Daftar Isi
“Kabut Asap Menyelimuti Jiwa” adalah sebuah cerpen yang menggugah hati, mengisahkan perjuangan seorang ibu tunggal dan anaknya menghadapi kabut asap yang mencekik desa mereka. Dengan narasi yang penuh emosi, cerita ini menggambarkan dampak bencana lingkungan terhadap kehidupan sehari-hari, ikatan keluarga, dan keputusan sulit untuk bertahan atau mengungsi. Mari jelajahi kisah menyentuh ini yang tak hanya menghibur, tetapi juga mengingatkan kita akan pentingnya menjaga lingkungan.
Kabut Asap Menyelimuti Jiwa
Abu di Udara
Langit di desa Sumber Rejo tidak lagi biru. Pagi itu, seperti pagi-pagi sebelumnya selama dua bulan terakhir, kabut asap menyelimuti segalanya seperti selimut kelabu yang berat. Udara terasa kering dan menyengat di tenggorokan, membawa aroma hangus yang seolah meresap ke dalam setiap pori-pori kulit. Dari jendela kayu rumahnya yang sudah tua, Maya menatap pekarangan kecil di depan rumah. Pohon mangga yang dulu rimbun kini tampak layu, daun-daunnya menguning, seolah menyerah pada asap yang tak kunjung pergi. Di kejauhan, bukit-bukit yang biasanya hijau kini tersamar dalam kabut kelabu, seperti lukisan yang dilupakkan oleh pelukisnya.
Maya, seorang ibu tunggal berusia 38 tahun, berdiri di ambang pintu, masker kain usang menutupi separuh wajahnya. Matanya yang lelah memandang ke arah jalan tanah yang membelah desa. Di sana, anaknya, Rian, berusia 12 tahun, sedang berjalan pulang dari sekolah dengan langkah gontai. Sekolah memang sudah ditutup sejak kabut asap memburuk, tapi Rian bersikeras pergi ke lapangan sekolah setiap hari untuk menemui teman-temannya. “Mereka bilang, kalau kita main di lapangan, asapnya nggak terlalu terasa,” ujar Rian kemarin dengan nada polos, meski Maya tahu itu hanya alasan anak-anak yang rindu kebebasan.
“Rian, cepat masuk! Jangan lama-lama di luar!” teriak Maya, suaranya teredam oleh masker dan udara yang tebal. Rian menoleh, mengangguk pelan, tapi langkahnya tetap lambat, seolah kakinya terpaku pada tanah yang kini dipenuhi debu abu. Maya menghela napas panjang. Dia tahu Rian merindukan hari-hari ketika mereka bisa duduk di beranda, menyantap pisang goreng buatannya sambil mendengar kicau burung. Kini, burung-burung itu entah ke mana, dan pisang goreng terasa hambar di tenggorokan yang selalu kering.
Di dalam rumah, suasana tak kalah pengap. Jendela-jendela ditutup rapat, tapi asap tetap menyelinap melalui celah-celah kayu yang rapuh. Maya menyalakan kipas angin tua di sudut ruangan, berharap hembusannya bisa mengusir bau asap yang menempel di dinding, di pakaian, di rambutnya. Di meja kecil di ruang tamu, sebuah foto keluarga terpajang dalam bingkai sederhana. Foto itu menunjukkan Maya, Rian, dan suaminya, Bima, yang tersenyum di bawah pohon mangga di pekarangan. Bima, dengan wajah penuh semangat dan mata yang berbinar, kini hanya tinggal kenangan. Tiga tahun lalu, dia pergi untuk bekerja di kota, menjanjikan kehidupan yang lebih baik. Namun, sebuah kecelakaan di proyek konstruksi merenggut nyawanya, meninggalkan Maya dan Rian dengan luka yang tak pernah sembuh sepenuhnya.
Maya mengusap foto itu dengan ujung jarinya, debu halus menempel di kulitnya. “Kalau kamu masih di sini, Bim, mungkin kita sudah pindah dari sini,” gumamnya pelan, suaranya nyaris tenggelam dalam deru kipas angin. Kabut asap ini bukan hanya menyiksa paru-paru, tapi juga jiwanya. Setiap hari, dia merasa semakin terperangkap, tidak hanya oleh asap, tapi juga oleh kenangan dan ketakutan akan masa depan. Bagaimana dia bisa membesarkan Rian di tempat seperti ini? Bagaimana dia bisa melindunginya dari udara yang seolah ingin mencuri napas mereka?
Pintu depan berderit terbuka, dan Rian masuk dengan wajah merah karena panas. Masker kainnya melorot ke dagu, memperlihatkan ekspresi lelah bercampur kecewa. “Lapangan kosong, Bu. Teman-teman nggak ada yang datang,” katanya sambil melempar tas punggungnya ke lantai. Maya ingin memarahinya karena melepas masker, tapi kata-kata itu terhenti di tenggorokan. Dia melihat mata Rian, yang dulu penuh keceriaan, kini redup seperti langit di luar.
