Keajaiban Melahirkan: Cerita Ibu Hamil yang Menggemaskan dan Penuh Cinta

Posted on

Bayangin deh, hamil itu nggak cuma soal nunggu perut makin gede. Ada banyak banget cerita lucu, momen seru, dan juga momen-momen dramatis yang bakal bikin kamu ngakak dan terharu.

Nara, si ibu hamil, mungkin ngerasa sama—setiap hari tuh ada aja kejutan, entah dari bayinya atau dari suaminya yang super panik itu. Dan pas akhirnya si kecil lahir, semua rasa lelah dan cemas itu langsung hilang begitu aja. Jadi, siap-siap buat ngerasain keajaiban melahirkan yang nggak cuma bikin haru, tapi juga bikin ketawa!

 

Keajaiban Melahirkan

Kejutan di Perutku

Pagi itu, seperti biasa, rumah kami dipenuhi dengan suara-suara kecil yang mengalun dari dapur. Ada suara panci yang berdenting, aroma telur dadar yang sedang digoreng, dan suara musik ringan yang diputar di radio. Aku duduk di meja makan, masih setengah terlelap, dengan rambut acak-acakan, mencoba melawan rasa kantuk yang masih menggelayuti. Di sebelahku, Nara, istriku, sedang duduk di kursi, memegang buku catatan kehamilan yang sudah mulai menebal.

Satu hal yang aku pelajari sejak menikahi Nara: dia itu selalu penuh kejutan. Kalau bukan soal ide-ide aneh yang datang tiba-tiba, pasti tentang perubahan suasana hati yang bisa terjadi dalam hitungan detik. Pagi ini, dia lagi-lagi memberi kejutan.

“Nara,” aku memanggilnya dengan suara serak, masih mencoba untuk bangun dari tidur yang belum tuntas. “Kamu kenapa? Kok kelihatan… gimana gitu?” Aku menatapnya, masih bingung, tapi sadar ada yang berbeda dengan penampilannya.

Nara menoleh ke arahku dengan mata yang sudah sedikit membengkak karena kurang tidur. Bibirnya sedikit terangkat, tapi senyumnya lebih cemas daripada biasanya.

“Aku rasa…” Nara melanjutkan kalimatnya dengan perlahan, seakan mencari-cari kata yang tepat. “Aku rasa… aku nggak bisa sembunyiin ini lagi, Juno. Perutku makin gede, kan?”

Aku hanya menatapnya bingung, otakku yang masih setengah nyala berusaha menangkap makna dari kalimat yang baru keluar dari mulutnya. “Maksud kamu apa, sayang?” tanyaku, masih terkesan santai.

Nara mengangkat tangannya, meraba perutnya yang sudah mulai membulat, lalu menatapku dengan mata yang sedikit nanar. “Aku… hamil, Juno.”

Aku langsung tercekat. Suara yang keluar dari mulutku hanya sebuah “Oh,” seperti aku baru saja mendengar kabar dari tetangga tentang hujan yang akan turun. Padahal, ini lebih dari sekedar hujan. Ini adalah perubahan besar. Perubahan yang akan mengubah semuanya—hidup kami, rutinitas kami, bahkan dunia kami.

“Jadi… kamu… hamil?” Aku mengulanginya lagi, hanya untuk memastikan aku tidak salah dengar.

Nara mengangguk, senyum kecil di wajahnya mengambang, dan aku bisa melihat betapa dia sedang menahan kecemasan yang tak terungkapkan. “Iya, Juno. Kamu bakal jadi ayah.”

Suasana di ruang makan itu tiba-tiba berubah hening. Aku menatap Nara, kemudian melihat perutnya yang belum terlalu besar, tapi cukup untuk mengingatkan aku bahwa kami akan menjadi orangtua dalam waktu dekat. Aku sedikit terbengong, tapi rasa bahagia tiba-tiba menyelinap masuk ke dalam dadaku. Ada campuran rasa yang aneh—terkejut, bingung, tapi juga senang. Ini, ternyata, lebih nyata dari yang kubayangkan.

“Aku… nggak nyangka bakal seperti ini,” kataku, mencoba untuk memecah keheningan. “Kita nggak ada rencana, kan? Ini kan kejutan besar.”

Nara tertawa kecil, mencoba menenangkan diriku. “Iya, memang kejutan. Tapi bukannya kejutan itu yang bikin hidup lebih seru? Kalau semuanya udah direncanain, nggak bakal ada yang asik.”

