Kau Tetap Milikku Selamanya: Cerita Cinta yang Tak Pernah Berakhir

Posted on

Gini, kadang cinta itu gak pernah bisa kita kontrol, kan? Gak peduli seberapa keras kita coba melepaskan, tetap aja ada bagian dari hati yang terus berharap.

Kalau kamu pernah ngerasain gimana rasanya ngeliat seseorang yang kamu cinta pergi, tapi gak bisa berhenti berharap dia balik, ya, cerpen ini pasti bisa ngerti perasaanmu. Ini tentang cinta yang terjebak di antara harapan dan kenyataan yang pahit, tentang aku dan dia yang tahu, walau berpisah, tetap ada rasa yang gak bakal pernah hilang.

 

Kau Tetap Milikku Selamanya

Jejak Hujan di Pintu Kayu

Hujan turun dengan deras, membuat jalan setapak di depan rumah itu semakin becek. Langit yang kelabu seolah menurunkan beratnya ke dunia, menambah beban di hati yang sudah lama tidak merasa ringan. Rumah kayu itu—rumah yang pernah dipenuhi tawa dan harapan—sekarang terasa kosong. Hanya ada bau kayu basah yang menyatu dengan udara dingin.

Aku berdiri di depan jendela besar, menatap hujan yang jatuh bergelombang di tanah. Mataku tidak benar-benar melihat, hanya kosong menatap dunia yang entah mengapa terasa semakin jauh. Di tangan, secangkir teh yang sudah lama dingin. Pikiranku melayang kembali ke malam itu, malam yang masih terngiang di benakku, saat Darin meninggalkan aku tanpa kata-kata yang cukup.

“Aku mencintaimu, Aster, tapi aku tak bisa terus seperti ini,” kalimat itu terus berputar, menghantui. Tidak ada penjelasan yang masuk akal, hanya sebuah keputusan yang membuat dunia ini terasa runtuh di sekelilingku.

Aku tidak tahu berapa lama sudah aku duduk di sini, menunggu, berharap Darin akan kembali. Setiap tetes hujan yang jatuh di jendela terasa seperti detik-detik yang berlalu sia-sia. Setiap detik yang mengingatkanku bahwa aku masih mencintainya, meski dia sudah memilih pergi.

Tidak, aku tidak bisa membiarkan itu terjadi. Darin bukan hanya bagian dari hidupku, dia adalah hidupku. Tanpanya, dunia ini hampa. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika aku membiarkannya pergi begitu saja. Tidak, itu tidak bisa terjadi.

Telepon di meja berdering, dan aku hampir tak mau mengangkatnya. Namun, sesuatu dalam diriku memaksa untuk mengangkatnya. Suara Darin terdengar dari ujung sana, terdengar lebih jauh dari biasanya.

“Aster,” katanya, dengan nada yang tak bisa aku baca. “Apa yang kau inginkan? Aku sudah bilang, aku tak bisa kembali.”

Suaranya terhenti sejenak, seolah menunggu jawabanku. Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Aku hanya ingin bicara. Satu kali lagi, Darin. Aku hanya ingin kita berbicara di sini, di rumah kita. Itu saja,” jawabku, suaraku terasa lebih lemah dari yang aku inginkan.

Ada jeda panjang, terlalu lama untuk sekadar mengabaikan perasaan yang tergantung di udara. Akhirnya, Darin menjawab. “Baiklah. Tapi hanya sekali, Aster. Setelah ini, aku tidak ingin mendengarnya lagi. Kau harus menerima kenyataan, kita sudah selesai.”

Aku menggigit bibir. Tidak, aku tidak bisa menerima itu. Aku akan membuatnya mengerti, membuatnya tahu bahwa kami berdua adalah satu-satunya yang pantas bersama. “Terima kasih. Aku tunggu kamu di rumah, Darin. Jangan lama-lama, ya?”

Aku meletakkan telepon dengan tangan yang gemetar, menatap ke luar jendela lagi. Tidak ada yang bisa menghentikanku sekarang. Tidak ada yang bisa membuatku mundur dari keputusan yang telah kubuat.

Waktu berlalu begitu lambat, setiap detik terasa seperti beban yang semakin berat. Aku berjalan mondar-mandir di ruang tamu, menunggu. Rumah itu semakin sunyi, semakin terasa kosong. Tidak ada tawa, tidak ada canda. Semua yang ada hanya kenangan yang tak terhapuskan.

