Kala Senja Memeluk Luka: Kisah Persahabatan yang Terpatri

Posted on

Menyelami kisah persahabatan yang penuh emosi, “Kala Senja Memeluk Luka” mengajak Anda menjelajahi ikatan mendalam antara Vionara dan Zevran, dua remaja yang menemukan cahaya di tengah luka hidup mereka. Cerpen ini, dengan detail yang memikat dan alur yang mengharukan, bukan hanya tentang cinta dan kehilangan, tetapi juga tentang kekuatan kenangan yang abadi. Siapkah Anda terhanyut dalam kisah yang akan menggugah jiwa dan mengingatkan kita pada makna sejati persahabatan?

Kala Senja Memeluk Luka

Pertemuan di Bawah Langit Kelabu

Hujan gerimis menyapu pelataran sekolah sore itu, meninggalkan aroma tanah basah yang menusuk hidung. Aku, Vionara Estelita, duduk di bangku kayu tua di sudut taman belakang sekolah, menatap langit kelabu yang seolah mencerminkan hatiku. Usia 16 tahun, kelas dua SMA, seharusnya adalah masa penuh tawa dan mimpi. Tapi bagiku, dunia terasa seperti lukisan monokrom yang pudar. Dua bulan lalu, ayahku pergi—bukan pergi meninggal, tapi pergi meninggalkan ibu dan aku untuk wanita lain. Rumah yang dulu hangat kini dingin, penuh diam dan air mata ibu yang tak pernah kusebutkan.

Aku menggenggam buku puisi Sapardi Djoko Damono di tanganku, membaca baris-baris yang entah kenapa terasa seperti pisau kecil yang mengiris hati. “Aku ingin mencintaimu dengan sederhana…” Aku mendesah, menutup buku itu. Sederhana? Cinta dalam hidupku terasa rumit, penuh luka yang tak kunjung kering.

Tiba-tiba, suara langkah sepatu memecah kesunyian. Aku mendongak, dan di sana berdiri seorang laki-laki yang belum pernah kuperhatikan sebelumnya. Rambutnya hitam acak-acakan, basah karena hujan, dan matanya—mata cokelat tua yang dalam, seperti menyimpan rahasia yang tak pernah diucap. Ia memakai seragam yang sedikit kusut, dasinya longgar, dan di tangannya ada sebuah payung hitam yang tak ia gunakan.

“Kamu nggak takut masuk angin duduk di sini?” tanyanya, suaranya lembut tapi ada nada canda yang terselip. Aku mengerutkan kening, tak yakin apakah ia berbicara denganku atau hanya mengigau.

“Kalau masuk angin, ya sudah, biar angin bawa pergi semua pikiran ini,” jawabku ketus, tak berniat ramah. Aku bukan tipe yang mudah akrab dengan orang asing, apalagi di hari seperti ini.

Ia tertawa kecil, suaranya renyah seperti lonceng kecil di pagi hari. “Puitis. Aku suka.” Tanpa permEN, ia duduk di bangku yang sama, menjaga jarak sopan tapi cukup dekat hingga aku bisa mencium aroma sabun citrus dari jaketnya. “Aku Zevran Ardiaz. Kelas 2C. Kamu… Vionara, kan? Aku pernah lihat kamu baca puisi di lomba antarkelas bulan lalu.”

Aku terkejut. Nama Zevran terdengar asing, dan aku yakin tak pernah melihatnya di keramaian sekolah. Tapi ia tahu namaku, bahkan ingat penampilanku di lomba puisi yang kini terasa seperti kenangan buram. “Kamu stalker atau apa?” tanyaku, setengah bercanda, setengah curiga.

Ia menggeleng, tersenyum miring. “Bukan. Cuma… aku suka perhatikan orang yang punya cerita di matanya. Dan kamu, Vionara, punya cerita yang panjang.”

Aku terdiam. Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuatku merasa telanjang, seolah ia bisa melihat luka yang kusembunyikan di balik sikap dinginku. Aku ingin marah, ingin menyuruhnya pergi, tapi entah kenapa, aku hanya menatapnya, mencoba mencari tahu apa yang membuatnya berani bicara seperti itu.

