Daftar Isi
Kadang, kita nggak sadar kalau penantian itu bisa jadi perjalanan panjang yang penuh makna, sampai akhirnya kita menemukan jawaban yang selama ini kita cari. Di cerita ini, dua orang yang sepertinya terjebak dalam keraguan akhirnya berani berkata, Aku nggak mau menunggu lagi. Coba deh baca, siapa tahu kamu juga nemuin jawaban tentang penantianmu sendiri!
Kata di Dalam Penantian
Dalam Hening yang Menunggu
Azura duduk di pojok kafe, di antara keramaian yang tidak lagi berarti. Di sekelilingnya, orang-orang berbicara, tertawa, sibuk dengan dunia mereka sendiri, namun semua itu hanya sebuah latar belakang dalam dunia Azura. Ia menatap cangkir kopi yang mulai mendingin di depannya, seperti hidupnya yang semakin terasa jauh dari kehangatan. Ruang di sekitarnya seakan terjaga dalam keheningan, kecuali untuk suara detik jam yang tak henti-hentinya, seolah menekannya dengan irama yang konstan.
Tangan Azura meraba permukaan meja, menggenggam cangkir itu sejenak sebelum kembali meletakkannya dengan pelan. Tidak ada yang perlu dipikirkan lebih lanjut, kecuali pertanyaan yang masih mengambang di benaknya. Mengapa ia merasa seolah ada kata-kata yang harus keluar, tapi selalu terhambat di tenggorokan?
Penantian. Itu yang kini menyelimuti hidupnya, tanpa ia tahu kapan berakhirnya. Mungkin, seperti secangkir kopi yang semakin dingin, penantian itu akan menjadi hampa, atau mungkin, akan menemukan jawabannya. Tapi entah mengapa, Azura merasa ada sesuatu yang harus diungkapkan, meskipun ia tak tahu apa yang sebenarnya harus ia katakan.
Di meja sebelah, seorang lelaki baru saja duduk. Dari sudut matanya, Azura menangkap kilasan sosok itu. Jaket hitam yang dikenakannya tampak cocok dengan hujan yang mulai turun di luar jendela. Rambut lelaki itu agak acak-acakan, seolah baru saja selesai dari sebuah rutinitas yang panjang. Ia duduk dengan tenang, membuka laptopnya, dan mulai mengetik. Sesekali, lelaki itu menghela napas panjang, mungkin sama lelahnya dengan suasana yang dirasakannya.
Azura tidak tahu mengapa, tetapi sesuatu dalam diri lelaki itu membuatnya merasa ingin berbicara. Tapi kata-kata itu tidak juga keluar. Ada sesuatu yang menghalangi, seperti dinding tak terlihat yang memisahkan mereka. Azura menarik napas dalam-dalam, berharap bisa meredakan kegelisahan yang mulai merayap.
“Jadi, apa yang kamu tunggu di sini?” suara lelaki itu tiba-tiba terdengar, menyentak Azura dari lamunannya.
Azura menoleh, agak terkejut. Lelaki itu sedang menatapnya, meskipun matanya tidak benar-benar fokus. Ia tidak tampak mengharapkan jawaban, hanya sebuah pertanyaan yang mungkin lebih kepada dirinya sendiri.
Azura tersenyum tipis, mencoba untuk terlihat santai meski hatinya mulai berdebar. “Aku? Nggak, aku cuma… menunggu sesuatu yang nggak bisa dijelaskan,” jawabnya, suaranya sedikit ragu, namun ia merasa perlu mengatakan sesuatu. “Kamu sendiri?”
Lelaki itu sedikit mengangkat bahu, ekspresinya tetap datar. “Aku hanya butuh waktu untuk sendiri. Kadang, kata-kata nggak perlu keluar kalau nggak ada yang perlu diucapkan.”
Kata-kata itu menggelitik pikiran Azura. Ia memandangnya sejenak, mencoba memahami maksudnya. Sesaat, ia merasa mereka berada di tempat yang sama, meskipun tidak ada hal yang jelas bisa menghubungkan mereka.
