Kashtan: Pencarian Adik Sejati di Tengah Kegelapan

Posted on

Jadi, kamu pernah gak sih ngerasain betapa nyeseknya kehilangan orang yang kamu sayang? Bayangin aja, kamu lagi asik-asik di dunia ini, eh tiba-tiba adik kamu hilang entah ke mana. Kashtan, si kakak yang udah berjuang mati-matian, nemuin dirinya terjebak di labirin kegelapan.

Karena dia berusaha ngelawan semua hal jahat yang mau nyerang adiknya, Seraphina. Ini bukan sekadar pencarian biasa. Ini adalah pertarungan antara cinta dan kegelapan, yang siap bikin kamu terharu dan gregetan. Yuk, kita ikuti perjalanan emosional mereka!

 

Kashtan

Bisikan dari Kabut

Langit senja mulai menggelap, membiarkan kabut tipis menyelimuti jalanan kecil yang jarang dilalui orang. Suara langkah kaki Kashtan terdengar berat dan penuh kegelisahan. Ia sudah berada di luar desa selama berhari-hari, mencari sesuatu yang tak pernah ia bayangkan akan hilang—adik perempuannya, Seraphina.

Aku selalu ada untuk Seraphina, pikir Kashtan sambil menunduk, menatap peta kusut di tangannya. Selalu. Tapi kali ini… kali ini aku gagal.

Sudah berbulan-bulan Seraphina hilang, dan setiap petunjuk yang Kashtan temukan tak pernah membawa jawaban pasti. Hingga tiga hari lalu, di kamar Seraphina, dia menemukan sebuah kalung tua yang anehnya belum pernah dilihatnya sebelumnya. Kalung itu berbentuk bulan sabit, dengan ukiran yang terasa asing. Dan di balik kalung itu, terukir satu nama: Valdis.

“Kau di mana, Fina…?” gumam Kashtan, sambil meremas kalung itu di telapak tangannya. Fina, panggilan kecil Seraphina, selalu mengikuti Kashtan kemanapun dia pergi. Mereka berdua tak punya siapa-siapa lagi setelah orang tua mereka meninggal beberapa tahun lalu. Sejak itu, Kashtan merasa dia tak bisa kehilangan Fina, meskipun hanya sebentar. Namun, sekarang dia harus menghadapi kenyataan pahit—Fina hilang, dan seolah-olah seluruh dunia memaksa Kashtan untuk mengakui bahwa mungkin dia tak akan pernah menemukannya.

Namun, Kashtan tak mau percaya itu. Tidak, tidak mungkin. Selama Seraphina belum ditemukan, dia akan terus mencari. Kalung itu, entah bagaimana, memberinya harapan baru. Nama Valdis mulai terngiang di telinganya, seperti bisikan hantu di tengah malam. Dia mendengar nama itu dari seorang tua di desa terpencil yang baru saja dilewatinya.

“Valdis adalah nama dari legenda lama, bocah,” kata orang tua itu dengan nada pelan dan menyeramkan. “Dia adalah makhluk dari hutan terlarang. Setiap anak yang hilang di desa kami… mereka yang tak pernah kembali… selalu ada desas-desus tentang Valdis.”

Kashtan tak percaya takhayul, tapi kali ini, dia merasa harus mengikuti petunjuk itu, betapapun gilanya terdengar. Dia sudah kehilangan akal sehatnya, dan sekarang dia tak punya pilihan lain selain mengikuti kata hati.

Jalanan kecil itu semakin menanjak saat Kashtan melangkah lebih jauh ke dalam hutan. Semakin gelap, semakin sunyi. Aneh. Burung-burung berhenti berkicau, dan angin yang tadi berhembus kini lenyap begitu saja. Semua terasa mati, seolah-olah hutan ini menahan napas. Kashtan mempercepat langkahnya, merasa ada sesuatu yang mengawasinya dari dalam bayangan.

Ketika kabut mulai menebal, ia merasa suhu semakin dingin, dan setiap embusan napasnya terlihat samar di udara. Di kejauhan, samar-samar, ia mendengar sesuatu. Suara yang sangat halus, hampir seperti suara seorang anak kecil.