Hujan mulai reda, meninggalkan genangan kecil di bebatuan taman. Zevran membuka payungnya, tapi bukannya memakainya, ia memegangnya di atas kepalaku. “Aku nggak suka lihat orang basah kuyup sendirian,” katanya, lalu bangkit. “Besok, kalau hujan lagi, bawa payung, ya. Aku nggak janji bakal ada di sini terus.”

Ia berjalan pergi, meninggalkanku dengan debaran aneh di dada. Aku memandangi punggungnya yang menghilang di balik gerbang sekolah, dan untuk pertama kalinya dalam dua bulan, aku merasa ada sedikit warna yang menyelinap ke dalam lukisan monokrom hidupku.

Malam itu, di kamar kecilku yang penuh buku dan lilin aromaterapi, aku tak bisa tidur. Wajah Zevran terus muncul di pikiranku—tawa kecilnya, matanya yang seperti kolam dalam, dan kata-katanya yang terasa seperti puisi tanpa bait. Aku membuka jendela, membiarkan angin malam membelai wajahku. Di luar, bulan separuh menggantung di langit, seolah mengintip rahasia yang baru saja mulai terbentuk.

Keesokan harinya, aku kembali ke taman itu, membawa payung kecil berwarna biru tua. Hujan tak turun, tapi entah kenapa, aku berharap Zevran ada di sana. Dan ia ada. Duduk di bangku yang sama, kali ini dengan sebuah buku sketsa di tangannya. Ia sedang menggambar sesuatu, alisnya mengerut dalam konsentrasi yang membuatku tak tega mengganggu.

“Kamu datang,” katanya tanpa menoleh, seolah tahu aku ada di sana. “Aku pikir kamu bakal kabur setelah kemarin aku ganggu.”

Aku mendengus, duduk di sisinya. “Aku cuma nggak mau utang budi soal payung itu.”

Ia menoleh, tersenyum lebar. “Oh, jadi ini soal payung? Baiklah, Vionara Estelita. Kalau gitu, bayar utangmu dengan ceritain sesuatu tentang dirimu. Apa yang bikin kamu suka duduk di sini sendirian?”

Pertanyaan itu sederhana, tapi terasa seperti anak panah yang menembus pertahananku. Aku ragu, tapi ada sesuatu dalam tatapan Zevran yang membuatku ingin jujur. “Aku… suka tempat ini karena di sini aku bisa lupa. Lupa rumah yang nggak lagi seperti rumah. Lupa kalau hidupku sekarang cuma… reruntuhan.”

Zevran tak bicara segera. Ia menutup buku sketsanya, menatap ke arah pohon banyan yang bergoyang pelan ditiup angin. “Aku juga tahu rasanya tinggal di reruntuhan,” katanya akhirnya, suaranya pelan, hampir seperti bisik. “Tapi tahu nggak? Reruntuhan bisa jadi tempat yang indah kalau kita mulai bangun sesuatu dari sana.”

Kata-kata itu terasa seperti pelukan, hangat dan penuh harap, meski aku tak tahu apakah aku siap menerimanya. Hari itu, kami menghabiskan sore dengan berbicara—tentang buku, musik, tentang mimpi yang tak pernah kami ceritakan pada orang lain. Zevran bercerita tentang keinginannya menjadi ilustrator, tentang bagaimana menggambar adalah caranya berbicara dengan dunia. Aku bercerita tentang puisi, tentang kata-kata yang menjadi pelarianku dari kenyataan.

Saat senja tiba, melukis langit oranye dan merah, Zevran menunjukkan sketsa yang tadi ia buat. Itu adalah gambar seorang gadis, duduk di bangku kayu, dengan buku di pangkuan, dengan raut wajah yang sedih tapi penuh rahasia. Aku nggak tahu, itu aku.

“Ini Vionara yang aku lihat,” katanya, senyumnya lembut. “Gadis yang kuat, meski dia pikir dia cuma reruntuhan.”

Air mataku hampir jatuh, tapi aku menahannya, tersenyum kecil. “Kamu aneh, Zevran Ardiaz.”

“Dan kamu menarik, Vionara Estelita,” balasnya, matanya berbinar di bawah cahaya senja.

Hari itu, tanpa kami sadari, benih persahabatan mulai tumbuh di antara reruntuhan hati kami. Aku tak tahu bahwa benih itu akan mekar menjadi sesuatu yang indah, sekaligus menyakitkan, di hari-hari yang akan datang.

