Daftar Isi
Bayangin kalau kamu dikasih tiga permintaan ajaib, dan setiap keinginan bisa bikin hidup kamu seketika berubah. Tapi, gimana kalau ternyata, di balik setiap keajaiban itu, ada harga yang nggak pernah kamu bayangkan?
Ini cerita Awan—cowok biasa yang tiba-tiba ketiban keajaiban, tapi harus pilih: bahagiain keluarga atau ngorbanin dirinya sendiri. Siap-siap diajak muter otak sambil ngerasain gimana rasanya berhadapan sama sisi gelap dari keajaiban!
Keajaiban Keong Emas
Kilauan di Tepi Sungai
Sore itu, langit mulai bersemburat jingga ketika Awan menyusuri pinggir sungai di belakang rumahnya. Langkah kakinya ringan, menghantam pelan dedaunan kering yang berserakan di sepanjang jalan setapak. Sungai itu adalah tempat favorit Awan. Dari kecil, ia selalu datang ke sini, mencari ketenangan setelah seharian bekerja di ladang bersama orangtuanya. Gemericik air yang mengalir tenang dan suara burung-burung kecil yang mulai kembali ke sarang menciptakan simfoni alam yang menenangkan.
Sore ini, ada sesuatu yang berbeda di udara. Awan merasa ada yang menarik perhatiannya—entah itu hembusan angin yang sedikit lebih dingin atau mungkin hanya perasaannya. Namun, ia tak bisa mengabaikan naluri yang membuatnya berhenti melangkah dan memandang sekeliling.
Di antara semak-semak di tepi sungai, sesuatu berkilauan. Cahaya itu kecil, tapi cukup untuk membuat Awan menghentikan langkahnya. “Apa itu?” gumamnya pelan, sedikit membungkuk untuk melihat lebih jelas. Sekilas, ia mengira itu mungkin sekadar serpihan kaca yang terpantul oleh matahari sore, tapi kilauannya terlalu aneh. Bukan kilauan biasa. Lebih… hidup.
Dengan rasa ingin tahu yang semakin besar, Awan merunduk, meraih benda yang tersembunyi di balik semak. Jarinya menyentuh sesuatu yang keras tapi halus, sedikit basah karena embun yang menempel. Ia mengangkat benda itu dari semak, mengusapnya pelan untuk menghilangkan lumpur yang menempel.
“Keong?” ucap Awan sambil mengerutkan kening. Tapi bukan keong biasa. Cangkangnya berwarna emas, memantulkan cahaya matahari sore dengan indahnya. Awan memutar keong itu di tangannya, memandangi tiap lekukan dan kilauan yang memancar dari permukaannya. Seumur hidupnya tinggal di desa ini, ia belum pernah melihat sesuatu yang seunik ini. Keong emas?
Belum sempat Awan mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi, keong itu bergetar. Perlahan, sinar keemasan yang hangat mulai merambat keluar dari cangkang keong. Awan terdiam, matanya terbelalak. “Apa ini?” bisiknya, tak percaya dengan apa yang ia lihat.
Cahaya itu semakin terang, membungkus seluruh tubuh keong sebelum akhirnya berubah bentuk. Dari dalam kilauan emas itu, sesosok gadis muncul. Awan terdiam. Di hadapannya kini berdiri seorang gadis dengan rambut panjang berwarna emas yang terurai indah, wajahnya lembut dengan sorot mata yang seolah penuh kedamaian. Ia mengenakan gaun tipis yang memancarkan cahaya, melambai pelan seiring angin yang berembus.
Gadis itu tersenyum, senyum yang membuat Awan merasa seperti tengah berada dalam mimpi. “Terima kasih, Awan,” katanya dengan suara lembut namun terdengar jelas, meski tak ada jarak antara mereka.
Awan terkejut. “Kamu… tahu namaku?” tanyanya, suaranya sedikit bergetar. Dia tak tahu harus merasa apa—terkejut, takut, atau kagum. Gadis itu… atau makhluk itu, tahu namanya?
