Daftar Isi
Kadang hidup itu nggak selalu tentang kebahagiaan, ada kalanya kita harus merasakan betapa sakitnya melepaskan seseorang yang kita cinta. Cerpen ini, Kau Tercipta Bukan Untukku, bakal ngajarin kamu gimana rasanya mencintai dengan sepenuh hati!
Namun akhirnya harus ikhlas ngeliat orang yang kita sayang pergi. Gak usah khawatir, ini bukan cerpen yang bikin kamu nyesel baca. Kamu bakal nangis, tapi juga ngerasa lebih kuat setelahnya.
Kau Tercipta Bukan Untukku
Jejak dalam Kenyamanan Semu
Naurah duduk di jendela kamar, memandang langit sore yang semakin menggelap. Angin yang masuk melalui celah jendela membawa udara dingin yang sedikit menyentuh kulitnya, tapi ia tidak peduli. Matanya yang berwarna coklat itu kosong, seolah terhanyut dalam lamunannya sendiri. Sesekali, ia menyapu rambut panjangnya yang sedikit berantakan ke belakang, namun pikirannya tidak bisa lepas dari satu nama—Dimas.
Dimas, lelaki yang sudah begitu lama hadir dalam hidupnya, seperti bayangan yang tak pernah pergi. Seperti kebiasaan yang sudah mengakar, mereka selalu bersama. Naurah tidak pernah merasa sendirian saat Dimas ada. Mereka berjalan berdampingan, seperti dua sisi dari koin yang tidak bisa dipisahkan. Namun entah mengapa, belakangan ini, ada rasa yang mengganggu, seolah ada yang mulai berubah, tapi tak tahu apa.
Dari luar kamar, terdengar derap langkah kaki Dimas yang semakin mendekat. Naurah menoleh, mendapati Dimas yang sudah berdiri di ambang pintu. Wajahnya terlihat lelah, namun senyumnya selalu bisa menghangatkan. Mereka berdua sudah saling mengenal begitu lama, hingga senyum itu menjadi bagian dari rutinitas. Tapi senyum Dimas saat itu terasa berbeda. Ada jarak yang tak terlihat, namun cukup untuk membuat Naurah merasa tak nyaman.
“Hei, kenapa duduk di sini sendirian?” Dimas melangkah masuk, membawa secangkir kopi hangat. “Aku bawa kopi favorit kamu.”
Naurah hanya tersenyum tipis, menerimanya tanpa kata. Ia menatap kopi itu, bukan karena tidak suka, tapi karena ia tidak tahu harus berkata apa. Ia ingin bertanya, ingin tahu apa yang sebenarnya ada di benak Dimas, tapi kata-kata itu seperti terkunci dalam mulutnya. Naurah tahu, ada sesuatu yang tak beres, dan ia merasa semakin terjebak dalam perasaan yang tak jelas.
“Terima kasih,” katanya pelan, meletakkan cangkir itu di meja dekat jendela. “Tapi… kenapa kita makin jarang ngobrol? Kamu sibuk ya akhir-akhir ini?”
Dimas duduk di sebelahnya, mengatur posisi tubuhnya agar lebih nyaman, namun ia tidak bisa menutupi raut wajah yang menunjukkan kebingungan. “Aku… aku nggak tahu, Naurah,” jawabnya perlahan. “Mungkin kita butuh waktu untuk… merenung.”
Merenung? Naurah menoleh padanya, mencoba menangkap maksud dari kata-kata itu. Sejak kapan Dimas menjadi orang yang berpikir begitu jauh? Sejak kapan ia jadi cemas? Dulu, semuanya terasa begitu jelas. Tapi sekarang, rasanya seperti ada sesuatu yang menghalangi mereka, membuat Naurah merasa seperti terasing, meski mereka duduk berdampingan.
“Ada apa, Dimas? Kamu nggak pernah ngomong gini sebelumnya.” Naurah mengerutkan dahi, suaranya sedikit lebih tegas. Ia merasa bingung dan mulai kesal, namun lebih dari itu, ia merasa cemas. “Kamu nggak suka lagi sama aku, ya?”