Melodi di Antara Hujan

Hari-hari setelah pertemuan pertama kami di taman sekolah terasa seperti membaca halaman baru dari buku yang tak pernah kukira akan kubuka. Zevran Ardiaz, dengan caranya yang aneh namun menenangkan, mulai menjadi bagian dari rutinitasku. Setiap sore, setelah bel pulang sekolah berbunyi, aku mendapati diriku berjalan menuju taman belakang, tempat bangku kayu tua itu menjadi saksi bisu percakapan kami. Kadang hujan turun, kadang langit cerah, tapi Zevran selalu ada—dengan buku sketsanya, senyum miringnya, dan cerita-cerita yang membuatku lupa sejenak pada luka di hatiku.

Sore itu, langit kembali kelabu, tapi tak ada hujan. Aku tiba di taman dengan jaket merah maroon yang sedikit kebesaran—peninggalan ayah yang entah kenapa masih kusimpan. Zevran sudah duduk di bangku, kali ini dengan earphone di telinganya dan sebuah kaset tua di tangannya. Ia menoleh saat aku mendekat, lalu melepas earphone-nya dengan gerakan cepat.

“Vionara, kamu terlambat sepuluh menit,” katanya, nada pura-pura kesal tapi matanya penuh canda. “Aku hampir mulai sketsa tanpa model utamaku.”

Aku mendengus, duduk di sisinya. “Model? Kamu bikin aku terdengar kayak lukisan di museum.”

“Bukankah kamu memang karya seni?” balasnya, mengedipkan mata. Aku memutar bola mata, tapi tak bisa menyembunyikan senyum kecil yang muncul di bibirku. Ada sesuatu dalam cara Zevran berbicara—ringan, tapi selalu ada makna yang terselip, seperti puisi yang tak sengaja terucap.

Hari itu, Zevran tak membawa buku sketsa. Sebagai gantinya, ia menunjukkan kaset tua yang dipegangnya. “Ini,” katanya, “adalah harta karunku. Kaset dari band indie yang cuma bikin satu album sebelum bubar. Namanya Langit Kelabu. Aku nemu di toko barang bekas minggu lalu.”

Aku menatap kaset itu, plastiknya sudah sedikit retak, labelnya pudar tapi masih bisa dibaca. “Kamu masih dengerin kaset? Kita di abad 21, Zevran.”

Ia tertawa, suaranya renyah seperti biasa. “Justru itu kerennya. Kaset punya jiwa, Vionara. Suaranya nggak sempurna, ada desis, ada goresan, tapi itu yang bikin hidup. Kayak kita—nggak sempurna, tapi punya cerita.”

Aku terdiam. Kata-katanya lagi-lagi mengenai sesuatu di dalam diriku, seperti anak panah yang tak pernah meleset. “Mainkan lagunya,” kataku akhirnya, penasaran. Zevran mengeluarkan pemutar kaset portabel dari tasnya—alat kuno yang entah dari mana ia dapatkan. Ia memasang earphone, memberikan satu sisi ke telingaku, dan menekan tombol play.

Melodi gitar akustik mengalir, lembut namun melankolis, diikuti suara vokalis yang serak tapi penuh emosi. Liriknya bercerita tentang seseorang yang mencoba mencari cahaya di tengah badai, tentang kehilangan dan harapan yang rapuh. Aku menutup mata, membiarkan musik itu menyelimuti. Tanpa sadar, air mataku mengalir, satu tetes, lalu dua. Aku teringat malam-malam ketika aku mendengar tangis ibu dari kamar sebelah, teringat ayah yang tak lagi menoleh saat ia pergi dengan koper di tangannya.

Zevran tak berkata apa-apa. Ia hanya memandangku, matanya penuh pengertian yang tak perlu diucapkan. Saat lagu selesai, aku membuka mata dan mendapatinya masih menatapku. “Kenapa nangis?” tanyanya pelan, tanpa nada menghakimi.

Aku menghapus air mata dengan lengan jaketku, malu. “Lagu ini… mengingatkanku pada rumah. Pada apa yang udah nggak ada lagi.”

Ia mengangguk, seolah memahami tanpa perlu penjelasan lebih. “Aku juga punya kenangan yang suka nyanyi di kepala,” katanya, suaranya hampir berbisik. “Adikku, Ziva… dia suka nyanyi lagu-lagu kayak gini. Dia bilang musik bisa nyanyi buat kita pas kita nggak bisa bicara.”