Tiba-tiba, suara pintu depan berderak. Aku tahu itu Darin. Dia akhirnya datang. Aku bisa merasakannya dalam setiap bagian tubuhku.

Aku membuka pintu dengan hati yang berdebar, meski mataku berusaha menenangkan segala emosi yang tumbuh. Darin berdiri di depan pintu, tampak tak banyak berubah, meski ada sesuatu dalam tatapannya yang tidak bisa kujelaskan.

“Aster…” suaranya terdengar ragu, dan aku bisa melihat keraguan itu di matanya.

Aku tidak memberikan kesempatan untuk kata-kata itu menghalangi kami. “Kau datang,” kataku, mencoba tersenyum, meski senyum itu terasa lebih seperti topeng.

Darin mengangguk pelan, memasuki rumah tanpa banyak bicara. Hujan di luar semakin deras, seperti mengiringi langkahnya yang menuntunnya masuk ke dalam dunia yang sudah lama tidak dia kenal.

Aku mengajak Darin duduk di sofa tua yang sudah lama tidak disentuh. Dulu, kami sering duduk di sini, berbicara tentang masa depan, tentang mimpi, tentang apa yang ingin kami capai. Tapi malam ini, semuanya terasa berbeda.

“Jadi, apa yang ingin kau bicarakan, Aster?” Darin bertanya, suaranya tegas. Tidak ada lagi kelembutan di sana. Aku bisa merasakan ketegangan itu, dan itu membuatku semakin ingin berjuang.

Aku menatapnya dalam-dalam, mencoba menahan air mata yang sudah lama menunggu untuk jatuh. “Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku tidak bisa hidup tanpamu, Darin,” kataku, suara serak. “Kau adalah segalanya bagiku. Aku tahu kita punya masalah, tapi… aku tidak siap melepaskanmu. Tidak, aku tidak bisa.”

Darin diam sejenak, matanya menghindari tatapanku. “Aster, kita sudah bicara tentang ini. Aku sudah bilang, aku tidak bisa terus seperti ini. Kau juga tahu itu.”

Aku merasa seperti ada yang pecah di dalam hatiku. Tapi aku tidak akan menyerah. “Aku tidak peduli. Aku hanya ingin kita bersama lagi. Aku mencintaimu, Darin. Dan aku ingin kamu tahu itu.”

Tatapan Darin menjadi lebih keras, lebih dingin. “Aster, kau harus mengerti. Aku mencintaimu, tapi cinta tidak cukup untuk membuat kita tetap bersama jika kita hanya saling menyakiti. Aku tidak ingin hidup dalam kebohongan lagi.”

Kata-kata itu seperti pisau yang menghujam tepat ke jantungku. Tetapi aku tidak bisa berhenti. “Kau tidak bisa meninggalkanku begitu saja, Darin,” aku berkata, suaraku hampir berbisik, tetapi penuh dengan keinginan yang tak terkatakan. “Aku tidak akan membiarkanmu pergi.”

Darin berdiri, menatapku dengan tatapan yang lebih keras dari sebelumnya. “Aster, ini bukan tentang aku dan kamu lagi. Ini tentang kita berdua yang harus menerima kenyataan. Aku tidak bisa terus seperti ini. Aku pergi, Aster. Aku harus pergi.”

Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Hanya ada kesunyian yang menghantui antara kami. Aku tahu saat itu juga bahwa aku harus membuatnya mengerti, apapun caranya.

Dia akan tetap milikku, untuk selamanya.

 

Di Antara Kata yang Tak Pernah Selesai

Aku masih berdiri di tempat yang sama, meski Darin sudah beberapa langkah menjauh. Suasana di dalam rumah itu terasa semakin sesak. Hujan di luar seolah tak berhenti, seakan dunia sedang memberi aku waktu untuk mencerna kenyataan yang mulai menggoreskan luka di hati. Namun, di setiap langkah Darin menjauh, ada dorongan kuat yang menarikku kembali. Tidak bisa. Aku tidak bisa membiarkan ini berakhir.

“Aster, aku sudah bilang, ini sudah selesai,” suara Darin kembali terdengar, namun kali ini lebih tenang, seolah ia berusaha menenangkan diriku dan dirinya sendiri. Suaranya bergetar sedikit, tapi aku bisa merasakan kebimbangan yang ada di sana.