Dimas terdiam sejenak, tampak seperti sedang mencari-cari kata-kata yang tepat. Ia memandang Naurah dengan tatapan kosong, seakan mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi dalam dirinya. Naurah merasa jantungnya berdebar kencang, takut jawaban yang akan diterima tidak seperti yang ia harapkan.
“Naurah, aku… aku nggak tahu harus mulai dari mana,” akhirnya Dimas mengatakannya dengan pelan. “Aku cuma merasa… mungkin aku nggak bisa memberi apa yang kamu butuhkan. Kamu pantas mendapatkan lebih dari apa yang aku bisa beri.”
Hati Naurah seperti diremas. Kalimat itu begitu berat dan menekan, hampir membuatnya kehilangan kata-kata. “Apa maksud kamu?” tanyanya, meski suaranya hampir tenggelam. “Aku nggak bisa ngerti, Dimas. Aku pikir kita baik-baik aja. Kamu bilang aku pantas dapat lebih, tapi aku nggak minta lebih, aku cuma… cuma minta kamu tetap ada.”
Dimas menunduk, menarik napas dalam-dalam. “Kamu berhak mendapatkan seseorang yang bisa memberimu segala yang kamu inginkan, Naurah. Aku nggak bisa melakukan itu. Aku nggak tahu lagi apakah kita benar-benar… cocok.”
Naurah menatap Dimas dengan penuh rasa bingung dan kecewa. Kata-kata itu terasa menusuk, lebih tajam dari yang ia bayangkan. Selama ini, ia percaya mereka adalah dua orang yang ditakdirkan untuk bersama, namun sekarang, semuanya terasa hancur begitu saja. “Jadi, ini tentang kita berdua?” Naurah merasa sakit di tenggorokannya, mencoba menahan air mata yang hampir tumpah.
Dimas mengangguk perlahan, wajahnya menunjukkan penyesalan yang mendalam. “Aku nggak pernah mau menyakiti kamu, Naurah. Tapi aku rasa aku harus jujur sama diri sendiri. Aku nggak bisa terus menipu kamu dan diriku sendiri.”
Mendengar itu, hati Naurah seperti dihantam badai. Apa yang sebenarnya terjadi? Semua yang ia bangun bersama Dimas kini terasa rapuh, seperti bangunan yang siap runtuh. Rasanya begitu sulit untuk menerima kenyataan bahwa mungkin, cinta mereka selama ini tidak cukup. Dimas tidak merasa seperti itu. Ia tidak melihat mereka sebagai pasangan yang bisa bertahan.
“Jadi, kamu mau kita berhenti sekarang?” suara Naurah pecah, seperti mengundang tumpahan air mata yang sudah lama ia tahan. “Kamu yakin?”
Dimas mengangkat wajahnya, menatap Naurah dengan tatapan penuh penyesalan. “Aku nggak tahu, Naurah. Aku nggak bisa memaksakan sesuatu yang tidak bisa kita atasi bersama. Ini bukan berarti aku nggak peduli sama kamu. Tapi aku nggak ingin kita terus berjalan di jalan yang salah, hanya karena kita takut menghadapi kenyataan.”
Naurah merasa seolah dunia ini berhenti sejenak. Ia ingin berteriak, ingin menghentikan semuanya agar tetap seperti dulu, agar Dimas tidak pergi, agar mereka tidak kehilangan satu sama lain. Tapi kenyataan yang mereka hadapi terlalu berat untuk dipungkiri.
Mereka duduk dalam keheningan, keduanya merasa terperangkap dalam perasaan yang tak terungkapkan. Dimas, lelaki yang dulu ia anggap tak tergantikan, kini tampak begitu jauh. Dan Naurah, meskipun mencoba bertahan, tahu bahwa mungkin saat itu juga mereka harus melepaskan.
Namun, perpisahan ini masih terlalu cepat untuk diselesaikan. Perasaan itu terlalu kuat, terlalu membingungkan. Dan bagi Naurah, itu hanya awal dari sebuah kenyataan yang perlahan harus diterima.