Aku menoleh, terkejut. Ini pertama kalinya Zevran menyebut adiknya. “Ziva? Dia di mana sekarang?” tanyaku hati-hati, merasakan ada sesuatu yang berat di balik nada suaranya.

Zevran menatap kaset di tangannya, jarinya mengelus retakan di plastik itu. “Dia… nggak ada lagi. Dua tahun lalu, kecelakaan mobil. Dia cuma 12 tahun.” Suaranya stabil, tapi aku bisa mendengar retakan kecil di dalamnya, seperti kaca yang hampir pecah.

Aku tak tahu harus berkata apa. Kata-kata maaf terasa kosong, tak cukup untuk menampung luka sebesar itu. Jadi, aku melakukan sesuatu yang tak pernah kulakukan sebelumnya—aku meraih tangannya, memegangnya erat. “Zevran, aku… aku nggak tahu. Tapi aku di sini, kalau kamu mau cerita.”

Ia tersenyum, tapi senyum itu pahit, berbeda dari senyum ceria yang biasa ia tunjukkan. “Makasih, Vionara. Tapi aku nggak suka cerita sedih. Aku lebih suka bikin kenangan baru, yang bikin kita ketawa, yang bikin kita lupa reruntuhan.”

Hari itu, kami tak banyak bicara lagi. Kami hanya duduk, mendengarkan kaset itu berulang-ulang, berbagi earphone, membiarkan musik menjadi jembatan antara luka kami. Langit berubah dari kelabu menjadi jingga, lalu ungu, saat senja datang. Zevran tiba-tiba bangkit, menarikku berdiri. “Ayo, kita jalan-jalan. Aku tahu tempat yang bakal kamu suka.”

Aku mengikuti langkahnya, keluar dari taman sekolah, menuju sebuah bukit kecil di pinggir kota. Kami berjalan melewati jalan setapak yang dipenuhi rumput liar, aroma tanah dan bunga kering menyapa hidungku. Zevran berjalan di depan, sesekali menoleh untuk memastikan aku masih mengikuti. Di puncak bukit, ada sebuah pohon akasia besar, cabang-cabangnya membentang seperti pelukan raksasa. Di bawahnya, kota terlihat kecil, lampu-lampu mulai menyala seperti kunang-kunang.

“Ini tempatku,” kata Zevran, duduk di rumput. “Ziva suka ke sini. Dia bilang di sini dia bisa dengar angin nyanyi.”

Aku duduk di sisinya, menatap kota yang berkilau di bawah. “Kamu bawa aku ke tempat spesialmu,” kataku, tersenyum kecil. “Aku tersanjung.”

“Harusnya,” candanya, tapi matanya lembut. “Aku nggak sembarangan bawa orang ke sini. Cuma orang yang… istimewa.”

Kata itu membuat jantungku berdegup kencang, tapi aku buru-buru mengalihkan perhatian, tak ingin terjebak dalam perasaan yang belum kuhitung risikonya. “Zevran, kenapa kamu baik banget sama aku? Kita baru kenal, tapi… kamu kayak udah tahu aku lama.”

Ia memetik sehelai rumput, memainkannya di jari-jarinya. “Karena aku tahu rasanya sendirian, Vionara. Dan aku lihat itu di matamu hari itu, di taman. Aku nggak mau kamu ngerasa kayak gitu lagi.”

Malam itu, kami pulang dengan langkah ringan, meski hati kami masih menyimpan beban masing-masing. Zevran mengantarku sampai depan gang rumahku, lalu mengangguk kecil sebelum berbalik pergi. Aku berdiri di sana, memandangi bayangannya yang menghilang di ujung jalan, merasa ada sesuatu yang berubah di dalam diriku. Persahabatan ini, yang baru lahir, terasa seperti tali penyelamat di tengah lautan badai. Tapi di sudut hatiku, ada ketakutan kecil—bahwa tali ini, sekuat apa pun, mungkin tak akan cukup menahan badai yang lebih besar yang akan datang.

