Daftar Isi
Kehidupan di desa nggak selalu sesederhana yang dibayangkan, lho. Kalau kamu kira anak-anak desa cuma diem di rumah, main petak umpet, atau bantuin orangtua di sawah, coba deh lihat dari sisi yang berbeda.
Di desa Kertawangi, ada cerita tentang sekelompok remaja yang nggak cuma mikirin sekolah dan main. Mereka punya mimpi besar yang nggak kalah keren dari anak kota. Mau tahu gimana mereka bisa mengubah desa mereka jadi tempat yang lebih hidup? Yuk, simak cerita tentang semangat, perubahan, dan harapan yang tumbuh dari anak-anak muda yang nggak pernah takut untuk bermimpi!
Kehidupan Remaja Desa
Langit Pagi di Kertawangi
Pagi di Kertawangi selalu terasa tenang. Matahari baru saja muncul di balik perbukitan, mengirimkan cahaya lembut yang menyinari sawah-sawah hijau. Angin yang berhembus membawa aroma segar dari tanah basah dan dedaunan, membuat udara desa ini selalu terasa berbeda—lebih segar, lebih hidup. Saat kebanyakan orang masih terlelap, suasana pagi sudah mulai sibuk. Suara ayam berkokok bersahutan, anjing-anjing kecil menggonggong, dan bau nasi goreng ibu-ibu yang mulai memasak memenuhi udara.
Di tengah-tengah desa yang begitu damai ini, ada tiga remaja yang tak pernah kehabisan energi. Armand, Nira, dan Widi adalah nama yang tak asing di kalangan warga Kertawangi. Mereka tak pernah absen dalam setiap kegiatan desa, apalagi kalau ada acara perlombaan. Dan hari ini, mereka semua bersiap menghadapi hari yang penuh tantangan.
Armand, yang biasanya terlihat di tengah sawah menggembala kambing, pagi itu duduk di bawah pohon randu, menatap langit yang perlahan mengubah warnanya. Ada semangat baru di matanya, meski tampak ragu. Buku catatan kecil dan pensil berada di dekatnya. Untuk pertama kalinya, ia harus menulis sebuah puisi—sesuatu yang sangat asing baginya.
“Nira pasti nggak tahu kalau aku bisa bikin puisi,” gumam Armand sambil membuka buku catatannya. Ia mengusap wajahnya, mencoba menenangkan diri. Kata-kata itu datang perlahan, mengalir meski ia tak yakin. Langit pagi itu membuatnya berpikir tentang banyak hal—tentang desanya, tentang sawah, dan tentang alam yang selalu setia ada di sekelilingnya.
“Armand!” teriak Nira dari kejauhan, menyadarkan Armand dari lamunannya.
Armand menoleh. Nira, dengan rambut panjang yang tergerai, mengenakan kaos warna cerah dan celana pendek yang cukup nyaman untuk berlari, berjalan menuju Armand dengan senyum lebar.
“Kamu nggak serius bikin puisi, kan?” tanya Nira, memiringkan kepalanya dan duduk di samping Armand. “Ayo dong, kamu pasti bisa. Alam itu inspirasi terbaik, kamu kan sering banget lihat sawah, pohon, sungai, semua itu bisa jadi puisi!”
Armand tertawa pelan. “Aku sih lebih nyaman ngegembala kambing daripada bikin puisi, Nira.” Ia mengambil pensil dan mulai menulis lagi. “Lihat, aku udah mulai. Tapi nggak tahu deh, hasilnya kayak apa.”
Nira membaca sekilas tulisan Armand yang masih setengah jadi. “Ini dia! Biar aku bantu sedikit, ya,” kata Nira, lalu mulai memberikan saran. Mereka duduk bersama, berbicara tentang alam dan segala sesuatu yang sederhana di desa mereka, membuat Armand mulai merasa lebih nyaman dengan ide menulis puisi.
Beberapa saat kemudian, Widi datang mengayuh sepedanya dengan cepat. Seperti biasa, Widi tidak pernah bisa diam. Ia memulai percakapan dengan penuh semangat, seolah sudah menunggu lama. “Eh, kalian tahu nggak, minggu depan ada lomba di balai desa! Ada lomba panjat pinang, balap karung, dan lomba buat remaja juga. Seru banget!”
Armand dan Nira saling pandang. Widi selalu menjadi sumber energi mereka—selalu bersemangat dan penuh ide.
