Kain Pelangi: Melestarikan Tradisi dan Harapan dalam Kehidupan Sehari-hari Desa Indonesia

Posted on

Jadi gini, kalau kamu suka cerita yang nyeritain tradisi desa yang masih ada sampai sekarang, ditambah harapan dan sedikit seni, kamu bakal suka banget deh sama ceritanya. Bayangin aja, ada seorang gadis muda yang nggak cuma ikut tradisi!

Tapi berusaha banget biar tradisi itu nggak hilang meski banyak halangan. Dari kain pelangi yang penuh warna sampai semangat kebersamaan yang nggak pernah luntur, ceritanya bakal bikin kamu ngerasa kalau hal-hal yang berharga itu harus dijaga, biar nggak punah.

 

Kain Pelangi

Kain yang Hilang di Pagi Buta

Fajar baru saja menyapu langit Tumbak Gading. Suri menggulung tikar pandan yang ia pakai tidur semalam. Seperti pagi-pagi sebelumnya, ia bersiap menuju sanggar kecil di belakang rumahnya. Ruangan itu adalah tempat ia menyimpan kain-kain tenun hasil kerja kerasnya, termasuk kain pelangi yang menjadi simbol utama dalam ritual tahunan desa.

Namun, langkahnya terhenti begitu ia membuka pintu sanggar. Matanya langsung tertuju pada peti kayu di sudut ruangan. Peti itu kosong. Kain pelangi, yang ia lipat rapi semalam, lenyap entah ke mana.

Jantung Suri berdetak cepat. Ia menjatuhkan diri ke lantai, memeriksa setiap sudut peti, tapi hasilnya nihil. Ia bahkan mengintip ke bawah peti, berharap kain itu jatuh tanpa sengaja. Tidak ada apa-apa.

“Ya ampun, kenapa harus sekarang?” keluhnya dengan suara bergetar.

Tak lama, suara langkah cepat terdengar dari arah pintu. Tirta muncul dengan wajah penuh tanda tanya. “Suri, kenapa pagi-pagi begini kelihatan panik? Bukannya kamu biasanya sibuk nyapu halaman?” tanyanya sambil menyandarkan tubuh ke pintu.

“Kain pelangi hilang,” jawab Suri singkat, suaranya hampir tak terdengar.

Tirta menegakkan badan. “Apa? Kain itu hilang? Kamu yakin nggak salah simpan?”

“Mana mungkin aku salah simpan? Aku ingat jelas semalam aku taruh di sini,” balas Suri dengan nada tegas.

Tirta masuk dan mulai memeriksa sekeliling sanggar. “Coba pikir lagi. Siapa aja yang sempat ke sini semalam?”

“Nggak ada. Aku nggak izinin siapa pun masuk ke sanggar ini. Lagipula, siapa yang mau ngambil? Kain ini kan cuma buat upacara, bukan barang mewah yang bisa dijual.”

Suri berdiri, mengusap matanya yang mulai basah. Dia tidak boleh menyerah. Ritual tahunan itu tinggal beberapa hari lagi, dan tanpa kain pelangi, tarian tidak bisa dilakukan.

“Ayo, kita cari,” ajak Tirta sambil menarik Suri keluar.

Mereka mulai dari halaman belakang rumah, menyusuri semak-semak dan sudut yang jarang dijamah. Suri berharap kain itu mungkin jatuh ditiup angin, meski kemungkinannya kecil. Setiap jengkal tanah diperiksa, tapi hasilnya tetap nihil.

“Kalau di sini nggak ada, kita coba tanya warga,” usul Tirta.

Suri mengangguk. Mereka berjalan menuju rumah tetangga terdekat, rumah Pak Anggi. Lelaki tua itu sedang duduk di tangga rumah panggungnya, sibuk mengikat tali bambu untuk memperbaiki penyangga rumah.

“Pak Anggi, maaf ganggu pagi-pagi,” sapa Tirta.

Pak Anggi menoleh. “Ada apa kalian kelihatan tergesa-gesa? Biasanya pagi-pagi gini kalian masih ngurus kain di sanggar.”