Retakan di Balik Tawa

Hari-hari setelah kunjungan kami ke bukit akasia terasa seperti melodi yang terus berputar di kepalaku—lembut, penuh warna, tapi ada nada melankolis yang selalu mengintai. Zevran Ardiaz telah menjadi lebih dari sekadar teman yang kutemui di taman sekolah. Ia adalah seseorang yang mampu membuatku tertawa di tengah hari kelabu, yang membuatku merasa dilihat, bukan hanya sebagai Vionara Estelita yang pendiam dengan buku puisi, tapi sebagai seseorang dengan cerita yang layak didengar. Namun, di balik tawa dan percakapan kami, aku mulai merasakan ada sesuatu yang disembunyikan Zevran, sebuah bayang-bayang yang kadang muncul di matanya saat ia mengira aku tak memperhatikan.

Sore itu adalah hari Jumat, dua minggu setelah kami duduk di bawah pohon akasia. Langit cerah, tapi udara terasa berat dengan kelembapan musim hujan yang belum sepenuhnya pergi. Aku berjalan menuju taman sekolah seperti biasa, membawa buku baru—kumpulan puisi karya Rendra yang kutemukan di perpustakaan. Zevran sudah ada di bangku kayu tua, tapi kali ini ia tak menggambar atau mendengarkan musik. Ia hanya duduk, menatap ke arah pohon banyan dengan ekspresi yang sulit kubeaca. Ada kerutan kecil di dahinya, dan tangannya memainkan gelang tali merah di pergelangan tangannya, sesuatu yang baru kuperhatikan.

“Kamu kenapa?” tanyaku sambil duduk, mencoba menjaga nada tetap ringan meski hatiku sudah mulai gelisah. Zevran biasanya selalu punya senyum atau candaan untuk memulai percakapan, tapi hari ini ia terlihat… jauh.

Ia menoleh, tersenyum tipis, tapi senyum itu tak mencapai matanya. “Nggak apa-apa, cuma lagi mikir. Kamu bawa apa hari ini?” Ia mengangguk ke arah buku di tanganku, jelas mencoba mengalihkan perhatian.

Aku mengangkat buku Rendra, tapi tak langsung menjawab. “Zevran, aku serius. Kamu nggak kelihatan kayak biasanya. Ada apa?”

Ia menghela napas, memandang ke tanah seolah mencari kata-kata di antara kerikil-kerikil kecil di bawah kaki kami. “Vionara, kamu pernah nggak ngerasa… kayak ada sesuatu yang nyanyi di kepala, tapi nadanya salah? Kayak, kamu tahu hidup lagi baik-baik aja, tapi ada sesuatu yang nggak beres, dan kamu nggak bisa bilang apa.”

Aku mengangguk pelan. Aku tahu perasaan itu—setiap malam ketika aku mendengar langkah ibuku yang lelet di lorong rumah, atau saat aku melihat foto keluarga kami yang sekarang terasa seperti kebohongan. “Aku tahu,” kataku pelan. “Tapi kamu nggak harus ceritain semuanya kalau nggak mau. Cuma… aku di sini, oke?”

Zevran memandangku, dan untuk sesaat, matanya yang biasanya penuh rahasia terbuka, memperlihatkan sesuatu yang rapuh. “Makasih, Vionara. Kadang aku lupa kalau aku nggak sendirian lagi.”

Kata-kata itu menghantamku, bukan karena apa yang ia katakan, tapi karena nada suaranya—seperti seseorang yang sudah terlalu lama membawa beban sendirian. Aku ingin bertanya lebih banyak, ingin tahu apa yang membuatnya begitu, tapi aku takut mendorong terlalu jauh. Jadi, aku hanya mengangguk dan membuka buku Rendra, membaca puisi berjudul “Sajak Lisong” dengan suara pelan, berharap kata-kata itu bisa mengisi keheningan yang terasa berat.

Zevran mendengarkan, matanya tertutup, kepalanya bersandar di bangku. Saat aku selesai membaca, ia membuka mata dan berkata, “Kamu baca puisi kayak nyanyi, tahu nggak? Ziva pasti suka dengerin kamu.”

Nama Ziva muncul lagi, dan kali ini aku tak bisa menahan diri. “Zevran, ceritain tentang Ziva. Kalau kamu nggak keberatan. Aku pengin tahu lebih banyak tentang dia.”