Bisikan dari Hati yang Terabaikan
Dimas pergi malam itu, meninggalkan Naurah di dalam kamar dengan seluruh dunia yang terasa gelap. Ia duduk di ujung ranjang, menatap kosong ke arah dinding yang tak lagi memberinya kenyamanan seperti dulu. Waktu terus berjalan, tapi entah kenapa detik-detiknya terasa begitu lambat, seperti ada beban yang berat yang ia bawa sendirian. Naurah tidak tahu berapa lama ia duduk di sana, terperangkap dalam pikirannya sendiri, tapi rasa sakit itu tak kunjung hilang.
Keputusan Dimas itu terasa seperti sebuah petir yang menyambar tanpa peringatan. Kata-kata yang dia ucapkan terus berputar di kepalanya, memaksa Naurah untuk mencerna setiap potongan yang tidak bisa ia hubungkan. “Aku nggak bisa memberi apa yang kamu butuhkan…“ Kalimat itu, yang sebelumnya terasa begitu jauh, kini seperti jebakan yang membelenggu hatinya.
Paginya, Naurah mencoba untuk melanjutkan rutinitasnya, berusaha menyembunyikan rasa sakit di balik senyumnya. Tapi setiap kali ia melihat cermin, bayangan dirinya sendiri terasa asing. Seolah-olah ia tidak lagi mengenal siapa dirinya, siapa yang ia perjuangkan selama ini. Dimas telah meninggalkannya dengan lebih dari sekadar perpisahan—ia meninggalkannya dengan keraguan yang mendalam tentang dirinya sendiri.
“Naurah, kamu baik-baik aja?” tanya Zhara, teman sekamarnya, saat melihatnya berjalan perlahan menuju ruang makan. Naurah hanya mengangguk dengan senyum yang dipaksakan. Zhara tidak tahu apa yang terjadi, dan Naurah bertekad untuk tidak memberitahunya. Terkadang, membicarakan perasaan hanya membuatnya semakin terasa nyata. Dan saat itu, ia ingin melupakan semuanya, meskipun itu terasa mustahil.
Namun, di dalam hatinya, ada sebuah kerinduan yang tak bisa dihilangkan begitu saja. Rasa kosong yang menguar setelah Dimas pergi. Mereka telah bersama begitu lama, membangun kehidupan yang terasa begitu utuh, dan sekarang, semuanya hancur dalam sekejap. Naurah tak tahu bagaimana cara menyembuhkan luka yang terlalu dalam.
Di tengah kebingungannya, ponselnya bergetar, sebuah pesan singkat dari Dimas muncul di layar.
“Maafkan aku, Naurah. Aku nggak bisa berhenti berpikir tentang kamu. Aku nggak pernah berniat menyakitimu. Mungkin kita bisa bicara lagi suatu saat nanti, kalau kamu sudah siap.”
Naurah menatap pesan itu dengan hati yang berdebar. Apakah ia harus membalasnya? Apakah perasaan yang ia rasakan hanya satu sisi saja? Ia memutar otak, mencoba mengerti apa yang Dimas maksud dengan kata-kata itu. “Kalau kamu sudah siap.” Siap untuk apa? Menerima kenyataan bahwa mereka sudah tak bisa kembali seperti dulu? Atau siap untuk membuka luka lama yang mungkin tak bisa lagi ia sembuhkan?
Naurah meremas ponselnya, merasa kesal dengan dirinya sendiri. Mengapa ia masih berharap? Mengapa ia masih memikirkan seseorang yang jelas-jelas telah memilih untuk meninggalkannya? Bagaimana ia bisa begitu buta terhadap kenyataan bahwa mungkin mereka memang tidak ditakdirkan untuk bersama?
Sore itu, Naurah keluar untuk berjalan-jalan sendirian. Kaki-kakinya melangkah tanpa tujuan, sekadar ingin menghindari kenyataan yang terus menghantui. Ia melewati taman yang dulu sering mereka kunjungi berdua. Di sana, mereka duduk di bangku yang sama, berbicara tentang impian dan harapan mereka, tentang masa depan yang sepertinya begitu jelas. Tapi kini, semua itu terasa seperti kenangan yang jauh, yang sudah tertinggal begitu lama.
Ia duduk di bangku itu, menatap kosong ke arah kolam yang terletak di tengah taman. Sesekali, burung-burung kecil terbang melintas, tetapi bagi Naurah, semuanya terasa begitu sepi. Keheningan itu seperti menjadi penekan di dadanya, memaksanya untuk merenung lebih dalam. Apakah ia pernah benar-benar memahami apa yang diinginkan oleh Dimas? Atau apakah ia hanya terjebak dalam ilusi bahwa cinta itu akan selalu cukup untuk mereka berdua?