“Kashtan…”

Kashtan berhenti, napasnya tercekat. Itu suara Seraphina.

“Kau di mana?!” serunya, suaranya bergetar antara harapan dan ketakutan. “Fina, jawab aku!”

Tak ada jawaban. Hanya sunyi. Tapi dia yakin tadi mendengar suara adiknya. Mungkin itu hanya perasaannya. Mungkin ini akibat kurang tidur. Tapi… tidak, dia yakin. Itu tadi suara Fina.

Kashtan melanjutkan langkahnya, kali ini lebih cepat. Dia tak peduli bahwa kabut semakin pekat dan hutan terasa semakin menyeramkan. Yang ada di pikirannya hanya satu: Fina. Jika dia benar-benar mendengar adiknya, maka dia akan menemukannya. Dia harus.

Setelah beberapa waktu, Kashtan tiba di sebuah dataran terbuka yang tak pernah dia duga akan ada di tengah hutan yang lebat ini. Pohon-pohon di sekitarnya berdiri seperti penjaga bisu, dan di tengah-tengah dataran itu, ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Batu besar, mungkin sebuah altar tua, tertutup lumut dan tanaman liar. Dan di atas batu itu, ia melihatnya.

Sebuah boneka.

Kashtan hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Itu boneka milik Seraphina, boneka beruang kecil yang selalu ia bawa kemana-mana sejak kecil. Namun, ada sesuatu yang aneh. Boneka itu tampak usang, kotor, seolah-olah telah berada di sini selama bertahun-tahun, padahal Seraphina baru hilang beberapa bulan.

Tangannya gemetar saat ia mengambil boneka itu. Kenapa benda ini ada di sini? Bagaimana bisa?

Sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, suara itu terdengar lagi. Kali ini lebih dekat, lebih jelas.

“Kashtan…”

Suara itu terdengar lembut, seperti bisikan lembut yang dihembuskan angin. Kashtan berbalik cepat, mencari sumber suara, tapi tak ada siapa pun di sana. Hanya kabut, semakin tebal, dan udara yang semakin dingin.

“Fina? Kau di mana?” suaranya mulai pecah, di antara harapan dan ketakutan. Ia merasa semakin jauh dari kenyataan, seolah-olah hutan ini menariknya masuk lebih dalam ke dunia lain, dunia di luar nalar.

Ia melangkah maju, menuju ke arah suara itu, meski langkahnya semakin ragu. Di kepalanya, ada banyak pertanyaan yang berputar-putar. Mengapa boneka ini ada di sini? Apakah Seraphina benar-benar masih hidup? Atau… apakah ini hanya permainan pikiran dari sesuatu yang lebih gelap?

Tiba-tiba, di antara kabut, ia melihat sosok kecil. Tubuhnya kaku saat ia menyadari siapa yang berdiri di hadapannya—seorang gadis kecil, dengan gaun putih, rambutnya panjang tergerai. Sosok itu berdiri membelakanginya.

Kashtan merasa darahnya membeku. “Fina…?”

Sosok itu tak bergerak. Hanya diam, membelakanginya, seolah-olah menunggu.

Dengan hati-hati, Kashtan mendekati sosok itu. “Seraphina, kaukah itu?”

Namun, ketika ia hampir bisa menjangkau sosok itu, gadis itu menghilang, tersapu kabut yang semakin tebal.

Kashtan tertegun, hatinya berdebar keras. “Apa yang terjadi di sini?” desisnya pada diri sendiri, kebingungan semakin menguasai pikirannya. Ia mencoba menenangkan diri, tapi suara hatinya semakin kacau. Ada sesuatu yang tidak benar. Sangat tidak benar.

Tiba-tiba, ada sesuatu di udara, sesuatu yang menakutkan. Kashtan tahu dia harus segera pergi dari sini, tapi kakinya seakan berat, tertambat di tempat. Dia merasa ada sesuatu yang mengawasinya, sesuatu yang lebih besar dari sekadar suara adiknya.