“Ya, aku ngerti. Terkadang, menunggu tanpa kata-kata itu lebih mudah, kan?” Azura kembali mengangkat cangkir kopi yang sudah hampir dingin, seolah membiarkan tatapannya meresap dalam diam.
Lelaki itu mengangguk perlahan, kemudian kembali menatap layar laptopnya. Tidak ada suara lagi antara mereka, kecuali dentingan jarum jam yang semakin jelas terdengar. Dalam keheningan itu, Azura merasa lebih banyak kata-kata yang berputar di kepalanya. Kata-kata yang ingin ia ucapkan, namun tidak bisa. Kata-kata yang selalu ada di ujung bibir, menunggu momen yang tepat untuk keluar.
Di luar, hujan turun semakin deras. Air hujan mengalir di jendela kafe, menciptakan pola-pola yang terus berubah. Azura memandangi tetesan air itu, berpikir sejenak. Kata-kata itu, yang sejak tadi terus menggelitik hatinya, masih belum bisa ia temukan. Terkadang, kata-kata memang bukan segalanya. Tapi ada kalanya, penantian itu sendiri menjadi jawabannya.
Tak lama, lelaki itu menutup laptopnya dan berdiri. Ia melirik ke arah Azura sekali lagi, memberikan senyum kecil yang hampir tak terlihat, lalu pergi begitu saja tanpa sepatah kata pun. Azura hanya memandangi punggungnya yang semakin jauh, meninggalkan kafe dan kesunyian yang kembali menyelimuti ruang itu.
Sekali lagi, Azura menyendiri dalam kesunyian yang penuh dengan penantian. Mungkin, kata-kata itu memang harus datang dari dirinya sendiri. Tapi apakah ia siap untuk mengucapkannya? Entahlah, penantian itu masih jauh dari selesai.
Kata-kata yang Terpendam
Pagi berikutnya, Azura kembali duduk di tempat yang sama. Kafe itu sudah lebih ramai dari sebelumnya, meskipun hujan masih mengguyur di luar. Pemandangan langit yang kelabu hanya menambah kesan sepi yang menggelayuti hatinya. Di meja depan, cangkir kopi sudah menunggu. Aroma hangatnya menyeruak, mengundang napas pertama yang dalam.
Namun, meski pagi tampak lebih cerah, hati Azura tetap penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab. Perasaan yang tadi ia coba abaikan kini muncul lagi—sebuah rasa yang tidak pernah benar-benar pergi, seperti bayangan yang mengikuti ke mana pun ia melangkah.
Penantian itu berlanjut. Dan dengan penantian itu, semakin banyak yang terpendam. Terpendam begitu dalam, sampai rasanya ia tak tahu lagi apa yang harus diungkapkan, atau apakah ada yang bisa mengerti perasaan itu.
Hari ini, Azura datang lebih awal, seolah memberi ruang lebih banyak bagi dirinya untuk berpikir, namun justru semakin banyak kegelisahan yang hadir. Matanya tertuju pada secarik kertas yang masih terlipat rapat di dalam tasnya, kertas yang selalu membuatnya merasa bimbang. Sejak kemarin, Azura merasa bahwa tulisan-tulisan di atas kertas itu—kata-kata yang tak pernah ia sampaikan—adalah sesuatu yang harus segera diungkapkan. Tapi kenapa masih ada ketakutan? Kenapa kata-kata itu tetap tidak bisa keluar?
“Azura?” Suara lembut itu memecah lamunannya. Ia menoleh, dan kali ini, lelaki dengan jaket hitam itu berdiri di hadapannya. Wajahnya tampak lebih segar pagi ini, seolah segala kelelahan semalam hilang begitu saja.
Azura terkejut, sedikit melompat dari kursinya. “Oh, kamu lagi…”
Lelaki itu tersenyum tipis. “Iya, aku nggak tahu kenapa, tapi sepertinya aku malah lebih nyaman di sini daripada di tempat lain. Bisa duduk di sini?”
