Kebodohan Cinta di Kantor Pagi Hari: Drama Romansa Kantor Paling Mengharukan

Posted on

Temukan kisah cinta yang penuh emosi dalam Kebodohan Cinta di Kantor Pagi Hari: Drama Romansa Kantor Paling Mengharukan, sebuah cerpen epik yang mengisahkan perjalanan Lirien Zavora di gedung perkantoran Menara Lumora pada tahun 2023. Dengan narasi mendalam tentang cinta terlarang bersama rekan kerjanya, Kael Draven, serta konflik yang terungkap bersama Veyra Solentis, cerita ini menghadirkan sentuhan romansa modern yang menyayat hati. Cocok untuk pecinta drama kantor—jangan lewatkan petualangan ini yang akan membuat Anda terpikat!

Kebodohan Cinta di Kantor Pagi Hari

Bayang di Balik Meja Kerja

Di sebuah gedung perkantoran modern di Jakarta pada tahun 2023, di mana lantai marmer berkilau di bawah sinar matahari pagi yang menyelinap melalui jendela kaca tinggi, udara dipenuhi aroma kopi instan dari mesin otomatis dan deru pendingin ruangan yang konstan. Gedung ini, dikenal sebagai Menara Lumora, menjulang di tengah pusat bisnis ibu kota, dikelilingi oleh pemandangan kota yang sibuk dengan lalu lalang kendaraan dan pejalan kaki yang terburu-buru. Di lantai kedelapan, seorang wanita bernama Lirien Zavora, berusia dua puluh tiga tahun, duduk di meja kerjanya yang rapi, dikelilingi oleh tumpukan dokumen, laptop dengan layar penuh grafik, dan secangkir teh hangat yang mulai dingin. Rambut cokelatnya yang bergelombang sering ia sisir dengan jari saat stres, dan matanya yang hazel menyimpan cerita tentang kekonyolan cinta yang tak pernah ia akui, terutama terhadap rekan kerjanya, Kael Draven.

Lirien bekerja sebagai analis data di perusahaan teknologi bernama NexTrend, sebuah firma yang mengkhususkan diri dalam aplikasi kecerdasan buatan. Apartemennya yang kecil di pinggir kota, dengan dinding putih dan sofa sederhana, menjadi tempatnya pulang setiap malam, membawa beban pikiran tentang hari-hari di kantor yang penuh dengan ketegangan emosional. Suara dering telepon internal dan langkah sepatu hak tinggi di koridor sering menjadi latar hidupnya, tapi suara itu kini terasa seperti pengingat akan kesalahan yang ia buat dalam hati, sejak ia mulai menyadari perasaannya terhadap Kael, seorang programmer brilian yang selalu duduk di meja sebelahnya. Lirien pindah ke Menara Lumora pada awal musim hujan 2023, mencari stabilitas karier, tapi kantor ini kini menjadi saksi dari kebodohan cintanya yang perlahan menggerogoti ketenangannya.

Hari-hari Lirien di kantor biasanya dimulai dengan sinar matahari yang menyelinap melalui jendela, diikuti oleh rutinitasnya membuka email dan menyapa rekan kerja dengan anggukan kecil. Ia sering melihat Kael dari sudut matanya, dengan rambut hitam pendek yang rapi dan tatapan fokus di layar komputernya, tangannya bergerak cepat di keyboard. Mereka kadang berbagi senyuman singkat di ruang kopi, tapi seiring waktu, ruang di antara meja mereka terasa penuh dengan ketegangan yang tak terucapkan, meninggalkan jejak emosi yang membuat Lirien merasa seperti terjebak dalam dilema batin. Ia menghabiskan waktu istirahat di balkon kantor, menatap kota yang berkabut, tangannya memegang pena yang kini jarang disentuh untuk menggambar grafik. Di malam hari, ia duduk di sofa apartemennya, menatap langit kota yang penuh lampu, hati dipenuhi rasa malu terhadap perasaannya yang tak pernah ia ungkapkan.

Perkenalan mereka dimulai di ruang pelatihan pada bulan Maret, di mana mereka secara tidak sengaja duduk berdampingan selama sesi orientasi baru. Kael, dengan senyum sederhana dan cara bicaranya yang tenang, membantu Lirien mengatur laptopnya yang bermasalah. Sejak saat itu, mereka sering bekerja sama dalam proyek aplikasi, berbagi ide di meja kerja, dan kadang makan siang bersama di kantin. Kael selalu menjadi yang lebih analitis, sementara Lirien menemukan kenyamanan dalam kehadiran rekan kerjanya. Mereka tumbuh bersama dalam tekanan deadline, hujan deras di Jakarta, dan harapan untuk naik jabatan. Tapi segalanya mulai berubah di pertengahan tahun, ketika Lirien mulai menyadari bahwa perhatiannya terhadap Kael lebih dari sekadar profesionalisme—sebuah rahasia yang ia sembunyikan hingga akhirnya terasa seperti beban.