Aku mengangguk pelan, meski rasanya masih perlu waktu untuk benar-benar mencerna semuanya. Sementara itu, Nara dengan ceria melanjutkan makanannya—telur dadar yang aku buat, meski tadi aku merasa itu lebih ke arah ‘telur dadar setengah matang’ karena terlalu terburu-buru. Tiba-tiba, dia menyeringai.

“Nara, kenapa senyum-senyum gitu?” tanyaku, heran. “Kamu gak takut atau gimana? Ini… kita bakal jadi orangtua, loh. Bayi yang ngidam juga mulai tumbuh dalam perutmu.”

Dia menatapku dengan mata lebar dan senyuman yang masih menempel di wajahnya. “Aku sih senang-senang aja, Juno. Cuma… ngomong-ngomong, aku ngidam lagi nih.”

Aku langsung berhenti mengunyah dan memandangnya dengan wajah kebingungan. “Ngidam? Apa kali ini? Aneh-aneh lagi kan?”

Nara mengangkat bahunya, tampak tak sabar. “Ngidam jus tomat. Yang dingin banget. Tapi, kalau kamu bilang nggak enak lagi, aku bisa marah, loh.”

Aku hanya bisa menggelengkan kepala, merasa bingung tapi sekaligus ingin tertawa. “Serius, Nara? Jus tomat? Ngidam kayak gitu tuh nggak ada yang nyangka!”

Nara mencibir manis, mencoba untuk terlihat galak meski bibirnya hampir melengkung ke arah senyum. “Kamu bilang nggak enak, siap-siap aja dimarahin. Aku yang hamil, aku yang ngidam, kamu cuma… ikutin aja, deh.”

Juno tertawa, berusaha menenangkan, dan meskipun dia tampak sedikit bingung, dalam hatinya dia merasa bangga. Mereka akan menjalani petualangan baru, satu yang penuh kejutan.

 

Ngidam dan Kebingunganku

Hari-hari setelah Nara memberi tahu aku tentang kehamilannya, semuanya terasa seperti keajaiban yang datang begitu cepat. Kami masih berusaha menyesuaikan diri dengan kenyataan bahwa dalam waktu beberapa bulan ke depan, hidup kami akan berubah total. Dan, seperti yang aku duga, perubahan pertama dimulai dengan hal yang sangat aneh: ngidam.

“Juno!” suara Nara tiba-tiba terdengar keras dari ruang tengah. Aku yang sedang sibuk menyelesaikan pekerjaan kantor di meja makan langsung menoleh. “Aku mau yang manis-manis!”

Aku mengernyitkan dahi, merasa bingung. “Manis? Manis kayak gimana, maksud kamu?”

“Pokoknya manis! Kayak… es krim, ya es krim yang gede banget!” katanya sambil melangkah keluar dari ruang tengah dengan gerakan lincah. Nara, dengan perut yang makin membesar, tetap bergerak seperti biasa—tapi hari ini aku melihatnya agak lebih ceria dari biasanya. Tentu saja, aku baru sadar betapa anehnya keinginan-keinginan yang datang tanpa pemberitahuan.

“Es krim?” aku mengulang, berusaha mencerna permintaan itu. “Bukannya kamu udah makan es krim kemarin malam?”

“Es krim itu beda! Aku mau yang ada banyak topping, yang bisa kamu kasih saus coklat dan kacang-kacangan di atasnya. Dan jangan lupa, harus dingin banget!” jawab Nara dengan senyum manis yang sudah bisa aku tebak pasti penuh dengan harapan.

Aku menatapnya sejenak, merenung. “Oke, oke… aku paham,” jawabku akhirnya. Aku harus segera keluar untuk membeli es krim yang dimaksud—kalau nggak, bisa-bisa aku yang dimarahin, dan aku nggak ingin melawan ibu hamil yang satu ini.

Aku keluar rumah menuju toko terdekat, membawa banyak harapan bahwa semua akan berjalan lancar. Tapi, seperti yang aku duga, es krim yang aku pilih ternyata belum cukup memenuhi syarat. Begitu aku masuk ke rumah, Nara langsung mengerutkan keningnya dan menatap gelas es krim yang aku bawa.