Gadis itu mengangguk pelan. “Aku sudah menunggu seseorang yang berhati tulus untuk menemukanku. Dan kau, Awan, adalah orang itu.”
Awan menarik napas dalam-dalam, berusaha memahami apa yang terjadi di depannya. Ini tidak masuk akal. Hanya dalam waktu sekejap, keong emas berubah menjadi gadis yang indah. Dan dia tahu namanya.
“Apa yang sebenarnya terjadi?” tanyanya lagi, kali ini lebih berani. Pandangan matanya tak lepas dari gadis itu, meski otaknya terus berputar mencari penjelasan logis.
“Aku adalah Keong Emas,” jawab gadis itu, suaranya lembut namun tegas. “Dulu aku adalah seorang putri, tapi karena kutukan jahat, aku terperangkap dalam cangkang keong. Hanya orang dengan hati yang bersih yang bisa membebaskanku.”
Keong Emas? Cerita itu… cerita yang pernah diceritakan neneknya saat ia masih kecil. Awan hampir tak percaya. Ia ingat betul, neneknya sering bercerita tentang legenda Keong Mas, putri yang dikutuk dan terperangkap di dalam cangkang emas. Namun, Awan selalu menganggap cerita itu hanyalah dongeng. Kisah untuk membuat anak-anak tertidur.
“Kamu… sungguhan Keong Mas itu?” tanya Awan, masih tak percaya meski gadis itu ada tepat di hadapannya.
Gadis itu mengangguk lagi. “Benar. Dan karena kau telah menyelamatkanku, aku akan memberimu tiga permohonan. Kau boleh meminta apapun yang kau inginkan, dan aku akan mengabulkannya.”
Tiga permohonan? Seperti dalam cerita neneknya. Awan merasa mulutnya kering. Ia harus berpikir cepat, tapi kepalanya dipenuhi oleh banyak hal yang sulit dipahami. Tiga permohonan adalah kesempatan besar, tapi juga tanggung jawab besar.
Sementara itu, gadis yang mengaku sebagai Keong Mas hanya menunggu dengan sabar, menatap Awan dengan mata yang tenang. “Pikirkan baik-baik, Awan. Permohonanmu bisa mengubah hidupmu, atau bahkan hidup orang lain. Aku akan menunggu hingga kau siap untuk memintanya.”
Awan menarik napas dalam-dalam. Di depannya, aliran sungai yang biasanya menenangkan kini tak lagi terdengar di telinganya. Hanya suara hatinya yang sibuk berbisik tentang kemungkinan-kemungkinan yang terbentang di depan. Awan tahu, apapun yang akan ia minta, ini adalah kesempatan yang tak boleh ia sia-siakan.
Tiga Permohonan Ajaib
Awan masih berdiri terpaku di tepi sungai, meresapi keajaiban yang baru saja terjadi di hadapannya. Sinar matahari mulai memudar, tenggelam di balik pepohonan yang membentuk garis-garis panjang bayangan di tanah. Gadis itu, Keong Emas, berdiri tak jauh darinya, tetap menunggu dengan sabar. Wajahnya tenang, seolah-olah waktu adalah miliknya, seolah tidak ada yang terburu-buru.
Awan menghela napas panjang. Ketiga permohonan yang ditawarkan terasa seperti beban. Bukan karena ia tak tahu apa yang diinginkannya, melainkan karena pilihan yang ia buat akan mengubah segalanya. Apa yang seharusnya ia minta?
Ia menatap gadis itu, berusaha mencari jawaban di matanya, tapi yang ia temukan hanyalah ketenangan. Gadis itu, Keong Emas, tak memberinya petunjuk apa-apa. Tidak ada dorongan untuk mengambil keputusan tertentu. Semua terserah padanya.
“Apa yang akan terjadi setelah permohonanku terkabul?” tanya Awan akhirnya, suaranya serak karena ia terlalu lama berpikir. Ia butuh kepastian sebelum melangkah lebih jauh.
