Kacamata Merah Jambu: Misteri Dunia yang Tak Terlihat

Posted on

Pernah nggak sih kalian merasa kayak ada yang aneh dengan dunia sekitar? Kayak semua yang kalian lihat itu cuma permukaan doang?

Nah, bayangin kalau ada kacamata yang bisa ngubah cara pandang kalian—bukan cuma ngeliat lebih jelas, tapi ngeliat apa yang sebenarnya tersembunyi. Gak kebayang kan? Coba deh, simak ceritanya, siapa tahu dunia yang kamu kenal selama ini ternyata cuma ilusi belaka!

 

Kacamata Merah Jambu

Pandangan Melalui Lensa

Siang itu, kedai kopi Bluebean terasa lebih sepi dari biasanya. Tidak ada banyak pengunjung, hanya beberapa orang yang duduk menghadap layar laptop mereka, terlihat tenggelam dalam pekerjaan atau mungkin sedang berusaha menghindari dunia luar. Aku duduk di pojok ruangan, memandang sekeliling dengan kopi hitam di tangan.

Tiba-tiba, pintu kedai terbuka, dan seorang lelaki masuk. Erwin Kuntara. Namanya sudah sering aku dengar, meskipun kami tak pernah benar-benar dekat. Dia terlihat seperti seseorang yang tak peduli dengan penampilan, dengan rambut yang acak-acakan dan pakaian yang sepertinya tidak berubah sejak pagi. Tapi, ada satu hal yang selalu menarik perhatian: kacamata merah jambu yang melingkar di hidungnya.

Aku tidak tahu kenapa, tapi sejak pertama kali melihatnya, aku selalu merasa ada yang aneh dengan kacamata itu. Semua orang yang memakai kacamata merah jambu seharusnya terlihat… lebih cerah, lebih hidup, tapi entah kenapa, kacamata itu justru membuat Erwin terlihat semakin… misterius.

Erwin berjalan ke meja, mengangkat tangannya yang kurus untuk mengusap rambutnya yang semakin kusut. Aku memandanginya dengan rasa ingin tahu yang tak bisa kutahan. Ia duduk di depanku, menaruh cangkir kopi yang sepertinya sudah dingin.

“Bisa minta secangkir kopi lagi?” suaranya pelan, hampir seperti berbisik, seolah tak ingin ada yang mendengarnya.

Aku mengangguk, masih memandang kacamata merah jambu itu. “Kamu yakin itu nyaman?” tanyaku, mencoba membuka percakapan. Aku tahu, kami jarang berbicara, tapi hari itu entah kenapa aku merasa tertarik untuk sedikit lebih banyak tahu tentangnya.

Erwin menatap kacamata itu sebentar, lalu tersenyum canggung. “Kenapa enggak, kan bisa membuat semuanya terlihat lebih… indah.”

Aku terkejut. Tidak biasanya dia berbicara seperti itu. Biasanya, dia hanya duduk diam dengan wajah datar, tak pernah mengungkapkan perasaannya. “Lebih indah? Maksudnya?”

“Dengan kacamata ini, semua hal jadi terasa lebih cerah,” jawabnya sambil mengenakan kacamata itu lagi, lalu melihat sekeliling ruangan seakan sedang melihat dunia dalam spektrum yang berbeda. “Semua yang buruk, jadi terlihat tidak terlalu buruk.”

Aku mengerutkan kening. “Tapi… apakah itu tidak berarti kamu mengabaikan kenyataan?”

Erwin tersenyum, tapi kali ini ada sesuatu yang lebih dalam di balik senyumnya. “Mungkin kenyataan itu memang harus diabaikan. Terkadang, kita harus menemukan kebahagiaan dalam kebohongan kecil.”

Kata-katanya menggantung di udara, seolah-olah ada makna yang lebih besar yang ingin disampaikan, tapi tak bisa atau tak mau diungkapkan. Aku memutuskan untuk tidak bertanya lebih jauh dan justru tertarik untuk memahaminya lebih dalam.

Zora—teman sekantorku—masuk ke kedai saat itu, mengingatkan aku bahwa dunia luar terkadang bisa begitu menarik. Wajah Zora sedikit berbeda hari ini. Aku tahu, dia bukan tipe orang yang suka bergosip atau mencari perhatian, tapi hari itu terlihat seperti ada sesuatu yang sedang mengganjal di pikirannya.