“Lomba? Waduh, aku kayaknya bakal kalah, nih,” Armand berkata dengan nada santai, meskipun pikirannya mulai tertarik.
“Yang penting ikut dulu. Seru kok, nggak selalu harus menang,” jawab Widi, menepuk bahu Armand. “Kita kan bisa ikutan bareng-bareng. Aku jadi ketua tim panjat pinang, kalian bisa ikut juga! Kalian ikut lomba lain, ya?”
Nira, yang biasanya lebih suka menulis di bawah pohon atau menggambar di pinggir sungai, mendengarkan dengan seksama. “Aku mau ikut lomba melukis. Desa ini indah banget, bisa jadi banyak ide buat lukisan,” katanya dengan penuh semangat.
Armand mengangguk pelan, meski sedikit ragu. “Kalau aku sih… ya, ikut lomba puisi aja kali ya. Tapi, aku nggak yakin bisa menang.”
“Yang penting ikut aja dulu!” Widi berkata sambil tersenyum lebar. “Nggak usah mikirin menang atau kalah. Yang penting kita bisa berkarya, bisa kasih yang terbaik. Lagi pula, semua orang di desa bakal datang, lho. Jadi, nggak cuma lombanya yang seru, tapi juga kesempatan untuk tampil di depan semua orang.”
Mata Armand mulai berbinar. Widi selalu bisa membuat apapun terasa lebih menyenangkan. Nira juga terlihat antusias, matanya berbinar memikirkan lukisan yang bisa ia buat.
“Kamu tahu, Mand,” Nira berkata pelan, “puisi itu bukan cuma tentang kata-kata yang indah. Tapi tentang bagaimana kita bisa merasakan sesuatu yang bahkan orang lain nggak bisa lihat atau rasakan. Alam, desa ini, semua yang ada di sini… semuanya punya cerita. Coba deh, kamu lihat sekelilingmu dengan cara yang berbeda.”
Armand terdiam sejenak, menatap langit yang semakin cerah. Hatinya mulai merasa sedikit lebih ringan, seperti ada yang mengalir begitu saja, menyatu dengan udara segar pagi itu. “Oke deh, aku coba lagi.”
Hari itu, mereka bertiga sepakat untuk ikut lomba, meski tidak ada yang tahu bagaimana akhirnya nanti. Yang mereka tahu, hari itu adalah awal dari sebuah perjalanan baru yang penuh warna di tengah keindahan sederhana desa mereka.
Seiring matahari semakin tinggi, mereka bertiga pulang ke rumah masing-masing untuk mempersiapkan diri. Widi sudah merencanakan strategi tim panjat pinang, Nira mulai menyusun sketsa untuk lukisannya, dan Armand kembali duduk di bawah pohon randu, kali ini dengan keyakinan lebih untuk menulis puisinya. Desa mereka yang tenang ini, dengan udara segar dan suara alam yang menenangkan, memberi inspirasi bagi setiap langkah yang mereka ambil.
Tapi, semua itu hanyalah awal dari cerita yang akan lebih seru di bab selanjutnya.
Lomba di Balai Desa
Minggu itu tiba dengan cepat, dan seluruh desa Kertawangi sudah dipenuhi oleh perasaan antusias. Balai desa yang biasanya sunyi kini penuh dengan tenda-tenda berwarna cerah, meja-meja lomba, dan suara riuh para pengunjung yang datang dari berbagai penjuru desa. Bahkan ibu-ibu yang biasanya sibuk di rumah, tampaknya rela meninggalkan pekerjaan mereka untuk meramaikan acara tahunan ini.
Armand, Nira, dan Widi sudah berada di tengah keramaian, masing-masing dengan persiapan mereka. Armand, meskipun masih merasa sedikit gugup, sudah membawa puisi yang ia tulis di bawah pohon randu minggu lalu. Widi, yang terkenal dengan semangatnya, memimpin timnya dalam lomba panjat pinang, sementara Nira sudah mempersiapkan kanvas dan kuasnya untuk lomba melukis.
“Kita pasti bisa menang,” Widi berkata dengan penuh semangat, melirik Armand dan Nira yang tampak lebih tenang. “Kalian siap, kan?”
“Siap sih, cuma nggak yakin bisa menang,” jawab Armand sambil mengusap keningnya yang sedikit berkeringat. “Tapi aku akan coba yang terbaik.”
