Kebaikan Tanpa Pamrih: Cerita Kaelan tentang Menjadi Pejuang Kehidupan yang Beruntung

Posted on

Pernah nggak sih, kamu merasa sudah berbuat baik, tapi nggak ada yang ngeliat atau mungkin malah gak dapet balasan? Tapi anehnya, meskipun gitu, hidup kayaknya tetap aja ngasih kamu banyak hal baik.

Nah, cerita Kaelan ini bakal ngebahas gimana kebaikan yang nggak selalu dihargai itu bisa bawa keberuntungan yang nggak terduga. Penasaran? Yuk, simak terus perjalanan Kaelan yang ternyata bukan cuma soal ngasih, tapi juga belajar untuk terima!

 

Kebaikan Tanpa Pamrih

Kebaikan yang Tak Dianggap

Kaelan masih ingat hari itu dengan jelas. Matahari bersinar terik, membuat aspal jalanan di depan sekolahnya terasa lebih panas dari biasanya. Anak-anak lain sudah berlarian menuju rumah masing-masing, tapi Kaelan justru menepi di bawah pohon rindang, memperhatikan seorang nenek yang berjalan tertatih dengan kantong belanjaan besar di kedua tangannya.

Tanpa pikir panjang, ia segera melangkah mendekat.

“Nek, boleh aku bantu?” tanyanya sambil mengulurkan tangan.

Nenek itu menatapnya curiga. “Kamu mau apa?”

Kaelan tersenyum kecil. “Cuma bantu bawain belanjaan. Rumah nenek di mana?”

Setelah beberapa detik ragu, nenek itu akhirnya mengangguk. “Di ujung jalan sana, yang pintunya warna biru.”

Kaelan pun membawa kantong belanjaan itu, berjalan beriringan dengan nenek tersebut. Sepanjang perjalanan, ia hanya mendengar nenek itu mengomel tentang betapa berat belanjaannya dan bagaimana anak-anak zaman sekarang jarang mau membantu orang tua. Kaelan tidak membantah atau menimpali, ia hanya mendengarkan.

Setibanya di rumah nenek itu, ia meletakkan kantong belanjaan di teras.

“Sudah, Nek. Aku pulang dulu, ya.”

Nenek itu tidak mengucapkan terima kasih. Ia hanya melirik Kaelan sekilas sebelum membuka pintu dan masuk ke dalam rumahnya. Kaelan menghela napas. Sudah biasa.

Di sekolah, Kaelan juga tidak jauh berbeda. Ia bukan siswa yang menonjol, bukan pula yang selalu jadi pusat perhatian. Namun, setiap kali ada teman yang kesulitan, ia selalu sigap membantu.

“Kaelan! Tolong bantuin aku dong, tugas Matematika ini susah banget!” rengek seorang teman sekelasnya, Raka.

Kaelan yang sedang merapikan bukunya menoleh. “Yaudah, mana soalnya?”

Raka buru-buru menyerahkan buku catatannya, wajahnya penuh harap.

Kaelan memandangi soal-soal yang berantakan itu, lalu mulai menjelaskan pelan-pelan. Namun, baru saja ia selesai menerangkan satu rumus, Raka sudah menyela, “Udah deh, Kael, aku nggak ngerti. Bisa langsung kasih jawabannya aja?”

Kaelan mengangkat alis. “Kalau aku kasih jawabannya, nanti kamu tetap nggak ngerti.”

“Aduh, tapi kan butuh sekarang. Udah, kasih aja ya, bro, buat bantu teman!”

Kaelan menghela napas, lalu menyerahkan buku itu kembali. “Coba kerjain sendiri dulu. Kalau mentok, baru aku bantu.”

Raka mendengus. “Pelit amat.”

Kaelan tidak menanggapi. Sudah sering orang-orang meminta bantuannya, tapi hanya sedikit yang benar-benar menghargainya.

Suatu sore, di perjalanan pulang, Kaelan melihat seekor anak kucing meringkuk di bawah gerobak tukang gorengan. Badannya kotor dan lemas.

Kaelan berjongkok, lalu menyentuh tubuh mungil itu. Kucing itu mengeong lirih.

“Kasian banget, kurus gini,” gumamnya.

Penjual gorengan yang memperhatikannya mendecak. “Itu kucing liar. Udah sejak kemarin di situ. Kayaknya kelaperan.”

Tanpa pikir panjang, Kaelan merogoh saku celananya dan mengeluarkan uang terakhirnya. Seharusnya uang itu ia gunakan untuk membeli jajanan.