Aku menghembuskan napas dalam-dalam, mencoba meredakan ketegangan yang ada di dada. “Kau benar-benar akan pergi, ya?” tanyaku pelan, masih belum bisa menerima kenyataan itu. Mataku terkunci pada sosoknya yang semakin menjauh, seolah hendak menghilang begitu saja.

“Ya,” jawabnya, singkat. Tidak ada penjelasan lebih lanjut, hanya ada tatapan penuh penolakan. “Kau harus menerima kenyataan, Aster. Aku tidak bisa terus berada di sini, jika itu hanya akan membuat kita semakin terluka.”

Aku merasa seolah ada yang menghempas kepalaku, membuat dunia sekitar mulai berputar. Darin benar-benar ingin pergi. Tidak ada lagi alasan untuk menahannya, katanya. Tapi aku tidak bisa. Tidak bisa membiarkan diriku menyerah begitu saja.

Aku berjalan mendekat, langkahku bergetar. “Jangan tinggalkan aku, Darin. Aku tidak bisa hidup tanpamu,” kataku, hampir seperti bisikan, tapi cukup keras untuk didengar. Kata-kata itu keluar begitu saja, tak terkendali, seperti suara yang terperangkap lama dalam hatiku.

Darin menoleh, wajahnya kosong, seperti sudah menyiapkan jawaban yang lebih tegas lagi. “Aster, aku sudah berusaha. Tapi aku merasa kita hanya saling menyakiti.” Matanya tetap menghindari tatapanku, seolah takut akan apa yang bisa aku lihat di sana.

Aku menahan tanganku, berusaha untuk tetap tenang meskipun hatiku berontak. “Aku tidak akan pergi ke mana-mana, Darin. Jika kau ingin pergi, aku akan menunggumu. Aku tidak peduli berapa lama, aku akan tetap di sini. Kau tak akan bisa menghilang begitu saja dari hidupku.”

Senyum tipis muncul di wajahnya, bukan senyum yang dulu pernah kuberikan, melainkan senyum yang lebih pahit, seolah dia sudah menyerah pada segala perasaan yang ada di antara kami. “Kau tidak mengerti, Aster. Aku harus pergi. Ini untuk kebaikan kita berdua.” Suaranya lembut, tapi ada ketegasan yang membuatku semakin sulit untuk menghadapinya.

Aku tahu, Darin tidak akan berubah. Tapi aku tidak akan menyerah. Tidak sekarang. “Kau bilang ini untuk kebaikan kita berdua, tapi kenyataannya adalah untuk dirimu sendiri. Kau sudah putuskan tanpa memberiku kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Kau tidak memberiku pilihan, Darin. Kau hanya pergi tanpa melihat aku.”

Darin terdiam. Sebuah keheningan panjang mengisi ruang di antara kami. Aku bisa merasakan hawa dingin mulai menyelimuti, dan hanya hujan yang masih menemani. Aku tahu, ini bukan akhir. Aku tidak bisa membiarkan ini berakhir begitu saja.

Aku melangkah maju, mendekatinya lebih dekat lagi. “Kau akan tetap milikku, Darin. Kau tidak bisa menghindar dari itu,” kataku, penuh tekad. Ini bukan hanya tentang aku atau dia. Ini tentang kami, dan aku tahu, tidak ada yang bisa memisahkan kami.

Darin menatapku tajam, seolah ada pertarungan batin yang sedang dia hadapi. “Aster, aku sudah berusaha. Tapi sekarang aku tahu, aku harus pergi untuk selamanya. Aku tak bisa hidup dalam bayang-bayangmu.”

Aku menggelengkan kepala, tidak bisa menerima kata-kata itu. “Tidak, Darin. Kau tidak bisa pergi. Kita berdua sudah membangun begitu banyak kenangan, begitu banyak waktu yang telah kita habiskan. Aku tidak bisa begitu saja menyerah pada semuanya.”

Tatapan Darin semakin tajam, tapi ada sesuatu di sana—keraguan, sedikit penyesalan. “Kau membuat semuanya semakin sulit, Aster,” katanya, suara menyesal, namun tetap tegas. “Aku harus pergi, atau kita berdua akan hancur lebih dalam.”

“Aku tidak peduli. Kau tidak akan pergi,” jawabku, suaraku mulai bergetar, namun tekad di dalam hati tidak tergoyahkan. Aku maju selangkah lagi, menahan dirinya. “Kau akan tetap milikku. Kau akan kembali. Aku akan menunggumu, Darin. Tidak peduli berapa lama itu.”