“Sama kok, aku juga nggak tahu bakal gimana,” Nira ikut menimpali sambil memegang kuas dan kanvas besar yang sudah ia siapkan. “Yang penting, kita senang ikutnya.”
Widi memandang mereka dengan mata penuh keyakinan. “Yang penting itu bukan menang, tapi berani mencoba. Kita kan bisa belajar banyak dari sini.” Dia memberi senyum lebar sebelum berlari menuju tenda perlombaan panjat pinang, di mana ia harus segera bergabung dengan timnya.
Armand dan Nira melangkah perlahan menuju tempat masing-masing. Armand menuju panggung puisi dengan hati yang berdebar, sementara Nira menuju tenda lomba melukis, mencari spot yang paling nyaman untuk menempatkan kanvasnya. Suara gemuruh orang-orang sudah mulai terdengar, dan para peserta lomba pun sudah bersiap di tempat masing-masing.
Lomba pertama dimulai, yaitu lomba puisi. Armand berdiri di atas panggung dengan kertas puisi di tangannya, merasa seolah-olah seluruh perhatian penonton tertuju padanya. Ia menatap kertas itu sejenak, lalu menarik napas panjang sebelum mulai membacakan puisinya dengan suara yang agak gemetar.
“Desaku, tanah kelahiran yang penuh cerita,
Di bawah langit biru yang selalu setia.
Sungai yang mengalir, membawa kenangan,
Menyegarkan jiwa, menenangkan rindu yang tak pernah hilang.”
Ia melanjutkan membaca, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa lebih mudah setelah ia mengingat kembali momen-momen yang ia alami di desa ini—waktu-waktu yang ia habiskan di sawah bersama kambingnya, waktu-waktu yang penuh dengan keheningan namun menyimpan kedamaian yang tak ternilai.
Saat ia selesai, ada tepuk tangan dari penonton. Armand merasa sedikit lega, meskipun hatinya masih berdebar. Tidak ada yang lebih memuaskan bagi Armand selain mengetahui bahwa ia sudah mencoba memberikan yang terbaik.
Sementara itu, Nira sudah tenggelam dalam dunia lukisannya. Ia memilih menggambar pemandangan desa Kertawangi yang luas, dengan hamparan sawah yang berwarna hijau muda, langit biru yang membentang, dan bukit-bukit kecil yang mengelilingi desa. Setiap detil ia lukis dengan hati-hati, berusaha menangkap suasana damai yang selalu membuatnya merasa tenang.
“Ini bukan soal menang, ini soal bagaimana aku bisa menunjukkan perasaanku lewat lukisan ini,” pikir Nira sambil menambahkan sentuhan terakhir pada lukisannya. Ia tersenyum puas melihat hasilnya, meski tahu masih ada banyak pesaing yang juga luar biasa.
Lomba panjat pinang sudah memasuki babak final. Widi memimpin timnya dengan semangat tinggi, mengatur posisi para peserta agar bisa mendaki pinang secepat mungkin. Ia terlihat sangat serius, meskipun di matanya selalu ada kilatan kegembiraan. Tim Widi sudah sangat dekat dengan puncak, dan meskipun tim lain juga hebat, ada sesuatu tentang semangat Widi yang membuat mereka semakin percaya diri.
“Semangat, guys! Kita pasti bisa!” teriak Widi, memberi semangat kepada teman-temannya yang sudah mulai kelelahan.
Dengan kekuatan terakhir, mereka berhasil mencapai puncak pinang, dan tepuk tangan pun bergema di balai desa. Widi melonjak kegirangan, bersama timnya yang juga tak kalah bahagianya. Mereka berhasil meraih juara pertama untuk lomba panjat pinang, dan Widi merasa bangga melihat semua usaha dan strategi mereka membuahkan hasil.
Setelah perlombaan selesai, Armand, Nira, dan Widi berkumpul di bawah pohon besar, saling bercerita tentang pengalaman mereka. Meski belum tahu siapa yang menang atau kalah, mereka merasa senang sudah berpartisipasi.
“Gimana, Mand? Kamu ngerasa puas nggak dengan puisinya?” tanya Nira, sedikit penasaran.
Armand mengangkat bahu. “Aku nggak tahu sih. Yang penting, aku sudah coba. Nggak nyangka bisa berdiri di atas panggung kayak gitu.”
