di ladang.
“Kamu pasti balik lagi ke sini, kan?” tanya Fira sambil tersenyum.
Ardi mengangguk pelan. “Pasti, Fir. Aku janji.”
Bus mulai berjalan, meninggalkan jalanan desa yang penuh dengan cerita. Dari jendela, Ardi melihat warga Mandalika melambaikan tangan mereka, termasuk Fira yang berdiri paling depan.
Perjalanan kembali ke kota terasa berbeda. Ardi tahu, ia tidak akan menjadi orang yang sama lagi. Mandalika telah mengubahnya, mengajarinya arti kehidupan sosial yang sebenarnya: hidup berdampingan, saling mendukung, dan menemukan kebahagiaan dalam hal-hal sederhana.
Dan dalam hatinya, ia tahu, suatu hari ia akan kembali. Bukan sebagai tamu, tetapi sebagai bagian dari Mandalika.
Dan akhirnya, Ardi sadar bahwa hidup bukan soal seberapa cepat kita berlari, tapi tentang bagaimana kita berjalan berdampingan dengan orang-orang di sekitar kita. Mungkin kita nggak selalu tahu kemana arah hidup ini, tapi kadang, yang kita butuhkan cuma sedikit waktu untuk berhenti, melihat, dan merasakan.
Di Desa Mandalika, Ardi menemukan jawabannya. Semoga cerita ini juga bisa jadi pengingat buat kita semua, bahwa kebahagiaan itu bisa ditemukan dalam hal-hal kecil, dan terkadang, kita cuma perlu memberi diri kita kesempatan untuk melihatnya.