Daftar Isi
Pernah nggak sih ngerasa ada kata-kata yang nggak sempat kamu ucapin, dan itu jadi beban yang terus ngikutin kamu? Nah, cerpen ini bakal bikin kamu mikir, gimana rasanya kalau semuanya udah terlambat, dan kata-kata yang seharusnya keluar malah cuma jadi kenangan yang nggak bisa kembali lagi. Gimana kalau penyesalan datang di waktu yang salah? Yuk, baca ceritanya!
Kata yang Tak Sempat Terucap
Kata yang Terpendam
Cahaya lembut dari lampu kafe memantul pada kaca jendela yang agak buram. Di luar, hujan turun perlahan, menciptakan ritme yang menenangkan di tengah keramaian kota. Arsen duduk di sudut yang biasa mereka pilih, menghadap ke arah jalan raya yang selalu tampak sibuk. Tangannya memegang secangkir kopi hangat yang sudah hampir dingin, tetapi ia tak peduli. Matanya hanya terfokus pada wajah di depannya, wajah yang sangat dikenalnya, namun terasa asing.
Ella, dengan senyumannya yang selalu membuat hatinya berdebar, sedang bercerita tentang pekerjaan barunya. Rambutnya yang tergerai panjang, dipadu dengan gaun simpel yang elegan, menambah pesonanya. Namun, seiring berjalannya waktu, setiap kata yang keluar dari mulut Ella terasa semakin jauh dari dirinya. Ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan, sebuah jarak yang terbentuk di antara mereka meskipun mereka duduk berdekatan.
“Jadi, aku mutusin untuk pindah ke Jakarta bulan depan,” kata Ella, tanpa menyadari bahwa Arsen hanya mengangguk lemah. “Pekerjaan baru, peluang baru, kamu tahu kan? Aku harus mengejar apa yang sudah lama aku impikan.”
Arsen memandangnya, mencoba untuk tersenyum, meski hatinya terasa nyeri. “Iya, aku ngerti. Itu bagus banget, Ella,” jawabnya pelan, mencoba menyembunyikan perasaan yang tak bisa ia ungkapkan.
Tapi Ella tak melihatnya. Ia terlalu sibuk dengan dunianya sendiri. Arsen tahu betul bahwa ia tak pernah benar-benar bisa menembus batas yang ada di antara mereka. Mungkin itu yang membuatnya tak pernah bisa mengatakan apa yang sebenarnya ingin ia ucapkan sejak lama. “Aku mencintaimu.” Kalimat itu selalu terjebak di tenggorokannya, tertahan sebelum sempat keluar. Tak ada alasan yang jelas mengapa ia tak pernah mengatakan itu, selain ketakutannya akan perubahan yang mungkin datang setelahnya.
“Dan aku bertemu dengan seseorang di sana,” Ella melanjutkan, membawa Arsen kembali dari pikirannya yang mengawang-awang. Ia menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap Arsen dengan mata yang penuh semangat. “Namanya Dika. Kamu pasti suka sama dia, Arsen. Dia keren banget, lucu, dan punya impian besar, seperti aku.”
Arsen tersentak. Kalimat itu bagaikan pukulan yang menghantam dadanya. Dia tahu bahwa Ella berhak bahagia, dan siapa pun yang membuatnya bahagia pasti layak untuk mendapatkannya. Tapi mengapa ini terasa begitu sulit? Mengapa kata-kata yang ingin ia ucapkan terasa terperangkap dalam mulutnya?
“Ah, Dika, ya?” Arsen mencoba tertawa ringan, meskipun ada perasaan sesak yang menyelimutinya. “Mudah-mudahan kalian cocok.”
“Aku yakin dia orang yang tepat,” jawab Ella, mata berbinar. “Aku nggak sabar buat memulai hidup baru. Tapi, kamu jangan khawatir ya, kita tetap bisa saling komunikasi kok.”
Arsen menundukkan kepala, mencoba menghindari tatapan Ella. Ia tahu bahwa ini adalah salah satu percakapan terakhir mereka. Begitu banyak hal yang ingin ia katakan, tapi semuanya terasa sia-sia. Waktu semakin sempit, dan ia hanya bisa duduk diam, mendengarkan Ella bercerita tentang masa depannya yang cerah.