Langit di atas kepala mulai gelap sepenuhnya, seolah-olah malam telah tiba lebih cepat dari yang seharusnya. Dan di kejauhan, ia mendengar suara langkah. Langkah-langkah berat yang mendekat, perlahan, tapi pasti.

Kashtan menggenggam boneka Seraphina lebih erat, dan dengan napas yang mulai memburu, ia berbalik, bersiap menghadapi apa pun yang datang.

“Kau tak seharusnya ada di sini…” suara dalam bayang-bayang berbisik.

Kabut semakin pekat, dan Kashtan tahu, ini baru permulaan dari kengerian yang sebenarnya.

 

Langkah di Antara Dua Dunia

Suara berat itu masih menggema di kepala Kashtan. “Kau tak seharusnya ada di sini…” Ucapannya begitu pelan, namun menusuk hingga ke tulang. Tapi sebelum Kashtan bisa mencari sumber suara, kabut di sekitarnya semakin tebal, menelan segala bentuk pandangan.

“Seraphina…,” Kashtan berbisik pelan, setengah berharap adiknya akan muncul dari balik kabut itu lagi, tapi hanya kesunyian yang menjawab. Ia memegang boneka usang itu lebih erat, seolah-olah itu adalah satu-satunya hal yang tersisa dari Seraphina. Langkah-langkah berat yang mendekat sebelumnya kini menghilang, namun udara di sekitarnya terasa semakin menyesakkan.

Kashtan merasa seolah-olah hutan ini mencoba menelannya. Setiap langkah yang ia ambil terasa seperti membawa dirinya lebih dalam ke dalam misteri yang tidak ingin ia ungkapkan. Tapi dia tidak punya pilihan. Dia harus terus maju.

Dalam kekalutan, pikirannya berputar-putar dengan begitu banyak pertanyaan yang tak terjawab. Siapa Valdis? Nama itu masih menggema di dalam benaknya, namun tidak ada petunjuk jelas tentang siapa atau apa itu. Apakah Valdis yang menculik Seraphina? Apakah dia makhluk dari hutan ini? Atau mungkin, lebih buruk lagi, apakah Valdis bukan manusia?

Tepat saat Kashtan mencoba melangkah lagi, tiba-tiba dia merasakan ada sesuatu yang dingin menyentuh pundaknya. Tubuhnya menegang. Rasanya seperti… tangan. Namun ketika dia berbalik, tak ada siapa pun di sana.

Dadanya terasa sesak, napasnya memburu. Sesuatu—entah itu apa—tengah mempermainkannya, seperti bayangan yang hidup di antara kabut. Di sekitarnya, suasana semakin ganjil, seperti dunia di mana dia berpijak kini tak lagi nyata.

“Kashtan…”

Suara itu lagi. Kali ini lebih dekat, lebih jelas. Dia tahu itu suara Seraphina. Tanpa pikir panjang, Kashtan berlari ke arah suara tersebut. Langkahnya tergesa, di tengah kabut yang membuatnya hampir tersandung beberapa kali.

Namun, semakin dia berlari, semakin aneh rasanya hutan ini. Tanah yang tadinya lembut kini terasa keras seperti batu. Kabut di depannya perlahan terbuka, memperlihatkan pemandangan yang membuatnya tertegun.

Dia telah sampai di sebuah jembatan batu yang menghubungkan dua tebing curam. Di bawahnya, jurang hitam tanpa dasar, tak terlihat ujungnya. Di seberang jembatan, ada jalan yang gelap, dipenuhi kabut pekat yang terasa asing dan berbahaya. Namun, di sisi lain jembatan itu… dia melihatnya lagi. Sosok gadis kecil itu.

Seraphina berdiri di sana, membelakanginya, dengan gaun putihnya yang kini terlihat begitu pudar. Hatinya terasa sesak, penuh dengan perasaan campur aduk—antara kebahagiaan karena melihat adiknya, dan ketakutan akan kenyataan yang mungkin ia hadapi.

“Fina!” teriaknya, tanpa ragu.