“Kenapa cuma satu rasa, Juno?” dia bertanya dengan suara yang terdengar seperti omelan halus. “Aku pengen yang banyak rasa, satu mangkok besar, tahu nggak?”

Aku cuma bisa tersenyum, sambil berusaha mengatur napasku agar tetap sabar. “Baik, sayang. Aku balik lagi, deh. Tunggu sebentar.”

Ketika aku kembali ke rumah lagi dengan dua mangkok es krim besar yang sudah dilengkapi dengan saus coklat, kacang, dan taburan lainnya, Nara sudah tampak lebih senang. Meskipun aku sedikit kelelahan, aku merasa bahagia melihatnya tersenyum lebar.

“Juno, kamu memang terbaik! Ini yang aku mau,” Nara berkata sambil memeluk erat es krimnya, seolah itu adalah hadiah terbesar yang pernah aku berikan. “Tapi… jangan lupa, aku masih butuh permen juga!”

Aku mengangkat alis, mencoba menyembunyikan tawa. “Permen? Dari mana lagi, sayang?”

“Yang warna-warna cerah. Yang bisa ngecair di mulut, kayak permen buah. Itu enak banget, Juno, kamu nggak ngerti?” jawabnya, dengan wajah serius, yang buat aku nggak bisa menahan tawa.

Aku menghela napas, kembali keluar untuk membeli permen seperti yang dia mau. Kadang aku berpikir, ini bukan sekadar keinginan biasa. Ini adalah misi yang penuh tantangan.

Sesampainya di rumah lagi, dengan membawa semua yang diminta, Nara langsung duduk santai di sofa, memandangi perutnya yang mulai membesar. “Ngidam itu serius, Juno. Kamu tahu nggak sih, aku sudah ngebayangin rasa permen ini semalam?” katanya sambil tersenyum.

Aku hanya menggelengkan kepala. “Aku bahkan nggak bisa bayangin rasanya, tapi yang jelas, kamu benar-benar tahu apa yang kamu mau.”

Nara tertawa kecil, dan untuk sesaat, aku bisa merasakan betapa anehnya, tapi juga lucunya, perjalanan kami menuju ke dunia baru ini. Kami tak hanya menantikan bayi yang akan lahir, tapi juga belajar tentang hal-hal kecil yang membuat hidup lebih penuh warna—seperti ngidam yang tak terduga ini.

“Oh, ya, Juno,” Nara melanjutkan dengan mata berbinar. “Kamu tahu, aku baru saja berpikir, kalau nanti bayi kita lahir, kita harus menyiapkan nama yang keren. Nama yang bisa bikin dia bangga.”

Aku duduk di sebelahnya, melirik dia yang terlihat serius sekali. “Nama keren? Kamu udah punya ide?”

“Iya, sih, aku udah mikirin beberapa nama,” jawabnya sambil menyuapkan permen ke mulutnya. “Tapi aku mau kamu juga mikirin. Kamu kan calon ayahnya. Harus ada kontribusi, dong!”

Aku mengangguk, meski otakku sedikit kebingungan. Nama untuk bayi? Ini baru pertama kali aku mikirin hal seperti itu, dan terasa begitu besar. “Oke, aku pikirkan, ya. Tapi… kita cari nama yang nggak aneh-aneh banget, ya?”

Nara tertawa, menggoyangkan jari di depan wajahku. “Pokoknya jangan terlalu biasa, Juno. Kita punya anak pertama, loh. Kalau nama anak kita biasa aja, nanti dia malu sama teman-temannya.”

“Gimana kalau kita ambil nama dari alam aja?” usulku, mencoba memberikan ide yang masuk akal.

Nara menatapku dengan penuh perhatian, kemudian tersenyum. “Boleh, tapi kita lihat aja nanti, ya. Aku sih lebih pengen yang berkesan. Kayak… namanya satu suku kata tapi bisa bikin orang heran!”

Kami berdua tertawa bersama, di tengah tumpukan es krim, permen, dan segala permintaan aneh yang Nara buat. Tapi aku tahu satu hal pasti—tak ada yang lebih bahagia dari melihat senyum Nara saat dia berbicara tentang hal-hal kecil ini. Perjalanan menjadi orangtua memang penuh kejutan.