Di dalam hatinya, Arsen merasa terjepit. Betapa bodohnya dirinya. Betapa dia menyesal karena tidak pernah mengungkapkan perasaannya. Namun, apa yang bisa ia lakukan sekarang? Apa yang bisa ia ubah? Semua itu terasa terlambat.
Ella pun melanjutkan ceritanya, menyebutkan tentang rencana liburannya, tentang tempat-tempat yang ingin ia kunjungi bersama Dika. Setiap kata yang keluar dari mulutnya semakin membuat Arsen merasa semakin jauh. Ia hanya bisa mendengarkan, mencoba berpura-pura bahagia untuknya. Namun di dalam dirinya, ada perasaan yang sulit dijelaskan. Ada kerinduan yang tak terungkap, dan penyesalan yang semakin dalam.
Ketika akhirnya mereka berdua berdiri, hendak meninggalkan kafe itu, Arsen merasa ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang tak bisa ia raih. Sesuatu yang selalu ada di ujung jari, namun selalu terlewatkan. Kata-kata itu.
“Selamat jalan, ya,” Ella mengucapkan dengan senyum ceria, tanpa tahu betapa kata-katanya itu menambah beban dalam hati Arsen. “Aku yakin kamu juga bakal sukses kok.”
“Semoga kamu bahagia, Ella,” jawab Arsen, suaranya hampir tak terdengar. Matanya berkilat sejenak, mencoba menahan segala perasaan yang bergejolak. “Semoga semuanya lancar.”
Ketika Ella melangkah pergi, Arsen berdiri terpaku, menatap punggungnya yang semakin menjauh. Hatinya serasa hancur. Sesaat, ia ingin berteriak, ingin mengejarnya dan mengungkapkan semuanya. Namun, tubuhnya terasa kaku, seolah kata-kata itu terjebak di tenggorokan, tak mampu untuk keluar.
“Aku mencintaimu,” bisiknya dalam hati, berharap semoga kata-kata itu bisa sampai ke Ella meskipun tak pernah terucap.
Arsen menatap langit yang mendung, merasakan kesepian yang semakin dalam. Ia tahu bahwa ini adalah saat terakhirnya melihat Ella, dan ia tahu, tak ada yang bisa mengubah kenyataan itu. Penyesalan mulai merayap masuk, menggulung dirinya dalam rasa frustasi yang tak tertahankan.
Malam semakin larut, dan Arsen kembali ke apartemennya yang sunyi, tempat di mana segala kenangan tentang Ella terasa begitu hidup. Tetapi kata-kata yang tak sempat ia ucapkan tetap terngiang dalam benaknya, semakin menggerogoti hatinya. Semuanya terlambat.
Dan di sana, dalam kesunyian yang menyakitkan itu, Arsen akhirnya menyadari satu hal: terkadang, kata-kata yang paling penting adalah yang tak sempat kita ucapkan.
Dalam Keheningan Waktu
Arsen menatap langit yang kelam dari jendela apartemennya. Hujan masih turun dengan ritme yang sama, seakan ingin mengguyur habis segala yang ada di dalam hatinya. Sementara itu, kesepian di dalam ruangan terasa semakin menyesakkan, menelannya dalam keheningan yang tak ada ujungnya. Suara detak jam yang terdengar terlalu keras di telinganya semakin membuatnya merasa kesepian.
Setiap malam, Arsen terjaga, merenung dalam diam, bertanya pada dirinya sendiri, mengapa ia membiarkan semua itu berlalu begitu saja. Mengapa ia membiarkan kata-kata itu terperangkap dalam dirinya, padahal ia tahu betul betapa pentingnya pengakuan itu untuk Ella. Ia bisa melihatnya, bisa merasakannya, betapa dia ingin sekali membuka mulut dan mengungkapkan apa yang selama ini dipendam. Tapi Arsen terlalu takut. Takut akan kehilangan, takut akan perubahan yang datang setelahnya, takut pada kenyataan yang mungkin tak sesuai dengan harapannya.
