Daftar Isi
Siapa sangka, kunjungan ke teman yang sakit bisa jadi ajang petualangan paling konyol dan penuh tawa? Di cerpen ini, kita bakal ikutan seru-seruan bareng Bima dan gengnya, yang bertekad buat kabur dari rumah sakit dengan rencana yang super absurd. Siapin diri kamu untuk ngakak bareng dan ngerasain betapa berartinya persahabatan dalam situasi terjepit!
Misi Konyol Kabur dari Rumah Sakit
Misi Penyembuhan Yang Gagal Total
Bima tergeletak di ranjang rumah sakit dengan ekspresi menderita. Tangannya digips, kakinya penuh perban, dan kepalanya dibalut perban tebal seperti seorang prajurit yang baru pulang dari medan perang. Tapi sebenarnya, dia hanya gagal melakukan aksi parkour… dari atas kulkas.
Di depan kamarnya, lima orang berdiri membawa barang-barang yang entah berguna atau tidak. Ada Ziko dengan kantong plastik berisi camilan, Arka membawa balon warna-warni dengan tulisan “Cepet Sembuh, Bro!”, Naya membawa bunga yang sudah agak layu, Timo dengan boneka gajah raksasa yang entah dapat dari mana, dan satu lagi… aku, yang membawa tas berisi segala kemungkinan untuk menghibur seorang pasien bosan.
“Jadi, siapa yang mau masuk duluan?” Ziko menatap ke sekeliling, berharap ada yang mau jadi pion pertama.
“Ya masuk bareng lah, kenapa kayak mau nembak gebetan?” Arka menghela napas.
Naya mengetuk pintu pelan, lalu membukanya. Dan di sanalah Bima, menatap mereka dengan wajah lelah sekaligus curiga.
“Kalian mau jenguk atau mau bikin gue makin stres?” tanyanya dengan suara parau.
“Kita jenguk dengan penuh kasih sayang,” jawab Timo sambil menaruh boneka gajah di samping Bima. “Nih, buat temen tidur.”
Bima menatap boneka itu seakan melihat sesuatu yang lebih menakutkan dari dokter yang membawa suntikan. “Serius, lo?”
Timo mengangguk dengan bangga. “Gue sampe rebutan sama anak kecil buat dapetin itu.”
Bima menatap boneka gajah besar itu dengan tatapan kosong. Lalu matanya beralih ke tangan Arka. “Lo bawa apaan?”
“Balon.”
Bima membaca tulisan di balon itu, lalu menghela napas panjang. “Cepet sembuh, bro? Ini kayaknya lebih cocok buat korban kecelakaan tabrak lari daripada korban kebodohan sendiri.”
Tawa langsung meledak di dalam ruangan.
“Ngomong-ngomong, lo kenapa bisa kayak gini?” tanya Ziko, masih menahan tawa.
Bima merengut. “Gue cuma mau ngambil kecap di atas kulkas.”
Dan seperti déjà vu, ruangan itu kembali diisi suara tawa yang lebih heboh dari sebelumnya.
“Kecap?” Arka nyaris terjatuh ke lantai karena tertawa terlalu keras. “Jadi lo bukannya loncat-loncat ekstrem di gedung tinggi, tapi cuma mau nyelamatin kecap?”
“Lo pikir gue nggak punya martabat?” gerutu Bima. “Gue pengen cobain trik lompat dari kursi ke kulkas, terus turun lagi. Gue udah latihan, tapi…”
Naya menggeleng. “Dan hasilnya?”
Bima menunjuk dirinya sendiri. “Ya beginilah.”
Ziko memukul dahinya sendiri. “Bro, lo bisa mati konyol kalau gini caranya.”
“Tapi gue nggak mati,” balas Bima cepat.
Timo menatapnya dengan ekspresi prihatin yang dibuat-buat. “Tapi martabat lo yang mati.”
Gelak tawa kembali memenuhi ruangan. Bima mendesah keras, mencoba mengabaikan mereka.
Setelah beberapa menit, suasana akhirnya mulai tenang. Naya, yang selalu lebih bertanggung jawab, mengambil botol air mineral dan menyerahkannya ke Bima.
“Nih, minum dulu.”
Bima melirik botol itu, lalu mengangkat tangannya yang digips. “Gimana caranya? Pakai telekinesis?”
“Oh, iya.” Naya baru sadar, lalu buru-buru membuka tutup botol dan menyodorkan sedotan.
Arka mengamati Bima minum dengan ekspresi penuh iba. “Gila, lo beneran nggak bisa gerak, ya?”