Ia terdiam lama, begitu lama hingga aku khawatir telah melangkah terlalu jauh. Tapi kemudian ia mulai berbicara, suaranya pelan, seperti berjalan di atas kaca tipis. “Ziva… dia adikku satu-satunya. Dia selalu ceria, kayak matahari kecil di rumah. Dia suka nyanyi, suka gambar, suka bikin orang ketawa. Tapi dia juga sakit-sakitan. Dokter bilang jantungannya lemah sejak kecil. Kami tahu dia nggak bakal… hidup lama, tapi aku nggak pernah siap buat dia pergi.”

Aku menahan napas, tak ingin memecah ceritanya. Zevran melanjutkan, jarinya masih memainkan gelang tali merah itu. “Gelang ini dia yang bikin. Katanya, ini biar aku nggak lupa dia, meski dia nggak ada. Konyol, kan? Aku nggak bakal lupa dia, meski tanpa gelang ini.”

Air matanya tak jatuh, tapi aku bisa melihat kilau di sudut matanya. Aku meraih tangannya, seperti yang kulakukan di bukit akasia, dan kali ini ia tak menariknya. “Itu nggak konyol,” kataku. “Itu indah. Ziva pasti tahu kamu sayang banget sama dia.”

Zevran tersenyum, tapi senyum itu penuh luka. “Aku cuma berharap aku bisa ngasih dia lebih banyak waktu. Aku janji bakal bawa dia ke bukit akasia lagi, tapi… aku nggak sempat.”

Keheningan kembali menyelimuti kami, tapi kali ini bukan keheningan yang canggung. Itu adalah keheningan yang penuh pengertian, seperti dua orang yang akhirnya berbagi beban yang terlalu berat untuk dipikul sendirian. Aku ingin berkata sesuatu, tapi kata-kata terasa tak cukup. Jadi, aku hanya duduk di sisinya, membiarkan angin sore membawa pergi sebagian dari kesedihan kami.

Beberapa hari kemudian, Zevran mengajakku ke sebuah pasar loak di pinggir kota. “Kamu perlu keluar dari pikiranmu,” katanya saat kami berjalan di antara kios-kios yang penuh dengan barang-barang tua—buku-buku usang, piringan hitam, dan pernak-pernik yang seolah punya cerita sendiri. Zevran tampak lebih ceria hari itu, matanya berbinar saat ia menemukan sebuah kamera polaroid bekas. “Bayangin, Vionara, kita bisa bikin album kenangan kita sendiri!” katanya, memainkan kamera itu dengan antusias.

Aku tertawa, terbawa oleh semangatnya. “Kamu emang anak seni banget, ya. Semua harus jadi karya.”

“Bukankah hidup itu sendiri karya seni?” balasnya, mengarahkan kamera ke arahku dan menjepret. Foto polaroid itu keluar, menunjukkan wajahku yang sedikit cemberut tapi dengan senyum kecil di sudut bibir. “Lihat, ini Vionara yang mulai ketawa lagi,” katanya, menyodorkan foto itu kepadaku.

Aku memandang foto itu, dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama, aku merasa… ringan. Zevran punya cara untuk membuat dunia terasa lebih lembut, lebih berwarna, meski hanya dengan hal-hal kecil seperti foto polaroid atau kaset tua. Kami menghabiskan sore itu berkeliling pasar, Zevran membeli beberapa piringan hitam dan aku menemukan buku puisi Chairil Anwar yang sudah menguning. Kami pulang dengan tawa, tapi di sudut hatiku, aku masih merasakan bayang-bayang itu—ketakutan bahwa kebahagiaan ini hanya sementara, bahwa retakan di hati Zevran, dan mungkin juga di hatiku, akan kembali terbuka.

Malam itu, di kamarku, aku menempelkan foto polaroid itu di dinding, tepat di samping jendela. Aku menatapnya lama, memikirkan Zevran, Ziva, dan luka-luka yang kami bawa. Persahabatan kami terasa seperti mozaik—indah, tapi terdiri dari pecahan-pecahan yang rapuh. Aku tak tahu apa yang menanti kami, tapi aku tahu satu hal: Zevran telah menjadi bagian dari hidupku, dan aku tak ingin kehilangan dia, seperti aku kehilangan begitu banyak hal sebelumnya.