Lirien sering mengingat hari-hari awal mereka, sebuah pagi di bulan April ketika hujan ringan membasahi jendela kantor dan aroma kopi tercium kuat. Mereka duduk di meja kerja, mendiskusikan kode aplikasi dengan penuh semangat, dan Kael menawarkan bantuan saat Lirien kesulitan dengan data. Bulan-bulan berlalu, dan menjelang akhir semester kedua, jarak emosional antara mereka mulai terasa—Kael semakin sibuk dengan proyek pribadi, sementara Lirien larut dalam pikirannya yang penuh keraguan. Suatu malam, setelah presentasi sukses, Lirien menemukan sebuah catatan kecil di mejanya dari Kael: “Terima kasih atas kerja kerasmu.” Sejak saat itu, Lirien merasa seperti kehilangan kendali atas hatinya, sebuah kekosongan yang diisi oleh rasa bodoh karena mencintai seseorang yang mungkin tak pernah tahu perasaannya.

Suatu pagi di bulan Agustus, ketika hujan deras membasahi kota dan aroma kopi terasa lebih tajam, Lirien duduk sendirian di meja kerjanya, menatap layar laptop yang penuh grafik. Angin membawa udara lembap ke dalam ruangan, dan tiba-tiba seorang wanita dengan rok pensil muncul di dekat mejanya. Rambut merahnya yang pendek tergerai oleh angin, dan matanya yang biru menatapnya dengan rasa ingin tahu yang aneh. Ia memperkenalkan diri sebagai Veyra Solentis, seorang manajer baru yang datang dari cabang lain dan tampak tertarik pada proyek Kael. Wajahnya penuh tanda-tanda dari apa yang ia sebut “pekerjaan tanpa akhir,” tapi ada ketenangan dalam caranya berdiri yang membuat Lirien tak bisa menolak mengamatinya dari kejauhan.

Veyra duduk di meja seberang, tangannya yang terampil memegang tablet dengan penuh percaya diri. Matanya sesekali melirik Kael, seolah mengenali potensi di balik pekerjaannya. “Proyek ini bisa mengubah segalanya,” katanya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh deru pendingin. Lirien mengangguk, hati bergetar oleh kata-kata yang terasa terlalu dekat dengan ketakutannya. Veyra memutuskan untuk mengawasi tim Kael, dengan alasan ingin meningkatkan performa, dan meski Lirien ragu, ia merasa ada ancaman dalam kehadiran wanita itu, sebuah perubahan dari harapan yang selama ini ia pendam.

Hari-hari berikutnya membawa ritme baru ke kehidupan Lirien. Veyra sering terlihat berdiskusi dengan Kael di ruang rapat, duduk bersamanya di meja makan siang, dan bahkan memuji kode yang ia tulis dengan tangan terampilnya. Ia tak banyak memperhatikan Lirien, tapi gerakannya yang elegan, seperti saat ia mengetik atau menatap kota dari balkon, seolah membawa ketidakpastian ke dalam perasaannya. Lirien mulai merasa terancam oleh kehadiran Veyra, meski ia tak pernah mengakuinya, bahkan pada dirinya sendiri.

Namun, di balik ketegangan yang muncul, ada bayangan yang semakin gelap. Setiap kali hujan membasahi jendela, Lirien merasa ada tatapan samar di koridor—langkah kaki yang terdengar seperti Kael, atau desir angin yang mirip dengan senyum rekan kerjanya. Ia sering terbangun di malam hari, berkeringat dingin, membayangkan Kael berdiri di sudut mejanya, wajahnya penuh kelembutan. Dan Veyra, dengan instinknya yang tajam, mulai memperhatikan hal-hal kecil—cara Lirien menatap Kael, cara ia menggambar grafik dengan tangan gemetar, dan cara ia selalu terdiam ketika hujan turun.