Namun, seperti sebelumnya, Seraphina tidak bergerak. Tubuhnya kaku, seperti patung yang terjebak di antara dua dunia. Jantung Kashtan berdebar keras, dia tahu dia harus menyusul adiknya. Meski jembatan ini terlihat rapuh dan berbahaya, dia tak punya pilihan lain.

Dengan napas yang berat, Kashtan melangkah di atas jembatan batu itu. Setiap langkah membuat jembatan bergoyang sedikit, seolah-olah batu yang menopangnya rapuh dan bisa runtuh kapan saja. Tapi dia tidak peduli. Dia sudah terlalu dekat.

“Seraphina!” suaranya bergetar, namun adiknya tetap tak menjawab. Hanya ada kesunyian yang menggantung di udara, terasa begitu berat dan mencekam.

Saat dia hampir mencapai ujung jembatan, tiba-tiba, angin kencang berhembus dari arah jurang. Kashtan memegang tali jembatan dengan erat, tubuhnya bergetar melawan angin yang begitu kuat. Jantungnya berdebar semakin kencang, dan dia tahu ada sesuatu yang tidak beres.

Tiba-tiba, dari balik kabut di seberang jembatan, muncul sosok berjubah hitam. Wajahnya tertutup, hanya sepasang mata merah yang bersinar dari dalam tudungnya. Makhluk itu berdiri tegak di belakang Seraphina, dan dengan suara berat, ia berbicara.

“Kau mencari sesuatu yang bukan milikmu.”

Kashtan menatap tajam ke arah sosok itu. “Seraphina adalah adikku. Kau tidak berhak memilikinya!”

Makhluk berjubah hitam itu tertawa pelan, suara tawanya dingin dan mengerikan. “Adikmu telah melangkah ke tempat yang seharusnya tidak ia masuki. Dan kau, Kashtan… sudah terlambat untuk menyelamatkannya.”

Kashtan merasakan darahnya mendidih. “Aku tidak akan menyerah begitu saja,” balasnya tegas. Dengan langkah cepat, dia mencoba mendekat ke arah Seraphina, namun tiba-tiba, jembatan di belakangnya mulai runtuh, menghalangi jalan mundurnya.

“Ini pilihanmu, Kashtan,” suara makhluk itu menggema. “Langkah di antara dua dunia tak bisa diputar kembali. Jika kau memilih untuk melangkah lebih jauh, kau harus siap menukar jiwamu.”

Kashtan menggertakkan giginya. Dia tidak peduli dengan ancaman itu. Dia tidak bisa meninggalkan Seraphina begitu saja. Satu-satunya hal yang terpikir olehnya adalah menyelamatkan adiknya, apapun harganya.

“Aku tak peduli!” teriaknya. “Bawa aku ke Valdis! Aku akan menghadapi apa pun itu!”

Sosok berjubah hitam itu terdiam sejenak. “Valdis telah menunggu. Tapi ingat, setiap langkah yang kau ambil, akan membawa konsekuensi yang lebih besar. Jangan salahkan siapapun selain dirimu sendiri ketika kau tak bisa kembali.”

Tanpa menunggu jawaban lagi, tanah di bawah kaki Kashtan terasa bergoyang, dan dalam hitungan detik, dia merasa dirinya ditarik masuk ke dalam kegelapan. Jembatan yang tadinya terjal dan berbahaya kini lenyap, digantikan oleh jalan berbatu menuju sesuatu yang jauh lebih kelam.

Kashtan merasa tubuhnya terhempas, jatuh ke dalam kehampaan. Dan sebelum segalanya benar-benar gelap, dia mendengar suara terakhir dari makhluk itu.

“Selamat datang di dunia yang tak kau pahami.”

Kashtan tersadar dengan napas memburu. Tubuhnya tergeletak di atas tanah dingin yang keras, dan di hadapannya, sebuah gerbang besar dengan ukiran aneh berdiri menjulang. Udara di sekitarnya berbau seperti api dan abu. Di sisi lain gerbang itu, dia tahu ada sesuatu—sesuatu yang gelap dan menakutkan.