 

Ujian Kehamilan dan Persiapan yang Gagal

Hari-hari berlalu dengan cepat, dan aku mulai terbiasa dengan kebiasaan baru yang tercipta di rumah. Seperti misalnya, setiap malam aku harus menemani Nara duduk di sofa sambil menonton acara yang entah kenapa selalu berakhir dengan dia tertidur di atas bantal-bantal empuk. Kalau tidak begitu, dia akan sibuk dengan catatan kehamilan, menandai setiap perubahan yang dia rasakan. Tentu saja, aku lebih sering menjadi “pelayan pribadi” yang selalu siap sedia untuk memenuhi segala permintaan, meski kadang aku merasa seperti masuk ke dunia baru yang penuh dengan misteri.

Tapi, hari itu berbeda. Nara tiba-tiba terbangun lebih pagi dari biasanya, tampak sedikit gelisah, dan matanya memancarkan ketegangan yang jarang kulihat.

“Juno,” dia memanggilku dengan nada yang agak tegang, sambil memegang perutnya. “Aku merasa… beda hari ini. Ada yang nggak beres.”

Aku langsung berdiri dari tempat tidur, mataku terbuka lebar. “Ada apa, sayang? Kamu kenapa? Perut kamu sakit?”

Nara menggeleng, tapi wajahnya menunjukkan ekspresi yang sama sekali tidak seperti biasanya. “Aku nggak tahu. Tapi kayaknya aku… harus ke dokter, deh.”

Aku panik. Nara, yang biasanya sangat ceria, sekarang terlihat cemas. Aku bisa merasakan ketegangan yang sama menyelimuti tubuhku. “Oke, kita pergi sekarang. Jangan khawatir, aku bawa mobil. Kamu nggak perlu bergerak banyak, aku akan bantu.”

Kami bergegas ke dokter yang sudah menjadi langganan kami sejak Nara hamil. Selama perjalanan menuju klinik, aku berusaha tetap tenang, meski di dalam dada ada perasaan cemas yang tak bisa kupendam. Nara duduk di sampingku, memegang perutnya dengan lembut, seolah berusaha menenangkan dirinya sendiri.

Sesampainya di klinik, kami langsung menuju ruang pemeriksaan. Aku duduk di samping Nara, menggenggam tangannya erat. Beberapa menit kemudian, dokter masuk dan mulai memeriksa keadaan Nara dengan seksama.

“Jadi, apa yang terjadi?” tanya dokter itu dengan nada tenang, memeriksa hasil tes dan ultrasound yang ada.

“Dok, saya merasa aneh hari ini. Kayak ada yang nggak beres dengan perut saya,” kata Nara, masih dengan cemas.

Dokter itu tersenyum dan mencoba menenangkan kami. “Tenang saja, Nara. Itu normal kok di masa-masa kehamilan seperti ini. Kadang-kadang ada perubahan-perubahan fisik yang bisa bikin kamu merasa nggak nyaman. Saya akan cek lebih lanjut.”

Beberapa menit kemudian, dokter selesai memeriksa dan memberikan penjelasan yang membuat kami sedikit lega. “Kamu nggak perlu khawatir, Nara. Semua baik-baik saja. Bayimu sehat, dan kondisimu juga stabil. Mungkin kamu cuma merasa lelah dan sedikit stres. Kehamilan memang kadang bisa bikin emosi berubah-ubah.”

Nara menghela napas panjang dan tersenyum lega, meski masih ada sisa kekhawatiran di wajahnya. Aku menepuk tangan Nara dengan lembut. “Kan aku bilang, kamu nggak perlu khawatir. Bayi kita kuat kok, sama seperti kamu.”

Setelah kunjungan dokter itu, kami merasa sedikit lebih tenang, meskipun tidak sepenuhnya. Namun, keanehan itu ternyata bukan hanya tentang perasaan Nara saja. Sejak saat itu, berbagai kejadian kecil mulai terasa lebih intens. Misalnya, tiba-tiba Nara ingin mengatur ulang seluruh rumah. “Kita butuh ruang lebih besar,” katanya suatu pagi, sambil melihat-lihat ruang tamu dengan ekspresi serius. “Bayi kita butuh ruang, Juno!”

Aku tertawa, meskipun agak kaget dengan keputusan mendadak itu. “Tunggu dulu, sayang. Kamu nggak usah buru-buru. Kita bisa atur ruang di sini kok, nggak perlu langsung pindah rumah.”

“Tapi, Juno, kita butuh rumah yang lebih luas. Bayi kita nggak bisa tidur di ruang sempit!” Nara menggeleng, tampak meyakinkan. “Aku sudah googling, loh. Banyak rumah kecil yang nggak cocok buat anak bayi. Kita harus cari yang lebih besar!”