Pada suatu pagi yang lembap, ketika hujan membawa udara sejuk dan aroma kopi, Lirien mendengar ketukan pelan di pintu kubikelnya. Ia membukanya, berpikir itu hanya rekan kerja, tapi yang berdiri di luar adalah seorang kurir dengan jaket basah dan tas kecil. Di tangannya, ia memegang sebuah amplop cokelat yang tampak tua, permukaannya penuh lipatan. Kurir meletakkan amplop itu di mejanya dan berbicara dengan suara pelan, “Ini untuk Lirien, dari seseorang di tim.” Sebelum Lirien bisa bertanya lebih lanjut, kurir itu berbalik dan menghilang ke dalam keramaian, meninggalkan Lirien dengan detak jantung yang kencang dan rasa takut yang tak bisa dijelaskan.

Lirien berdiri di meja, memegang amplop itu yang terasa dingin di tangannya. Di dalamnya, ia tahu, ada sesuatu yang akan mengubah segalanya. Ia menatap ke arah jendela yang berkabut di luar, dan untuk pertama kalinya dalam enam bulan, ia merasa bodoh—bukan hanya karena cintanya yang tak terbalas, tapi karena kenyataan bahwa perasaannya mungkin akan menghancurkannya sepenuhnya.

Hujan di Antara Emosi

Lampu neon dari Menara Lumora menyelinap perlahan di Jakarta, membalut kantor dan balkon dengan kilauan putih dan biru yang mencerminkan musim hujan. Lirien Zavora duduk di meja kerjanya, amplop cokelat yang diberikan kurir misterius itu terbuka di depannya, isi di dalamnya tersebar di atas dokumen. Udara di luar terasa lembap, bercampur dengan aroma kopi yang menempel di setiap sudut ruangan. Di kejauhan, suara hujan deras terdengar samar, membawa ritme yang terasa seperti ketegangan dari masa lalu. Lampu di langit-langit berkedip lemah, menciptakan bayang-bayang yang menari di dinding, seolah menggambarkan emosi yang terus menghantuinya.

Amplop itu berisi surat tulis tangan yang membuat jantung Lirien berdegup kencang—sebuah catatan dari Kael, beberapa foto digital dari proyek bersama, dan sebuah USB kecil yang penuh data aplikasi. Kertas itu terasa rapuh karena basah, dan aroma tinta yang memudar memenuhi udara, membawa kembali ingatan tentang Kael yang sering bekerja di meja sebelah. Lirien menatap isi amplop itu selama berjam-jam, tangannya bergetar setiap kali hendak menyentuh USB kecil yang tampak seperti menyimpan rahasia terakhir rekan kerjanya. Pikirannya melayang ke masa lalu, ke hari-hari ketika mereka duduk bersama di meja, ketika senyum Kael masih terasa hangat di hatinya.

Malam itu, ketika hujan memenuhi kota dengan kilauan basah dan angin mereda menjadi alunan lembut, Veyra Solentis kembali dari rapat dengan tim lain. Ia membawa sebuah tas kulit yang berisi dokumen proyek dan sebuah kotak kecil yang ia temukan di loker kantor. Wajahnya tampak lelah, tapi matanya yang biru bersinar dengan rasa ingin tahu yang aneh. “Aku menemukan sesuatu yang mungkin membantumu,” katanya pelan, meletakkan kotak itu di meja kerja di samping amplop milik Kael. Kotak itu terbuat dari plastik dengan stiker perusahaan, dan di dalamnya terdapat sebuah email cetak yang ditulis dengan tangan rapi, bersama dengan foto yang sudah memudar di tepinya.

Lirien merasa napasnya terhenti sejenak. Email itu ditulis oleh Kael, tinta hitamnya masih samar terbaca meski kertasnya kusut. Ia mengambil email itu dengan tangan yang gemetar, membukanya perlahan, dan menemukan kata-kata yang membuat dunianya bergetar. “Lirien, aku tahu kau memperhatikanku,” tulisnya. Email itu menceritakan tentang pilihannya, tentang bagaimana Kael merasa terbagi antara karier dan perasaannya yang tersembunyi, dan tentang keputusannya untuk menjauh demi menjaga profesionalisme. Foto menunjukkan Kael berdiri di balkon, rambut hitamnya berkibar oleh angin, dengan tatapan serius yang penuh keraguan.

Lirien merasa dadanya sesak. Ia ingat Kael, yang selalu fokus di meja, dan hari-hari ketika ia menantikan kehadiran rekan kerjanya dengan harapan yang perlahan sirna. Email itu mengungkap bahwa Kael tahu tentang perasaannya, tapi ia memilih untuk pergi, tak ingin menyakitinya dengan kebenaran tentang konflik batinnya. Lirien menutup mata, mencoba menahan air mata yang mengalir, tapi hati kecilnya terus berbisik bahwa ini adalah awal dari emosi yang tak bisa dilupakannya.