Pelukan Senja Terakhir

Waktu terasa seperti pasir yang lolos dari genggaman, dan tanpa terasa, tiga minggu telah berlalu sejak sore di pasar loak itu. Persahabatan antara aku, Vionara Estelita, dan Zevran Ardiaz telah tumbuh menjadi sesuatu yang sulit kugambarkan—seperti pohon akasia di bukit, berakar kuat meski sering diterpa angin. Zevran dengan caranya yang penuh warna telah mengisi hari-hariku dengan tawa, musik, dan sketsa-sketsa kecil yang selalu ia selipkan di buku puisiku. Tapi di balik semua itu, aku tak bisa mengabaikan bayang-bayang yang semakin jelas di matanya, seperti awan gelap yang mengintai di ufuk.

Sore itu adalah awal Desember, udara terasa sejuk dengan aroma hujan yang belum turun. Aku berjalan menuju taman sekolah, membawa buku puisi Chairil Anwar yang kubeli di pasar loak, dengan foto polaroid Zevran dan aku terselip di halaman terakhir. Zevran sudah ada di bangku kayu tua, tapi ada sesuatu yang berbeda. Ia tak membawa buku sketsa atau kaset tua. Di tangannya hanya ada gelang tali merah yang biasa ia kenakan, kini dilepas dan digenggam erat. Wajahnya pucat, dan matanya—mata cokelat tua yang biasanya penuh rahasia—terlihat kosong, seperti kolam yang kehilangan pantulan.

“Zevran?” panggilku hati-hati, duduk di sisinya. “Kamu baik-baik aja?”

Ia menoleh, tersenyum tipis, tapi senyum itu rapuh, seperti daun kering yang siap hancur. “Vionara,” katanya, suaranya pelan, hampir seperti bisik. “Aku… aku harus ceritain sesuatu.”

Jantungku berdegup kencang, ada nada di suaranya yang membuatku takut—nada yang sama seperti malam ketika ibuku bilang ayah tak akan kembali. Aku mengangguk, menahan napas, menunggu kata-kata yang kutahu akan mengubah segalanya.

Zevran menghela napas, jarinya memainkan gelang tali merah itu. “Aku sakit, Vionara. Sudah lama. Sama kayak Ziva… jantunganku nggak kuat. Dokter bilang aku mungkin cuma punya beberapa bulan lagi, kalau aku beruntung.”

Dunia seolah berhenti berputar. Kata-katanya menggema di kepalaku, tapi aku tak bisa mencerna. Aku memandangnya, mencari tanda bahwa ini candaan, bahwa Zevran yang selalu penuh tawa hanya sedang bercanda. Tapi matanya tak berbohong. Ada kebenaran di sana, kebenaran yang menusuk seperti pisau.

“Jangan bohong,” kataku, suaraku bergetar. “Zevran, ini nggak lucu.”

“Aku nggak bohong,” balasnya, suaranya lembut tapi tegas. “Aku cuma… nggak mau kamu tahu sebelumnya. Aku nggak mau kamu lihat aku sebagai orang yang sekarat. Aku mau kamu lihat aku sebagai Zevran yang suka gambar, yang suka musik, yang suka bikin kamu ketawa.”

Air mataku jatuh, tak bisa kutahan. “Kenapa nggak bilang dari awal? Kenapa kamu biarin aku… biarin aku sayang sama kamu, kalau kamu tahu kamu bakal pergi?” Kata-kata itu keluar begitu saja, penuh emosi yang tak pernah kusadari telah tumbuh di hatiku.

Zevran meraih tanganku, memegangnya erat. “Karena kamu bikin hidupku indah, Vionara. Setiap sore di taman ini, setiap lagu yang kita denger bareng, setiap kali kamu baca puisi… itu semua bikin aku lupa bahwa aku nggak punya banyak waktu. Kamu kasih aku alasan buat hidup, meski cuma sebentar.”

Aku menangis, tak peduli betapa leletnya air mata itu membasahi pipiku. Aku memeluknya, erat, seolah bisa menahan waktu, seolah bisa menjaga dia tetap di sini. Zevran membalas pelukanku, tangannya mengelus rambutku dengan lembut. “Jangan nangis,” bisiknya. “Aku nggak mau kenangan kita cuma air mata.”

Tapi aku tak bisa berhenti. Aku teringat semua momen kami—sketsa di taman, kaset tua di bukit akasia, foto polaroid di pasar loak. Semuanya terasa begitu hidup, begitu nyata, tapi sekarang seperti mimpi yang akan segera pudar. “Aku nggak mau kehilangan kamu,” kataku, suaraku tersendat. “Kamu… kamu satu-satunya yang bikin aku nggak ngerasa sendirian.”