Darin menatapku dengan wajah yang lebih keras, seolah ingin meyakinkan dirinya sendiri. “Kau tidak bisa memaksaku untuk tetap tinggal, Aster. Aku sudah memutuskan.”

Aku menggigit bibir, menatapnya dengan mata yang penuh keyakinan. “Tidak ada yang bisa memaksamu, Darin. Tapi kau akan tetap kembali padaku. Itu janji kita. Kau akan mengingatnya, tak peduli seberapa jauh kau pergi.”

Dia terdiam lagi, lebih lama kali ini. Aku bisa merasakan perasaan yang terperangkap di dalam dirinya—keinginan untuk kembali, tapi juga ketakutan akan rasa sakit yang lebih dalam. “Aku tidak bisa berjanji apa-apa, Aster,” akhirnya dia berkata dengan suara yang lebih lemah. “Aku hanya tahu, aku tidak bisa tetap berada di sini lagi.”

Seketika itu juga, dunia terasa semakin berat. Semua kenangan, semua harapan, terasa menggerus aku sedikit demi sedikit. Tapi aku tidak akan menyerah. Tidak sekarang.

“Kau akan kembali,” kataku sekali lagi, hampir seperti mantra. “Kau tetap milikku. Selamanya.”

Darin tidak menjawab, hanya memalingkan wajahnya dan berjalan ke pintu. Hujan di luar semakin deras, mengiringi setiap langkahnya. Saat pintu tertutup di belakangnya, hatiku masih berdegup kencang. Aku tahu ini belum selesai. Ini baru permulaan dari segalanya.

Aku hanya perlu menunggu.

 

Dalam Setiap Waktu yang Terhenti

Hari-hari berlalu begitu saja, setiap detik terasa semakin panjang sejak Darin meninggalkan aku. Hujan yang terus mengguyur seakan mewakili setiap perasaan yang tak pernah berhenti mengalir dalam diriku. Aku masih berada di tempat yang sama, hanya menunggu. Tidak ada perubahan, hanya ada aku, sebuah ruang kosong, dan kesunyian yang terus mengingatkan aku akan semua kenangan itu.

Keluargaku mulai khawatir. Setiap kali mereka mencoba mengajakku berbicara, aku hanya membisu. Mereka tahu, Darin adalah bagian dari aku, dan kehilangan dia adalah seperti kehilangan sebuah bagian dari hidupku yang tak akan pernah kembali. Namun, mereka tidak mengerti. Tidak ada yang mengerti betapa besar perasaan ini. Tidak ada yang mengerti betapa aku harus berjuang melawan perasaan ini sendiri.

Setiap malam, aku menatap bintang-bintang dari jendela kamarku. Aku mencari satu bintang yang mungkin bisa memberi jawaban, yang bisa memberi petunjuk kapan Darin akan kembali. Tapi bintang-bintang itu hanya diam, seperti tak peduli. Seperti semuanya sudah berakhir. Tapi aku tidak mau percaya itu.

Pernah aku berdiri di tempat itu, melihat hujan turun, dan berteriak tanpa suara, berusaha mengeluarkan semua rasa sakit yang aku pendam. Aku tidak tahu bagaimana bisa melanjutkan hidup tanpa dia, tanpa sosok yang selalu ada di sampingku. Rasanya dunia ini terlalu sunyi, terlalu kosong. Dan setiap kali aku mencoba mengingat kenangan bersama Darin, itu hanya membuat perasaan ini semakin dalam.

Aku tidak bisa tidur. Aku tidak bisa makan. Aku tidak bisa melakukan apa-apa selain menunggu. Menunggu untuk dia kembali. Karena aku tahu, di dalam hati ini, ada satu kenyataan yang tidak bisa aku elakkan—Darin adalah orang yang akan selalu ada di hidupku. Tak peduli seberapa keras aku berusaha melepaskannya, tak peduli seberapa jauh dia mencoba menjauh, aku tidak bisa.

“Kenapa kau tidak pernah menghubungiku, Aster?” suara Darin tiba-tiba terdengar di ujung telepon, begitu jelas seperti dia ada di sampingku. Aku terdiam. Tidak tahu harus berkata apa. Semua kata-kata yang ada di pikiranku terasa terhalang begitu saja. Aku ingin memanggil namanya, ingin berlari ke arahnya, tapi aku tahu aku harus lebih kuat dari itu.