Suri maju selangkah. “Kain pelangi saya hilang, Pak. Bapak lihat ada orang yang lewat sekitar sanggar saya semalam?”

Pak Anggi mengerutkan kening. “Hilang? Waduh, berat ini kalau benar hilang. Saya nggak lihat siapa-siapa semalam. Tapi kalian coba cari di sekitar desa dulu. Bisa jadi ini ujian dari leluhur untuk kalian.”

Tirta memiringkan kepala, jelas tak puas dengan jawaban itu. Namun, Suri tetap mengucapkan terima kasih dan mengajak Tirta melanjutkan pencarian.

Dari rumah Pak Anggi, mereka menuju ke tepi desa, tempat para penenun biasanya bekerja. Di sana, mereka bertemu Mbok Ranti, penenun tertua di desa yang terkenal dengan tenunan halusnya.

“Mbok, saya mau tanya,” ujar Suri dengan hati-hati. “Apa Mbok lihat kain pelangi saya? Semalam saya taruh di sanggar, tapi pagi ini sudah nggak ada.”

Mbok Ranti menatap Suri dengan sorot mata yang sulit ditebak. Ia menghentikan pekerjaannya, mengambil napas panjang, lalu menjawab pelan, “Kain pelangi? Nggak ada yang berani sentuh itu tanpa izinmu, Suri.”

Suri mengangguk pelan, meski hatinya tak sepenuhnya percaya. Ada sesuatu dalam nada suara Mbok Ranti yang membuatnya merasa tak nyaman, seolah wanita tua itu menyembunyikan sesuatu.

Ketika mereka meninggalkan tempat itu, Tirta berhenti di tengah jalan. “Kamu ngerasa nggak sih? Mbok Ranti kayak nyembunyiin sesuatu.”

Suri mendesah. “Aku juga mikir gitu, tapi apa mungkin? Mbok Ranti kan nggak mungkin ngambil kain itu.”

Tirta menyentuh dagunya, berpikir keras. “Nggak ada salahnya kita coba cari petunjuk di tempat lain. Kalau nggak ketemu juga, baru kita kembali ke Mbok Ranti.”

Pencarian mereka terus berlanjut, tapi hasilnya tetap nihil. Matahari semakin tinggi, dan Suri semakin cemas. Hilangnya kain pelangi bukan hanya masalah pribadi, tapi juga menyangkut harga diri seluruh desa.

“Kalau kain ini nggak ketemu, apa yang bakal kita lakuin?” tanya Suri dengan suara pelan.

Tirta menatapnya, matanya penuh keyakinan. “Kita pasti nemuin, Suri. Kalau kita berhenti sekarang, sama aja nyerah. Aku nggak mau kamu kehilangan harapan.”

Kalimat itu membuat Suri menguatkan hatinya. Ia tahu pencarian ini belum berakhir, dan ia harus menemukan kain itu bagaimanapun caranya.

 

Jejak di Tepi Desa

Suri mengusap keringat di dahinya. Matahari makin terik, tapi rasa cemasnya mengalahkan rasa lelah. Tirta berjalan di sampingnya, sibuk mengamati tanah dan sekitarnya seolah-olah kain itu bisa muncul begitu saja di depan mereka.

Mereka tiba di ujung desa, tempat anak-anak kecil sering bermain. Sebuah gubuk tua berdiri di sana, dikelilingi pohon-pohon besar. Gubuk itu sudah lama tak dihuni sejak pemiliknya pindah ke kota.

“Aku rasa kita harus periksa ke sana,” kata Tirta sambil menunjuk gubuk.

Suri ragu. “Kenapa harus di situ? Gubuk itu udah nggak dipakai.”

“Tapi anak-anak sering main di situ, kan? Siapa tahu mereka ngelihat sesuatu,” jawab Tirta yakin.

Tanpa menunggu persetujuan Suri, Tirta melangkah mendekati gubuk. Ia membuka pintu yang hampir copot, mengintip ke dalam. Tidak ada apa-apa selain debu dan beberapa barang lama yang sudah berkarat.

“Kosong,” gumam Tirta.