Azura merasa ada yang aneh dalam kata-katanya, sesuatu yang berbeda dari percakapan mereka kemarin. Mungkin karena hari ini ia merasa sedikit lebih terbuka, atau mungkin hanya karena cuaca yang menambah kesan tenang.
“Aku rasa… nggak masalah,” jawabnya pelan, sedikit ragu. Ia merasa aneh dengan kenyataan bahwa lelaki ini, yang kemarin hanya seorang asing baginya, kini malah seolah-olah sudah menjadi bagian dari pagi ini.
Lelaki itu duduk, menyusun tas di sampingnya dan memandang ke luar jendela. Hujan yang tak kunjung reda tampaknya memberi suasana yang lebih pas untuk percakapan yang tidak terburu-buru. “Kadang, kita butuh waktu untuk merenung, kan?”
Azura mengangguk, meskipun hatinya masih penuh dengan kegelisahan. “Iya, kadang memang begitu,” jawabnya pelan.
Mereka duduk dalam keheningan lagi, namun kali ini tidak terasa sepenat kemarin. Mungkin karena ada pemahaman yang mengalir di antara mereka. Mungkin karena, meskipun tidak banyak kata, perasaan mereka seolah terhubung dalam cara yang tak terlihat.
Setelah beberapa saat, lelaki itu membuka pembicaraan lagi, suara lembutnya mengisi ruang yang hampa. “Aku tahu, kita baru kenal, tapi aku merasa ada yang… tertahan di sini,” katanya, sambil meletakkan tangannya di dada, seperti mencari kata yang tepat. “Aku nggak tahu kenapa, tapi kadang-kadang kita butuh seseorang untuk mendengarkan, tanpa harus berkata apa-apa.”
Azura terdiam. Rasanya, kalimat itu menyentuh sesuatu di dalam dirinya. Ada perasaan yang membangkitkan kenangan lama, tentang betapa sulitnya mengungkapkan apa yang ada di dalam hati. Kadang, kata-kata bisa sangat berat untuk keluar, apalagi ketika yang kita rasa terlalu dalam untuk dijelaskan.
“Aku juga merasa begitu,” jawab Azura dengan lembut. “Kadang, aku merasa ada banyak hal yang ingin aku katakan, tapi nggak tahu harus mulai dari mana.”
Lelaki itu menatapnya, dan Azura bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda. Seperti pemahaman yang diam-diam tumbuh di antara mereka. Tidak ada tekanan untuk mengungkapkan semua yang tersembunyi, tetapi ada ruang yang diberikan untuk berbagi tanpa kata.
Tiba-tiba, lelaki itu tersenyum, dan senyuman itu membuat Azura merasa sedikit lebih ringan. “Kita memang sering terjebak dalam kata-kata yang belum terucapkan. Tapi kadang, yang penting adalah mencoba, walau kita tahu itu nggak mudah.”
Azura merasa sedikit terharu mendengar kata-kata itu. Bagaimana bisa lelaki ini begitu mengerti tanpa harus banyak bertanya? Mungkin, inilah yang ia cari—sebuah pengertian yang hadir tanpa harus terucapkan.
Lelaki itu melanjutkan, “Tapi jangan khawatir, Azura. Semua orang punya waktunya sendiri. Kadang penantian itu memang bagian dari perjalanan.”
Penantian. Kata itu menggema lagi dalam benaknya. Azura memandangi lelaki itu, seolah untuk pertama kalinya merasa sedikit lebih tenang. Mungkin memang benar, tidak semua hal harus selesai dengan cepat. Kadang, penantian adalah bagian dari sebuah proses yang lebih besar. Sebuah kata yang tidak perlu terburu-buru diucapkan.
Namun, untuk pertama kalinya, Azura merasa ada kemungkinan untuk melepaskan apa yang ada dalam hatinya, meskipun itu bukan hari ini.