Dia duduk di sebelahku, mengamati Erwin dengan saksama, lalu menatapku. “Ada yang aneh dengan dunia ini, kan? Terlalu cerah.”

Aku menoleh ke Zora, sedikit bingung. “Apa maksudmu?”

Zora menunjuk ke luar jendela. “Coba lihat, semua orang tampak melompat-lompat, seperti mereka sedang ikut parade tanpa alasan yang jelas.” Dia melirik ke arah Erwin. “Sama seperti dia. Kamu lihat kan? Kacamata merah jambu itu.”

Erwin mengangkat alis, sedikit tersenyum. “Kenapa, Zora? Apa ada yang salah dengan melihat dunia dalam warna yang lebih cerah?”

Zora memutar bola matanya, seakan tahu sesuatu yang tidak diketahui oleh kami. “Cobalah untuk tidak memakai kacamata itu terlalu lama, Erwin. Dunia ini, meskipun kadang kelam, masih punya banyak hal yang harus dilihat tanpa penutup mata. Kacamata itu bisa memberi ilusi yang lucu, tapi juga menyesatkan.”

Erwin hanya tertawa ringan. “Mungkin dunia ini memang perlu sedikit ilusi. Terlalu banyak yang membuat kita merasa hidup ini terlalu serius.”

Zora menatap Erwin dengan tatapan yang lebih tajam. “Dan kamu, Erwin, merasa dunia ini terlalu serius?”

Aku menahan tawa. Lihatlah mereka, dua orang yang begitu berbeda dalam cara mereka memandang dunia. Zora dengan kepraktisan dan pandangannya yang tajam, sementara Erwin dengan cara yang lebih santai, dengan sedikit sentuhan misterius. Aku mulai bertanya-tanya, apakah ada yang lebih dari kacamata merah jambu ini?

Zora menatap Erwin lagi, kali ini seolah mencari jawaban yang lebih dalam. “Kamu tahu, aku pernah dengar cerita tentang kacamata semacam itu. Katanya, siapa pun yang memakainya bisa melihat dunia dengan cara yang sangat berbeda. Tapi kamu… kamu bisa jadi terlalu terpikat oleh ilusi itu.”

Erwin mengangkat bahu. “Tidak apa-apa kalau kita terlena sesekali, kan?”

Aku hanya bisa mengangguk, merasa tertarik pada ide yang dibawanya. Mungkin memang benar. Terkadang, kita perlu melihat dunia dengan kacamata merah jambu, agar bisa sedikit melupakan kepenatan hidup yang kadang terlalu berat untuk dipahami.

Namun, ada satu hal yang terus mengganggu pikiranku. Seperti apa dunia ini sebenarnya? Apakah aku juga sedang terjebak dalam ilusi yang sama, seperti Erwin?

 

Ilusi dalam Setiap Tawa

Sejak percakapan itu, aku semakin terobsesi dengan kacamata merah jambu Erwin. Hari demi hari, kami mulai bertemu lebih sering, entah di kedai kopi atau di sudut-sudut jalanan yang sunyi. Setiap kali aku melihatnya, kacamata itu selalu ada, menjadi bagian dari dirinya seakan tak terpisahkan. Ada sesuatu yang aneh, tapi juga menarik tentang cara kacamata itu memberi warna pada segalanya.

Namun, ada satu hal yang mulai mengganggu pikiranku. Zora, dengan kecerdikannya, semakin sering mengingatkan aku tentang ilusi yang mungkin disajikan oleh kacamata itu. Aku tahu, Zora adalah tipe orang yang realistis—tidak suka dibawa terbawa suasana, apalagi tergoda oleh hal-hal yang tampaknya terlalu indah untuk menjadi kenyataan. Tetapi, entah kenapa, aku merasa ada sisi lain yang bisa didapatkan dari cara Erwin melihat dunia melalui lensa merah jambu itu.

Malam itu, kami bertiga—aku, Erwin, dan Zora—bertemu di sebuah kafe di pinggir kota. Tempat ini selalu terasa lebih intim dan sedikit gelap, seperti tempat yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang benar-benar menginginkan pelarian dari kehidupan biasa. Zora sudah tiba lebih dulu, duduk dengan gelas besar teh manis di tangannya, menatap layar ponselnya dengan serius, sementara Erwin baru saja masuk, memegang cangkir kopi hitam yang lebih besar dari wajahnya.