“Pak, beli tahu satu, tapi boleh minta plastik lebih buat bawa kucingnya?”

Si tukang gorengan mengangguk. “Ambil aja, Nak.”

Kaelan mengambil tahu goreng dan memberikannya pada kucing itu. Meski awalnya ragu, si kucing akhirnya melahapnya dengan lahap.

“Kalau aku bawa pulang, pasti kena omel,” pikirnya.

Akhirnya, ia memutuskan untuk membawa kucing itu ke rumah kosong di dekat sekolah, tempat yang biasa dijadikan tempat bermain oleh anak-anak kecil. Ia menyiapkan kardus dan kain bekas yang ia temukan di sekitar situ agar si kucing punya tempat yang nyaman.

Keesokan harinya, saat ia kembali, ia menemukan sekotak susu kecil dan beberapa potong makanan kucing di dekat kardus itu. Sepertinya ada orang lain yang juga peduli.

Kaelan tersenyum kecil. Setidaknya, kebaikannya tidak sepenuhnya sia-sia.

Namun, tidak semua orang menghargai perbuatan baiknya.

Suatu hari, di kantin, Kaelan melihat seorang anak kelas sebelah sedang kebingungan mencari uang di saku celananya. Wajahnya panik saat melihat ibu kantin menunggu.

“Kurang dua ribu, Bu, bentar ya, saya cari dulu,” kata anak itu cemas.

Tanpa ragu, Kaelan menyelipkan uang dua ribu rupiah di tangan ibu kantin. “Udah, Bu, saya yang bayar.”

Anak itu menoleh, terkejut. “Eh, nggak usah, Kael!”

“Udah, santai aja,” kata Kaelan ringan, lalu pergi begitu saja.

Ia tidak berharap anak itu akan mengingatnya.

Dan benar saja, keesokan harinya, saat Kaelan duduk di kelas, ia mendengar anak itu berkata ke teman-temannya, “Kemarin gue hampir malu banget di kantin, untung ada orang yang bayarin. Tapi ya gitu deh, nggak seberapa sih, cuma dua ribu doang.”

Kaelan yang duduk tak jauh dari mereka hanya tersenyum tipis. Memang begitulah manusia. Tidak semua orang akan menghargai kebaikan, tapi bukan berarti ia akan berhenti melakukannya.

Tanpa ia sadari, kebaikan kecil yang ia lakukan selama ini perlahan mulai membentuk jalannya sendiri.

Meski tak dianggap, semesta tetap mencatatnya.

 

Keberuntungan yang Tak Disadari

Meskipun Kaelan tak pernah mengharapkan balasan atas kebaikan-kebaikan kecil yang ia lakukan, hidupnya justru memberi kejutan-kejutan yang tak pernah ia duga. Kejadian-kejadian itu datang secara tiba-tiba, mengubah arah hidupnya tanpa ia sadari.

Pagi itu, Kaelan tengah berjalan menyusuri jalan menuju kampus, sibuk dengan pikiran tentang tugas-tugas yang menumpuk. Saat menunggu lampu merah di persimpangan, sebuah mobil sedan berhenti tepat di sampingnya. Seorang wanita muda yang duduk di dalam mobil itu meliriknya sekilas sebelum jendela mobil itu dibuka.

“Hei, kamu Kaelan, kan?” tanya wanita itu dengan suara yang cukup keras agar Kaelan mendengarnya.

Kaelan terkejut. “Iya, saya. Ada apa?”

Wanita itu tersenyum ramah. “Aku dulu teman sekelasmu di SMA. Aku lihat kamu waktu tadi di kafe, jadi aku pikir aku harus menyapa. Kamu baik-baik aja?”

Kaelan mengernyit. “Oh… maaf, kamu siapa?”

Wanita itu tertawa kecil. “Haha, aku Lia. Ingat nggak waktu SMA? Kita satu kelas, meskipun aku lebih sering sama temen-temen lain. Aku lihat kamu yang dulu suka ngebantu orang, yang selalu ada buat teman-teman, meskipun mereka kadang nggak sadar. Aku inget banget waktu kamu bantuin aku ngejar tas yang jatuh di koridor. Saat itu aku ngerasa malu banget, tapi sekarang aku ngerti kok kenapa kamu gitu. Kamu orangnya baik banget, Kaelan.”