Ketika hujan berhenti, mereka berdua berdiri untuk pergi. Lelaki itu menyampaikan perpisahan singkat, “Semoga kamu menemukan apa yang kamu cari, Azura.”
Azura hanya tersenyum, kali ini tidak ada lagi keraguan yang menghalangi. “Aku akan mencarinya, pasti,” jawabnya dengan lembut, sebelum melangkah pergi.
Tatapan yang Menghentikan Waktu
Hari-hari berlalu, dan Azura merasa ada sesuatu yang mulai berubah, meskipun ia tidak bisa mengungkapkan apa yang persisnya berubah. Keheningan yang dulu selalu terasa begitu menyesakkan kini terasa berbeda. Ia merasa seperti ada sesuatu yang mulai menembus dinding-dinding penantiannya, sebuah rasa yang tidak lagi asing—sebuah pengertian yang datang tanpa perlu diucapkan.
Pagi ini, Azura kembali berada di kafe yang sama, dengan cangkir kopi yang setia menemani. Hujan pagi ini tak seintens beberapa hari terakhir, namun suasana tetap terasa melankolis. Langit biru muda yang tampak cerah mengingatkannya pada harapan yang mulai perlahan muncul di dalam hatinya. Ia tidak tahu apakah ini perasaan yang benar atau hanya efek dari pertemuan yang lalu, tapi entah mengapa, sesuatu yang kecil dan sederhana itu terasa begitu besar.
Ketika ia baru saja memegang cangkirnya, Azura melihatnya lagi. Lelaki itu, dengan jaket hitam yang sudah familiar, melangkah memasuki kafe. Namun kali ini, ia tidak langsung duduk. Ia berjalan ke arah meja Azura, dan meskipun langkahnya mantap, ada sedikit keragu-raguan di matanya. Azura merasakan dadanya berdegup lebih cepat, seolah semua hal yang terjadi sebelumnya kembali mengemuka.
“Azura,” lelaki itu memulai dengan suara yang kali ini terdengar lebih tegas, lebih penuh perhatian. “Aku harap aku nggak ganggu kamu.”
Azura tersenyum kecil, mencoba menenangkan diri meskipun hatinya mulai berdebar. “Nggak, kamu nggak ganggu. Kebetulan, aku juga baru datang,” jawabnya dengan suara yang lebih ringan daripada yang ia rasakan.
Lelaki itu duduk di depan Azura, kali ini lebih dekat dari sebelumnya. Ia menatapnya dengan pandangan yang berbeda—seolah ada sesuatu yang ingin ia katakan, tapi masih terhalang oleh dinding yang sama. Keduanya duduk dalam keheningan beberapa detik. Azura merasa ada ketegangan, namun ketegangan yang anehnya membuatnya merasa lebih hidup.
“Ada yang ingin aku bilang, Azura,” kata lelaki itu, akhirnya memecah keheningan yang sudah cukup lama membekap. “Tapi aku nggak tahu harus mulai dari mana.”
Azura mengangkat alis, sedikit terkejut. “Kamu ingin bilang apa?”
Lelaki itu menarik napas panjang, matanya menatap kosong ke cangkir kopi yang terletak di atas meja. “Aku merasa… ada sesuatu yang harus diselesaikan. Sesuatu yang selalu aku pendam, entah kenapa, tapi aku rasa ini… saat yang tepat.”
Azura menatapnya dengan penuh perhatian. Ada sesuatu yang berbeda dalam kata-kata lelaki itu—sesuatu yang lebih dalam, yang seolah menunggu untuk diungkapkan. Ia merasakan ketegangan yang ada di antara mereka semakin menguat, seperti dua kekuatan yang saling tarik menarik, berusaha mencari keseimbangan.
“Aku nggak tahu kenapa aku merasa harus berbicara dengan kamu. Tapi setiap kali kita duduk di sini, aku merasa… ada banyak hal yang harus aku katakan, yang nggak pernah aku ucapkan ke siapapun,” lanjut lelaki itu dengan suara yang lebih rendah, seakan berusaha mencari kekuatan untuk mengungkapkan sesuatu yang telah lama terkubur.