Bima menatapnya tajam. “Apa lo pikir gue sengaja biar dapet perhatian?”
Ziko menyeringai. “Nggak ada yang bakal perhatian sama lo kalau lo cedera gara-gara kecap.”
Timo mengangguk penuh keyakinan. “Benar. Ini beda dengan ‘cedera akibat menyelamatkan kucing di pohon’ atau ‘jatuh dari motor demi menghindari anak kecil’. Lo jatuh dari kulkas demi kecap. Ini… ini sungguh tidak heroik.”
Bima menutup matanya, seolah ingin menghilang dari dunia.
Naya mencoba mengganti topik. “Ya udah, yang penting sekarang lo udah dirawat. Ada yang bisa kita bantu?”
“Lo semua bisa mulai dengan diem dan nggak bikin gue malu lagi.”
“Sulit,” jawab Ziko cepat.
Suasana kembali santai. Mereka mulai membicarakan hal-hal lain yang nggak ada hubungannya dengan kecap, seperti rumor sekolah, guru killer, sampai rencana liburan yang sepertinya bakal batal gara-gara salah satu dari mereka kini harus menghabiskan waktu di rumah sakit.
Sampai tiba-tiba, perut Timo berbunyi keras. Semua menoleh padanya.
“Eh, gue laper,” katanya santai.
Mereka semua lalu menatap meja kecil di samping ranjang Bima. Ada sebungkus roti dan beberapa camilan yang sepertinya sumbangan dari pihak keluarga.
“Eh, bisa buat cemilan, tuh,” kata Ziko, mulai menjulurkan tangan ke arah roti.
Bima menatapnya dengan tatapan maut. “Jangan harap! Itu buat gue!”
“Tapi lo kan susah makan sendiri,” ujar Arka dengan wajah penuh kepolosan pura-pura.
Bima menggeram. “Gue rela kelaparan daripada kalian yang makan.”
Perdebatan kecil terjadi, hingga akhirnya mereka semua menyerah dan memilih memesan makanan online. Bima menatap mereka dengan penuh kecurigaan saat mereka sibuk memilih menu di aplikasi.
Dan ketika makanan tiba, mereka semua makan dengan lahap di depan Bima, yang hanya bisa menonton dengan ekspresi penuh penderitaan.
“Penghianat,” gerutunya pelan.
Dan seperti biasa, mereka tertawa lagi, tak peduli dengan wajah kesal Bima yang kini lebih mirip seorang tahanan yang dikhianati sahabatnya sendiri.
Misi menjenguk teman sakit pun resmi gagal total. Alih-alih memberikan hiburan dan dukungan moral, mereka malah berhasil membuat Bima semakin mempertanyakan eksistensinya di dunia.
Tapi di balik semua kekonyolan itu, ada satu hal yang pasti. Meski mereka sering meledek dan mengganggu, mereka adalah sahabat yang selalu ada di saat Bima butuh.
Walaupun caranya… agak menyebalkan.
Parkour Dari Kulkas
Bima terbangun keesokan paginya dengan perasaan campur aduk. Semalam, ia tertidur dalam keadaan lapar setelah dikhianati oleh teman-temannya sendiri yang dengan tega menyantap makanan di depan matanya.
Ia menoleh ke samping dan menemukan boneka gajah raksasa yang diberikan Timo masih setia menemaninya. Dengan sedikit usaha, Bima menendang boneka itu hingga jatuh ke lantai. “Nggak berguna,” gumamnya.
Belum sempat ia melanjutkan keluhan dalam hati, pintu kamarnya kembali terbuka, dan—seperti mimpi buruk yang kembali terjadi—sekelompok manusia menyebalkan itu masuk lagi dengan wajah penuh semangat.
“Selamat pagi, korban kecap!” sapa Ziko ceria.
Bima mendesah. “Gue udah bilang, berhenti ngomongin kecap!”
“Tapi kita belum puas,” sahut Arka sambil menjatuhkan diri ke sofa kecil di pojokan. “Kita masih belum dapet detail yang jelas. Lo jatuhnya gimana, sih?”
Bima menatap mereka dengan tajam. “Buat apa kalian tau?”
Timo berdeham, lalu mengeluarkan ponsel dan mulai merekam. “Baiklah, saudara-saudara. Hari ini kita akan mendengar kisah heroik dari seseorang yang gagal menjadi ninja.”
“Gue injek lo pake gips, sumpah,” ancam Bima.
“Coba aja, gue bakal rekam,” timpal Timo tanpa rasa takut.
Bima mendesah panjang. Mau tidak mau, ia akhirnya menceritakan kejadian naas itu.