“Aku bawa teman,” kata Erwin dengan senyum lebar, tanpa menunggu reaksi kami. Ia menurunkan kacamata merah jambu itu dan menatap kami dengan tatapan aneh. “Penasaran?”

Aku menatap Erwin. “Teman? Sejak kapan kamu punya teman selain kami?” Tanyaku, mencoba menggoda.

Zora melirik dengan ekspresi yang sulit dibaca. “Erwin, apakah kamu sudah mulai mengajak orang asing untuk bergabung dalam misi misteriusmu ini?”

Erwin hanya tertawa. “Sama seperti kacamata merah jambu, dunia ini penuh dengan kejutan, Zora.”

Tanpa memperdulikan kami, Erwin kembali menatap pintu masuk dan mengangkat tangannya ke arah seorang perempuan yang baru saja masuk. Perempuan itu mengenakan pakaian hitam dengan aksen berwarna ungu, dengan rambut panjang tergerai, dan senyum misterius yang membuatnya tampak seperti dia sedang membawa seluruh dunia dalam genggamannya.

“Ini Dia,” kata Erwin, hampir berbisik.

Perempuan itu berjalan dengan langkah penuh percaya diri menuju meja kami, dan duduk dengan gaya yang sangat anggun. “Selamat malam,” sapanya, suaranya lembut, tetapi ada ketegasan dalam cara ia berbicara.

Zora menyipitkan mata, menilai, sedangkan aku hanya bisa menunggu penjelasan dari Erwin.

“Kenapa kami belum pernah mendengar tentang kamu sebelumnya?” tanya Zora, langsung pada intinya.

Perempuan itu hanya tersenyum tipis, lalu mengalihkan pandangannya pada Erwin. “Dia baru saja menemukan aku, Zora. Dunia ini lebih besar dari yang kamu bayangkan.”

Erwin hanya mengangguk, seakan semuanya sudah jelas. “Selamat datang di dunia yang lebih luas,” jawabnya, lalu menatapku, seolah memberi tahu aku bahwa aku perlu menerima semua ini.

Aku merasa seperti berada dalam teka-teki yang belum terpecahkan, dan itu membuatku sedikit terkesan. Aku menatap perempuan itu, dan ada satu hal yang langsung menarik perhatianku—dia tidak memakai kacamata merah jambu. Namun, dia juga tidak perlu, karena matanya memancarkan sesuatu yang lebih kuat, yang lebih mempesona.

“Kenapa kamu tidak memakai kacamata merah jambu?” tanyaku, tanpa berpikir panjang.

Perempuan itu hanya tertawa pelan, lalu menjawab dengan kalimat yang aku rasa lebih ditujukan untuk dirinya sendiri daripada untuk kami. “Kadang, kamu tidak perlu lensa apapun untuk melihat dunia seperti yang seharusnya.”

Erwin tertawa mendengar itu, dan ada sedikit kepuasan di wajahnya. “Itulah yang aku katakan.”

Zora menyandarkan punggungnya ke kursi, ekspresinya penuh tanda tanya. “Kamu berdua ini benar-benar aneh. Apa yang sebenarnya sedang kalian coba tunjukkan dengan semua ini?”

Perempuan itu hanya tersenyum, lalu mengambil secangkir kopi yang telah disiapkan Erwin untuknya. “Yang aneh justru adalah dunia yang kita tinggali, Zora. Kita cuma mencoba menemukan cara untuk membuatnya lebih menyenangkan.”

Aku merasa semakin terjebak dalam permainan mereka. Terkadang, aku merasa seperti melihat dunia yang berbeda setiap kali Erwin mengenakan kacamata merah jambu itu. Dan dengan kehadiran perempuan ini, yang jelas-jelas memiliki rahasia sendiri, aku semakin bingung. Apakah ini semua hanya ilusi, atau ada sesuatu yang lebih besar yang sedang mereka sembunyikan?

Zora, yang biasanya tidak terpengaruh oleh hal-hal seperti ini, mulai terlihat ragu. “Kalian yakin ini bukan hanya permainan?” tanyanya, suaranya sedikit mengendur.