Azura terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Hatinya yang semula tenang kini berdebar lebih keras. Ada sesuatu yang membuatnya ingin mendengarkan lebih jauh, namun juga membuatnya sedikit takut. Apa yang sebenarnya ia coba ungkapkan? Kata-kata ini, apakah akan membawa perubahan?
“Aku juga merasa begitu,” jawab Azura akhirnya, matanya tidak lepas dari tatapan lelaki itu. “Kadang, kita tidak tahu apa yang kita tunggu sampai akhirnya kita berani untuk mengatakannya. Tapi nggak gampang, kan?”
Lelaki itu mengangguk perlahan. “Nggak gampang sama sekali. Tapi kadang, kita nggak bisa terus menunggu kalau tidak ada yang mau kita katakan.”
Azura menggigit bibir bawahnya, memikirkan setiap kata yang keluar. Perasaan yang dipendam, harapan yang tertunda—apakah mereka akan mampu menyuarakan semua itu? Entah kenapa, meskipun kata-kata itu berat, ia merasa semakin dekat dengan keputusan yang harus dibuat. Mungkin, inilah saatnya untuk mengungkapkan apa yang selama ini ada di dalam hatinya.
Lelaki itu mendongak, matanya menyapu wajah Azura dengan tatapan yang begitu intens, seolah mencoba membaca isi hatinya. “Aku nggak ingin menunggu lagi. Aku nggak ingin membiarkan kata-kata ini tetap terpendam lebih lama.”
Azura merasa pandangannya mulai kabur, seolah ruang itu mengecil dan dunia hanya menyisakan dirinya dan lelaki itu. Suara detikan jam yang biasa mengiringi setiap harinya kini menghilang. Semua yang ada di sekitarnya mulai terasa samar. Hanya ada satu hal yang jelas dalam pikirannya: ini adalah momen yang tak bisa lagi ia abaikan.
“Aku tahu,” jawab Azura akhirnya, dengan suara yang lebih tenang daripada yang ia rasakan. “Tapi, apakah kita siap untuk mengatakan apa yang tidak bisa diungkapkan?”
Lelaki itu menatapnya sejenak, lalu tersenyum. “Aku rasa kita sudah siap. Mungkin, bukan sekarang juga… tapi… aku merasa kamu adalah orang yang tepat untuk mendengar semua itu.”
Azura tidak tahu kenapa, tapi senyuman itu mengubah semuanya. Dalam satu tatapan, ia merasa ada sesuatu yang terbuka, sesuatu yang sudah lama terkunci dalam dirinya. Kata-kata itu, meskipun masih terpendam, kini tidak lagi terasa menakutkan. Mereka hanya menunggu waktu yang tepat.
Tatapan mereka saling bertemu, dan untuk pertama kalinya, Azura merasa, mungkin, kata-kata itu memang akan keluar—dalam waktu yang tepat.
Kata yang Akhirnya Tiba
Senja menyelimuti kafe dengan warna jingga yang hangat. Azura dan lelaki itu masih duduk di meja yang sama. Kopi mereka sudah dingin, tetapi percakapan yang mengisi waktu tidak terasa kehilangan hangatnya. Suasana hening itu bukan lagi keheningan yang canggung, melainkan sesuatu yang berbeda—penuh makna, penuh penantian.
Azura memandang keluar jendela, matanya menangkap bayangan dirinya di kaca. Wajahnya tampak berbeda. Ada sesuatu di sana—sesuatu yang tidak pernah ia sadari sebelumnya. Bukan sekadar rasa penasaran atau keinginan untuk memahami lelaki di depannya, tetapi keberanian untuk menerima apa pun yang akan terjadi.
Lelaki itu memecah keheningan. “Azura,” panggilnya dengan suara lembut tapi tegas. “Aku rasa ini waktu yang tepat.”