Namun, meski hatinya bergetar, dia tahu dia harus masuk. Di balik gerbang itu, di balik semua kegelapan dan ancaman, adalah tempat di mana Seraphina berada. Dan Kashtan tak akan berhenti hingga dia menemukannya.

Dengan langkah berat dan hati yang dipenuhi tekad, Kashtan berjalan menuju gerbang besar itu, menapaki setiap langkah yang semakin membawanya jauh dari dunia yang pernah ia kenal.

 

Pertemuan dengan Valdis

Suara gemeretak dari gerbang besar yang membuka itu memekakkan telinga Kashtan. Setiap langkah yang ia ambil terasa semakin berat, seakan tanah yang ia pijak meresap seluruh kekuatan dari tubuhnya. Udara di sekelilingnya semakin kental dengan aroma abu dan api. Di balik gerbang yang menjulang tinggi, jalan berbatu yang memanjang ke dalam kegelapan menyambutnya.

Dia menelan ludah, menyiapkan dirinya. Tidak ada jalan kembali. Adiknya menantinya di sini, di dunia yang kini tampak lebih seperti mimpi buruk daripada kenyataan. Kashtan menatap gerbang yang semakin terbuka lebar. Tak ada keraguan lagi, ia sudah terjerumus terlalu dalam.

Dari ujung jalan batu, perlahan muncul siluet besar, tegap, dengan langkah lambat namun penuh kekuatan. Mata Kashtan menajam. Sosok ini berbeda dari makhluk berjubah hitam yang sebelumnya ia lihat di jembatan. Yang ini… lebih nyata, lebih berbahaya.

“Valdis…” bisik Kashtan pada dirinya sendiri. Sosok itu berhenti, tampak memerhatikannya dari ujung jalan. Valdis tidak mengenakan jubah, tapi baju perang yang tampak usang namun kokoh, dilengkapi helm dengan tanduk besar di kepalanya. Tubuhnya besar, seolah tidak terbuat dari daging, melainkan batu keras yang berlumuran darah.

“Kau datang jauh untuk mencari sesuatu yang tidak lagi menjadi milikmu,” suara Valdis berat, rendah, dan bergema di seluruh ruangan.

Kashtan menatap tajam. Dia bisa merasakan betapa kuatnya Valdis hanya dari suaranya. “Seraphina adalah adikku,” jawabnya tegas, tanpa gentar. “Kau tak punya hak untuk menahannya di sini.”

Valdis melangkah mendekat, dan setiap langkahnya menggetarkan tanah. Sosoknya begitu besar, jauh lebih mengerikan daripada yang bisa Kashtan bayangkan. “Dia bukan lagi adikmu, anak manusia. Dia telah memilih jalannya sendiri.”

Pilihan? Hati Kashtan berdetak keras. Bagaimana mungkin Seraphina memilih untuk berada di tempat ini? Pasti ada yang memaksanya. “Aku tidak percaya! Kau pasti memaksanya!” teriaknya, marah. Tangannya terkepal, matanya penuh dengan tekad.

Valdis tertawa dingin. “Kau begitu yakin bahwa dia tak punya keinginan sendiri? Anak itu telah menemukan sesuatu di sini yang tidak bisa kau berikan padanya di dunia atas. Sesuatu yang lebih dari sekadar cinta kakak.”

Kashtan tertegun mendengar kata-kata Valdis. Apa maksudnya? Pikirannya berputar-putar, mencari jawaban, namun semua itu tidak masuk akal. Seraphina adalah anak polos yang lembut. Tidak mungkin dia memilih untuk tinggal di tempat mengerikan seperti ini.

“Katakan padaku di mana dia!” Kashtan menuntut, suaranya bergetar oleh amarah dan ketakutan. “Aku akan membawanya kembali, dengan atau tanpa izinmu.”

Valdis mendekat, hingga jarak mereka hanya beberapa langkah. Ukuran tubuh Valdis yang raksasa membuat Kashtan tampak seperti anak kecil di hadapannya. “Kau ingin menemukannya? Sangat baik. Tapi kau harus tahu, dia tak lagi sama seperti yang kau ingat.” Suara Valdis bergetar dengan ancaman yang terselubung.