Namun, langkah kaki kecil tiba-tiba terdengar dari luar. Suri menoleh dan melihat sekelompok anak kecil sedang berlarian sambil tertawa. Salah satu dari mereka, seorang bocah bernama Bima, memegang sesuatu yang mencuri perhatian Suri.

“Eh, tunggu!” panggil Suri sambil mendekati mereka.

Anak-anak itu berhenti. Bima menatap Suri dengan mata polos, sementara teman-temannya berdiri di belakangnya.

“Ada apa, Kak Suri?” tanya Bima.

“Itu yang kamu pegang,” Suri menunjuk kain yang melingkar di tangan Bima. “Dari mana kamu dapat kain itu?”

Bima melihat kain di tangannya, lalu mengangkatnya dengan senyuman bangga. “Ini? Kami nemu di semak-semak deket rumah Mbok Ranti. Warnanya bagus, jadi kami ambil buat main.”

Tirta langsung mendekat, mengambil kain itu dari tangan Bima. “Ini… Ini bagian dari kain pelangi, Suri,” katanya sambil menunjukkan corak khas kain itu.

Suri memandang kain itu dengan mata membelalak. Meski hanya sepotong kecil, jelas itu adalah bagian dari kain pelangi yang hilang. Ia menahan napas sejenak, mencoba memahami bagaimana kain itu bisa berakhir di tangan anak-anak.

“Bima,” kata Suri dengan suara lembut tapi tegas, “kamu yakin nemu ini di dekat rumah Mbok Ranti?”

Bima mengangguk. “Iya, Kak. Ada di semak-semak, tapi nggak semua kain. Cuma sepotong ini.”

Suri mengucapkan terima kasih pada anak-anak itu sebelum kembali berdiskusi dengan Tirta. Mereka berdiri di samping gubuk, di bawah naungan pohon besar.

“Kamu masih mikir Mbok Ranti nggak tahu apa-apa?” tanya Tirta, menatap Suri serius.

Suri menggigit bibirnya, pikirannya kacau. “Aku nggak tahu, Tir. Mbok Ranti memang kelihatan aneh tadi, tapi aku nggak mau langsung nuduh. Kalau kain ini robek, mungkin aja dia cuma takut bilang.”

“Kalau gitu, kita harus ke sana lagi. Kali ini kita harus lebih tegas,” Tirta bersikeras.

Suri mengangguk, meski hatinya berat. Ia tak ingin hubungan baiknya dengan Mbok Ranti rusak, tapi ia juga tak bisa mengabaikan kenyataan.

Mereka berjalan kembali ke rumah Mbok Ranti. Wanita tua itu masih duduk di depan alat tenunnya, tapi kali ini wajahnya tampak lebih gelisah. Ketika melihat Suri dan Tirta datang, ia berhenti menenun dan menatap mereka dengan tatapan kosong.

“Mbok,” kata Suri perlahan, “kami nemuin ini.”

Ia menunjukkan potongan kain yang mereka dapatkan dari Bima. Mbok Ranti menatap kain itu, lalu menundukkan kepala.

“Itu… bagian dari kainmu, ya?” tanyanya, suaranya bergetar.

“Iya, Mbok. Kami dapat ini dari anak-anak. Mereka bilang nemunya di semak-semak dekat rumah Mbok. Mbok tahu apa yang sebenarnya terjadi?”

Mbok Ranti terdiam lama. Napasnya terdengar berat, dan tangannya gemetar. Akhirnya, ia berkata, “Maafkan aku, Suri. Aku nggak mau ini terjadi, tapi kain itu robek di tanganku.”

Suri terkejut. Ia tidak menyangka Mbok Ranti akan mengakui itu. “Robek? Kok bisa, Mbok?”

“Aku cuma mau bantu. Semalam aku lihat ada serat yang kurang rapi di salah satu ujung kainmu. Aku pikir kalau aku rapikan, kain itu bakal lebih sempurna. Tapi aku nggak sengaja narik terlalu keras, dan kainnya robek.”

Air mata Mbok Ranti mulai mengalir. “Aku takut kamu marah, Suri. Aku takut kau nggak akan percaya lagi sama aku. Jadi, aku sembunyikan kain itu di semak-semak.”