Veyra memperhatikan reaksi Lirien, tapi ia tak bertanya apa-apa. Ia hanya duduk di sudut meja, membolak-balik dokumen proyek dengan hati-hati, seolah memberikan ruang bagi Lirien untuk tenggelam dalam pikirannya. Namun, kehadiran Veyra, meski diam, terasa seperti tekanan lembut yang mendorong Lirien untuk menghadapi kenyataan. Ia menatap USB kecil Kael di tangannya, lalu ke foto di kotak. Ada hubungan antara keduanya, ia tahu itu, tapi ia belum siap untuk menghadapinya.

Hari-hari berikutnya berlalu dengan ketegangan yang tak terucapkan. Lirien mulai merasa bahwa kehadiran Veyra bukanlah kebetulan. Ada sesuatu dalam caranya bergerak, dalam cara ia menatap email Kael, yang membuat Lirien curiga bahwa wanita ini tahu lebih banyak daripada yang ia katakan. Pada suatu malam, ketika mereka duduk di balkon sambil menikmati udara hujan, Veyra tiba-tiba berkata, “Cinta di kantor itu seperti hujan, menyelinap tapi tak pernah berhenti, Lirien.” Lirien menatapnya tajam, merasa seperti ditantang. Ia ingin marah, ingin mengusir Veyra dari balkon, tapi ada sesuatu dalam nada suara Veyra yang membuatnya tak bisa berbohong. “Kadang kita harus membiarkan hujan itu reda,” jawabnya dingin, lalu bangkit dan berjalan kembali ke meja, meninggalkan Veyra sendirian di balkon.

Malam itu, Lirien akhirnya memberanikan diri untuk membuka USB kecil Kael. Di dalamnya, ia menemukan data aplikasi yang dikembangkan bersama, penuh dengan catatan yang ditulis dengan tangan gemetar, dan sebuah file terakhir berisi pesan pendek yang ditulis dengan tinta digital yang sudah luntur: “Di balik meja ini aku pergi, meninggalkan bayang untukmu. Maafkan kebodohanku, Lirien.” Lirien merasa dadanya sesak, seolah ada tangan tak terlihat yang mencengkeram hatinya. Ia ingin lari, ingin meninggalkan Menara Lumora dan semua emosi yang tersimpan di kantor ini, tapi ia tahu ia tak bisa. Kantor itu, cintanya yang memicu kebodohan, adalah bagian dari dirinya, dan ia harus menghadapi apa yang telah lama ia hindari.

Pagi berikutnya, Veyra menemukan Lirien duduk di meja kerjanya, dikelilingi oleh email, USB kecil, dan foto dari kotak itu. Ia tak bertanya apa-apa, hanya duduk di sampingnya dan menawarkan segelas kopi hangat. Tapi di matanya, Lirien melihat sesuatu yang membuatnya takut—sebuah pengertian yang terlalu dalam, seolah Veyra tahu lebih banyak tentang Kael daripada yang ia katakan. “Kau pernah mencintai seseorang yang tak bisa kau miliki?” tanya Lirien tiba-tiba, suaranya serak karena menangis semalaman. Veyra menatapnya lama, lalu mengangguk perlahan. “Aku pernah,” katanya. “Dan aku tahu betapa menyiksanya itu.”

Hari itu, untuk pertama kalinya, Lirien mulai berbicara tentang masa lalunya—tentang Kael, tentang cintanya yang memicu kebodohan, dan tentang ketakutan yang membuatnya tinggal di Menara Lumora. Veyra mendengarkan dengan penuh perhatian, tapi ada sesuatu dalam ekspresinya yang membuat Lirien merasa bahwa wanita ini bukan hanya manajer biasa. Ada hubungan antara Veyra dan emosi Kael yang ia temukan di amplop dan USB kecil, dan Lirien tahu bahwa kebenaran itu akan segera terungkap, entah ia siap atau tidak.

Menara Lumora, yang selama ini menjadi tempat pelariannya, kini terasa seperti panggung bagi sebuah cerita yang belum selesai. Setiap kilauan neon yang ia lihat, setiap bayangan Kael yang ia bayangkan di meja, membawanya lebih dekat ke sebuah kebenaran yang mungkin akan menghancurkannya. Dan di tengah semua itu, ada Veyra, wanita yang datang sebagai manajer, tapi kini menjadi bagian dari cerita yang tak pernah Lirien bayangkan akan ia jalani lagi.