Tanpa memperdulikan intimidasi Valdis, Kashtan melangkah maju. “Aku akan menemukan Seraphina, dan apapun yang telah kau lakukan padanya, aku akan memperbaikinya. Aku tak takut padamu, Valdis.”

Valdis menyeringai. “Oh, tapi kau akan takut. Cepat atau lambat, kau akan melihat betapa dunia ini telah mengubah adikmu. Dan ketika saat itu tiba, kau akan menyadari bahwa tak ada yang bisa diselamatkan.”

Kashtan menggertakkan giginya, tidak bisa menerima kemungkinan itu. Seraphina adalah adik kecilnya—sosok yang ia jaga dan cintai. Dia tidak bisa membayangkan Seraphina memilih untuk berada di dunia gelap ini secara sukarela. Dia tidak akan menyerah begitu saja.

Valdis mengulurkan tangan, dan tiba-tiba, dari kegelapan di belakangnya, muncul sebuah portal berwarna merah darah. Udara di sekitar mereka berdesis, seolah portal itu membuka pintu ke tempat yang jauh lebih mengerikan. “Jika kau begitu ingin melihatnya, maka masuklah,” ujar Valdis sambil melambaikan tangan dengan acuh tak acuh. “Tapi ingat, setiap pilihan ada harganya, Kashtan.”

Dengan jantung berdegup kencang, Kashtan melangkah mendekati portal tersebut. Tidak ada pilihan lain. Dia harus masuk. Di sisi lain portal itu mungkin ada jawaban, atau mungkin lebih banyak kengerian. Namun apapun yang menunggunya, dia harus menemui Seraphina.

Saat ia mendekati portal itu, Valdis berbicara lagi, suaranya terdengar lebih tenang namun tetap menakutkan. “Apakah kau siap menghadapi kenyataan? Terkadang, kenyataan lebih menakutkan dari mimpi buruk yang pernah kau bayangkan.”

Kashtan tidak menjawab. Dengan tekad bulat, dia melangkah masuk ke dalam portal tersebut.

Kashtan merasakan tubuhnya dihempas seperti badai saat memasuki portal. Angin dingin menerjang tubuhnya, dan dunia di sekelilingnya berubah dalam sekejap. Sebuah lorong panjang yang penuh dengan cahaya merah gelap kini menyambutnya. Di ujung lorong itu, dia melihat siluet Seraphina lagi, tapi kali ini, dia tidak berdiri membelakanginya. Seraphina sedang duduk, menunduk, seolah terkurung dalam sangkar yang tak terlihat.

“Seraphina!” Kashtan memanggil, langkah-langkahnya semakin cepat. Tapi ketika dia semakin dekat, sesuatu yang aneh terjadi. Di antara mereka, muncul bayangan besar—bayangan yang lebih gelap dari kegelapan itu sendiri. Kashtan terdiam, tubuhnya terhenti di tengah jalan. Sosok itu bergerak cepat, menutupi Seraphina, seakan melindunginya dari Kashtan.

“Apa yang kau inginkan darinya?” tanya sosok bayangan itu dengan suara yang berat, lebih berat dari Valdis.

“Aku hanya ingin adikku kembali,” jawab Kashtan tanpa ragu.

Bayangan itu tertawa, suaranya menggema di sepanjang lorong. “Dia bukan lagi adikmu, Kashtan. Dunia ini telah mengubahnya. Seraphina telah menjadi sesuatu yang lain.”

Kashtan terbelalak, matanya terpaku pada sosok yang kini tampak samar-samar. Seraphina bangkit, wajahnya perlahan terlihat dari balik bayangan. Namun, ada yang berbeda. Matanya tidak lagi lembut seperti yang dia ingat, melainkan dingin dan hampa, seperti jiwa yang hilang dalam kegelapan.

“Seraphina…?” bisik Kashtan.

Seraphina menatapnya dengan pandangan kosong, tanpa emosi, seperti tak mengenal lagi siapa dia. Lalu, dari bibirnya yang pucat, terdengar suara kecil namun mengerikan.

“Aku bukan adikmu lagi, Kashtan.”