Malam itu, Bima baru saja selesai makan mie instan. Seperti biasa, ia merasa makanannya kurang sempurna tanpa tambahan kecap manis. Tapi sialnya, botol kecap ada di atas kulkas—tempat di mana ibunya selalu menyimpannya agar adiknya yang kecil tidak bisa menjangkau.
“Gampang,” pikir Bima.
Ia pun mengambil kursi, menaikinya, lalu naik lagi ke meja dekat kulkas.
Di titik ini, semuanya masih terkendali.
Tapi, seperti manusia yang kadang terlalu percaya diri, Bima memutuskan untuk melangkah lebih jauh. “Sekalian aja,” pikirnya, “loncat turun langsung dari atas kulkas. Pasti keren.”
Dan begitulah, dalam sekejap, rencananya berubah dari sekadar mengambil kecap menjadi latihan parkour dalam ruangan.
Ia menekuk lutut, bersiap, dan…
SLEB!
Kakinya terpeleset di permukaan kulkas yang licin. Ia kehilangan keseimbangan dan jatuh dengan posisi yang tidak bisa disebut elegan. Kepalanya membentur pinggiran meja, tangannya membentur lantai lebih dulu, dan lututnya tertekuk dengan posisi yang salah.
Dalam hitungan detik, ia sudah tergeletak di lantai dengan kecap manis berceceran di dekatnya, seolah mengejek kebodohannya.
Kembali ke masa kini, Bima menatap teman-temannya yang kini sibuk menahan tawa. Ziko sudah membekap mulutnya, Timo hampir jatuh dari kursinya karena tertawa terlalu keras, dan Arka menepuk-nepuk punggung Naya yang berusaha keras agar tidak ikut terpingkal-pingkal.
Bima menyipitkan mata. “Udah, puas?”
“Gue… gue gak bisa napas!” Timo berkata di antara tawa. “Lo serius… kecapnya malah jatuh ikut lo?!”
“Kayak adegan film komedi slapstick,” tambah Ziko sambil menghapus air mata.
“Kenapa lo gitu banget sih, Bim?” Arka berusaha mengontrol tawanya. “Lo bisa turun pelan-pelan, tapi malah bikin pertunjukan sendiri.”
Bima memijat pelipisnya. “Gue lupa kalau kulkas itu bukan trampolin.”
Naya akhirnya bisa mengontrol diri dan menatap Bima dengan prihatin. “Jadi setelah itu, siapa yang nolongin lo?”
Bima melengos. “Nyokap gue. Dia datang pas gue masih terkapar di lantai sambil megang kecap. Terus dia cuma bilang, ‘Gini hasil didikan gue?’”
Itu menjadi pemicu gelombang tawa baru.
Bima hanya bisa mendengus. “Udah, udah. Sekarang lo semua bisa pergi. Gue capek.”
“Gak bisa,” kata Timo. “Kita belum selesai.”
Bima mendengus. “Belum selesai apanya?”
Tiba-tiba, Ziko mengeluarkan sesuatu dari kantong plastiknya—sebotol kecap manis.
Suasana hening sejenak sebelum seluruh ruangan kembali dipenuhi suara tawa.
Bima menatap mereka dengan wajah datar. “Lo pikir ini lucu?”
“Banget.”
Bima ingin melempar sesuatu ke arah mereka, tapi sialnya, tangannya masih digips.
Dan begitulah, hari itu berlanjut dengan Bima yang terus menyesali keputusan hidupnya sementara teman-temannya terus tertawa tanpa henti.
Strategi Kabur Dari Pasien Korban Kecap
Setelah kehebohan akibat kecap manis di babak sebelumnya, suasana di kamar Bima perlahan mulai mereda—setidaknya, itulah yang ia harapkan. Sayangnya, teman-temannya bukan tipe orang yang mudah puas hanya dengan menertawakan penderitaan seseorang selama beberapa menit.
“Baiklah, cukup ketawanya. Sekarang, ayo kita rancang strategi,” kata Ziko sambil menepuk tangannya.
Bima mengernyit. “Strategi apaan?”
Timo menaikkan alis dengan ekspresi serius. “Strategi buat kabur dari rumah sakit, lah.”
Seketika, ruangan kembali dipenuhi keheningan.
Bima melongo. “Excuse me, what?”
Arka berdeham. “Begini, Bim. Kita tahu lo udah jenuh di sini. Jadi, sebagai sahabat yang baik, kita bakal bantu lo melarikan diri.”
Bima memijat pelipisnya. “Gue patah tangan dan keseleo kaki, bro. Apa kalian mau ngerancang cara supaya gue bisa terbang?”