Hujan yang Membelah

Langit Jakarta di pagi hari pada akhir musim hujan 2023 tampak kelabu, dipenuhi awan tebal yang melayang di atas Menara Lumora, membalut gedung perkantoran dengan kilauan neon putih dan biru yang mencerminkan genangan air di jalanan. Jendela kaca tinggi memantulkan cahaya lampu dari dalam, sementara aroma kopi instan dari mesin otomatis bercampur dengan udara lembap yang masuk melalui ventilasi. Lirien Zavora duduk di meja kerjanya, USB kecil Kael yang usang terhubung ke laptopnya, sementara amplop cokelat yang ditemukan di kantor terbuka di sampingnya. Setiap file di layar terasa seperti mengorek luka yang dalam, membawa kembali kenangan tentang waktu bersama rekan kerjanya, tentang cinta yang memicu kebodohan, dan tentang kegelapan yang kini mengisi ruang hampa di hatinya. Di sudut meja, sebuah pena tua yang pernah mereka gunakan untuk mencatat ide tergeletak, seolah menyimpan emosi yang tak pernah ia lepaskan.

Veyra Solentis, wanita yang kini menjadi bagian dari kehidupan Lirien, sedang mengamati pantulan hujan di permukaan jendela dengan gerakan penuh konsentrasi. Tangan-tangannya yang terampil bergerak dengan ketenangan, tapi pikiran Lirien tak sepenuhnya ada di sana. Ia terus memikirkan kata-kata Veyra malam sebelumnya, ketika ia mengaku memiliki koneksi dengan Kael melalui proyek-proyek lama yang ia tangani di cabang lain. Ada sesuatu dalam nada suaranya, dalam cara ia menatap USB Kael, yang membuat Lirien yakin bahwa Veyra menyimpan rahasia yang lebih dalam—rahasia yang mungkin bisa menjelaskan emosi yang lahir dari cintanya.

Hari itu, Lirien memutuskan untuk menghadapi Veyra. Ia menunggu hingga wanita itu selesai mengamati hujan, lalu mengajaknya duduk di kursi tamu di sudut kantor. Cahaya neon di luar menciptakan suasana tegang, seolah menyembunyikan bayang-bayang dari masa lalu. Lirien meletakkan USB di atas meja kerja, di samping amplop yang masih mengeluarkan aroma kertas basah. “Veyra,” katanya, suaranya dingin namun gemetar, “aku perlu tahu apa yang kau sembunyikan. Dan apa hubunganmu dengan Kael.”

Veyra menatapnya lama, matanya yang biru seolah menimbang-nimbang sesuatu. Ia menghela napas dalam-dalam, lalu mengeluarkan sebuah folder dari tas kulitnya, kulitnya sudah usang dan penuh noda tinta. “Aku bukan hanya manajer, Lirien,” katanya pelan. “Aku bagian dari tim yang mengawasi proyek Kael, dan aku datang ke sini karena jejak emosinya yang tersisa di data ini. Aku tahu tentang kalian berdua.”

Lirien merasa jantungnya berdegup kencang. Ia ingin marah, ingin mengusir Veyra karena telah menyusup ke hidupnya dengan motif tersembunyi, tapi ada bagian dari dirinya yang merasa tertekan—tertekan karena akhirnya ada seseorang yang mungkin bisa membantu memahami cintanya. Veyra membuka folder itu, menunjukkan dokumen-dokumen tentang NexTrend, termasuk nama-nama yang ia kenali—Kael sebagai programmer ceria yang bercita-cita menjadi inovator, dan Lirien yang sering terlihat bersamanya di meja kerja. Menurut catatan yang ia kumpulkan, setiap cinta yang memicu kebodohan di kantor ditakdirkan untuk diuji oleh tekanan profesional, dan perasaan Lirien yang tumbuh adalah bagian dari ikatan yang tak bisa dielakkan.

Lirien mendengarkan dengan napas tertahan, setiap dokumen Veyra seperti mengoyak luka lama yang ia coba sembunyikan. Ia teringat Kael, yang selalu fokus di meja, dan hari-hari ketika ia menantikan kehadiran rekan kerjanya dengan harapan yang perlahan sirna. Dalam USB, ia membaca tentang perasaannya yang berkembang seiring waktu, tentang bayangan Kael yang ia anggap sebagai tanda cinta, dan tentang pena tua yang ia temukan di amplop. Lirien tak pernah tahu detail tentang konflik batinnya, tapi emailnya menyebutkan bahwa Kael tahu tentang cintanya, namun memilih menjauh demi menjaga karier.