 

Harga yang Harus Dibayar

Kata-kata Seraphina membekukan hati Kashtan. Dia tidak percaya apa yang dia dengar. “Apa maksudmu? Kau masih Seraphina, adikku. Kau tidak bisa mengatakan itu!” Suaranya bergetar, mencerminkan kepedihan yang merobek-robek hatinya. Dia berusaha melangkah maju, tapi bayangan besar di depannya bergerak, menghalangi jalan.

“Aku sudah berubah, Kashtan,” jawab Seraphina, suaranya datar, seperti kertas yang telah dilipat terlalu banyak kali. “Dunia ini mengajarkan banyak hal padaku, dan semua yang kau kenal tentangku tidak ada lagi.”

Bayangan itu mendengus, seolah merespons setiap kata Seraphina. “Kau harus menerima kenyataan, Kashtan. Seraphina telah menemukan kekuatan di sini, kekuatan yang tidak akan pernah dia dapatkan di dunia atas.”

Kashtan merasakan kemarahan mengalir dalam dirinya. “Kekuatan? Apa ini semua tentang kekuatan? Kau tidak bisa memilih ini, Seraphina! Ini adalah kegelapan yang merusakmu!” dia berteriak, berusaha menyentuhnya, berharap bisa menyentuh bagian dari adiknya yang masih ada di dalam.

Seraphina tetap tidak bergerak, hanya menatapnya dengan tatapan kosong. “Kau tidak mengerti. Di sini, aku bebas. Di dunia yang kau ingin kembalikan aku, aku hanya akan terkurung.”

“Aku tidak ingin mengurungmu! Aku hanya ingin melindungimu!” Kashtan mendesak, hatinya serasa tertusuk. “Kau tidak harus melakukan ini sendirian. Kita bisa melawan semua ini bersama.”

Bayangan itu bergetar, mengeluarkan tawa menakutkan. “Cinta kakak tidak akan cukup untuk mengeluarkan Seraphina dari sini. Dia telah terikat pada janji yang lebih kuat daripada apapun yang bisa kau tawarkan.”

“Janji?” Kashtan bertanya, bingung. “Janji apa?”

“Aku berjanji untuk memberikan kekuatan kepada siapa saja yang bersedia meninggalkan masa lalunya,” jawab Seraphina, suara penuh keraguan. “Dan itu artinya, aku harus melupakan semua tentang hidupku di dunia atas, termasuk dirimu.”

Kepedihan melanda Kashtan. “Tapi itu bukan pilihan yang harus kau buat! Aku tidak akan membiarkanmu melakukannya. Ada banyak hal yang bisa kita capai bersama, adikku. Aku akan berjuang untukmu!”

Bayangan itu semakin mendekat, menambah ketegangan di ruangan itu. “Kau harus memilih, Kashtan. Apakah kau bersedia membayar harga untuk menyelamatkannya? Tidak ada yang bisa dilakukan tanpa mengorbankan sesuatu yang berharga.”

Kashtan merasakan serangan rasa takut. “Apa yang harus aku bayar?” tanyanya, suaranya nyaris berbisik.

“Nyawa,” jawab bayangan itu. “Hanya dengan mengorbankan nyawa seseorang yang sangat berarti bagimu, Seraphina bisa kembali.”

“Tidak!” Kashtan berteriak. “Aku tidak akan membunuh seseorang untuk menyelamatkan adikku!”

“Tapi ini adalah satu-satunya cara,” bayangan itu mendesak. “Ingat, dunia ini adalah tentang pengorbanan. Apakah kau bersedia kehilangan orang lain demi adikmu?”

Saat itu, ingatan melintas di benak Kashtan—ibu mereka yang sakit, sahabat-sahabatnya yang selalu ada untuknya. Dia merasa tertegun di antara dua pilihan yang tak bisa ia terima. Haruskah dia mengorbankan orang lain demi menyelamatkan Seraphina?

“Kashtan…” suara Seraphina menyentuh hatinya. Dia melangkah sedikit lebih dekat, seakan meraih kembali jalinan kasih mereka. “Jika ini adalah harganya, aku tidak mau. Aku tidak ingin kau kehilangan orang lain karena aku.”