Aku hanya bisa menggelengkan kepala dan mencoba menenangkan Nara yang semakin semangat dengan ide-ide barunya. “Oke, oke. Tapi nggak usah terburu-buru, ya? Kita juga masih punya banyak waktu.”

Namun, tak lama setelah itu, masalah lain muncul. Saat sedang menyusun peralatan bayi di ruang tamu, aku dan Nara mulai berdebat soal warna cat kamar bayi. Nara bersikeras memilih warna pastel yang lembut, sementara aku lebih suka warna yang sedikit lebih terang dan cerah.

“Apa yang kamu maksud dengan warna cerah, Juno? Kita nggak bisa bikin kamar bayi jadi warnanya neon!” Nara melotot padaku.

“Bukan neon, Nara. Cuma, biar ada sedikit energi, gitu,” aku mencoba menjelaskan.

“Nggak usah! Kamar bayi harus tenang, nggak ribet!” dia hampir teriak, memiringkan kepalanya, dan aku tahu kalau dia sedang benar-benar serius.

Aku mengangkat bahu, menyerah. “Oke, pastel itulah, berarti.” Aku tahu bahwa berdebat soal warna kamar bayi bukanlah hal yang benar-benar perlu dibahas lebih jauh. Yang penting, kami berdua bahagia dengan keputusan apapun.

Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan lebih banyak keputusan-keputusan kecil yang ternyata menjadi lebih besar di mata Nara. Setiap kali aku kembali ke rumah setelah kerja, ada saja hal baru yang ingin dia lakukan—mulai dari menyiapkan segala perlengkapan bayi, mengatur ulang perabotan, hingga memilih gendongan bayi yang katanya lebih nyaman.

Namun, di tengah semua persiapan yang tak pernah berhenti itu, aku menyadari satu hal. Meskipun Nara sering kali terlihat cemas dan penuh pertanyaan, dia juga selalu bersemangat tentang apa yang akan datang. Kehamilan ini mungkin memberi kami banyak tantangan, tapi juga banyak keindahan yang datang dari perjalanan yang penuh kejutan ini. Kami akan menjadi orangtua. Semua persiapan ini—walaupun terasa agak gila—adalah cara kami untuk menunjukkan betapa besar cinta kami pada bayi yang belum lahir.

Di tengah kegilaan persiapan itu, ada satu hal yang pasti. Aku mulai merasakan betapa hebatnya menjadi seorang ayah, meskipun semuanya masih terasa begitu baru.

 

Keajaiban Kecil yang Terlahir

Sudah lebih dari sembilan bulan sejak pertama kali Nara memberi tahu aku tentang kehamilannya. Rasanya seperti waktu berjalan begitu cepat, namun di saat bersamaan, juga terasa lambat—terutama saat kami berdua sudah mempersiapkan segala hal yang bisa kami pikirkan untuk menyambut kehadiran buah hati kami. Rumah yang sebelumnya hanya kami berdua tempati kini dipenuhi dengan perabotan bayi, mainan, dan tumpukan selimut lembut. Kami sudah melakukan segala hal yang kami kira perlu dilakukan. Namun, ada satu hal yang belum sempat kami persiapkan—sesuatu yang jauh lebih besar dari apapun yang pernah kami bayangkan: saat-saat menuju kelahiran.

Nara sudah tidak sabar lagi. Setiap hari, matanya tak bisa lepas dari jam, menunggu tanda-tanda yang datang lebih cepat atau lebih lambat. Terkadang, dia terbangun di tengah malam, meraba perutnya dan kemudian menghela napas panjang, seperti seorang ibu yang sedang menunggu keajaiban datang.

Suatu pagi, saat aku sedang membuatkan sarapan, Nara tiba-tiba menatapku dengan tatapan penuh kecemasan. “Juno… aku rasa ini waktunya.”

Aku langsung membeku, sendok yang tadi aku pegang terjatuh di lantai. “Apa? Maksud kamu… sekarang?” Aku menatap Nara, tak yakin apakah aku sedang bermimpi.

Dia mengangguk dengan serius, meskipun tampak ada sedikit kebingungan di matanya. “Iya, rasanya ada yang mulai terasa. Perutku… sudah sangat sakit.”