Keong Emas tersenyum lembut, matanya seolah berbinar dalam cahaya senja yang semakin memudar. “Permohonanmu akan terkabul. Hidupmu akan berubah sesuai dengan apa yang kamu minta. Namun, ingatlah, Awan, setiap permohonan membawa konsekuensi. Tidak semua perubahan membawa kebahagiaan yang kamu harapkan.”
Awan mengangguk. Ia paham. Permintaan besar selalu datang dengan tanggung jawab besar. Ia menatap sungai yang mengalir di depannya, pikirannya kembali pada keluarganya. Orangtua yang selama ini bekerja keras tanpa mengeluh, ladang yang tak pernah benar-benar subur, dan kehidupan desa yang sederhana, nyaris tak pernah berubah. Awan tahu, ada satu hal yang selalu ingin ia lakukan untuk keluarganya.
“Aku tahu permintaan pertamaku,” ucap Awan akhirnya, suaranya penuh tekad. Ia menoleh ke Keong Emas, yang mengangguk pelan, seolah-olah gadis itu sudah tahu apa yang akan ia katakan.
“Aku ingin ladang orangtuaku subur, penuh tanaman yang tumbuh dengan baik. Aku ingin mereka tidak perlu lagi kesulitan bekerja keras tanpa hasil,” kata Awan. Itu adalah harapan sederhana, tapi harapan yang tulus. Awan tak ingin kekayaan berlimpah. Ia hanya ingin keluarganya hidup dengan layak, tanpa harus bergantung pada nasib yang selalu tidak pasti.
Keong Emas tersenyum, lalu mengulurkan tangannya. “Permohonanmu terkabul,” katanya sambil menyentuh dahi Awan dengan ujung jarinya yang lembut. Sebuah sinar keemasan yang hangat menyelimuti tubuh Awan sesaat, sebelum akhirnya perlahan memudar.
Awan merasakan sesuatu yang aneh di dalam dirinya, seolah sebuah kekuatan baru mengalir di setiap pori-porinya. Namun, itu hanya berlangsung beberapa detik, dan setelahnya, segalanya kembali normal. Ia menatap tangan Keong Emas yang kembali terkulai di sisi tubuhnya, tak percaya bahwa permohonannya sudah terkabul secepat itu.
“Sudah?” tanya Awan dengan suara ragu.
Keong Emas mengangguk. “Pergilah, lihatlah sendiri. Ladang orangtuamu kini sudah berbeda. Permohonan pertamamu telah menjadi kenyataan.”
Meski masih tak sepenuhnya percaya, Awan merasa gelombang antusiasme dan rasa penasaran meluap dalam dirinya. Tanpa berpikir panjang, ia langsung berlari meninggalkan tepi sungai, menembus hutan kecil di belakang rumahnya. Kakinya bergerak cepat di atas tanah lembap, melewati akar-akar pohon yang menjalar, sementara suara gemericik air semakin menjauh di belakangnya.
Setelah beberapa menit berlari, ia tiba di tepi ladang keluarganya. Jantungnya berdebar keras saat ia menginjak tanah yang biasanya tandus. Tapi kini, pandangan Awan berubah drastis. Ladang yang tadinya gersang, penuh dengan tanah pecah-pecah dan tanaman yang layu, kini dipenuhi oleh tanaman-tanaman subur. Jagung, padi, sayuran, semuanya tumbuh tinggi dan sehat. Daun-daun hijau lebat menutupi hampir setiap inci tanah.
Awan terdiam di tempat, tak mampu berkata-kata. Ini bukan mimpi. Ini nyata. Permohonannya benar-benar terkabul.
Dari kejauhan, ia melihat ayahnya berdiri di tengah ladang, tertegun menatap perubahan yang terjadi di depannya. Wajah sang ayah tampak kebingungan, tetapi juga penuh keheranan dan syukur. Ibunya, yang berada di depan rumah, ikut terkejut, menutup mulutnya dengan kedua tangan saat melihat ladang mereka yang kini dipenuhi tanaman yang siap dipanen.
“Apa yang terjadi, Wan?” tanya ayahnya, masih terkejut.