“Bukan terbang, tapi menyusup,” Naya menyela. “Kita udah mikirin semuanya.”
Bima memandang mereka satu per satu. Orang-orang ini benar-benar tidak punya niat untuk hidup tenang.
“Gue nggak ikutan,” katanya akhirnya.
“Terlalu berisiko?” tanya Ziko.
“Bukan,” Bima mendengus. “Gue terlalu malas buat ngikutin rencana absurd kalian.”
Tapi, tentu saja, mereka bukan tipe yang mudah menyerah.
Timo mengambil kertas dan spidol, lalu menggambar sketsa jalur rumah sakit dengan coretan asal-asalan. “Oke, kita mulai dari titik ini,” katanya, menunjuk sebuah kotak yang mungkin mewakili kamar Bima. “Dari sini, Bima bakal kita samarkan sebagai pasien yang udah sembuh. Kita bakal pinjem baju pasien yang nggak ada lambang rumah sakitnya dari laundry.”
“Terus kita bakal dorong lo pakai kursi roda,” tambah Ziko, “biar nggak ketahuan kalau lo masih cedera.”
Arka mengangguk. “Abis itu, kita bawa lo turun lewat lift atau tangga darurat.”
Bima menyilangkan tangan (dengan susah payah, mengingat satu tangannya masih digips). “Terus, kalian pikir dokter dan perawat bakal diam aja?”
“Kita udah punya solusinya,” kata Timo sambil tersenyum misterius.
Bima mengangkat alis. “Jangan bilang kalian mau nyamar jadi dokter.”
“Hah? Enggak lah,” kata Ziko. “Terlalu ribet.”
“Lalu apa?”
Ziko mengambil sebuah plastik dari bawah tempat tidur dan mengeluarkan isinya: sebungkus besar jajan keripik pedas.
“Kita tinggal sebarin ini di ruang perawat,” jelasnya. “Percaya deh, mereka bakal sibuk sendiri sama level kepedasan ini, dan kita bisa kabur dengan aman.”
Bima menatap mereka dengan ekspresi mati rasa. “Itu… strategi kalian?”
“Jenius, kan?” Arka menyeringai.
Bima memejamkan mata, menghela napas panjang, dan dalam hati bertanya-tanya bagaimana nasibnya bisa terjerumus dalam lingkaran persahabatan seperti ini.
Namun sebelum ia sempat menolak, pintu kamar terbuka, dan seorang perawat masuk sambil membawa nampan berisi obat-obatan.
Seketika, semua orang di ruangan menegakkan punggung mereka seperti anak sekolah yang ketahuan nyontek.
“Apa yang kalian bisik-bisikkan?” tanya perawat itu curiga.
Bima buru-buru berbicara sebelum ada yang blunder. “Mereka cuma lagi ngobrolin, uh… drama Korea.”
Naya langsung menimpali, “Iya, iya! Tentang adegan di mana tokohnya harus kabur dari rumah sakit pakai kursi roda, terus pake baju pasien palsu.”
Perawat itu menyipitkan mata, menatap mereka satu per satu, lalu menghela napas. “Jangan bikin ribut. Dan kamu, Bima, jangan sampai keluar ruangan tanpa izin dokter.”
Bima mengangguk patuh seperti anak baik. Teman-temannya juga berpura-pura tertib.
Begitu perawat pergi, mereka saling menatap.
“Fix, kita harus ganti strategi,” bisik Arka.
Bima hanya bisa menutup wajah dengan tangan sehatnya.
Mereka benar-benar nggak akan menyerah.
Mission Impossible
Setelah gagal dengan rencana kabur sebelumnya, Bima dan teman-temannya kembali berkumpul untuk merancang strategi baru. Kali ini, mereka bersikeras untuk membuat misi mereka lebih dramatis dan, tentu saja, lebih konyol.
“Gimana kalau kita pake strategi yang lebih canggih?” usul Timo sambil mengaduk-aduk isi tasnya. “Kita buat Bima jadi superhero.”
Bima memutar mata. “Superhero? Dengan satu tangan yang digips?”
Ziko mengabaikan komentar skeptis Bima dan terus berbicara. “Dengar, kita bisa membuat jubah dari selimut ini. Terus, kita pasang lampu senter di kepala Bima supaya terlihat lebih… heroic.”
“Dan kita akan memanggilnya… ‘Kecap Manis’!” teriak Arka, membuat tawa mereka pecah lagi.