“Semua orang memainkan perannya,” jawab perempuan itu dengan nada penuh makna. “Cuma ada yang sadar dan ada yang tidak.”

Erwin tersenyum, seakan menikmati kebingungannya. “Aku hanya ingin melihat dunia ini lebih ringan, lebih cerah.”

“Tanpa kacamata itu?” aku bertanya, mempertajam rasa ingin tahuku.

“Ya,” jawab Erwin, menatapku dalam-dalam. “Kamu tahu, dunia itu memang tidak sempurna. Tetapi terkadang, kita harus memilih untuk melihat sisi indahnya. Bahkan jika itu hanya dalam ilusi.”

Aku menatap kacamata merah jambu yang tergeletak di atas meja. Dunia melalui kacamata itu memang terlihat cerah, penuh warna, tetapi apakah itu benar-benar dunia yang ingin kita lihat?

“Dunia ini memang punya banyak rahasia,” kata Zora, seolah membacakan pikiranku. “Tapi kamu harus berhati-hati. Kadang, terlalu banyak ilusi justru membuat kita kehilangan diri kita sendiri.”

Erwin hanya tersenyum, lalu memandang dunia luar melalui jendela kafe. “Mungkin itu benar. Tapi, hidup tanpa sedikit keajaiban terasa membosankan, bukan?”

Malam itu, di tengah semua tawa dan kebingunganku, aku mulai merasa bahwa aku sedang berada di persimpangan jalan. Antara melihat dunia melalui kacamata merah jambu atau menerima kenyataan yang lebih suram dan realistis.

Dan entah kenapa, aku ingin memilih kacamata itu.

 

Dalam Bayang-Bayang Warna

Pagi keesokan harinya, aku duduk di kafe yang sama, menatap secangkir cappuccino yang setengah habis. Pikiranku masih berputar tentang percakapan semalam, tentang perempuan misterius itu dan tentang kata-kata yang terasa lebih dalam daripada yang semestinya. Zora sudah kembali ke rutinitasnya, menghilang ke dalam dunia kerjanya yang penuh tekanan, sementara Erwin, tentu saja, masih terhanyut dalam ilusi yang semakin aku rasakan—dan semakin aku nikmati.

Setiap kali aku mengenakan kacamata merah jambu itu, aku merasa seperti memasuki dunia baru. Dunia yang tidak sesuram kenyataan yang sering kali mengusik kepala. Dunia yang penuh warna. Dunia yang membuatku merasa nyaman, seolah semua hal buruk bisa dilupakan begitu saja. Aku bahkan mulai merasa bahwa dunia ini lebih baik jika dilihat melalui kaca itu. Tetapi, apakah itu benar-benar dunia yang nyata?

Aku duduk sendirian, meremas secarik kertas di tanganku. Beberapa catatan yang aku buat semalam masih tergeletak di meja. Kata-kata Zora terus terngiang di telingaku—”terlalu banyak ilusi justru membuat kita kehilangan diri kita sendiri.” Semakin aku memikirkannya, semakin aku merasa bingung. Apakah aku sedang kehilangan diriku sendiri? Atau justru aku sedang menemukan sesuatu yang lebih berarti dari yang selama ini aku lihat?

Tiba-tiba, pintu kafe terbuka, dan aku melihat Erwin memasuki ruangan dengan senyum yang sama, senyum yang selalu mengingatkanku pada kacamata merah jambu. Wajahnya cerah, seolah dia baru saja menemukan petualangan baru. Aku bisa merasakan aura kebebasan yang selalu mengelilinginya, dan meskipun kadang aku merasa terjebak, aku tidak bisa mengabaikan bagaimana dia memberi warna pada dunia ini.

“Selamat pagi, dunia!” katanya sambil duduk di hadapanku dengan semangat yang tak biasa.

Aku hanya tersenyum. “Pagi juga, Erwin. Apa yang baru kali ini?”

Erwin melirik ke arah kacamata merah jambu yang masih tergeletak di meja, lalu menatapku. “Aku rasa, dunia ini lebih menarik kalau kita bermain sedikit lebih berani, kan?”

Aku memandang kacamata itu sejenak. “Kau tahu, aku mulai merasakan bahwa dunia ini bukan seperti yang terlihat.”