Selama dua minggu terakhir, Arsen berusaha menghubungi Ella beberapa kali, mencoba untuk mendengar kabar darinya, berharap mungkin ada secercah harapan. Tetapi setiap kali ia melihat nama Ella di layar ponselnya, ada rasa cemas yang menghantui. Ia tahu, percakapan itu tidak akan pernah sama lagi. Semua yang ada di antara mereka sudah berubah, dan Arsen tidak tahu bagaimana cara mengembalikannya.
Malam itu, setelah berjam-jam bergelut dengan pikirannya, Arsen memutuskan untuk pergi keluar. Langkah kaki yang terasa berat, membawa dirinya ke jalanan yang basah oleh hujan. Ia tak tahu ke mana harus pergi, hanya ingin menghindari kesunyian apartemennya yang menekan jiwanya. Di jalan yang ramai itu, ia bisa melihat orang-orang berjalan dengan tujuan yang jelas, sementara dirinya hanya terombang-ambing dalam pikirannya sendiri.
Arsen melewati banyak kafe yang terang benderang, restoran dengan meja-meja penuh, dan lampu-lampu kota yang mengirimkan bayangan di trotoar basah. Semua itu terasa begitu jauh. Hatinya terasa beku, seolah tak ada yang bisa menghangatkan dirinya lagi. Ia berlari dari satu tempat ke tempat lain, mencari jawaban yang ia tak tahu harus dicari di mana.
Langkahnya berhenti di sebuah taman kecil yang terletak di sudut kota. Bangku-bangku kosong berbaris rapi, dan pohon-pohon besar yang sudah kehilangan daunnya di musim gugur tampak gelap. Udara dingin malam itu menusuk kulitnya, tapi ia tak peduli. Ia duduk di bangku yang ada, menundukkan kepala, membiarkan pikiran-pikirannya berputar, mencerna semua penyesalan yang menghantuinya.
Tak lama setelah ia duduk, ponselnya bergetar di saku jaketnya. Dengan cepat, ia mengeluarkan ponsel itu, berharap itu adalah pesan dari Ella. Tetapi ketika ia membuka layar, yang ia temui hanyalah pesan singkat dari temannya, Aria.
“Arsen, aku dengar Ella udah pindah ke Jakarta. Kamu baik-baik aja?”
Pesan itu semakin memperburuk suasana hati Arsen. Tidak ada kabar dari Ella, tidak ada pesan pribadi yang ia terima. Semua semakin terasa menghilang, seperti jejak yang ditinggalkan di pasir yang segera dihanyutkan ombak. Arsen menggenggam ponselnya erat-erat, menahan air mata yang rasanya sudah begitu lama terkumpul, menahan perasaan yang ingin ia luapkan.
Dengan napas yang berat, ia membuka pesan itu untuk membalas, tetapi jarinya tak bergerak. Kata-kata itu lagi, kata-kata yang tak bisa ia ucapkan, tak bisa ia sampaikan. Arsen memejamkan mata, mencoba mengendalikan dirinya. Betapa sesaknya hatinya, betapa hampa rasanya hidup tanpa bisa mengungkapkan apa yang selama ini ia pendam. Tapi yang lebih buruk adalah kenyataan bahwa ia tak tahu bagaimana harus melanjutkan hidupnya setelah semua yang ia biarkan berlalu begitu saja.
Dari kejauhan, Arsen bisa melihat lampu mobil yang bergerak cepat, menyusuri jalanan yang basah. Setiap mobil yang melintas seperti membawa orang-orang dengan cerita mereka sendiri, cerita yang mungkin lebih penting daripada apa yang terjadi pada dirinya. Semua orang punya kehidupan yang berjalan, sementara ia terjebak dalam kenangan yang terus menghantuinya. Semua perasaan itu berbaur dalam kepedihan yang tak ada habisnya.
Ia akhirnya memutuskan untuk pulang. Kaki-kakinya terasa berat, langkahnya seperti terhenti di tengah perjalanan, tetapi ia tahu ia harus kembali ke tempat yang sunyi itu. Di dalam ruangan yang kosong, ia akan tetap mengingat segala hal yang tak sempat ia katakan, segala hal yang seharusnya keluar dari mulutnya, tetapi sekarang sudah terlambat.