Suri menghela napas panjang. Ia merasakan emosi campur aduk — marah, kecewa, tapi juga kasihan. Ia tahu Mbok Ranti tidak bermaksud jahat, tapi tetap saja, tindakan itu membuatnya kehilangan banyak waktu berharga.

“Mbok,” kata Suri akhirnya, “kain itu memang penting, tapi yang lebih penting adalah kejujuran. Kalau Mbok bilang dari awal, kita bisa cari cara buat memperbaikinya bareng-bareng.”

Mbok Ranti mengangguk pelan, masih menangis. Tirta yang dari tadi diam ikut angkat bicara, “Masih ada waktu, kan, Suri? Kita bisa perbaiki kain itu bareng-bareng.”

Suri mengangguk. Meski hatinya belum sepenuhnya tenang, ia tahu ini bukan saatnya untuk larut dalam amarah. Ia harus fokus menyelamatkan ritual tahunan itu, apapun caranya.

 

Tenun Asa di Bawah Bulan

Malam itu, Suri duduk di teras rumah Mbok Ranti, memandangi potongan kain yang tergeletak di pangkuannya. Coraknya masih indah, tapi robekan di tepinya mengingatkan Suri pada betapa rumitnya menjaga sesuatu yang berharga. Tirta duduk di sebelahnya, mengikat daun kelapa muda menjadi tali kecil untuk memperbaiki bingkai alat tenun Mbok Ranti yang sedikit rusak.

“Jadi gimana, Sur?” Tirta memecah keheningan. “Kain ini masih bisa diperbaiki, kan?”

Suri mengangkat kepalanya, menatap Mbok Ranti yang tengah memeriksa alat tenunnya di dalam rumah. “Aku nggak tahu, Tir. Ini bukan sekadar kain biasa. Setiap benangnya punya arti, dan aku nggak yakin kami punya cukup waktu untuk menyempurnakannya lagi.”

Tirta berhenti dari pekerjaannya, menatap Suri dengan tegas. “Aku yakin kamu bisa. Bukannya kain pelangi ini dulu juga hasil kerja kerasmu?”

Suri terdiam. Kata-kata Tirta menggema di hatinya. Ia ingat bagaimana ia memulai membuat kain pelangi pertamanya dengan bantuan Mbok Ranti. Saat itu ia belum mahir, sering salah hitung, tapi Mbok Ranti selalu sabar mengajarinya.

“Aku nggak mau bikin asal-asalan, Tir. Kalau kain ini nggak sempurna, ritual bisa terganggu,” kata Suri akhirnya.

“Justru karena itu, kita harus coba,” Tirta menjawab. “Kalau kamu menyerah sekarang, kain ini pasti nggak akan jadi. Tapi kalau kita berusaha, siapa tahu ada keajaiban.”

Saat itu juga, Mbok Ranti keluar dari rumah dengan membawa gulungan benang-benang lama yang pernah ia simpan. “Suri,” katanya dengan suara parau, “kalau kamu mau, kita bisa coba tenun ulang kain ini. Tapi kamu harus tahu, mungkin hasilnya nggak akan persis sama seperti sebelumnya.”

Suri memandang gulungan benang itu, lalu melihat robekan kain di pangkuannya. “Aku nggak peduli kalau hasilnya beda, Mbok. Yang penting kita coba.”

Dengan itu, mereka mulai bekerja. Tirta membantu menyiapkan alat tenun, sementara Mbok Ranti dan Suri mulai memilih benang yang akan digunakan. Benang-benang itu harus disesuaikan warnanya dengan potongan kain yang masih utuh.

“Mbok,” tanya Suri sambil memeriksa benang hijau tua, “kenapa kain pelangi ini penting banget buat desa kita?”

Mbok Ranti tersenyum kecil, tapi ada gurat kesedihan di matanya. “Kain ini bukan cuma kain, Suri. Ini simbol persatuan desa kita. Corak dan warnanya melambangkan semua elemen yang ada di sini: sawah, gunung, hutan, dan langit. Setiap tahun, kain ini dipakai buat menyambut musim baru, supaya alam tetap bersahabat sama kita.”