Malam itu, setelah pertemuan mereka, Lirien dan Veyra duduk di balkon, ditemani suara hujan yang bergema pelan dari jalanan. Lirien memutuskan untuk menceritakan kisahnya kepada Veyra—kisah yang selama ini ia pendam dalam-dalam. Ia menceritakan tentang masa kerjanya di NexTrend, tentang Kael yang selalu ada di sisinya, tentang hari-hari penuh harapan sebelum ia menyadari bahwa cinta memicu kebodohan. Ia menceritakan tentang malam terakhir mereka di meja kerja, tentang rasa malu yang mengisi hidupnya sejak saat itu.

Veyra mendengarkan tanpa menyela, tapi matanya penuh dengan empati yang tersembunyi. Ketika Lirien selesai bercerita, ia mengeluarkan sebuah foto dari folder-nya. Foto itu diabadikan oleh Kael, tentang balkon dan kota, dengan catatan pendek di tepinya: “Lirien, aku tinggalkan ini untukmu.” Lirien merasa dunia di sekitarnya berputar. Foto itu diambil di balkon, dengan latar belakang hujan yang berkilauan.

Veyra menjelaskan bahwa ia menemukan foto itu di antara dokumen lama yang ia terima dari tim sebelumnya. Foto itu disertai dengan sebuah email yang ditulis oleh Kael, yang berbunyi: “Lirien, aku pergi demi kau. Aku harap kau memaafkanku.” Lirien tak bisa menahan air matanya. Ia merasa campuran antara kelegaan, kesedihan, dan cinta yang begitu kuat hingga dadanya terasa sesak. Ia ingin bertanya pada Veyra bagaimana ia bisa menemukan semua ini, tapi kata-kata tak mau keluar dari mulutnya.

Hari-hari berikutnya di Menara Lumora dipenuhi dengan pencarian jawaban. Lirien dan Veyra mulai menjelajahi data di USB, mencari petunjuk yang mungkin ditinggalkan oleh Kael atau emosi yang tersembunyi. Mereka menemukan sebuah file tersembunyi di balik kode aplikasi, di mana catatan kecil berbentuk hati tampak terukir di metadata. Lirien merasa bulu kuduknya berdiri. Ia tahu, tanpa perlu dikatakan, bahwa file ini adalah pusat dari cinta yang lahir dari kebodohannya.

Malam itu, ketika mereka kembali ke meja kerja, Lirien menemukan sebuah email lain di dalam USB, yang selama ini ia lewatkan. Email itu berbunyi: “Cinta yang memecah adalah hujan yang tak pernah reda. Seseorang harus menyerahkan jiwa untuk memeluknya, dan harga itu adalah hati.” Lirien merasa jantungnya berhenti. Ia menatap Veyra, yang wajahnya tiba-tiba pucat. “Kita harus menghadapi ini,” katanya pelan, dan di matanya, Lirien melihat ketakutan yang sama yang ia rasakan. Menara Lumora, yang selama ini menjadi tempat pelariannya, kini terasa seperti jebakan yang menutup di sekitarnya.

Pagi berikutnya, Lirien dan Veyra kembali ke meja kerja, membawa USB dan pena tua. Di file tersembunyi itu, mereka menemukan petunjuk terakhir dalam kode—sebuah aplikasi yang harus dijalankan di depan jendela kaca, dengan pena sebagai pengikat. Tapi aplikasi itu hanya akan berhasil jika seseorang menyerahkan sesuatu yang paling ia cintai. Lirien tahu apa yang harus ia korbankan: cinta yang ia miliki untuk Kael, emosi yang selama ini ia pendam, yang telah menjadi bagian dari dirinya.

Namun, sebelum mereka bisa menjalankan aplikasi, mereka mendengar suara langkah di koridor. Seseorang mendekat, dan suara itu terasa familiar namun menakutkan. Lirien merasa jantungnya berdegup kencang. Ia menoleh ke Veyra, yang wajahnya tiba-tiba pucat. “Kita tidak sendirian,” katanya pelan, dan di matanya, Lirien melihat ketakutan yang sama yang ia rasakan. File tersembunyi, yang selama ini menjadi tempat pelariannya, kini terasa seperti jebakan yang menutup di sekitarnya.