Kaelan terkekeh pelan, merasa canggung. “Wah, aku nggak inget sih. Tapi kalau begitu, terima kasih sudah ngingetin.”

Lia mengangguk sambil tersenyum lebar. “Kamu pasti nggak tahu kan, betapa banyak orang yang kamu bantu tanpa kamu sadar? Kamu nggak minta balasan, tapi dunia ini punya cara buat ngembaliin kebaikan kamu. Buktinya aku sekarang ingat kamu, dan sekarang aku ada di sini.”

Kaelan hanya mengangguk samar, merasa aneh dengan pertemuan singkat itu. Lia melambaikan tangan dan mobil itu pun melaju meninggalkan Kaelan yang masih berdiri di pinggir jalan. Ia terdiam beberapa detik, merenung tentang apa yang baru saja terjadi.

Tapi ia tak terlalu memikirkan lagi. Hidupnya masih berlanjut, seperti biasa.

Beberapa minggu setelah kejadian dengan Lia, Kaelan mendapat kabar yang lebih mengejutkan. Pagi itu, saat ia datang ke kampus, ada sebuah amplop besar yang tergeletak di atas mejanya di ruang lobi fakultas. Tak ada nama pengirim yang tertera.

Dengan rasa penasaran, Kaelan membuka amplop itu. Di dalamnya ada sebuah surat dan cek senilai dua juta rupiah.

Kaelan membaca surat itu dengan bingung.

“Untuk Kaelan, yang selalu memberi tanpa pamrih. Ini adalah tanda terima kasih kami atas kebaikanmu yang tak pernah kamu tuntut kembali. Terimalah sebagai bentuk penghargaan kami atas semua yang sudah kamu lakukan.”

Tidak ada nama yang tertera di surat itu. Kaelan melirik cek yang ada di tangannya. Dua juta rupiah.

“Gila,” gumamnya pelan. “Ini nyata, kan?”

Ia meletakkan cek itu di atas meja, masih tidak percaya. Apa maksud semua ini? Kenapa ada orang yang memberikan uang sebesar itu tanpa alasan yang jelas?

Tapi satu hal yang ia tahu, keberuntungan tidak datang begitu saja. Ia merasa seperti ada yang memperhatikannya, meskipun ia tidak tahu siapa.

Sambil berjalan menuju kelas, pikiran Kaelan melayang. Ia teringat kembali pada perkataan Lia. “Dunia ini punya cara buat ngembaliin kebaikan kamu.”

Sejak saat itu, kejutan-kejutan tak berhenti datang. Setiap kali Kaelan merasa sedikit kehilangan arah, selalu ada sesuatu yang muncul untuk mengingatkan bahwa kebaikan yang ia berikan tidak pernah sia-sia.

Pada suatu hari yang panas, setelah menyelesaikan ujian semester, Kaelan merasa sangat lelah. Ia berjalan ke kafe kecil di dekat kampus untuk sekadar membeli kopi dan beristirahat. Begitu duduk di salah satu sudut, seorang pelayan muda datang menghampirinya.

“Maaf, Kak, kalau boleh tahu, kamu Kaelan, kan?” tanya si pelayan, sedikit ragu.

Kaelan mengangkat alis. “Iya, ada apa?”

Pelayan itu tersenyum. “Sebenarnya, saya nggak enak, Kak. Dulu waktu saya baru masuk kampus, saya sempat bingung dan nggak punya teman. Kamu yang pertama kali ngajarin saya buat nggak takut buat bergaul. Kamu nggak tahu, Kak, waktu itu kamu cuma ngajak ngobrol saya di kantin, tapi itu berarti banget buat saya. Itu membantu saya lebih percaya diri. Kalau nggak ada kamu, saya nggak tahu apa yang bakal terjadi.”

Kaelan tertegun. “Oh, aku nggak inget, tapi kalau begitu, senang bisa bantu.”

Si pelayan melanjutkan, “Sebenarnya, ini sedikit iseng sih. Tapi saya udah bayarin kopi kamu, Kak. Itu sedikit hadiah dari saya.”

Kaelan tersenyum. “Makasih, tapi aku nggak perlu hadiah.”

Si pelayan hanya tertawa kecil. “Nggak apa-apa, Kak. Ini cuma sedikit tanda terima kasih saya.”

Kaelan merasa aneh, namun kali ini ia tidak bisa menahan senyumnya. Ini mungkin bukan hal besar, tetapi kebaikan yang telah ia lakukan—yang dulu mungkin terasa biasa saja—sekarang mulai memberikan warna dalam hidupnya.