Suri mengangguk, merasa beban di pundaknya makin berat. Tapi kali ini, ada semangat baru dalam hatinya. Ia harus menyelesaikan kain ini, bukan cuma demi ritual, tapi juga demi desa mereka.

Malam semakin larut, tapi mereka bertiga tetap bekerja di bawah sinar lampu minyak. Tirta bolak-balik membawa air dan kopi, sementara Suri dan Mbok Ranti menenun dengan konsentrasi penuh. Suara alat tenun yang bergemeretak menjadi musik malam itu, menggantikan kesunyian yang biasanya menyelimuti desa.

Ketika malam mencapai puncaknya, Suri mulai merasakan rasa pegal di pundaknya. Tapi ia menolak berhenti. Setiap tarikan benang terasa seperti langkah kecil menuju tujuan besar. Tirta sesekali mencuri pandang ke arahnya, ingin memastikan Suri baik-baik saja.

“Aku nggak pernah tahu kalau menenun bisa sesulit ini,” komentar Tirta sambil menyeruput kopi.

Suri tertawa kecil meski matanya lelah. “Karena kamu nggak pernah coba. Kalau kamu mau, aku bisa ajarin nanti.”

“Terima kasih, tapi aku lebih cocok jadi tukang bawain kopi,” jawab Tirta dengan senyum jahil.

Mbok Ranti tersenyum mendengar percakapan mereka. “Suri, kamu beruntung punya teman seperti Tirta. Jarang ada orang yang mau bantu sejauh ini.”

Suri melirik Tirta dan tersenyum. Ia tahu Mbok Ranti benar, meski ia jarang mengatakannya.

Menjelang subuh, mereka akhirnya berhenti sejenak. Sebagian besar kain sudah selesai, tapi masih ada bagian-bagian kecil yang perlu disempurnakan.

“Kita udah hampir selesai,” kata Suri sambil meregangkan punggungnya.

“Besok pagi kita bisa lanjut,” tambah Tirta. “Aku yakin hasilnya bakal bagus.”

Mbok Ranti mengangguk, meski matanya tampak berat oleh rasa kantuk. “Aku bangga sama kamu, Suri. Kamu nggak cuma ngelindungi tradisi ini, tapi juga hati orang-orang di desa.”

Kata-kata itu membuat Suri terdiam. Ia memandang kain yang setengah jadi, dan untuk pertama kalinya, ia merasa percaya diri.

Saat matahari mulai terbit, mereka bertiga meninggalkan teras dengan langkah berat tapi hati yang ringan. Namun, dalam hati kecil Suri, ia tahu perjuangan mereka belum selesai.

 

Harapan yang Menyatu dalam Tenunan

Pagi itu, desa sudah mulai bergeliat dengan aktivitas sehari-hari. Suara ayam berkokok, orang-orang membuka pintu rumah, dan kabut tipis yang masih menutupi sawah perlahan menghilang digantikan sinar matahari yang hangat. Tapi bagi Suri, pagi ini terasa berbeda. Rasanya ada beban dan harapan yang tak pernah begitu terasa sebelumnya.

Ia memandang kain pelangi yang telah selesai. Meski ada bagian yang tak sempurna, warnanya tetap memukau. Setiap helai benangnya terasa berbicara dengan bahasa yang berbeda, seolah-olah mereka bercerita tentang perjalanan panjang desa ini, tentang kesulitan, tentang cinta, tentang keberanian.

Tirta berdiri di sampingnya, melihat kain itu dengan tatapan penuh rasa kagum. “Kamu berhasil, Sur. Kain ini… ini luar biasa.”

Suri hanya bisa tersenyum tipis. “Ini bukan hanya karya aku. Ini juga usaha Mbok Ranti, kamu, dan semua yang pernah membantu desa ini,” jawabnya, matanya tak lepas dari kain yang kini tergantung di teras rumah Mbok Ranti.

Mbok Ranti yang sejak tadi diam, akhirnya bersuara. “Ini lebih dari sekadar kain, Suri. Ini adalah simbol perjalanan kita. Setiap jahitan di sini menggambarkan setiap langkah yang kita ambil bersama-sama. Kain ini bukan milikmu atau milikku. Ini milik kita semua.”