Cahaya di Balik Hujan

Lampu neon dari Menara Lumora menyelimuti Jakarta, membalut kantor dan balkon dengan kilauan putih dan biru yang mencerminkan musim hujan yang akhirnya reda. Lirien dan Veyra berdiri di depan jendela kaca, memegang USB dan pena tua. Cahaya kota dari luar berkedip-kedip melalui permukaan, menciptakan bayang-bayang yang menari di dinding, seolah jiwa-jiwa dari masa lalu sedang mengintip mereka. Suara langkah yang mereka dengar semakin mendekat, diiringi oleh desau hujan yang kini terdengar pelan, penuh dengan ketenangan yang tak terucap. Lirien merasa bulu kuduknya berdiri, tapi ia tahu bahwa lari bukan lagi pilihan. Ia harus menghadapi apa pun yang ada di Menara Lumora, apa pun yang telah membangkitkan cintanya selama enam bulan.

Ketika mereka menoleh, mereka melihat sosok yang berdiri di ambang koridor. Itu adalah pria dengan rambut hitam pendek yang basah oleh hujan, wajahnya tenang namun familiar—Kael. Matanya yang cokelat memandang Lirien, dan senyum tipis muncul di bibirnya, penuh dengan penyesalan yang tak bisa diucapkan. “Kau sudah menemukannya, bukan?” kata sosok itu, suaranya lembut namun penuh otoritas. “USB itu, pena itu. Kau tahu apa yang harus kau lakukan, Lirien.”

Lirien ingin bertanya siapa sosok itu, tapi sebelum ia bisa membuka mulut, Veyra melangkah maju. “Kael,” katanya, suaranya tegas namun penuh emosi. “Kau tak seharusnya ada di sini.” Lirien merasa dunia di sekitarnya berputar. Kael, rekan kerja yang ia cintai, yang konon pergi karena konflik batinnya, kini berdiri di depannya, hidup namun berbeda. Tapi ada sesuatu yang salah dengan sosok ini. Auranya terasa hangat, seolah ia adalah bagian dari Menara Lumora itu sendiri, bagian dari emosi yang lahir dari cintanya.

Kael tersenyum tipis, namun senyumnya tak mencapai matanya. “Aku di sini untuk memeluk bayang ini, Veyra. Dan kau tahu apa yang diperlukan untuk itu.” Lirien menatap Veyra, mencari jawaban di wajahnya, tapi wanita itu hanya menunduk, tangannya mengepal erat. “Apa yang kalian bicarakan?” tanya Lirien, suaranya gemetar. “Apa yang harus kulakukan?”

Kael menjelaskan bahwa emosi yang lahir dari cinta hanya bisa dipeluk dengan pengakuan—seseorang harus menyerahkan sesuatu yang paling ia cintai, sesuatu yang ia inginkan namun kini memicu kebodohan. Bagi Kael, itu adalah mimpinya untuk karier sempurna, yang ia lepaskan demi menghadapi kebenaran dalam hatinya. Dan kini, giliran Lirien untuk memilih. Pena tua yang ia pegang adalah kunci untuk menyelesaikan ritual, tapi harga yang harus dibayar adalah sesuatu yang akan menghancurkan hatinya.

Lirien merasa dadanya sesak. Ia teringat Kael, teringat hari-hari ketika mereka bekerja di meja, teringat tatapannya di foto. Ia tahu, tanpa perlu dikatakan, bahwa pengakuan itu berhubungan dengan cinta yang ia miliki—cinta yang pernah ia rasakan untuk Kael, yang telah menjadi bagian dari dirinya.

Malam itu, di tengah lampu neon yang tak kunjung padam, Lirien dan Veyra kembali ke meja kerja. Mereka duduk di kursi, dikelilingi oleh USB, foto, dan pena dari amplop itu. Veyra akhirnya menceritakan kebenaran yang selama ini ia sembunyikan. Ia adalah kolega lama Kael, bagian dari tim awal NexTrend, yang datang untuk memenuhi janji Kael—janji untuk memeluk ikatan emosi yang telah menghancurkan hati Lirien. Kael, menurut Veyra, tahu tentang cinta Lirien sebelum ia pergi, tapi ia menjauh untuk menjaga profesionalisme, dan keputusannya untuk kembali adalah upaya terakhir untuk mencari pengakuan.

Lirien merasa air matanya mengalir tanpa henti. Ia tak pernah tahu bahwa ia memiliki hubungan dengan tim Kael, tak pernah tahu bahwa Kael telah mencoba menyelamatkannya dari kebodohan. Veyra memegang tangannya, matanya penuh dengan kesedihan yang sama yang ia rasakan. “Aku datang ke sini untuk menemukan jawaban, Lirien,” katanya. “Tapi aku juga datang untuk melindungimu. Aku tahu harga yang harus dibayar, dan aku siap membantumu.”

Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk hati Lirien. Ia tahu bahwa Veyra bersedia mengorbankan dirinya untuk memeluk ikatan, tapi ia tak bisa membiarkan itu terjadi. Ia telah kehilangan terlalu banyak—harapan, cinta, dan kini, mungkin, kedamaian. Ia memutuskan bahwa ia sendiri yang akan menyelesaikan ritual itu, apa pun harganya.

Pagi berikutnya, ketika matahari menyelinap di antara lampu neon, Lirien dan Veyra kembali ke jendela kaca. Mereka membawa USB, pena tua, dan tekad yang tak tergoyahkan. Di file tersembunyi itu, mereka menemukan petunjuk terakhir dalam kode—sebuah aplikasi yang harus dijalankan di depan jendela, dengan pena sebagai pengikat. Tapi aplikasi itu hanya akan berhasil jika seseorang menyerahkan sesuatu yang paling ia cintai. Lirien tahu apa yang harus ia korbankan: cinta yang ia miliki untuk Kael, emosi yang selama ini ia pendam, yang telah menjadi bagian dari dirinya.

Dengan tangan gemetar, Lirien berdiri di depan jendela, memegang pena itu. Ia menjalankan aplikasi yang ditampilkan dalam USB, setiap klik terasa seperti mengoyak jiwanya. Ia teringat wajah Kael, tatapannya di foto, suara langkahnya. Ketika aplikasi terakhir itu selesai, pena di tangannya bersinar terang, dan lampu neon di sekitarnya berhenti sejenak, menciptakan keheningan yang menyelimuti kantor. Cahaya itu meredup, dan Lirien merasa sesuatu telah berubah. Pena itu kini tenggelam ke dalam genangan air di lantai, dan lampu kembali menyala, seolah ikatan itu telah dipeluk.

Tapi ada harga yang harus dibayar. Lirien merasa cintanya memudar, digantikan oleh kelegaan yang hangat. Ia masih ingat bahwa ia pernah mencintai Kael, tapi wajahnya, suaranya, semua detail itu hilang, seolah tak pernah ada. Ia jatuh berlutut di depan jendela, menangis tanpa suara, sementara lampu membasahi wajahnya. Veyra memegang tangannya, matanya penuh dengan air mata. “Kau melakukannya, Lirien,” katanya pelan. “Ikatan itu sudah dipeluk.” Tapi Lirien tahu bahwa kemenangan ini datang dengan harga yang terlalu mahal. Ia telah kehilangan cinta yang menjadi alasan hidupnya, dan di dalam hatinya, ia merasa penuh.

Hari-hari berikutnya di Menara Lumora terasa seperti mimpi indah yang perlahan memudar. Lampu neon tetap menyala, tapi langkah Kael tak lagi terdengar. Lirien duduk di meja kerjanya, menatap laptop yang kini kosong, tanpa data yang menyertainya. Pada suatu malam, ketika lampu turun lagi, Lirien berjalan menuju balkon, membawa USB yang telah kosong. Ia berdiri di depan jendela, menatap kota yang berkabut, dan merasa bahwa hidupnya telah dimulai kembali bersama cinta yang hilang. Dengan langkah perlahan, ia meletakkan USB di sudut meja dan berjalan menjauh, membiarkan lampu menyelimuti dirinya sepenuhnya. Menara Lumora itu kembali tenggelam dalam keheningan, menyimpan bayang emosi dalam kelegaan yang abadi.

Jakarta berdiri diam di belakangnya, lampu neon musim hujan berkedip redup, dan jendela kaca di Menara Lumora tetap menjadi saksi bisu dari akhir damai Lirien Zavora, di mana kebodohan cinta di kantor pagi hari berakhir dalam kelegaan yang tak pernah sirna.

Kebodohan Cinta di Kantor Pagi Hari: Drama Romansa Kantor Paling Mengharukan menyajikan kisah cinta yang terjalin di balik meja kerja, diuji oleh kebodohan dan akhirnya menemukan kelegaan yang mendalam. Dengan alur penuh emosi dan pesan inspiratif tentang cinta dan pengorbanan, cerpen ini mengajak Anda untuk merenungkan hubungan di dunia kerja. Segera baca kisah Lirien dan rasakan kehangatan serta kesedihan yang tak terlupakan!

Terima kasih telah menyelami ulasan Kebodohan Cinta di Kantor Pagi Hari: Drama Romansa Kantor Paling Mengharukan. Semoga cerita ini membawa Anda pada refleksi dan inspirasi yang mendalam tentang cinta di kehidupan sehari-hari. Kami menantikan kehadiran Anda kembali untuk petualangan literatur berikutnya—jangan lupa bagikan kesan Anda dengan kami!

Leave a Reply