Awan hanya bisa tersenyum. “Aku hanya… mendapatkan sedikit keberuntungan,” jawabnya singkat. Ia belum siap untuk menjelaskan semuanya.
Namun, di dalam hati, ia merasa bangga. Permohonan pertama berhasil, dan keluarganya tak perlu lagi khawatir tentang masa depan ladang mereka. Tapi satu hal yang pasti, permohonan ini bukan sekadar tentang keajaiban. Ini tentang tanggung jawab yang kini ada di pundaknya. Awan tahu, dengan ladang yang subur ini, datanglah tantangan baru. Mereka harus menjaga dan merawatnya, memastikan semua ini tak sia-sia.
Malamnya, ketika seluruh desa merayakan keajaiban yang terjadi di ladang keluarga Awan, pemuda itu kembali ke tepi sungai. Kali ini, ia berjalan dengan lebih tenang, tanpa tergesa-gesa. Di sana, Keong Emas menunggunya, duduk di atas sebuah batu besar, rambut emasnya berkilauan dalam cahaya bulan yang memantul dari aliran air sungai.
“Aku sudah melihat hasil permohonan pertamaku,” kata Awan, menghampiri gadis itu. “Terima kasih.”
Keong Emas menatapnya dengan senyum lembut. “Tidak perlu berterima kasih. Kau membuat pilihan yang baik. Namun, ingat, masih ada dua permohonan lagi yang bisa kau minta.”
Awan terdiam sejenak. Permohonan pertama berhasil, tapi kini ia menyadari satu hal—setiap permohonan membawa perubahan besar, dan ia harus berhati-hati dalam memilih permohonan berikutnya. Ia tak ingin gegabah.
“Aku akan berpikir lebih lama untuk permintaan berikutnya,” kata Awan akhirnya. “Aku tidak ingin membuat kesalahan.”
Keong Emas mengangguk. “Ambil waktumu. Aku akan selalu menunggu di sini sampai kau siap.”
Awan menatap gadis itu dengan perasaan campur aduk. Meski keajaiban telah terjadi, ia tahu bahwa cerita ini masih jauh dari selesai. Permohonan pertama hanyalah awal dari sesuatu yang lebih besar. Apa yang akan ia minta selanjutnya? Bagaimana ia harus menggunakan permohonan itu untuk kebaikan?
Langit semakin gelap, dan angin malam mulai berhembus lembut di tepi sungai. Di balik rasa senang yang Awan rasakan, ada bayangan keraguan yang mulai tumbuh. Permintaan apa yang akan mengubah hidupnya tanpa membawa beban yang terlalu berat?
Bayangan di Tengah Keajaiban
Malam semakin larut saat Awan meninggalkan tepi sungai, meninggalkan Keong Emas yang masih duduk di batu, menunggu dengan kesabaran yang seolah tiada batas. Angin malam berhembus lembut, menyapu rambutnya, dan memicu berbagai pikiran di benaknya. Meski permintaan pertamanya telah berhasil, Awan tahu ini baru permulaan. Ladang yang subur kini menjadi berkat bagi keluarganya, namun apa yang akan terjadi dengan permohonan berikutnya?
Pikirannya melayang ke arah kemungkinan lain. Ia memiliki dua permohonan tersisa, dan kesempatan itu seolah menjadi beban yang semakin berat setiap kali ia memikirkannya. Menyadari dampak besar dari setiap permintaan, Awan tahu tidak boleh gegabah.
Keesokan paginya, suasana di desa terasa berbeda. Para tetangga berkerumun di sekitar ladang keluarganya, berbicara dengan nada kagum dan takjub. Mereka tak henti-hentinya memuji keberuntungan yang tiba-tiba menghampiri Awan dan keluarganya.
“Apa yang kau lakukan, Wan?” tanya seorang tetua desa yang penasaran. “Ladangmu berubah dalam semalam, seperti disulap!”
Awan hanya tersenyum canggung, tidak memberikan jawaban pasti. Ia tahu, menjelaskan tentang Keong Emas dan permohonannya bisa jadi malah membuat segalanya semakin rumit. “Mungkin memang waktunya ladang ini subur,” jawabnya singkat, mencoba meredakan rasa ingin tahu mereka.