“Kalau gitu, jangan salahkan gue kalau besok judul berita di koran adalah ‘Kecap Manis Kabur dari Rumah Sakit’,” Bima menjawab, namun senyum di wajahnya tak bisa dipungkiri.
Setelah menyusun rencana, mereka mulai mempersiapkan segalanya. Bima dengan susah payah mengikat selimut di tubuhnya, sementara teman-temannya menggantungkan senter di kepalanya, menciptakan penampilan yang lebih konyol daripada superhero sejati.
“Lo siap, Kecap Manis?” tanya Timo sambil menahan tawa.
“Jangan buat gue malu,” Bima mengeluh, tapi ia sudah merasa sedikit lebih baik.
Dengan penuh keberanian (atau konyol), mereka keluar dari kamar. Bima memimpin dengan gerakan lamban, menggenggam kursi rodanya yang telah disulap menjadi “kendaraan superhero.”
Di koridor, suasana sunyi, hanya terdengar suara langkah kaki dan alat-alat medis yang berdesir. Semua tampak tenang hingga mereka hampir mencapai lift.
“Ini dia, Kecap Manis. Waktunya untuk bertindak!” seru Ziko, memberi semangat.
Bima menghentikan kursi roda dan mengarahkan senter ke pintu lift. “Siap untuk aksi selanjutnya?”
“Yoi!” serentak jawab teman-temannya.
Saat lift terbuka, mereka langsung masuk dengan cepat. Bima duduk di kursi roda, berusaha terlihat sekuat mungkin sambil tetap tersenyum.
Di dalam lift, suasana jadi agak tegang. Timo menekan tombol untuk lantai bawah, dan lift mulai bergerak. Bima berusaha menahan tawa ketika melihat wajah-wajah konyol teman-temannya.
Tiba-tiba, lift berhenti. Suara deritan terdengar.
“Gawat!” seru Arka.
Bima berusaha tenang. “Tunggu, ini mungkin cuma sementara.”
Satu detik, dua detik, dan lift masih tidak bergerak. Keringat dingin mulai bercucuran di dahi mereka.
“Kalau kita terjebak, lo yang jadi penyelamat, Kecap Manis,” kata Ziko, berusaha tetap positif.
Dan saat ketegangan mulai merayap, tiba-tiba lift bergerak lagi dan pintunya terbuka lebar. Mereka semua menghela napas lega.
Begitu keluar, mereka langsung menuju pintu belakang rumah sakit, tempat mereka berharap bisa kabur dengan aman.
“Cepat, Bima! Kita hampir sampai!” seru Naya.
Tapi saat mereka berlari, satu perawat muncul dari sudut. “Hey! Apa yang kalian lakukan?”
Bima dan teman-temannya tertegun sejenak.
“Uh… kami… kami mau ke toilet!” kata Timo, berpura-pura menggaruk kepala.
Perawat itu menatap mereka skeptis, lalu melanjutkan langkahnya tanpa memberi komentar.
Mereka pun melanjutkan pelarian, dan di luar pintu belakang, suasana malam terasa menyegarkan.
Bima bisa merasakan kebebasan, meskipun dengan tangan yang masih digips dan penampilan superhero yang konyol.
“Lo berhasil, Kecap Manis!” teriak Arka dengan bangga.
“Gue enggak mau jadi Kecap Manis lagi,” Bima menjawab, tapi senyumnya tak bisa dipungkiri.
Dengan langkah penuh semangat, mereka meninggalkan rumah sakit, sambil terus menertawakan segala kebodohan yang telah mereka lakukan.
Misi kabur ini mungkin terlihat gila, tetapi dalam perjalanan itu, mereka menyadari satu hal—sahabat sejati selalu siap membuat hal-hal konyol menjadi lebih berarti.
Dan meskipun Bima masih harus menghadapi pemulihan, setidaknya ia tahu bahwa ia tidak sendirian dalam segala konyolnya.
Malam itu, di bawah cahaya bintang, mereka berjanji untuk selalu saling mendukung, apapun yang terjadi.
Sambil tertawa dan bergurau, mereka berjalan menjauh dari rumah sakit, meninggalkan kenangan konyol yang tak terlupakan.
Jadi, udah kebayang kan betapa serunya bersahabat dan bikin kenangan konyol bareng? Cerita ini buktiin bahwa meskipun lagi sakit, tawa dan kebersamaan sama sahabat itu yang paling penting.
Semoga Bima dan gengnya bisa jadi inspirasi buat kita semua untuk selalu cari kebahagiaan di setiap situasi, bahkan di tempat yang paling membosankan sekalipun. Sampai jumpa di petualangan selanjutnya!