Saat itu, ia merasa kehadiran Dimas begitu jauh, meski mereka pernah begitu dekat. Apa yang terjadi pada mereka? Apakah ini semua kesalahannya? Apakah ia yang terlalu menuntut? Mungkin ini memang jalan yang terbaik, meskipun ia merasa kehilangan segalanya.
Langkah kaki yang tiba-tiba menghampirinya menyadarkannya dari lamunannya. Seorang pria dengan jaket biru gelap duduk di sebelahnya. Naurah menoleh dan melihat wajah yang familiar. Itu adalah Dimas. Wajahnya terlihat lebih kurus, matanya sedikit cekung, seolah terlihat lelah dari dalam.
“Dimas?” Naurah menahan napas, bingung. Kenapa ia tiba-tiba muncul di sini? Bukankah mereka baru saja berbicara tentang perpisahan?
Dimas menghela napas panjang, seolah sudah siap dengan apa yang ingin dia katakan. “Naurah, aku tahu kamu pasti bingung dengan apa yang terjadi,” katanya dengan suara yang lebih lemah dari biasanya. “Aku nggak pernah mau membuat kamu merasa seperti ini. Tapi… aku rasa kita berdua butuh waktu untuk mencari tahu apa yang benar-benar kita inginkan dalam hidup.”
Naurah menatapnya dengan tatapan kosong. “Aku nggak tahu harus ngomong apa lagi, Dimas,” jawabnya perlahan, suaranya terdengar pecah. “Kamu bilang kita nggak cocok, kamu bilang aku pantas dapat lebih. Tapi kenapa sekarang kamu ada di sini? Kenapa kita nggak bisa cuma… jadi kita, tanpa semua keraguan ini?”
Dimas menunduk, dan Naurah bisa melihat kelembutan di matanya, seolah ada perasaan yang tidak bisa ia ungkapkan. “Aku nggak bisa memberikan jawabannya sekarang, Naurah. Aku hanya tahu aku butuh waktu. Aku ingin kita berdua bisa mencari jalan masing-masing, dan mungkin suatu saat kita akan tahu apakah ada cara untuk kembali.”
Naurah menatapnya dengan hati yang berat. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, tetapi ia menahannya. “Tapi Dimas… jika kita memang tak ditakdirkan bersama, apa yang harus aku lakukan? Aku… aku nggak tahu harus bagaimana lagi.”
“Kadang, kita harus melepaskan sesuatu agar bisa menemukan yang lebih baik,” kata Dimas pelan, hampir berbisik. “Aku berharap kita bisa menemukan kedamaian, Naurah. Walau itu berarti kita harus berpisah.”
Kata-kata itu mengoyak hatinya lebih dalam. Ia menatap Dimas untuk terakhir kalinya, mencoba mengingat semuanya—kenangan yang indah, tawa yang pernah mereka bagi. Tapi kini, semua itu terasa seperti bayangan yang perlahan memudar. Dalam hati Naurah, ada sebuah pengakuan pahit: mereka memang bukan untuk satu sama lain.
Menjadi Bayangan dalam Ingatan
Hari-hari setelah pertemuan itu terasa seperti perjalanan di jalan yang gelap dan berliku. Naurah merasa seolah-olah ia terjebak dalam ruang kosong, dikelilingi oleh kenangan yang tak bisa ia lepaskan. Kehidupannya tidak lagi sama sejak Dimas menghilang, dan meskipun ia berusaha keras untuk beradaptasi dengan kenyataan baru, perasaan itu tetap hadir, mengganggu, dan membebani hatinya.
Setiap pagi, ia bangun dengan rasa kehilangan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Dunia yang dulu begitu terang, kini terasa redup. Langkahnya tidak lagi seberani dulu, dan senyum yang selalu ia tunjukkan kepada dunia kini terasa palsu. Bahkan Zhara, yang selalu ada di sisinya, mulai merasa ada sesuatu yang berubah dalam diri Naurah.