Tapi yang jelas, dalam benaknya, ada hal lain yang ia pikirkan. Ladang yang subur ini pasti akan menimbulkan perhatian lebih banyak, bukan hanya dari warga desa, tetapi juga mungkin dari orang-orang yang tidak diinginkan. Ladang yang tiba-tiba makmur bisa saja membuat orang-orang lain iri atau bahkan berniat jahat.
Ketika hari beranjak siang, Awan memutuskan untuk kembali ke tepi sungai. Ia merasa ada sesuatu yang belum selesai, sebuah dorongan yang kuat untuk memahami lebih dalam apa yang sebenarnya sedang terjadi. Sesampainya di sana, seperti yang ia duga, Keong Emas masih ada di tempat yang sama, duduk dengan tenang, seolah waktu tidak pernah menyentuhnya.
“Kau kembali,” ucap Keong Emas tanpa menoleh. Ia tampak seperti sudah tahu Awan akan datang.
“Ada hal yang ingin kutanyakan,” Awan membuka pembicaraan, nadanya serius. “Mengapa kau melakukan ini? Mengapa kau menawarkan tiga permohonan itu padaku?”
Keong Emas tersenyum tipis, pandangannya tetap terarah pada aliran sungai yang jernih. “Aku ada di sini untuk membantu mereka yang benar-benar membutuhkan. Hanya itu. Aku tidak meminta imbalan atau mengharapkan sesuatu darimu.”
Awan mengangguk, meski jawaban itu tidak sepenuhnya memuaskan rasa penasarannya. “Apakah kau pernah… menyesali permohonan yang telah kau kabulkan untuk orang lain?”
Pertanyaan itu membuat Keong Emas menatapnya dengan mata tajam, berbeda dari senyumnya yang biasa. “Tidak ada penyesalan. Tapi ingat, Awan, setiap orang yang meminta sesuatu dariku harus siap menerima apa pun yang terjadi setelah itu. Itulah konsekuensi dari keajaiban.”
Awan merasa ada sesuatu yang tersembunyi di balik kata-kata Keong Emas, sesuatu yang belum ia pahami sepenuhnya. “Lalu bagaimana dengan permohonanku selanjutnya?” tanyanya, mencoba mengarahkan pembicaraan kembali ke topik yang lebih penting. “Aku masih punya dua permintaan, tapi aku tidak ingin gegabah.”
Keong Emas mengangguk. “Tentu, kau punya waktu untuk berpikir. Namun, ingatlah, permintaan yang kau buat tidak hanya mengubah hidupmu, tetapi juga bisa mengubah orang lain di sekitarmu. Kau harus berhati-hati.”
Awan terdiam, pikirannya berputar-putar di antara berbagai kemungkinan. Ia telah melihat dampak dari permintaan pertamanya—ladang keluarganya kini subur, dan kehidupan mereka menjadi lebih baik. Tapi, di sisi lain, ia tak bisa mengabaikan kekhawatiran yang semakin mengganggu hatinya. Perubahan yang tiba-tiba bisa menarik perhatian yang tidak diinginkan, bahkan mungkin bahaya.
“Aku… ingin keluargaku bahagia, selamanya,” kata Awan perlahan, nyaris berbisik. Itu adalah keinginannya yang paling dalam, yang paling murni. Ia tidak ingin lebih dari itu.
Keong Emas menatapnya dengan tatapan tajam. “Apakah itu permohonanmu yang kedua?” tanyanya, suaranya terdengar lebih serius daripada sebelumnya.
Awan menggigit bibirnya, ragu sejenak. “Tidak… Bukan itu,” jawabnya cepat. “Aku belum siap. Aku belum tahu pasti apa yang akan kuminta.”
Keong Emas mengangguk, tampak memahami keraguannya. “Kau bijak untuk berpikir lebih dulu. Jangan terburu-buru. Setiap permohonan memiliki konsekuensinya sendiri.”