Azura berbalik menatapnya. Ia tahu, inilah saatnya. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan degup jantungnya yang terasa lebih keras dari biasanya.
“Aku pernah merasa semua ini nggak ada gunanya,” lanjut lelaki itu. “Datang ke kafe ini, duduk sendirian, bahkan mencoba berbicara dengan kamu pertama kali. Aku nggak pernah tahu apa yang aku cari, atau apa yang aku tunggu.”
Azura mengangguk pelan, membiarkan lelaki itu melanjutkan. Setiap kata yang ia ucapkan seolah membawa mereka lebih dekat ke puncak yang telah lama mereka daki.
“Tapi, sejak pertama kali kamu tersenyum waktu kita nggak sengaja duduk di meja yang sama, aku merasa… ada sesuatu yang berubah.” Lelaki itu mengalihkan pandangannya ke jendela, seolah sedang mengumpulkan keberanian. “Aku sadar, aku nggak hanya menunggu waktu berlalu. Aku menunggu kamu.”
Kata-kata itu membuat Azura terdiam. Hatinya yang selama ini penuh pertanyaan, tiba-tiba terasa seperti menemukan jawabannya. Namun, ia tidak segera merespons. Ia ingin lelaki itu menyelesaikan semuanya—karena ia tahu, inilah yang mereka berdua butuhkan.
“Aku nggak tahu apa ini terlalu cepat atau terlalu lambat,” katanya lagi. “Tapi aku merasa aku harus mengatakannya. Aku ingin berhenti menunggu. Aku ingin berjalan ke depan, dan aku ingin kamu ada di sana.”
Azura tersenyum tipis, matanya mulai berkaca-kaca. Bukan karena sedih, tetapi karena semua perasaan yang selama ini ia simpan akhirnya menemukan jalan keluarnya. Ia mengangguk perlahan.
“Aku juga merasa begitu,” katanya dengan suara yang hampir berbisik. “Aku menunggu seseorang yang bisa membuat aku berhenti bertanya-tanya tentang segalanya. Dan sekarang, aku rasa aku sudah menemukannya.”
Keduanya terdiam lagi, tetapi keheningan kali ini terasa seperti pelukan yang menghangatkan. Senja di luar semakin gelap, dan lampu-lampu kafe mulai menyala. Suasana menjadi lebih intim, lebih pribadi.
“Jadi, apa kamu mau berhenti menunggu bersamaku?” tanya lelaki itu, kali ini dengan senyuman kecil yang menghiasi wajahnya.
Azura menatapnya dalam-dalam. “Aku mau,” jawabnya, dengan senyuman yang lebih lebar daripada yang pernah ia tunjukkan sebelumnya. “Ayo kita mulai sesuatu yang baru. Bersama.”
Kata-kata itu mengalir tanpa beban, tetapi dengan makna yang begitu dalam. Mereka tidak lagi duduk sebagai dua orang asing yang mencoba memahami satu sama lain. Mereka kini adalah dua jiwa yang akhirnya menemukan rumah.
Hujan mulai turun di luar, menciptakan irama yang lembut di kaca jendela. Tetapi kali ini, hujan tidak lagi terasa seperti sesuatu yang melambangkan kesendirian. Bagi Azura dan lelaki itu, hujan adalah awal dari sesuatu yang baru—sebuah perjalanan tanpa lagi penantian.
Dan dalam detik-detik itu, kata-kata yang selama ini tertahan akhirnya menemukan tujuannya. Tidak ada lagi keheningan yang menyakitkan, tidak ada lagi keraguan. Hanya ada keberanian untuk melangkah, bersama.
Jadi, mungkin penantian itu bukan soal seberapa lama kita menunggu, tapi tentang kesiapan kita untuk melangkah saat waktu yang tepat datang. Semoga cerita ini mengingatkan kita semua, kalau kadang, hal yang kita tunggu-tunggu cuma butuh sedikit keberanian untuk akhirnya diwujudkan. Sampai jumpa di perjalanan penantian berikutnya, ya!