Ketika Arsen sampai di apartemennya, ia duduk di depan meja, menatap foto-foto lama mereka. Senyum Ella di setiap gambar itu begitu jelas, tetapi perasaan yang menyelimutinya kini berbeda. Seakan setiap senyum itu menjadi bayangan yang semakin memudar, semakin jauh, hingga akhirnya hilang tanpa bisa diraih. Arsen menatap foto terakhir yang diambil di kafe, foto yang menjadi kenangan terakhir mereka bersama.
Dari balik jendela, ia bisa melihat langit malam yang gelap, dan seolah langit itu juga mengingatkan pada dirinya, tentang kata-kata yang tak sempat terucap.
Titik Tanpa Kembali
Pagi itu datang dengan bias cahaya redup yang menerobos tirai jendela apartemen Arsen. Matanya terbuka perlahan, namun tubuhnya tetap tergeletak di atas sofa ruang tamu. Dia tidak ingat kapan terakhir kali tidur di kamar; semuanya terasa seperti lingkaran waktu yang berputar tanpa arah. Ponselnya tergeletak di meja kopi, dengan layar yang gelap, tanpa pesan atau panggilan yang ia tunggu-tunggu. Ella tetap diam—keheningannya adalah bukti yang paling menyakitkan.
Ketika Arsen akhirnya bangkit, ia menyeret kakinya ke dapur untuk menuangkan secangkir kopi, rutinitas yang kini terasa seperti formalitas kosong. Sementara suara mesin kopi memenuhi ruangan, pikirannya kembali ke percakapan terakhir mereka. Sebenarnya, bukan percakapan—lebih seperti monolog Ella yang diwarnai emosi, dan balasan dingin dari dirinya yang berujung pada diam panjang.
Di atas meja dapur, sebuah amplop putih tergeletak. Amplop itu datang beberapa hari lalu, tetapi Arsen belum punya keberanian untuk membukanya. Hari ini, entah kenapa, ia merasa dorongan untuk melihat apa yang ada di dalamnya. Dengan tangan gemetar, ia merobek tepi amplop dan menarik selembar kertas dari dalamnya.
Tulisan tangan Ella memenuhi halaman itu, melingkar dan rapi, tetapi terasa berat dengan emosi yang terpendam.
“Arsen, aku tahu ini bukan cara yang ideal untuk menyampaikan ini semua, tapi aku harus melakukannya sebelum aku benar-benar hilang dari hidupmu. Aku tidak pernah ingin pergi dengan meninggalkan luka, tapi aku tidak bisa terus bertahan di tempat yang membuatku merasa kecil.
Kau tahu, aku selalu percaya bahwa kita punya koneksi yang lebih dalam, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan oleh kata-kata. Tapi kau memilih untuk tetap diam, bahkan ketika aku sudah berusaha keras untuk mendekat. Mungkin, diam itu adalah jawaban yang selama ini aku takuti.
Sekarang, aku harus melangkah ke depan, Arsen. Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Aku harap kau mengerti bahwa ini bukan tentang membenci atau marah. Ini tentang menyelamatkan diriku sendiri.
Selamat tinggal.
Ella.”
Kata-kata itu menampar Arsen dengan keras. Tangannya gemetar memegang surat itu, sementara matanya berusaha menahan air mata yang tak bisa lagi terbendung. Ia membaca ulang surat itu, berharap menemukan sesuatu yang tersembunyi di antara kalimat-kalimatnya, sesuatu yang memberikan harapan bahwa semua ini belum benar-benar berakhir. Tapi tidak ada. Hanya keheningan yang menggema di ruang kecil itu.
Arsen merasakan dorongan untuk keluar, seolah-olah apartemen ini menjadi saksi bisu atas semua kebodohannya. Ia mengambil jaketnya dan melangkah keluar tanpa tujuan. Langkah kakinya membawanya kembali ke taman tempat ia sering bertemu dengan Ella. Tempat itu tidak berubah—bangku kayu yang sama, pohon-pohon besar yang sama, tetapi rasanya berbeda tanpa keberadaannya.