“Benar,” jawab Erwin sambil tertawa kecil. “Tetapi bagaimana kalau dunia itu sudah terlalu membosankan? Bagaimana kalau, kadang, kita perlu sedikit ilusi untuk membuat segalanya lebih hidup?”

Aku terdiam. Tidak ada jawaban pasti untuk itu. Tetapi aku tahu satu hal—dengan kacamata merah jambu itu, aku merasa lebih hidup. Dan kadang, hidup memang butuh sedikit warna.

Namun, tiba-tiba, Zora muncul di pintu kafe, tampaknya lebih gelisah daripada biasa. “Kalian tidak akan percaya apa yang baru saja terjadi,” katanya, langsung menuju meja kami tanpa memberi kesempatan untuk menyapa lebih lama.

Aku menatap Zora, merasa sedikit khawatir. “Apa yang terjadi?”

Zora duduk dengan cepat, wajahnya cemas. “Kalian ingat tentang perempuan itu? Yang kemarin datang ke meja kita?” tanyanya, suaranya rendah.

Erwin mengangguk. “Tentu, kami tidak bisa melupakan dia.”

Zora menarik napas panjang. “Ada yang aneh. Aku melihat dia tadi pagi di jalan, dan dia… dia terlihat berbeda. Seolah-olah dia menghilang seketika begitu saja.”

“Apa maksudmu, Zora?” tanyaku, merasa sedikit terkejut.

Zora terlihat ragu sejenak, sebelum melanjutkan. “Dia berjalan melewati saya di jalan, tapi… saat saya berbalik untuk menatapnya, dia sudah tidak ada di sana. Seolah-olah dia lenyap begitu saja. Tidak ada jejak sama sekali.”

Aku merasa jantungku berdegup lebih cepat. “Tidak mungkin… Mungkin kamu cuma salah lihat.”

“Tidak,” kata Zora tegas. “Aku yakin dia ada di sana. Tetapi seketika itu, dia hilang begitu saja. Seperti bayangan yang dibawa angin.”

Erwin mengusap kacamata merah jampunya dengan perlahan, tatapannya kosong. “Kadang, dunia ini memang bisa begitu… aneh.”

Aku menatap mereka berdua, perasaan cemas mulai merayapi tubuhku. “Apakah kalian pikir… perempuan itu benar-benar nyata?”

Zora melirikku, kemudian menghela napas. “Aku tidak tahu. Tapi semakin banyak aku berpikir tentangnya, semakin aku merasa bahwa dia bukan hanya manusia biasa.”

Erwin tersenyum sinis. “Mungkin dia hanya bagian dari ilusi yang kita ciptakan. Bagaimana jika semua ini hanyalah bagian dari permainan yang lebih besar, yang tidak kita pahami?”

Aku terdiam. Ternyata, semakin aku mendalami dunia ini, semakin banyak pertanyaan yang muncul tanpa ada jawaban yang pasti. Apakah ini semua hanya kebetulan? Atau mungkin, ada sesuatu yang lebih gelap yang sedang bersembunyi di balik semua warna dan tawa ini?

Tiba-tiba, kacamata merah jambu di atas meja berkilau, seolah memberi tanda. Ada sesuatu yang aneh tentang benda itu. Setiap kali aku melihatnya, seolah ada sesuatu yang mencoba mengundangku ke dalam dunia yang berbeda. Dunia yang penuh misteri.

“Tunggu,” kataku dengan suara rendah, “apakah kalian pernah merasa seperti… kita sedang dipandu ke arah tertentu? Seperti ada kekuatan yang menarik kita?”

Zora mengangkat alis. “Jadi sekarang kamu merasa seperti kita sedang berada di dalam sebuah permainan?”

“Kurasa, kita semua sedang berada dalam permainan,” jawab Erwin, tatapannya menjadi lebih tajam, seperti dia tahu sesuatu yang lebih besar dari apa yang aku lihat. “Dan kita hanya perlu memilih untuk ikut bermain atau keluar.”

Aku menatap kacamata itu lagi, merasa bingung dan terjebak. Tetapi, entah kenapa, aku merasa bahwa aku tidak ingin keluar dari permainan ini. Aku ingin tahu lebih banyak. Aku ingin melihat lebih jauh.