Zevran melepaskan pelukannya, memandangku dengan mata yang penuh kehangatan meski dihiasi luka. “Kamu nggak bakal sendirian, Vionara. Aku janji. Aku bakal ninggalin sesuatu buat kamu, sesuatu yang bikin kamu ingat bahwa kita punya cerita yang indah.”

Malam itu, Zevran mengantarku pulang, seperti biasa, tapi langkahnya lebih pelan, seperti ia ingin menikmati setiap detik. Di depan gang rumahku, ia memberikan gelang tali merah itu kepadaku. “Ini dari Ziva, dan sekarang dari aku,” katanya. “Pake ini, biar kamu tahu aku selalu ada, meski nggak di sini.”

Aku menerima gelang itu, jari-jariku gemetar. “Zevran, aku… aku nggak tahu caranya hidup tanpa kamu.”

Ia tersenyum, senyum yang penuh cahaya meski tubuhnya mulai lelah. “Kamu kuat, Vionara. Kamu cuma lupa. Dan kalau kamu lupa lagi, baca puisi, denger musik, pergi ke bukit akasia. Aku ada di sana, di setiap cerita yang kita bikin bareng.”

Hari-hari setelah itu terasa seperti kabut. Zevran masih datang ke taman, tapi semakin jarang. Ia semakin pucat, napasnya semakin pendek, tapi ia selalu punya senyum untukku. Suatu sore, ia memberikan sebuah buku sketsa kecil, penuh dengan gambar-gambar kami—aku membaca puisi di taman, kami berbagi earphone di bukit, wajahku di pasar loak dengan senyum kecil. Di halaman terakhir, ada tulisan tangannya: “Untuk Vionara, yang membuat reruntuhanku jadi karya seni. Jangan berhenti menulis ceritamu. – Zevran.”

Aku memeluk buku itu, menangis hingga tak ada air mata lagi. Zevran tak datang ke taman keesokan harinya, atau hari setelahnya. Seminggu kemudian, aku menerima kabar dari teman sekelasnya bahwa Zevran telah pergi, diam-diam, seperti senja yang meredup tanpa suara. Ia meninggal di rumah sakit, dengan ibunya di sisinya, memegang kaset tua Langit Kelabu yang kami dengarkan bersama.

Aku pergi ke bukit akasia malam itu, sendirian, memakai gelang tali merah dan membawa buku sketsa Zevran. Aku duduk di bawah pohon, menatap kota yang berkilau seperti kunang-kunang, seperti yang kami lakukan berbulan-bulan lalu. Angin bertiup pelan, membawa aroma bunga kering dan kenangan. Aku membuka buku sketsa, membaca tulisannya lagi, dan untuk pertama kalinya sejak kepergiannya, aku tersenyum.

“Zevran, kamu bikin aku janji buat hidup,” bisikku ke angin. “Aku bakal coba, meski rasanya susah. Tapi aku tahu kamu selalu ada di sini, di cerita kita.”

Senja memelukku, oranye dan merah, seperti pelukan Zevran yang terakhir. Aku tahu luka ini tak akan pernah benar-benar hilang, tapi bersama gelang tali merah dan buku sketsa itu, aku juga membawa sesuatu yang baru: kekuatan untuk melanjutkan, untuk menulis ceritaku, dan untuk mengingat bahwa cinta dan persahabatan, meski fana, bisa abadi dalam kenangan.

“Kala Senja Memeluk Luka” bukan sekadar cerpen, melainkan cerminan kehidupan yang mengajarkan kita untuk menghargai setiap momen bersama orang-orang tersayang. Kisah Vionara dan Zevran mengingatkan kita bahwa meski waktu bisa merenggut, kenangan dan cinta yang tulus akan selalu hidup di hati. Jangan lewatkan untuk membaca cerpen ini dan temukan inspirasi untuk menjalin ikatan yang tak terlupakan dalam hidup Anda.

Terima kasih telah menyimak ulasan tentang “Kala Senja Memeluk Luka.” Semoga kisah ini menginspirasi Anda untuk menghargai setiap senja dan setiap cerita dalam hidup Anda. Sampai jumpa di artikel berikutnya, dan jangan lupa untuk berbagi kasih dengan orang-orang di sekitar Anda!

Leave a Reply