Di bawah naungan pohon, ia mendengar tawa anak-anak kecil bermain di kejauhan. Mereka berlari tanpa beban, tanpa rasa takut kehilangan. Pemandangan itu seperti ironi, karena di dalam dirinya, Arsen merasakan kehampaan yang semakin membesar. Ia mengeluarkan ponselnya dan membuka galeri. Foto-foto mereka berdua terhampar di layar, penuh dengan senyuman yang sekarang terasa seperti bayangan hampa.
Dalam sekejap, ia memutuskan untuk melakukan sesuatu. Ia mengetik pesan, panjang dan penuh kata-kata yang selama ini ia simpan dalam diam.
“Ella, aku tahu aku terlambat. Aku tahu semua kata ini seharusnya keluar jauh sebelum ini, tapi aku hanya ingin kau tahu bahwa aku menyesal. Aku menyesal tidak pernah punya keberanian untuk mengatakan apa yang seharusnya kukatakan. Aku menyesal membiarkanmu pergi tanpa memperjuangkan apa yang kita miliki. Jika aku bisa mengubah satu hal, aku akan kembali ke hari itu dan memberitahumu betapa berharganya dirimu. Aku hanya ingin kau tahu itu.”
Ia memandang pesan itu selama beberapa detik, jempolnya melayang di atas tombol “kirim.” Tetapi seperti biasa, keraguan muncul. Apa gunanya sekarang? Apa gunanya mengatakan sesuatu yang mungkin hanya akan membuat luka itu semakin dalam? Dengan napas berat, ia menghapus pesan itu, dan layar ponselnya kembali kosong.
Hari itu berlalu tanpa arah. Arsen menghabiskan waktunya berjalan tanpa tujuan, mencoba menghindari rasa sesal yang terus menghantuinya. Tetapi di mana pun ia pergi, bayangan Ella selalu menyertainya, mengingatkan bahwa ada sesuatu yang hilang—dan mungkin tidak akan pernah kembali.
Ketika malam datang, ia kembali ke apartemennya dengan tubuh yang lelah dan jiwa yang hancur. Dari balik jendela, ia melihat langit malam yang kosong, tanpa bintang, seolah mencerminkan hatinya. Suara hujan kembali terdengar, tetapi kali ini, ia tidak berusaha melawan keheningan itu. Ia membiarkan air mata mengalir, membiarkan dirinya hancur dalam keheningan malam.
Hanya ada satu pikiran yang terus berulang di benaknya: Jika saja aku mengatakannya lebih awal, semuanya mungkin akan berbeda.
Titik Terakhir
Arsen terbangun dengan perasaan yang kosong. Pagi itu terasa berbeda, tidak ada harapan yang menyertai langkahnya. Di meja samping tempat tidur, ponselnya tergeletak begitu saja, layar yang gelap tak memberikan tanda apapun. Sudah seminggu sejak pesan terakhirnya pada Ella, dan sejak saat itu, kesunyian menjadi teman setia. Ada perasaan aneh yang melanda dirinya, perasaan seolah ia sudah terlalu jauh terperosok dalam kesalahan untuk bisa kembali.
Dia merasa seolah segala yang dia lakukan selama ini sia-sia. Tidak ada satu pun tindakan yang bisa mengembalikan waktu, tidak ada satu pun kata yang dapat menghapus penyesalan yang menghantui. Segala hal yang dulu terasa biasa kini menjadi beban yang tak bisa dilepaskan. Di luar jendela, hujan kembali turun. Tak seperti biasanya, Arsen tidak merasa perlu untuk menatap langit atau mencari ketenangan di bawah rindangnya pohon di taman. Semua itu terasa jauh.
Setelah berjam-jam terdiam, ia akhirnya bangkit dari tempat tidurnya dan pergi ke dapur. Di sana, suara air mendidih untuk teh yang ia buat tidak terdengar begitu menenangkan. Bahkan, suara itu seolah mengingatkan pada betapa sepi dan dinginnya hari-harinya belakangan ini.