“Gimana lukisanmu, Nira?” Widi menambahkan, tersenyum lebar.
“Kayaknya bisa menang deh,” jawab Nira sambil tertawa kecil. “Tapi nggak masalah kalau nggak menang. Aku sudah senang bisa menggambar semua keindahan desa ini.”
Hari itu berakhir dengan kebahagiaan sederhana. Mereka mungkin belum tahu siapa yang akan keluar sebagai pemenang, tapi yang jelas, mereka sudah mendapatkan pengalaman berharga dan kenangan yang akan selalu dikenang. Saat matahari mulai tenggelam di balik perbukitan, mereka berjanji untuk terus mendukung satu sama lain, apapun hasil lomba nanti.
Perubahan yang Tak Terduga
Minggu setelah lomba, suasana di desa Kertawangi kembali seperti semula. Aktivitas sehari-hari berjalan dengan tenang. Namun, ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang tak kasat mata, namun terasa di antara Armand, Nira, dan Widi. Mungkin karena keberhasilan mereka dalam lomba, atau mungkin karena pengalaman baru yang mereka dapatkan. Yang jelas, mereka mulai merasakan hal-hal yang lebih dalam tentang diri mereka sendiri dan hubungan mereka dengan desa ini.
Hari itu, setelah pulang dari sekolah, Armand duduk di bawah pohon randu yang biasa ia tempati untuk menulis puisi. Ia membawa buku catatannya, tetapi kali ini ia merasa enggan untuk menulis. Matanya menatap jauh ke arah sawah yang mulai menguning. Tiba-tiba, ponselnya berbunyi, memecah kesunyian.
“Armand, lagi ngapain?” Teks dari Widi muncul di layar.
“Di bawah pohon randu, lagi mikir aja,” jawab Armand dengan cepat.
“Nira ngajakin ketemu. Kita harus ngobrol tentang sesuatu,” balas Widi.
“Ngobrol tentang apa?” Armand penasaran.
“Nggak tahu juga, katanya sih penting.”
Armand mengangkat bahu, lalu memutuskan untuk pergi. Mungkin ada sesuatu yang ingin dibicarakan Nira. Dengan cepat, ia beranjak menuju rumah Nira, yang terletak di pinggir desa.
Sesampainya di sana, Nira sudah menunggu di depan rumahnya. Widi sudah duduk di dekatnya, tampaknya tengah menunggu kedatangan Armand.
“Nira, ada apa?” Armand bertanya sambil duduk di dekat mereka.
“Jadi gini,” Nira memulai dengan nada sedikit serius. “Aku tahu kita baru saja ikut lomba dan semuanya terasa baik-baik saja. Tapi, aku merasa ada yang berubah, dan aku nggak tahu kenapa. Kamu merasa begitu juga nggak?”
Armand mengernyitkan dahi. “Maksudnya apa, Nira? Aku sih nggak merasa ada yang aneh.”
Widi menimpali. “Aku juga merasa begitu. Setiap kali aku mikirin lomba itu, aku merasa kayak ada yang lebih dari sekedar menang atau kalah. Entah kenapa, aku merasa lebih dekat sama kalian berdua. Seperti ada hal yang mengikat kita.”
Nira mengangguk pelan. “Iya, aku merasa kayak gitu. Rasanya kita nggak cuma sekedar teman yang ikut lomba bareng, tapi ada sesuatu yang lebih kuat dari itu. Kayaknya kita semua harus mulai mikir tentang masa depan desa ini.”
“Jadi maksudmu, kita harus ngapain?” Armand bertanya, merasa sedikit bingung.
Nira menghela napas panjang. “Maksudku, desa ini harus berkembang. Kita semua sering ngomong soal hal-hal kecil yang bisa kita ubah di sini, dan mungkin ini saatnya untuk melakukannya. Aku nggak tahu sih kalau kalian setuju, tapi… menurutku, kita bisa mulai dengan membuka kesempatan bagi teman-teman lain untuk berkreasi, kayak kita waktu lomba itu.”
Widi menatap Nira, lalu mengangguk. “Aku setuju. Kita harus cari cara supaya lebih banyak orang tahu potensi desa ini, bukan cuma soal pertanian dan perkebunan. Aku yakin, kita bisa bikin desa ini lebih dikenal.”