Hari-hari berlalu dengan cepat. Ladang keluarga Awan terus tumbuh subur, membawa hasil yang melimpah bagi keluarganya. Namun, seperti yang telah ia takutkan, perhatian mulai datang dari luar desa. Orang-orang dari desa lain mulai berdatangan, penasaran dengan keajaiban yang terjadi di ladang keluarganya. Beberapa di antaranya datang dengan niat baik, menawarkan bantuan atau ingin belajar dari keberhasilan mereka. Tapi ada pula yang datang dengan rasa iri, mempertanyakan bagaimana Awan dan keluarganya bisa mendapatkan hasil sebesar itu dalam waktu singkat.
Suatu malam, ketika Awan sedang duduk di beranda rumahnya, ia mendengar percakapan kedua orangtuanya. Suara ayahnya terdengar cemas, meski berusaha tetap tenang.
“Orang-orang dari desa sebelah datang lagi,” ujar ayahnya. “Mereka bilang ladang kita aneh. Mereka tidak percaya ini terjadi begitu saja.”
“Ibu juga mendengarnya,” sambung ibunya. “Mereka bertanya-tanya apakah kita menggunakan sesuatu… semacam sihir atau cara tidak wajar.”
Awan mendengarkan dengan saksama, jantungnya berdetak lebih cepat. Inilah yang ia khawatirkan. Ketika keberuntungan datang dengan cepat, orang akan mulai meragukan kejujuranmu.
Malam itu, ia memutuskan untuk kembali ke sungai. Pikirannya semakin berat, dan ia merasa hanya Keong Emas yang bisa memberinya jawaban. Namun, ketika ia tiba di tepi sungai, suasananya berbeda. Tidak ada Keong Emas yang menunggunya di batu besar seperti biasanya. Sungai yang biasanya tenang kini tampak lebih gelap, aliran airnya lebih deras dari sebelumnya, dan angin dingin berhembus di sekitar.
Awan merasa ada sesuatu yang salah, tapi ia tidak tahu apa. Ia berdiri di tepi sungai, menunggu, berharap Keong Emas akan muncul seperti biasanya. Tapi gadis itu tidak datang. Setelah beberapa menit berlalu, Awan mulai merasa cemas. Apakah ini pertanda bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi?
Saat Awan mulai berbalik untuk pergi, ia mendengar suara dari kejauhan, suara langkah kaki yang mendekat. Dari bayang-bayang pepohonan, seorang pria muncul—tinggi, berjubah gelap, dengan wajah yang tersembunyi di balik tudung. Wajahnya tidak terlihat jelas, tapi Awan bisa merasakan tatapan tajam yang tertuju padanya.
“Permohonanmu telah mengubah segalanya,” suara pria itu terdengar berat dan dingin. “Kau mungkin telah menyelamatkan keluargamu, tapi kau juga telah membuka pintu bagi kekuatan yang tidak bisa kau kendalikan.”
Awan merasa tubuhnya menegang. “Siapa kau?” tanyanya, suaranya bergetar.
Keputusan Terakhir
Awan berdiri di tepi sungai, tubuhnya seolah membeku di tempat. Pria berjubah gelap yang baru saja muncul di hadapannya membuat udara di sekitarnya terasa lebih berat. Ada sesuatu yang janggal dari kehadirannya—sebuah aura yang menekan, membuat detak jantung Awan tak menentu.
“Aku bertanya, siapa kau?” ulang Awan, mencoba menguasai diri. Meski dalam hatinya muncul kekhawatiran, ia berusaha keras untuk tidak menunjukkan kelemahannya di hadapan sosok asing itu.
Pria berjubah gelap itu tersenyum samar, tatapan matanya—yang kini terlihat di bawah tudung—terasa menembus langsung ke dalam jiwa Awan. “Aku adalah bagian dari permintaanmu, Awan,” jawabnya dingin. “Setiap keajaiban memiliki bayangan yang tersembunyi. Kau telah membuka pintu itu, dan akulah yang menjaga keseimbangan antara yang terlihat dan yang tersembunyi.”