Zora hanya menggelengkan kepala, seolah merasa tidak ada jalan keluar dari teka-teki ini. “Kalian berdua aneh. Aku harus pergi.”

Namun, sebelum Zora bisa bangkit, pintu kafe terbuka sekali lagi, dan kali ini, seorang pria dengan jas hitam masuk. Matanya berkilat seperti tahu sesuatu yang tak ingin dia ungkapkan. Dengan langkah tegap, dia langsung menuju meja kami, dan tersenyum.

“Apakah kalian siap untuk melihat dunia ini seperti seharusnya?” tanyanya, suaranya tegas dan penuh arti.

Aku menatap pria itu dengan bingung. Dunia yang seharusnya?

 

Semua Berakhir di Titik Terang

Pria itu berdiri di hadapan kami dengan ekspresi yang tidak bisa aku baca. Wajahnya datar, tetapi matanya memancarkan cahaya aneh yang membuatku merasa seolah-olah ada yang lebih besar dari sekadar percakapan biasa yang sedang terjadi di kafe ini. Aku menatapnya dengan hati yang berdegup cepat, berusaha untuk tetap tenang meski rasa penasaran sudah menggerogoti otakku. Erwin, di sebelahku, tampak tidak terlalu terkejut, seolah dia sudah menduga kedatangan pria ini.

“Siapa kamu?” tanyaku akhirnya, suaraku sedikit bergetar. Aku mencoba menjaga ketenanganku, meski jantungku berdebar lebih keras dari biasanya.

Pria itu tersenyum tipis, senyum yang lebih mengandung rahasia daripada kebaikan. “Aku seseorang yang tahu lebih banyak daripada yang kamu kira,” jawabnya singkat, tapi kata-katanya seperti sebuah teka-teki yang sulit dipecahkan. “Dan aku di sini untuk memastikan kamu bisa melihat dunia ini dengan cara yang berbeda.”

Aku melirik Zora dan Erwin, keduanya tampak bingung dan sedikit gelisah. Zora tampaknya lebih ingin pergi dari situ, tetapi ada semacam kekuatan tak terlihat yang membuatnya tetap duduk, seolah ada kekuatan yang menarik mereka ke dalam permainan ini lebih jauh lagi.

“Apa maksudmu?” Zora akhirnya bertanya, suaranya lebih tegas, meskipun ada ketegangan yang jelas.

Pria itu mengangkat tangan, memintanya untuk diam sejenak. “Aku tidak bisa menjelaskan semuanya dalam satu kalimat. Tapi apa yang kamu lihat di sini, dunia yang kamu kenal, itu semua hanyalah sebagian kecil dari kenyataan. Ada banyak lapisan yang tersembunyi, dan kamu sudah berada di ambang pintu untuk menemukannya.”

“Apa yang kamu maksud dengan lapisan tersembunyi?” Erwin bertanya, matanya tajam, seperti ingin menangkap setiap detail dalam percakapan ini. Erwin selalu tertarik pada hal-hal yang tidak biasa, dan pria ini jelas menawarkan sesuatu yang lebih dari sekadar permainan biasa.

Pria itu menarik napas dalam-dalam. “Kamu berdua sudah melihatnya, meskipun kamu tidak menyadarinya. Kacamata itu—kacamata merah jambu yang kamu pakai, itu bukan sekadar aksesori mode. Itu adalah kunci untuk melihat dunia seperti seharusnya. Seperti apa adanya.”

Aku terdiam. Jadi ini semua ada hubungannya dengan kacamata merah jambu itu? Aku memandang benda itu lagi, yang masih tergeletak di meja, seolah menunggu untuk digunakan lagi. Tapi kali ini, aku merasa ragu. Apa yang akan terjadi jika aku benar-benar memakainya lagi? Apakah dunia ini akan berubah? Atau justru… aku yang akan berubah?

“Kamu bilang dunia ini tidak nyata?” tanyaku, mencoba memahami apa yang sedang terjadi. “Apa artinya itu?”

Pria itu menatapku dengan tatapan yang cukup dalam, seolah sedang mengukur setiap kata yang keluar dari mulutku. “Dunia yang kamu lihat setiap hari, dengan semua warna, perasaan, dan kejadian di dalamnya, itu hanya sebagian dari kenyataan. Ada dunia lain di balik itu semua, dunia yang jauh lebih besar, lebih kompleks, dan lebih gelap.”