Armand terdiam sejenak, mencerna kata-kata Nira dan Widi. Sesuatu dalam dirinya mulai terasa terbangun, semacam semangat baru yang tiba-tiba muncul. Ia tahu, jika ada yang bisa merubah desa ini, itu bukan hanya petani atau orang-orang yang sudah lama tinggal di sini. Itu adalah mereka, para remaja yang baru mulai memahami kekuatan mereka sendiri.
“Jadi, apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Armand akhirnya, matahari mulai terbenam di belakang mereka, memberikan nuansa hangat di sepanjang jalan setapak.
Nira tersenyum lebar. “Aku punya ide. Kita mulai dengan hal kecil dulu. Aku akan mengadakan pameran seni di balai desa. Lukisan-lukisan aku dan mungkin kalian juga bisa ikut. Lalu, Widi bisa ajarin mereka tentang lomba atau olahraga. Armand, kamu bisa bikin semacam acara puisi atau mungkin karya tulis lain.”
Widi menepuk tangan, tanda setuju. “Itu ide bagus, Nira. Dengan cara ini, kita bisa memperkenalkan hal-hal yang mungkin belum banyak diketahui orang. Setidaknya, ada sesuatu yang bisa orang-orang nikmati selain rutinitas sehari-hari.”
“Aku bisa bikin beberapa puisi baru,” Armand akhirnya setuju. “Aku nggak tahu apakah mereka suka atau nggak, tapi aku merasa ini saat yang tepat untuk coba berbagi. Lagipula, kenapa nggak?”
“Bagus! Kita mulai sekarang!” Nira berkata penuh semangat.
Ketiga sahabat itu pun berencana untuk mengatur pertemuan pertama mereka pada akhir pekan mendatang. Mereka memulai dengan semangat yang sama sekali baru, bukan hanya untuk diri mereka sendiri, tapi juga untuk desa yang mereka cintai.
Hari itu, setelah beberapa jam penuh diskusi dan perencanaan, mereka berjalan pulang masing-masing dengan perasaan yang penuh harapan. Sesuatu besar sedang menunggu mereka. Namun, mereka tidak tahu bahwa perjalanan ini akan membawa mereka pada perubahan yang jauh lebih besar daripada yang mereka bayangkan. Keberanian mereka untuk bermimpi dan bertindak, akan mengubah desa Kertawangi selamanya.
Harapan yang Terwujud
Waktu berlalu cepat, dan setelah berhari-hari merencanakan, akhirnya saat yang mereka tunggu-tunggu tiba. Hari Sabtu itu, Balai Desa Kertawangi sudah tampak berbeda. Beberapa meja pameran seni berdiri dengan rapi, menggantungkan lukisan-lukisan karya Nira dan teman-temannya. Di sudut lain, ada ruang untuk pembacaan puisi yang disiapkan oleh Armand, serta panggung kecil untuk lomba olahraga yang dipimpin Widi. Seluruh ruangan dipenuhi dengan warna-warni dan semangat yang luar biasa.
“Armand, lukisanku bagus kan?” tanya Nira, matanya berbinar saat memandang karya-karyanya yang sudah terpasang di dinding balai desa.
“Bagus, Nira. Semua orang pasti akan suka,” jawab Armand sambil menatap lukisan-lukisan itu dengan kagum. “Aku harap puisi-puisi aku bisa jadi lebih hidup seperti ini.”
Widi yang sedang mengecek perlengkapan lomba panjat pinang tersenyum lebar saat melihat kesiapan acara mereka. “Nira, Armand, semua sudah siap! Ini akan jadi acara yang luar biasa.”
Hari itu dimulai dengan pembukaan yang sederhana namun penuh semangat. Kepala desa membuka acara dengan pidato singkat, menyambut baik inisiatif anak-anak muda desa yang berani berkarya dan memperkenalkan banyak hal baru. “Ini adalah langkah kecil untuk kemajuan desa kita,” katanya sambil tersenyum bangga.
Setelah pidato, acara pun dimulai. Nira membuka pameran seni dengan penuh semangat, mengajak warga untuk melihat lebih dekat lukisan-lukisannya yang bercerita tentang desa Kertawangi—sawah hijau, bukit-bukit kecil, serta kehidupan yang sederhana namun penuh makna. Lukisan-lukisan itu membuat banyak orang terkesima, bahkan beberapa orang yang sebelumnya jarang memperhatikan seni, kini mulai tertarik.