Awan mengernyit, bingung dengan penjelasan samar itu. “Apa maksudmu?” tanyanya. “Aku hanya membuat permintaan yang kuperlukan. Aku tidak berniat membuka pintu apa pun.”
Pria itu melangkah mendekat, suaranya semakin rendah namun menekan. “Keong Emas hanya bagian dari kekuatan yang kau minta. Keajaiban yang diberikan tidak datang tanpa konsekuensi. Ladang subur, kekayaan, kebahagiaan keluargamu… Semua itu menuntut harga.”
“Harga?” Awan mengulang, merasa cemas dengan arah pembicaraan ini. “Apa yang kau maksud? Aku tidak meminta lebih dari yang kuperlukan.”
Pria itu tertawa pelan, suara yang terdengar menyeramkan di tengah malam yang sepi. “Memang, kau tidak meminta lebih. Tapi keajaiban memiliki dua sisi, Awan. Satu sisi membawa kebahagiaan, dan sisi lain membawa bayangan. Keong Emas tidak pernah memberitahumu tentang bayangan ini, bukan?”
Awan terdiam. Pikirannya berputar cepat, mengingat kembali setiap percakapan yang pernah ia lakukan dengan Keong Emas. Tidak, Keong Emas tidak pernah berbicara tentang bayangan atau konsekuensi yang lebih besar. Ia hanya mengatakan bahwa setiap permintaan memiliki dampak.
Pria itu melanjutkan, suaranya kini berubah menjadi ancaman terselubung. “Kau telah menggunakan satu permintaan, dan sekarang desa mulai merasakan dampaknya. Orang-orang mulai mencurigaimu. Mereka iri, mereka mempertanyakan keberuntunganmu. Kau mungkin bisa mengatasi itu… tapi dengan dua permintaan lagi yang tersisa, bayangan akan semakin kuat.”
Awan merasakan ketegangan di dadanya semakin berat. Apa yang ia lakukan? Ladang keluarganya subur, benar, tapi jika benar ada bayangan yang menunggu di balik semua ini, maka ia telah memicu sesuatu yang jauh lebih berbahaya.
“Kau ingin keluargamu bahagia, selamanya,” kata pria itu lagi, seolah membaca isi hati Awan. “Tapi kau tahu, kebahagiaan yang diperoleh melalui keajaiban tidak abadi. Ada harga yang harus dibayar. Keluargamu bisa bahagia… tapi apa kau bersedia mengorbankan dirimu untuk itu?”
Awan memandang pria itu dengan penuh kecurigaan. “Apa maksudmu?”
Pria berjubah gelap tersenyum lebar, memperlihatkan gigi-giginya yang putih tajam. “Aku bisa mengambil alih sisa dua permintaanmu. Dengan begitu, keluargamu akan tetap bahagia, hidup dalam kedamaian tanpa gangguan. Tapi, kau akan menjadi bagian dari bayangan. Kau akan menghilang dari kehidupan mereka, menjadi pelindung yang tak terlihat… selamanya.”
Awan terkejut mendengar tawaran itu. Mengorbankan dirinya? Menjadi bayangan? Apakah ini satu-satunya jalan untuk memastikan keluarganya tetap bahagia?
Saat pikirannya bergulat dengan tawaran itu, Awan mendengar suara lembut dari belakangnya. “Jangan dengarkan dia, Awan.”
Ia berbalik dan melihat Keong Emas berdiri di tepi sungai, wajahnya serius. Kehadirannya tiba-tiba menenangkan suasana, meski perasaan waspada tetap menghantui Awan.
“Keong Emas,” bisik Awan, lega sekaligus bingung. “Apa maksud semua ini?”
Keong Emas menatap pria berjubah gelap itu dengan tajam. “Dia adalah bagian dari keajaiban, benar. Tapi dia bukan satu-satunya jalan. Apa yang kau minta bukanlah sesuatu yang tidak mungkin dicapai tanpa mengorbankan dirimu. Kau masih punya pilihan, Awan.”