“Aku… aku menunggumu, Darin,” jawabku, suaraku nyaris hilang tertelan kesendirian. “Aku tidak bisa berhenti menunggumu. Kau tahu itu.”

Di sisi lain, aku bisa mendengar desah napasnya, seolah dia sedang berpikir, mencoba mencerna apa yang aku katakan. “Aster, ini tidak bisa terus begini,” katanya dengan suara berat, seakan dia sudah lelah. “Aku sudah membuat keputusan. Kau harus bisa menerima kenyataan bahwa ini sudah berakhir.”

Aku menggigit bibir, menahan agar suara tangisku tidak keluar. “Tidak. Aku tidak bisa. Aku tidak bisa menerima kenyataan itu,” kataku, lebih keras kali ini, berusaha untuk meyakinkan dirinya dan juga diriku sendiri. “Aku masih cinta padamu, Darin. Dan aku tidak akan melepaskanmu.”

Keheningan sejenak mengisi ruang antara kami. Aku tahu, di sana, Darin sedang berjuang dengan perasaannya sendiri. Tapi aku tidak peduli. Aku hanya ingin dia kembali. Aku tidak bisa hidup tanpa dia.

“Aster… aku tahu apa yang kau rasakan,” katanya pelan. “Tapi kau harus tahu, ini bukan tentang cinta. Ini tentang kita yang sudah terlalu terluka. Aku tidak ingin lebih banyak rasa sakit. Aku tidak ingin lebih banyak luka.”

Aku menatap ponsel, tanganku gemetar. Kenapa harus seperti ini? Kenapa kami berdua harus terjebak dalam kebingungannya? Aku hanya ingin dia kembali. Itu saja.

“Aku tidak peduli tentang luka,” kataku, suara yang mulai serak. “Aku tidak peduli seberapa besar rasa sakitnya. Aku hanya tahu, aku tidak bisa hidup tanpa kamu, Darin.”

Darin diam. Seketika itu, aku merasa seperti dunia ini berhenti bergerak. Semua yang ada di sekitarku terasa kabur. Aku hanya bisa mendengar detak jantungku yang semakin cepat. Setiap detak itu berirama dengan harapan yang tak pernah padam. Aku tahu, jika aku terus berharap, dia akan kembali.

“Aku… tidak bisa, Aster,” akhirnya dia berkata pelan. “Aku tidak bisa kembali, meskipun aku ingin. Kau harus memahami ini. Aku… aku tidak bisa mengulang apa yang sudah berlalu.”

Dengan berat hati, aku menghela napas panjang. Air mataku menetes tanpa bisa dihentikan. “Tapi aku tidak ingin hidup tanpa kamu, Darin. Aku… aku masih ingin bersamamu.”

“Aster…” kata Darin, nada suaranya begitu lembut, namun penuh penyesalan. “Aku akan selalu ada di sini, dalam ingatanmu. Tapi itu saja.”

Aku terdiam, merasa seolah dunia ini benar-benar berhenti berputar. Ini bukan akhir yang aku inginkan, bukan akhir yang aku harapkan. Tapi aku tahu, apapun yang terjadi, aku akan terus mencintainya. Aku tidak akan pernah melepaskannya. Karena aku tahu, Darin akan selalu tetap milikku—selamanya.

 

Ketika Waktu Tak Lagi Berarti

Hari-hari yang berlalu setelah percakapan terakhir itu, rasanya seperti hidup dalam ruang hampa. Aku bangun dan menjalani rutinitas harian, tapi semuanya terasa kosong, tidak ada lagi makna di dalamnya. Bahkan udara yang kutarik sepertinya tidak lagi memberikan kehidupan. Setiap langkahku terasa berat, seperti menginjak tanah yang kering, tidak ada yang bisa tumbuh di sana. Aku tak bisa melupakan Darin, tak bisa melepaskan segala kenangan tentang kami.

Aku tetap di sini, menunggu, meski aku tahu itu sia-sia. Menunggu sesuatu yang tidak akan pernah kembali. Terkadang aku bertanya pada diriku sendiri, apakah ini yang disebut cinta? Sebuah perasaan yang membuatmu bertahan meski kenyataan tak memberi kesempatan? Aku tidak bisa melepaskannya. Itu sudah pasti. Dan mungkin, aku tak akan pernah bisa.

Suatu malam, saat aku berdiri di depan jendela, menatap hujan yang jatuh dari langit, ponselku berdering. Namanya muncul di layar. Darin.