“Naurah, kamu pasti ada sesuatu yang ingin kamu bicarakan, kan?” tanya Zhara suatu sore saat mereka duduk berdua di teras, menikmati secangkir teh hangat. “Aku tahu kamu nggak bisa terus-terusan seperti ini.”
Naurah memandang sahabatnya dengan tatapan kosong, seolah segala sesuatu yang ada di sekitarnya tidak begitu berarti lagi. “Aku nggak tahu, Zhara. Aku hanya merasa… kosong,” jawabnya, suaranya hampir tidak terdengar.
Zhara menghela napas dan menatapnya dengan penuh perhatian. “Aku nggak tahu apa yang kamu rasakan, Naurah, tapi aku bisa merasakannya. Aku bisa melihat betapa beratnya beban yang kamu bawa. Tapi kamu nggak bisa terus hidup dalam bayangan masa lalu. Kamu harus melangkah maju.”
“Melangkah maju?” Naurah tertawa pahit. “Bagaimana aku bisa melangkah maju, Zhara? Aku nggak tahu lagi apa yang harus aku tuju. Aku merasa seperti sudah kehilangan arah.”
Zhara memegang tangan Naurah, memberinya sedikit kenyamanan. “Kamu nggak sendiri, Naurah. Aku ada di sini. Jangan biarkan satu orang merusak hidupmu. Kamu lebih dari itu.”
Naurah menatap Zhara, dan meskipun ia merasa sedikit terhibur oleh kata-kata sahabatnya, hatinya tetap terasa berat. Melangkah maju? Itu bukan hal yang mudah. Perasaan yang ia miliki untuk Dimas terlalu dalam, terlalu kuat untuk sekadar diabaikan. Ia merasa seperti ada sesuatu yang hilang, dan tidak ada cara untuk mengembalikannya.
Beberapa hari setelah percakapan itu, Naurah mencoba untuk mengisi kekosongan hatinya dengan berbagai aktivitas. Ia mulai kembali ke tempat-tempat yang dulu ia kunjungi sendiri, mencoba mencari kedamaian dalam kesendirian. Ia pergi ke kafe kecil yang biasa ia kunjungi, berjalan-jalan di sekitar taman, mencoba untuk menemukan ketenangan di tengah hiruk-pikuk kehidupan yang terus berjalan.
Namun, setiap langkah yang ia ambil selalu terasa berat. Setiap sudut kota, setiap benda, dan setiap orang yang ia temui seolah mengingatkannya pada Dimas. Kenangan mereka yang dulu begitu indah kini terasa seperti pisau yang mengiris-iris jantungnya. Mereka telah menjadi bagian dari dirinya, dan melepaskan itu berarti merobek hatinya menjadi dua.
Satu sore, ketika ia berjalan di sekitar taman, ia melihat sesuatu yang membuat hatinya terhenti. Di sebuah bangku, tepat di tempat mereka dulu duduk bersama, ada Dimas. Ia tampak lebih pendiam dari biasanya, dengan wajah yang penuh kekhawatiran, seolah mencari jawaban atas sesuatu yang tidak bisa ia ungkapkan. Naurah terpaku di tempatnya, merasa jantungnya berhenti berdetak sesaat.
Dimas menoleh ke arahnya dan mata mereka bertemu. Ada keheningan yang begitu dalam di antara mereka, seperti ada ribuan kata yang ingin mereka ucapkan, tetapi semuanya terhenti di bibir masing-masing.
Naurah merasa sebuah rasa cemas yang mendalam, namun juga sebuah kerinduan yang tak bisa ia bendung. Hatinya berdebar keras, dan ia merasa tubuhnya lemas. Seolah-olah Dimas adalah bagian dari dirinya yang hilang, dan ia tak tahu apakah harus mendekat atau menjauh.
“Dimas…” suara Naurah keluar dengan berat, hampir seperti bisikan. “Kenapa kamu ada di sini?”
Dimas berdiri pelan, berjalan mendekat dengan langkah yang hati-hati. “Aku nggak tahu harus mulai dari mana, Naurah,” jawabnya dengan suara yang lebih lemah dari biasanya. “Aku… aku hanya ingin bilang kalau aku masih memikirkanmu. Aku nggak bisa melupakan kamu.”