Dengan langkah berat, Arsen berjalan menuju balkon, memandang dunia yang tampak sibuk dengan rutinitas mereka. Mobil-mobil berlalu lalang, orang-orang dengan kehidupan mereka masing-masing, semua seolah tidak peduli dengan apa yang terjadi dalam dirinya. Semua itu berjalan seperti biasa, seolah tak ada yang hilang, padahal dia merasakan sebuah kekosongan yang tak bisa diisi dengan apapun.
Lagi-lagi, pikirannya kembali pada Ella. Kalimat-kalimat yang ditulisnya dalam surat itu berputar-putar di kepalanya. “Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi,” kata-kata itu seperti pisau yang mengiris hatinya, dan meskipun ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu adalah keputusan terbaik, ia tetap tak bisa menerima kenyataan itu.
Ponselnya berbunyi, mengganggu keheningan yang mengekang pikirannya. Arsen menghela napas sebelum melihat layar ponselnya, berharap itu adalah pesan dari Ella, sesuatu yang bisa memberikan petunjuk bahwa mungkin ada harapan. Tetapi yang muncul adalah pesan dari temannya, Aria, yang memberitahukan bahwa Ella sudah kembali ke kampung halamannya di luar kota.
Arsen menutup mata, merasakan betapa dalamnya rasa sesal yang menggerogoti hatinya. Tentu saja, dia sudah tahu bahwa ini akan datang. Dengan keputusan Ella untuk pergi, semua pintu yang ia biarkan tertutup kini terkunci rapat. Tidak ada lagi kesempatan untuk berbicara, tidak ada lagi kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Semuanya sudah berakhir.
Seiring berjalannya waktu, Arsen mencoba untuk bertahan. Ia kembali ke rutinitasnya, mencoba menyembunyikan luka di dalam dirinya. Namun, setiap langkah yang ia ambil seakan berat, setiap napas yang ia hirup terasa tercekik. Kenangan akan Ella tetap terpatri dalam ingatannya, seperti bayangan yang selalu mengikutinya ke mana pun ia pergi. Ia tahu, apa yang telah hilang tidak akan pernah kembali, dan bahwa kata-kata yang tidak pernah sempat diucapkan itu kini terjebak dalam ruang yang tak bisa ditembus.
Di suatu malam, saat ia duduk sendiri di ruang tamu, menatap foto-foto lama mereka yang kini terasa begitu jauh, Arsen akhirnya menerima kenyataan. Tidak ada yang bisa mengubah apa yang sudah terjadi. Semua yang bisa dia lakukan sekarang adalah melanjutkan hidupnya, meski ia tahu bahwa bagian dari dirinya akan selalu kosong, akan selalu merindukan kata-kata yang tak sempat terucap.
Ia memandang foto terakhir yang diambil bersama Ella, dan meskipun rasa sakit itu semakin dalam, ia tersenyum. Tidak ada lagi tangisan, tidak ada lagi penyesalan yang bisa mengubah apa yang telah hilang. Semua yang ada sekarang hanya kenangan—dan kenangan itu akan tetap bertahan, walaupun hanya dalam diam.
Arsen tahu, tak ada jalan kembali. Segala yang ia inginkan, segala yang ia sesali, telah tersesat dalam waktu yang tak bisa diputar ulang. Kata-kata itu, yang dulu terjebak dalam dirinya, kini hanya menjadi bisikan yang hilang di tengah angin malam.
Dan di sana, dalam keheningan yang abadi, Arsen akhirnya belajar untuk menerima bahwa terkadang, kata-kata yang tak sempat terucap adalah kata-kata yang paling sulit untuk diterima.
Dan ya, mungkin ada kalanya kita cuma bisa nyesel, tapi waktu nggak bakal pernah mau muter balik. Kadang, kata-kata yang nggak sempat terucap justru jadi bagian dari cerita kita yang paling berat. Jadi, kalau kamu lagi ngerasa ada yang belum sempat diungkapin, jangan tunda lagi. Karena siapa tahu, kata-kata itu bisa jadi apa yang selama ini kamu butuhin.