Sementara itu, Armand dengan tenang naik ke panggung untuk membacakan puisi-puisinya. Awalnya ia merasa sedikit cemas, tetapi ketika ia melihat wajah-wajah penuh perhatian dari warga desa, rasa cemas itu mulai hilang. Ia mulai berbicara, menyusun kata demi kata, mengalirkan perasaan dan kenangan tentang desa ini ke dalam setiap bait puisi yang ia bacakan.
“Desaku bukan kota yang ramai,
Tapi di sini aku belajar makna damai.
Setiap langkah yang kutapaki,
Menghantarkan aku pada cinta yang sejati.”
Tepuk tangan pun meramaikan ruang balai desa. Armand tersenyum sendiri, merasa puas dengan penampilannya. “Ini lebih dari sekadar puisi,” pikirnya. “Ini adalah suara hati yang akhirnya bisa didengar.”
Setelah itu, lomba olahraga pun dimulai. Widi, dengan energi tak terbendung, memimpin timnya untuk berlomba panjat pinang. Warga desa yang hadir ikut bersorak, memberi semangat bagi para peserta. Teriakan penuh semangat dari Widi dan teman-temannya menambah semarak acara.
Seluruh hari itu terasa seperti pesta bagi Armand, Nira, dan Widi. Mereka melihat perubahan kecil yang mereka buat mulai memberikan dampak yang besar bagi desa ini. Banyak orang yang datang, bukan hanya untuk melihat karya seni atau menikmati lomba, tapi juga untuk merasakan semangat yang ditawarkan oleh anak-anak muda ini. Tak ada lagi yang merasa terasing, tak ada lagi yang merasa bahwa desa ini hanya bisa hidup dengan cara lama. Semua orang merasakan bahwa desa ini bisa lebih.
Menjelang sore, setelah acara perlahan berakhir, mereka berkumpul di bawah pohon randu yang biasa mereka singgahi. Wajah mereka penuh dengan kebahagiaan dan kepuasan.
“Kayaknya desa kita jadi lebih hidup ya,” kata Widi, sambil duduk di rerumputan. “Aku nggak nyangka kalau orang-orang bisa begitu antusias.”
Nira mengangguk. “Iya, aku juga nggak nyangka akan segini banyak yang datang. Ini luar biasa.”
Armand tersenyum, merasakan sesuatu yang besar baru saja terjadi. “Aku nggak cuma bangga karena kita berhasil bikin acara ini, tapi lebih karena kita bisa melihat desa kita dengan cara yang berbeda. Desa ini bukan cuma tempat tinggal, tapi tempat untuk tumbuh dan bermimpi.”
Matahari mulai terbenam, memancarkan cahaya oranye yang indah di atas desa. Mereka duduk bersama, saling bercerita tentang masa depan dan apa yang bisa mereka lakukan selanjutnya. Mungkin ini baru permulaan, tapi mereka sudah tahu satu hal: mereka tidak akan berhenti di sini. Mereka akan terus berjuang untuk membawa desa ini lebih maju, lebih berwarna, lebih hidup.
Keberanian mereka untuk beraksi, untuk menciptakan perubahan, telah menunjukkan bahwa bahkan dari tempat yang paling sederhana sekalipun, harapan dapat tumbuh dan berkembang. Dan untuk pertama kalinya, mereka merasa bahwa desa Kertawangi adalah tempat di mana mimpi-mimpi mereka bisa terwujud.
Desa ini, yang dulunya terasa begitu sederhana dan jauh dari kemajuan, kini memiliki semangat baru. Semangat yang dibawa oleh anak-anak muda yang percaya bahwa mereka bisa membuat perbedaan. Dan perjalanan ini baru saja dimulai.
Jadi, di balik kehidupan sederhana di desa, ada banyak cerita yang nggak kalah seru dan penuh harapan. Seperti yang ditunjukkan oleh Nira, Armand, dan Widi, nggak ada yang nggak mungkin kalau kita berani bermimpi dan berusaha.
Mungkin desa Kertawangi terlihat biasa saja, tapi bagi mereka, tempat ini adalah sumber inspirasi dan perubahan. Semoga cerita ini bisa jadi pengingat, bahwa perubahan bisa dimulai dari hal-hal kecil, dan kadang, tempat terjauh dari keramaian justru jadi tempat tumbuhnya mimpi-mimpi besar.