Mereka bertiga mengangguk bersama, seperti menyepakati satu kesepakatan yang lebih besar dari sekadar kata-kata. Suri merasa beban di hatinya mengendur sedikit. Meski ritual besar itu masih menunggu, ia tahu bahwa proses yang telah mereka jalani bersama sudah jauh lebih berarti dari apapun.

***

Saat senja mulai turun, desa pun berkumpul di lapangan utama. Semua orang mengenakan pakaian terbaik mereka, membawa persembahan, dan menyambut datangnya ritual tahunan yang sudah dinanti-nantikan. Kain pelangi yang telah selesai itu kini dibentangkan di tengah lapangan, di bawah tenda putih besar, dengan harapan dan doa yang menggantung di udara.

Suri berdiri di samping Tirta, matanya mengamati setiap gerakan yang ada. Warga desa mulai menari dalam lingkaran, mengelilingi kain pelangi dengan penuh rasa syukur. Beberapa orang menyanyikan lagu-lagu lama yang diwariskan turun-temurun, lagu yang penuh dengan makna dan simbol. Suara mereka membaur dengan angin yang datang dari arah gunung.

“Ini seperti mimpi, ya?” Tirta berbisik. “Semua jadi nyata.”

Suri mengangguk, matanya sedikit berkaca. “Ya. Semua ini… terasa begitu hidup.”

Mbok Ranti yang berdiri di dekat mereka menatap penuh haru. “Kain ini sudah melalui banyak hal, Suri. Dan kini, kain ini bukan hanya milik desa. Ini adalah harapan kita yang terkandung dalam setiap tenunan.”

Saat itu juga, Suri merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar kebanggaan. Ia merasakan ikatan yang lebih kuat antara dirinya dengan desa ini, dengan tradisi ini, dengan masa depan yang ingin ia bangun. Ia tahu, meskipun tradisi itu tak selalu mudah dijaga, ia akan terus berjuang. Untuk desa ini. Untuk setiap kisah yang tak terucapkan.

Ritual berjalan dengan lancar. Suri menyaksikan dengan mata yang penuh kepercayaan. Orang-orang mulai berdoa dengan khusyuk di sekitar kain pelangi yang kini terhampar lebar, lambang dari segala yang pernah terjalin dan yang akan terus tumbuh.

Tirta memegang tangan Suri, dan mereka berdua berdiri bersama-sama di bawah cahaya senja yang menyinari wajah mereka.

“Aku selalu percaya, Sur,” Tirta berkata pelan, “bahwa setiap kebaikan yang kita tanam, pasti akan berbuah. Dan kain pelangi ini adalah buah dari segala usaha kita.”

Suri menatap kain itu lagi. Benang-benangnya berkilau di bawah sinar matahari yang hampir tenggelam. Ia bisa merasakan semua doa dan harapan yang mengalir melalui setiap benang itu.

“Aku juga percaya, Tir,” jawabnya dengan suara yang lembut. “Ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar.”

Dengan langkah ringan, mereka berjalan menjauh dari pusat ritual, meninggalkan desa yang mulai kembali ke rutinitasnya. Namun, di dalam hati mereka, ada satu hal yang tetap ada: kain pelangi ini bukan sekadar kain. Ini adalah simbol dari kebersamaan, perjuangan, dan harapan yang tak akan pernah pudar, seperti benang-benang yang mengikat segala yang ada di desa ini.

Dan dengan itu, Suri tahu bahwa perjalanan mereka, perjalanan desa ini, baru saja dimulai.

 

Jadi, intinya, hidup itu kayak tenunannya. Ada benang-benang yang kadang nggak gampang diatur, tapi kalau kita sabar dan terus menjaga, semuanya bakal jadi karya yang indah.

Semoga cerita ini ngingetin kamu kalau tradisi, harapan, dan kebersamaan itu nggak cuma buat dikenang, tapi juga buat dijaga. Biar setiap langkah kita jadi bagian dari cerita yang lebih besar.

Leave a Reply