Kashtan menatap wajahnya yang pucat, hati bergetar. Dia menginginkan adiknya kembali, tapi dia tidak bisa melakukan ini. “Aku tidak akan membiarkan siapapun terluka untukku,” Seraphina melanjutkan, dan ada kekuatan dalam suaranya yang mulai bangkit.

“Seraphina, kita bisa menemukan cara lain,” Kashtan berkata dengan penuh harap, berusaha untuk mengingatkan dia bahwa ada hidup yang lebih baik di luar kegelapan ini. “Kita bisa kembali bersama, seperti dulu.”

“Kashtan, tidak ada jalan kembali. Dunia ini telah mengubahku, dan aku tidak akan kembali menjadi anak kecil yang kau kenal. Jika kau berjuang untukku, kau hanya akan menemukan kepedihan yang lebih dalam,” Seraphina menjawab, suaranya penuh ketegasan.

Kashtan merasakan sesuatu di dalamnya patah. Air mata mulai menggenang di sudut matanya, namun dia tahu dia tidak bisa menyerah. “Kalaupun aku harus kehilangan sesuatu, maka aku akan kehilangan diriku sendiri. Aku akan berjuang sampai napasku yang terakhir.”

Bayangan itu mengernyit, seolah terkejut dengan jawaban Kashtan. “Satu-satunya cara untuk mendapatkan kembali adikmu adalah dengan melawan kegelapan di dalam hatimu sendiri.”

Kashtan mengangguk, jiwanya penuh dengan tekad. Dia tidak akan membiarkan Seraphina pergi. Dengan kekuatan yang ia dapatkan dari cintanya, dia bersiap menghadapi apapun yang ada di hadapannya. “Aku akan melawan kegelapan itu. Aku akan menemukan cara untuk mengeluarkanmu dari sini, Seraphina.”

Ketika dia berbicara, kegelapan mulai mereda, dan cahaya perlahan-lahan mengalir ke dalam ruang itu. Seraphina menatapnya dengan harapan, sesuatu yang hampir hilang dalam dirinya. “Jika kau berani melawan, maka aku akan berjuang bersamamu,” ujarnya, suaranya penuh semangat.

Kashtan mengambil langkah maju, menembus batas kegelapan. Saat dia mendekat, mereka saling menggenggam tangan, merasakan kembali ikatan yang pernah ada. Dalam satu detik, semua rasa sakit dan ketidakpastian hilang, dan mereka saling memahami bahwa cinta tidak akan pernah mati.

“Bersama, kita akan menemukan jalan kembali,” kata Kashtan dengan penuh keyakinan.

“Ya, kita akan pulang,” jawab Seraphina, senyumnya kembali merekah.

Mereka melangkah bersama menuju cahaya, dengan keyakinan bahwa tidak ada kegelapan yang bisa memisahkan mereka. Ketika mereka melangkah keluar dari bayang-bayang yang menakutkan, semuanya terasa mungkin—bahkan harapan yang hilang.

Dengan mengulangi langkah-langkah kecil ke luar, mereka menyadari bahwa mereka telah menemukan kembali diri mereka, bukan hanya sebagai kakak dan adik, tetapi sebagai dua jiwa yang bersatu melawan segala rintangan.

Dan dalam pelukan itu, mereka tahu, perjalanan mereka baru saja dimulai.

 

Jadi, setelah melewati perjalanan yang penuh liku, Kashtan dan Seraphina akhirnya menyadari satu hal penting: tidak ada kegelapan yang terlalu pekat untuk dihadapi kalau mereka bersama. Cinta dan harapan jadi cahaya yang selalu menyinari jalan mereka.

Mengingatkan kita semua bahwa, dalam setiap perjuangan, ada kekuatan yang muncul dari ikatan yang tak terputus. Jadi, kamu siap gak buat melawan kegelapan dalam hidup kamu sendiri? Yuk, teruskan perjalanan ini, karena kadang, yang kamu butuhin cuma satu: keberanian untuk melangkah!

Leave a Reply