Semuanya terasa seperti satu lingkaran yang sempurna, di mana setiap kebaikan berbalas, meskipun tidak selalu dalam bentuk yang Kaelan harapkan. Ia tidak tahu apa yang akan datang selanjutnya, tetapi untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa dunia memang punya cara sendiri untuk membalas setiap kebaikan.

 

Saat Kebaikan Terasa Sia-Sia

Meskipun kehidupan Kaelan dipenuhi dengan kejutan-kejutan tak terduga yang menyenangkan, ada kalanya ia merasa lelah. Perasaan itu datang perlahan, ketika ia mulai menyadari bahwa kebaikan yang ia lakukan tak selalu mendapat balasan yang sepadan—bahkan kadang-kadang terasa sia-sia.

Seperti hari itu.

Kaelan sedang duduk di bangku taman kampus, menikmati waktu luangnya sebelum kuliah dimulai. Tiba-tiba, ada seorang mahasiswa baru mendekat, terlihat cemas dan gelisah.

“Eh, Kaelan, bener kan?” tanya mahasiswa baru itu ragu, wajahnya tampak bingung.

Kaelan mengangkat alis. “Iya, kamu siapa?”

Mahasiswa itu menarik napas panjang. “Aku, Reno. Kamu yang dulu bantuin aku nyari ruang kelas pas hari pertama kuliah, kan? Aku nggak tahu harus ke mana waktu itu.”

Kaelan tersenyum ramah. “Oh iya, aku ingat. Gimana, sekarang udah lebih ngerti kampus?”

Reno mengangguk, tampak lega. “Iya, sekarang udah lebih familiar. Tapi, aku ada masalah nih. Aku bawa tugas kuliah yang nggak selesai, dan dosen bilang harus ngumpulin hari ini juga, padahal aku masih bingung cara ngerjainnya. Bisa bantu aku, nggak?”

Kaelan menatap Reno sejenak. Tentu saja, Kaelan tidak bisa menolak. Ia selalu siap membantu, meski kadang merasa tak dihargai.

“Yaudah, kasih deh, soalnya,” jawab Kaelan dengan santai.

Reno menyerahkan tugasnya, yang jelas terlihat belum selesai dan penuh coretan-coretan tak jelas. Kaelan membaca sejenak, lalu mulai memberi penjelasan tentang cara mengerjakannya. Sepanjang penjelasan, Reno hanya diam, sesekali mengangguk, tetapi wajahnya terlihat bingung.

Setelah beberapa menit, Kaelan selesai menjelaskan satu bagian. “Gitu, kamu coba deh kerjain sendiri sekarang.”

Reno tersenyum ragu. “Iya, aku coba. Tapi… aku harus ngumpulin tugas ini sekarang, Kael. Bisa kamu selesain buat aku nggak? Aku nggak yakin bisa ngerjainnya tepat waktu.”

Kaelan menatap Reno dengan kening berkerut. “Apa? Aku nggak bisa ngerjain semuanya, Reno. Aku bantuin penjelasannya aja.”

Namun, Reno tak menyerah. “Aduh, Kael, please. Ini penting banget. Temen-temen aku udah pada selesai, aku nggak mau ketinggalan.”

Kaelan menghela napas panjang, merasa sedikit kesal. Ia mengerti betul bagaimana rasanya terjebak dalam situasi seperti itu, tetapi ia juga merasa tidak adil jika terus-menerus membantu orang yang tidak mau berusaha.

Tapi, seperti biasa, hatinya tak tega. “Baiklah, aku bantu, tapi ini terakhir, ya. Kamu harus lebih mandiri, Reno.”

Reno tersenyum lebar, matanya berbinar penuh harapan. “Iya, Kael! Makasih banget, aku janji nggak akan nyusahin kamu lagi.”

Kaelan pun mulai menyelesaikan tugas itu untuk Reno. Selama beberapa menit, ia menulis jawaban dan menjelaskan tiap langkah pengerjaannya. Meskipun ia merasa lelah dan tidak dihargai, ia tetap melakukan apa yang ia bisa.

Setelah tugas selesai, Kaelan menyerahkan tugas yang telah ia kerjakan. “Ini, kamu bisa langsung ngumpulin.”

Reno mengangguk dengan cepat, langsung berlari menuju ruang dosen tanpa berkata terima kasih. Kaelan hanya menggelengkan kepala, merasa sedikit kecewa.