Rasa sakit itu kembali mengalir dalam diri Naurah, dan ia merasa perasaan itu mulai mempengaruhinya. Tapi ia menahan diri untuk tidak menunjukkan betapa terkejut dan terluka hatinya. “Tapi kenapa kamu pergi begitu saja, Dimas? Kenapa kamu membuat aku merasa seperti ini? Kita sudah punya semuanya, kita sudah saling memahami, tapi kenapa sekarang kamu malah mundur?”
Dimas menatapnya dengan mata yang penuh penyesalan. “Aku nggak bisa menjelaskan semuanya, Naurah. Ada banyak hal yang aku nggak bisa paham. Tapi aku juga tahu, aku nggak bisa terus tinggal di masa lalu. Aku tahu aku salah. Tapi aku nggak bisa memaksakan sesuatu yang nggak bisa aku berikan.”
Naurah menunduk, berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh. “Jadi, kita harus berhenti, kan? Kita harus berhenti berharap pada sesuatu yang jelas-jelas nggak mungkin.” Suaranya bergetar, penuh kesedihan.
Dimas mengangguk pelan. “Aku nggak ingin melukai kamu lebih jauh, Naurah. Aku… aku tahu kita nggak bisa bersama seperti dulu lagi. Mungkin kita berdua memang sudah tidak cocok.”
Perasaan Naurah terasa seperti diterjang ombak yang datang begitu kuat. Hatinya hancur berkeping-keping, dan ia merasa seolah-olah semua harapan itu menjadi debu yang terbawa angin. Tapi di balik kesedihan itu, ia juga merasakan sesuatu yang lain—perasaan lega yang datang dari kenyataan bahwa akhirnya mereka berbicara tentang semua yang tertahan begitu lama.
Dengan langkah yang berat, Naurah berbalik dan berjalan menjauh. Setiap langkahnya terasa seperti meninggalkan sebagian dari dirinya di belakang. Dimas tetap berdiri di sana, menatapnya dengan tatapan yang penuh penyesalan, tetapi itu sudah tidak ada artinya lagi.
Naurah tahu, perpisahan itu tidak hanya tentang Dimas. Itu juga tentang dirinya—tentang melepaskan bayangan masa lalu yang terus membayanginya. Mereka memang bukan untuk satu sama lain, dan itu adalah kenyataan yang harus diterima, meskipun itu terasa seperti pisau yang mengiris setiap bagian dari hati.
Mengikhlaskan Cinta yang Pergi
Waktu berlalu, dan Naurah mulai belajar untuk menerima kenyataan. Setiap hari, meskipun terasa berat, ia mencoba membangun kembali dirinya, potongan-potongan hati yang hancur perlahan mulai ia rapikan. Rasa sakit itu tidak pergi begitu saja, tapi ia tahu, ia harus berjalan maju, meskipun langkahnya sering kali terasa goyah.
Ia kembali ke rutinitasnya, bekerja, bertemu teman-teman, dan melakukan segala hal yang dulu ia nikmati. Namun, ada satu hal yang tak bisa disembunyikan: ruang kosong yang tidak bisa diisi oleh apapun atau siapapun. Naurah merasa seperti setengah dirinya hilang. Tetapi di balik semua itu, ia mulai mengerti bahwa melepaskan bukan berarti menghilangkan, melainkan memberi ruang bagi dirinya untuk tumbuh.
Hari itu, saat ia sedang duduk di taman, memandangi dedaunan yang bergoyang perlahan tertiup angin, teleponnya berdering. Nomor yang tertera di layar adalah nomor yang sudah lama tak ia lihat. Naurah ragu sejenak, lalu dengan perlahan, ia menjawabnya.
“Naurah,” suara Dimas terdengar dari seberang. Naurah bisa merasakan perasaan berat di balik kata-katanya. “Aku tahu kamu nggak butuh aku lagi, dan mungkin aku nggak punya hak untuk bicara, tapi aku… aku hanya ingin bilang terima kasih.”
“Terima kasih?” Naurah menahan napas, hatinya berdebar. Suara Dimas terdengar sangat berbeda, penuh penyesalan.