Tangan aku sedikit gemetar. Aku tidak tahu apa yang akan dia katakan. Apakah dia berubah pikiran? Apakah dia ingin kembali? Atau ini hanya sebuah percakapan singkat untuk menegaskan bahwa semuanya benar-benar berakhir?

Aku menekan tombol jawab, dan suara Darin langsung terdengar di ujung telepon, suara yang kurindukan, suara yang selalu berhasil menenangkan aku, bahkan di saat-saat tergelap sekalipun.

“Aster, aku… aku ingin kamu tahu sesuatu,” kata Darin, suara yang lebih tenang dari biasanya.

Aku terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Hati ini berdebar, seolah semua perasaan itu kembali mencuat tanpa bisa dibendung lagi. “Apa itu, Darin?”

“Aku… aku ingin kamu tahu, meskipun aku memutuskan untuk pergi, aku tidak pernah berhenti mencintaimu. Hanya saja, aku merasa kita terlalu terluka untuk terus bersama. Tapi kau tetap ada dalam hatiku, Aster. Kau akan selalu ada.”

Aku memejamkan mata, merasakan air mata mulai menetes, meski aku berusaha menahannya. Kata-katanya menggores dalam sekali. Aku ingin dia kembali, tapi aku tahu, aku tidak bisa memaksanya. Tidak bisa mengikatnya kembali ke dalam dunia yang sudah terlalu penuh dengan luka.

“Darin…” Suaraku bergetar. “Aku tahu, aku tahu kita sudah terlalu terluka. Tapi… aku tidak bisa melepaskanmu. Aku tidak bisa berhenti mencintaimu. Dan itu tidak akan pernah berubah.”

Sejenak, hanya ada keheningan. Aku bisa merasakan hatiku yang semakin kosong, seolah semua energi dalam diriku habis. Darin tak berbicara lagi, tapi aku tahu, dia mendengarku. Di sisi lain, dia merasakan hal yang sama. Tidak ada yang bisa mengubah kenyataan itu. Kami berdua sudah terlalu terikat pada cinta ini, meskipun kami berusaha untuk berpisah.

“Aster,” suara Darin terdengar lebih lembut, penuh kesedihan. “Aku… aku hanya ingin yang terbaik untuk kita berdua. Tapi aku tahu, apapun yang terjadi, aku akan selalu mengingatmu. Kamu akan selalu menjadi bagian dari hidupku, selamanya.”

Aku terdiam, menelan perasaan yang mulai tenggelam dalam hatiku. Tidak ada lagi kata yang bisa aku ucapkan. Kami sudah ada di titik ini, dan tidak ada yang bisa mengubahnya. Aku ingin Darin kembali, aku ingin dia ada di sini, tapi aku tahu, ini adalah perpisahan yang tak terhindarkan.

“Darin,” bisikku pelan. “Aku akan selalu mencintaimu. Meskipun kita tidak bersama, kau tetap milikku. Selamanya.”

Dia tidak menjawab. Aku bisa mendengar hembusan napasnya di sisi lain, dan setelah itu, aku tahu, percakapan ini harus berakhir. Dan dengan itu, aku meletakkan ponsel, membiarkan dunia kembali sunyi.

Hujan di luar semakin deras, dan aku berdiri di sana, menatap langit gelap yang perlahan berubah menjadi terang. Walau hatiku masih penuh dengan kesedihan, aku tahu satu hal: cinta itu tak pernah benar-benar hilang. Mungkin kami tidak lagi bersama, tapi bagian dari kami berdua akan tetap ada di dalam satu sama lain. Dan itu, entah berapa lama pun waktu berlalu, adalah kenyataan yang tak akan pernah berubah.

Darin akan tetap milikku, selamanya. Dalam ingatan, dalam hati, dalam setiap kenangan yang kami bagi. Tidak ada yang bisa merubah itu. Karena dalam cinta, tak ada akhir.

 

Jadi, walaupun kadang kita harus merelakan, cinta itu gak pernah benar-benar pergi. Ia tetap ada, bersembunyi dalam kenangan, dalam setiap detik yang kita lewati. Mungkin kita gak bisa bersama, tapi apa yang pernah ada, akan selalu menjadi bagian dari kita.

Karena dalam cinta, yang paling penting bukanlah akhir, tapi perjalanan yang kita jalani bersama. Dan meski semua berakhir, satu hal yang pasti: kau tetap milikku, selamanya.

Leave a Reply