Jantungku berdebar kencang. Tanpa pikir panjang, aku langsung mengambil jaket dan memasukkannya ke dalam tas bersama barang-barang penting lainnya. Kami buru-buru menuju rumah sakit, dan selama perjalanan, aku menggenggam tangan Nara dengan erat, mencoba menenangkannya. Aku bisa merasakan ketegangan itu, bukan hanya dari Nara, tapi juga dari diriku sendiri. Semua yang kami persiapkan selama ini—semua keributan tentang warna kamar, tumpukan perlengkapan bayi—tidak ada artinya dibandingkan dengan momen ini.

Setibanya di rumah sakit, semuanya berjalan begitu cepat. Dokter dan suster langsung menyambut kami dengan senyuman, meskipun ada kesibukan yang jelas terasa di udara. Mereka membawa Nara ke ruang bersalin, dan aku hanya bisa mengikuti mereka sambil berjalan terburu-buru. Nara menggenggam tanganku sepanjang jalan, dan aku bisa merasakan tangan itu semakin erat seiring dengan rasa sakit yang semakin intens.

Di ruang bersalin, Nara mulai merasakan kontraksi yang lebih kuat. Aku duduk di sampingnya, berusaha sebisa mungkin menenangkannya, meskipun aku sendiri juga merasakan kegugupan yang luar biasa. “Nara, kamu kuat. Bayi kita kuat. Kita akan melewati ini bersama-sama,” kataku berulang-ulang, mencoba memberikan rasa aman.

“Aku nggak tahu, Juno,” katanya dengan napas terengah-engah. “Aku takut, Juno. Takut banget.”

“Aku di sini, sayang. Kamu nggak sendirian,” aku berusaha memberikan keyakinan, meskipun aku pun merasa tak lebih tenang.

Akhirnya, setelah berjam-jam yang terasa seperti seumur hidup, saat itu datang juga—saat yang kami tunggu-tunggu. Nara melahirkan dengan penuh perjuangan. Dan ketika bayi kami pertama kali menangis, itu adalah suara yang terdengar seperti musik paling indah yang pernah ada. Aku langsung merasa ada beban yang hilang, dan perasaan itu lebih indah dari apapun yang bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Suster meletakkan bayi kami di pelukan Nara. “Selamat, Nara. Bayimu perempuan, sehat dan cantik.”

Aku tak bisa menahan air mata. Nara, yang kelelahan namun tampak bahagia, menatap bayi kami dengan penuh cinta. Dia menggenggam tangan kecil itu dengan lembut, dan aku melihat sekelebat kebahagiaan murni di wajahnya—dan itu adalah kebahagiaan yang aku rasakan juga.

Aku menyentuh pipi Nara dengan lembut, masih terharu. “Kamu luar biasa, Nara. Aku nggak pernah bisa cukup mengucapkan terima kasih. Kita lakukan ini bersama-sama, sayang.”

Nara tersenyum lelah, namun matanya tetap bersinar. “Kita berhasil, Juno. Kita benar-benar berhasil.”

Kami saling menatap, dan untuk pertama kalinya dalam perjalanan ini, aku merasa tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Bayi kami, perempuan kecil yang sudah membawa kebahagiaan ke dalam hidup kami, sudah ada di dunia ini. Semua kesulitan yang kami alami, semua kekhawatiran yang datang silih berganti, tidak ada artinya dibandingkan dengan keajaiban yang baru saja terlahir.

Dan saat itu, aku menyadari satu hal: perjalanan baru kami sebagai orang tua baru saja dimulai. Tapi bersama Nara, aku merasa siap menghadapi apapun. Bersama bayi kecil kami, dunia ini terasa lebih lengkap dan sempurna.

 

Akhirnya, bayi kecil itu hadir dan semuanya jadi terasa sempurna. Semua kecemasan, semua kekhawatiran, dan segala hal yang bikin pusing selama sembilan bulan itu langsung lenyap begitu aja. Karena apa? Karena cinta.

Cinta yang datang dari hati yang nggak pernah berhenti berharap, dan cinta yang selalu ada, meskipun dalam situasi paling penuh tantangan sekalipun. Jadi, di setiap detik perjalanan ini, Nara dan Juno tahu satu hal pasti: kebahagiaan terbesar mereka baru saja dimulai, dan itu lebih indah dari apapun yang bisa mereka bayangkan.

Leave a Reply