“Kenapa sih gue selalu jadi orang yang dibutuhin cuma kalau ada masalah?” gumamnya pelan, melihat Reno yang sudah menghilang dari pandangannya.

Hari-hari berikutnya terasa semakin berat bagi Kaelan. Semakin banyak orang yang datang padanya, meminta bantuan, tapi hanya sedikit yang benar-benar menghargai apa yang ia lakukan. Terkadang ia merasa seperti hanya alat untuk menyelesaikan masalah orang lain.

Suatu malam, saat ia sedang duduk di balkon kamarnya, memandang bintang-bintang di langit yang gelap, perasaan itu semakin mendalam. Ia mulai meragukan semua kebaikan yang selama ini ia lakukan.

“Kenapa ya, gue ngebantu orang, tapi nggak pernah ada yang bener-bener ngeliat atau ngerti?” pikirnya, menatap bintang dengan tatapan kosong. “Apakah semua ini cuma sia-sia?”

Kaelan menarik napas panjang dan berdiri. Ia masuk ke dalam kamar, membuka jendela, dan melihat keluar. Dunia terasa jauh lebih besar dari yang ia kira. Kadang, kebaikan yang ia lakukan terasa sangat kecil, seperti tetesan air di lautan yang luas.

Namun, meskipun keraguan itu datang, Kaelan tahu satu hal—kebaikan tidak selalu datang dengan balasan yang jelas. Ia mulai memahami bahwa ada hal-hal yang lebih besar dari sekadar mendapatkan penghargaan atau terima kasih.

Esok paginya, Kaelan tiba di kampus lebih awal. Ia berjalan pelan menuju ruang kelas, sambil melamun. Namun, saat ia melintasi sebuah bangku di depan ruang perpustakaan, matanya tertumbuk pada seorang pria yang sedang duduk sendirian.

Pria itu mengenakan jaket hitam, terlihat bingung dan cemas. Kaelan mendekat, dan melihat pria itu mengutak-atik ponselnya, tampak frustrasi.

“Eh, ada apa?” tanya Kaelan, tidak bisa menahan rasa ingin tahunya.

Pria itu menoleh, dan Kaelan terkejut melihat wajah yang familiar—Reno.

Reno tampak kehabisan kata-kata, lalu berkata, “Gue nggak tau lagi mesti gimana, Kael. Tugas itu, yang kamu bantuin kemarin, ternyata ada kesalahan. Dosen nggak terima, dan dia bilang gue harus ngulang semuanya.”

Kaelan menatap Reno dengan bingung. “Lah, kenapa nggak bilang dari awal kalau nggak bisa?”

Reno terdiam, menunduk. “Gue nggak mau dibilang lemah, Kael. Gue cuma takut kalau kalian semua bakal ngeliat gue sebagai orang yang nggak mampu.”

Kaelan menatap Reno dengan hati yang mulai melunak. “Dengerin, Reno, gue nggak bakal ninggalin lo. Tapi lo harus lebih jujur sama diri sendiri, oke? Kadang, nggak apa-apa kalau kita nggak bisa ngerjain sesuatu sendiri. Nggak ada salahnya minta bantuan.”

Reno menatapnya dengan mata berkaca-kaca, merasa malu sekaligus terharu. “Makasih, Kael. Gue ngerti sekarang.”

Kaelan tersenyum, meski hatinya masih terasa berat. Terkadang, kebaikan yang ia lakukan memang tidak selalu langsung berbuah manis. Namun, satu hal yang ia pelajari—bahwa memberi, meskipun kadang terasa sia-sia, tetap memberikan sesuatu yang lebih besar dari sekadar hasil yang tampak di permukaan.

 

Keberanian untuk Terus Berbuat Baik

Kaelan duduk di sebuah bangku taman kampus, menatap layar ponselnya yang menunjukkan waktu hampir tengah hari. Hari-hari belakangan terasa lebih tenang, meskipun ada banyak hal yang belum selesai ia pahami. Keberuntungan yang datang begitu saja—seringkali terasa seperti kebetulan belaka. Namun, ada satu hal yang mulai ia sadari: kebaikan bukanlah soal mendapatkan balasan yang langsung tampak.

Hari itu, Kaelan baru saja membantu seorang teman yang kehilangan dompet. Padahal, ia sedang buru-buru menuju kelas, tetapi entah kenapa ia memutuskan untuk menunggu teman itu. Ia tak ingin orang lain merasa kehilangan tanpa bantuan. Namun, meskipun temannya sangat berterima kasih, Kaelan tetap merasa seperti itu hanya sebuah kewajiban, bukan sesuatu yang besar.