Pria berjubah itu menyeringai, lalu menatap Keong Emas dengan sinis. “Pilihan? Pilihan untuk hidup dalam ketakutan, dikelilingi oleh orang-orang yang selalu mencurigaimu? Kau tahu sendiri, permintaan kedua dan ketiga akan membawa lebih banyak perubahan. Orang-orang di desa ini tidak akan diam saja. Kekuatanmu akan menarik mereka yang rakus dan kejam.”
Awan memandang kedua sosok di hadapannya dengan campuran kebingungan dan keraguan. “Apa yang harus kulakukan?” bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada mereka.
Keong Emas melangkah mendekat, tangannya terulur lembut. “Awan, kau masih bisa memilih untuk berhenti di sini. Jangan gunakan dua permintaan lainnya. Dengan ladang yang sudah subur, keluargamu akan baik-baik saja. Ya, mungkin orang-orang akan mencurigaimu untuk sementara, tapi itu tidak akan bertahan lama. Mereka akan melupakanmu seiring waktu.”
Awan terdiam, mencerna kata-kata Keong Emas. Ia memikirkan keluarganya, ladang mereka yang kini subur dan hasil panen yang melimpah. Mungkin, jika ia tidak menggunakan dua permintaan lainnya, semuanya akan berakhir dengan damai. Ia bisa menjalani hidup seperti biasa, meski mungkin ada sedikit rasa takut di awal. Tapi jika ia mengambil tawaran pria berjubah gelap itu…
“Keong Emas benar,” ucap Awan, akhirnya memecah keheningan. Suaranya mantap, meski hatinya masih sedikit ragu. “Aku tidak ingin keluargaku bahagia dengan mengorbankan diriku. Aku akan hidup bersama mereka, menghadapi apa pun yang terjadi.”
Pria berjubah itu menatapnya lama, seolah mencari celah dalam keputusan Awan. Kemudian, dengan seringai yang semakin melebar, ia mundur perlahan ke dalam kegelapan. “Pilihanmu telah dibuat. Ingatlah, bayangan akan selalu ada, menunggu saat yang tepat. Aku akan kembali, Awan.”
Dan dengan itu, pria berjubah gelap menghilang dalam kegelapan malam, meninggalkan Awan dan Keong Emas di tepi sungai yang sepi.
Awan menghela napas panjang, tubuhnya terasa lebih ringan, meski ancaman tadi masih menggaung di kepalanya. Ia memandang Keong Emas dengan rasa terima kasih. “Terima kasih,” ucapnya pelan.
Keong Emas tersenyum lembut. “Kau telah membuat pilihan yang bijak, Awan. Sekarang, pulanglah. Hiduplah bersama keluargamu, tanpa takut pada keajaiban yang telah kau gunakan.”
Awan mengangguk, lalu perlahan berbalik, meninggalkan tepi sungai. Di balik punggungnya, Keong Emas menghilang dalam kabut malam, kembali menjadi sosok misterius yang pernah membantunya.
Dengan langkah mantap, Awan pulang. Meski ancaman dari pria berjubah gelap masih menghantui benaknya, ia tahu satu hal pasti—ia telah membuat pilihan yang tepat. Dan, dengan sisa hidup yang akan ia jalani bersama keluarganya, ia akan menjaga mereka dengan cara yang lebih nyata, tanpa bantuan keajaiban lagi.
Jadi, siap-siap deh ngebayangin gimana kalau keajaiban itu datang menghampiri kamu. Kadang, apa yang terlihat indah dan menggoda bisa punya bayangan yang kelam. Awan udah milih jalan hidupnya—sebuah keputusan yang mungkin bisa bikin kita mikir ulang tentang apa arti kebahagiaan dan harga yang harus dibayar.
Dalam dunia di mana keajaiban dan bayangan selalu berdampingan, satu hal yang pasti: hidup itu penuh pilihan, dan pilihan terbaik kadang-kadang bukan yang paling mudah. Jadi, beranikan dirimu, dan siap-siaplah menghadapi konsekuensi dari setiap langkah yang kamu ambil!