Zora menatap pria itu dengan mata penuh kebingungan. “Dan bagaimana kami bisa melihat dunia itu?”

“Mulailah dengan mempercayai bahwa dunia ini bukanlah yang kamu pikirkan,” pria itu menjawab, suaranya kini lebih serius. “Kamu tidak akan pernah bisa melihat kebenaran jika kamu terus memegang pada ilusi.”

Aku tidak tahu harus bagaimana. Semua yang dia katakan terasa seperti sebuah jawaban yang aku sudah lama cari, tetapi sulit untuk diterima. Apakah aku siap untuk melihat kenyataan yang lebih besar? Apakah aku benar-benar ingin tahu apa yang ada di balik semua ini?

“Apakah ini semua berarti kita harus mengambil langkah lebih jauh?” Erwin bertanya, seolah sudah tahu jawaban yang akan datang.

Pria itu mengangguk pelan. “Tepat sekali. Dunia ini memiliki lebih banyak misteri daripada yang bisa kalian bayangkan. Kacamata itu hanya permulaan. Jika kalian siap untuk melihat lebih jauh, aku bisa membantu.”

Aku merasa seperti ada sesuatu yang besar yang siap mengubah seluruh hidupku. Ada perasaan aneh di dadaku—rasa takut bercampur dengan rasa penasaran yang tak tertahankan. Mungkinkah aku siap untuk menghadapi kenyataan yang lebih besar ini? Atau apakah aku akan lebih memilih untuk tetap di dunia yang biasa aku kenal?

Erwin berdiri dan tersenyum, senyum yang tidak biasa. “Aku rasa, ini adalah langkah berikutnya dalam petualangan kita. Aku sudah siap.”

Aku menatapnya, merasa agak terkejut dengan keputusannya. Tapi ada sesuatu dalam dirinya yang mengingatkanku pada diriku sendiri. Kami berdua selalu tertarik pada yang tidak biasa, pada yang tidak terlihat oleh banyak orang. Dan mungkin, kali ini, kami benar-benar akan melihat dunia dengan cara yang belum pernah kami bayangkan sebelumnya.

Zora masih duduk, tetapi wajahnya menunjukkan keragu-raguan. “Aku… aku tidak tahu,” katanya pelan, suaranya hampir tidak terdengar. “Apa yang akan terjadi jika kita mengikuti dia?”

“Apa yang bisa terjadi?” aku menjawab, merasa seperti ada dorongan tak terlihat yang menarikku untuk melangkah lebih jauh. “Mungkin kita akan menemukan kebenaran yang selama ini kita cari.”

Dengan satu keputusan yang diambil, kami semua berdiri, siap untuk melangkah ke dunia yang baru, yang penuh dengan misteri, warna, dan ilusi. Dunia yang hanya bisa dilihat dengan kacamata merah jambu.

Pria itu tersenyum lagi, seolah puas dengan keputusan kami. “Selamat datang di dunia yang sebenarnya.”

Dengan itu, kami melangkah keluar dari kafe, meninggalkan dunia lama di belakang kami. Semua yang kami tahu, semua yang kami yakini, semua itu mulai berubah. Kini, kami benar-benar siap untuk melihat dunia dengan cara yang berbeda.

Dan dunia yang baru itu, aku tahu, akan lebih membingungkan, lebih menantang, dan lebih luar biasa daripada yang bisa kami bayangkan.

Kacamata merah jambu itu, di tangan kami, menjadi simbol awal dari segala sesuatu yang akan datang—sebuah perjalanan yang tak akan pernah kami lupakan.

 

Jadi, gimana menurutmu? Setelah kacamata merah jambu itu, apakah kamu siap melihat dunia dengan cara yang berbeda? Atau mungkin, kamu akan lebih memilih untuk tetap dalam kenyamanan ilusi yang selama ini kamu kenal?

Karena pada akhirnya, kadang yang terbaik bukanlah melihat dunia seperti orang lain, tapi melihatnya dengan cara yang benar-benar baru. Tapi ingat, kalau kamu berani mengambil langkah itu, kamu nggak bakal bisa balik lagi. Jadi, pilihlah dengan bijak.

Leave a Reply