“Tapi, kenapa ya aku masih merasa kosong?” gumamnya, menatap pemandangan di hadapannya, tetapi pikirannya jauh entah ke mana.

Tiba-tiba, suara langkah kaki menghampirinya. Kaelan menoleh dan melihat Reno, mahasiswa yang beberapa waktu lalu ia bantu mengerjakan tugas. Reno terlihat cemas, dan wajahnya sedikit memerah.

“Kael,” sapa Reno dengan nada agak kikuk. “Gue… gue mau minta maaf. Gue baru sadar kalau selama ini gue cuma ngandelin bantuan lo terus, tanpa mikirin kalau lo juga butuh ruang.”

Kaelan tersenyum samar. “Gak usah minta maaf, Reno. Lo kan butuh bantuan waktu itu, gue ngerti.”

Reno menarik napas, duduk di sebelah Kaelan. “Gue baru paham, Kael. Waktu itu, lo ngebantuin gue bukan cuma karena lo baik, tapi karena lo bener-bener peduli. Dan gue… gue nggak pernah bener-bener ngeliat itu. Gue pikir selama ini lo cuma ngebantu orang buat ngerasa baik.”

Kaelan terdiam sejenak. “Apa maksud lo?”

Reno menatapnya dengan serius. “Gue mulai ngeh kalau hidup gak cuma soal ngasih tanpa pamrih, Kael. Tapi, kadang kita juga harus belajar menerima bantuan dari orang lain, nggak cuma terus-terusan jadi yang ‘ngasih’. Gue… gue pengen belajar jadi orang yang bisa saling ngasih, bukan cuma orang yang ngambil.”

Kaelan mengangguk perlahan, merasa sebuah kehangatan meresap ke dalam hatinya. “Lo nggak perlu jadi sempurna, Reno. Cukup jadi diri sendiri, dan kalau lo butuh bantuan, jangan takut buat minta. Kebaikan nggak selalu harus jadi transaksi, kok. Kadang, ngasih juga berarti menerima.”

Reno tersenyum lebar. “Gue ngerti sekarang. Terima kasih banyak, Kael.”

Kaelan hanya mengangguk, merasa lega. Mungkin, selama ini ia terlalu fokus pada bagaimana orang lain melihat kebaikannya, sampai lupa kalau kebaikan itu bukan soal bagaimana dunia membalasnya. Itu soal membuat dunia ini sedikit lebih baik, meskipun tak selalu dihargai.

Namun, perlahan ia mulai memahami bahwa tindakan kecil yang ia lakukan bisa memberi pengaruh besar, meskipun ia tak pernah mengetahui bagaimana dampaknya. Dan akhirnya, ia sadar bahwa kebaikan yang tulus bukan hanya tentang memberi. Ini tentang keberanian untuk tetap memberi, meski tak ada yang terlihat sebagai balasan.

Langit di atas kampus mulai meredup, memberi tanda bahwa sore semakin dekat. Kaelan berdiri, menatap langit yang kini dipenuhi warna jingga keemasan. Ia merasa lebih ringan, lebih lega. Mungkin kebaikan tidak selalu harus membuahkan hasil yang langsung bisa dilihat, tapi itu selalu punya cara untuk kembali padamu, pada saat yang tepat.

Seiring langkahnya menuju kelas, Kaelan tersenyum kecil, merasa sedikit lebih puas dengan dirinya. Ia tahu, apa pun yang terjadi, ia akan terus berbuat baik, bukan karena ingin dilihat atau dihargai, tapi karena itu adalah bagian dari siapa dirinya—sebuah perjalanan yang tidak pernah berakhir.

 

Jadi, gimana? Ternyata kebaikan yang kita lakukan, meski nggak langsung dibalas, bisa bawa banyak hal positif ke dalam hidup kita. Kebaikan itu nggak harus selalu terlihat, kok. Yang penting, kamu tetap berusaha jadi orang baik tanpa berharap sesuatu yang langsung balik ke kamu.

Kadang, hasilnya bakal datang di waktu yang nggak terduga, dan itu bisa lebih berharga dari apa pun. So, yuk, terus berbuat baik, karena kamu nggak pernah tahu siapa yang bakal terinspirasi dan kapan kebaikan kamu akan balik ke kamu dengan cara yang luar biasa!

Leave a Reply