“Iya,” lanjut Dimas, “terima kasih karena sudah memberi aku kesempatan. Terima kasih karena telah menjadi bagian dari hidupku, meskipun aku nggak bisa memberikan apa yang kamu butuhkan. Aku sadar aku telah menyakitimu, dan aku minta maaf. Aku harap kamu bisa bahagia meskipun kita nggak bisa bersama.”
Naurah menutup matanya sejenak, merasakan angin sepoi yang menyentuh wajahnya, membawa kenangan tentang Dimas, tentang semuanya. Ia bisa merasakan betapa tulusnya ucapan Dimas, namun itu tidak cukup untuk menghapus rasa sakit yang ia rasakan selama ini. “Aku nggak tahu harus bilang apa, Dimas. Semua ini sudah terjadi, dan aku sudah berusaha untuk mengikhlaskan semuanya. Mungkin ini memang jalan terbaik bagi kita berdua.”
Ada keheningan sesaat di antara mereka. Naurah bisa mendengar napas Dimas yang berat, seperti ia ingin berkata lebih banyak, tetapi tidak ada kata yang bisa mengubah apa yang sudah terjadi.
“Aku nggak akan mengganggu hidupmu lagi, Naurah,” kata Dimas akhirnya. “Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku akan selalu mengenangmu dengan cara yang baik, meskipun kita sudah berpisah.”
“Aku juga akan mengenangmu dengan baik, Dimas,” jawab Naurah, suara hatinya terasa lebih ringan. “Terima kasih atas semua kenangan indah yang pernah kita punya. Semoga kamu juga menemukan kebahagiaan.”
Sebelum Dimas sempat mengatakan sesuatu lagi, Naurah menutup teleponnya. Ada rasa kosong yang tiba-tiba menyelimuti hatinya. Namun, di sisi lain, ada kedamaian yang mulai ia rasakan. Dimas sudah memberi penutupan yang ia butuhkan, dan meskipun cinta mereka tidak berakhir dengan cara yang bahagia, mereka berdua bisa melepaskan dan melanjutkan hidup.
Hari-hari berlalu dengan perlahan, dan Naurah mulai menerima kenyataan bahwa perasaan itu memang tidak selalu berakhir dengan kebahagiaan bersama. Ia tahu bahwa meskipun mereka tidak ditakdirkan untuk bersama, hidupnya masih punya banyak kemungkinan. Ada waktu untuk sembuh, untuk tumbuh, dan untuk mencintai lagi—meski tidak dengan cara yang sama seperti dulu.
Di satu malam yang tenang, saat ia berdiri di depan jendela, memandang bulan yang bersinar lembut, Naurah merasa bahwa hidupnya perlahan menemukan keseimbangan. Ia sudah belajar untuk mengikhlaskan. Cinta yang pernah hadir dalam hidupnya tidak akan pernah benar-benar hilang, tapi itu menjadi bagian dari perjalanan panjangnya—sebuah kenangan yang akan selalu ada, tetapi tidak menghalanginya untuk melangkah maju.
Naurah tersenyum tipis, sebuah senyuman yang mengandung kedamaian dan harapan. Ia tahu, bahwa meskipun mereka berdua tidak tercipta untuk bersama, ia sudah cukup kuat untuk melanjutkan hidupnya. Dan mungkin, di masa depan, ia akan menemukan cinta yang lebih baik, yang bisa memberinya kebahagiaan yang selama ini ia cari.
Tapi untuk saat ini, ia cukup puas dengan diri sendiri. Karena hidup, meskipun penuh dengan kehilangan, tetap menawarkan peluang untuk meraih kebahagiaan yang baru. Dan Naurah tahu, hidupnya belum berakhir. Itu baru saja dimulai.
Jadi, begitulah cerita tentang cinta yang harus ikhlas dilepas. Kadang, kita nggak bisa paksain semuanya berakhir bahagia. Tapi, dari setiap perpisahan, kita belajar buat lebih kuat dan lebih dewasa.
Semoga cerpen ini bisa ngasih kamu perspektif baru soal bagaimana cara mengikhlaskan dan menerima kenyataan. Cinta nggak selalu berjalan sesuai harapan, tapi kita tetap bisa temuin kebahagiaan dalam cara yang berbeda. Terima kasih udah baca, semoga hati kamu tetap utuh, ya!