“Duduk dulu, minum air,” ujar Maya lembut, berjalan ke dapur kecil di sudut rumah. Dia menuang air dari teko plastik ke gelas, tapi airnya terasa aneh, berbau logam samar. Sumur di belakang rumah mulai tercemar abu, dan air bersih semakin sulit didapat. Maya menyerahkan gelas itu pada Rian, berusaha tersenyum. “Besok jangan ke lapangan lagi, ya. Bahaya.”
Rian hanya mengangguk, tapi Maya tahu anak itu tidak benar-benar mendengar. Dia tahu Rian merindukan dunia di luar sana—dunia yang dulu penuh warna, dunia sebelum kabut asap datang dan mencuri segalanya. Maya duduk di sampingnya, memandang anak itu dengan hati yang terasa perih. Di luar, kabut semakin tebal, menyapu desa seperti hantu yang tak pernah puas. Dan di dalam hati Maya, kabut lain—yang terbuat dari kesedihan dan ketidakpastian—juga mulai menyelimuti.
Napas yang Tercekat
Pagi berikutnya, kabut asap terasa lebih berat, seolah udara sendiri telah menjadi musuh. Maya bangun dengan kepala yang pening dan tenggorokan yang terasa seperti dilapisi pasir. Cahaya matahari yang biasanya menyelinap melalui celah-celah jendela kini hanya samar, tertutup lapisan kelabu yang membuat ruangan terasa seperti gua. Dia melirik ke arah Rian, yang masih meringkuk di kasur tipis di sudut ruangan. Anak itu tidur dengan napas pendek dan cepat, masker kainnya terlepas dan tergeletak di samping bantal. Maya merasa jantungan. “Rian, pakai maskermu!” bisiknya pelan, tapi cukup keras untuk membangunkan anak itu.
Rian membuka mata perlahan, wajahnya kusut dan matanya merah. “Bu, panas… susah napas,” keluhnya, suaranya serak. Maya buru-buru mengambil masker dan memakaikannya kembali pada Rian, tangannya gemetar. Dia tahu asap itu berbahaya, tapi melihat efeknya pada anaknya membuat hatinya seperti diremas. “Jangan dilepas lagi, ya. Ibu cari air dulu.” Maya bergegas ke dapur, tapi teko plastik di meja sudah kosong. Dia menghela napas, menyadari bahwa dia harus pergi ke sumur desa, satu-satunya sumber air yang masih tersisa, meski airnya kini keruh dan berbau abu.
Di luar, desa Sumber Rejo tampak seperti kota hantu. Jalan tanah yang biasanya ramai dengan suara anak-anak bermain atau tetangga mengobrol kini sunyi. Rumah-rumah tetangga tertutup rapat, beberapa bahkan ditinggalkan penghuninya yang memilih mengungsi ke kota. Maya menarik syal tua menutupi hidung dan mulutnya, membawa dua ember plastik yang sudah retak di tangan. Langkahnya berat, bukan hanya karena ember, tapi juga karena beban di dadanya. Setiap tarikan napas terasa seperti menelan asap, dan setiap langkah terasa seperti melawan dinding tak terlihat.
Sampai di sumur desa, Maya melihat beberapa warga lain, wajah mereka sama lelah dan putus asa. Ada Bu Sari, tetangga yang dulu selalu ceria dengan candaannya, kini hanya mengangguk lemas sambil mengisi embernya. “Airnya makin buruk, Maya,” ujar Bu Sari, suaranya datar. “Kemarin anakku batuk sampai malam. Dokter di puskesmas bilang paru-parunya kena dampak asap.” Maya mengangguk, tak tahu harus menjawab apa. Dia sendiri merasakan batuk kering yang tak kunjung reda, dan setiap kali Rian mengeluh sesak, dia merasa dunia semakin menyempit.
Saat menimba air, Maya memandang ke arah hutan di kejauhan. Kabut asap membuatnya sulit melihat, tapi dia tahu di sana, di balik bukit, kebakaran hutan masih berlangsung. Berita di radio tua di rumahnya menyebutkan bahwa kebakaran itu disebabkan oleh pembukaan lahan yang tak terkendali, tapi tak ada yang benar-benar tahu kapan akan berakhir. Yang Maya tahu, desa mereka terjebak di antara asap dan keputusasaan. Air yang dia timba berwarna kecokelatan, penuh partikel abu yang mengambang. Dia menatap ember itu dengan hati yang semakin tenggelam. “Bagaimana Rian bisa minum ini?” gumamnya, hampir pada dirinya sendiri.
Kembali ke rumah, Maya mendapati Rian duduk di beranda, menatap pohon mangga yang kini hampir tak berdaun. “Rian, masuk! Sudah Ibu bilang, jangan di luar!” tegurnya, tapi nada suaranya lebih penuh kekhawatiran daripada kemarahan. Rian menoleh, matanya basah. “Bu, aku kangen Papa. Kalau Papa ada, pasti kita nggak di sini lagi.” Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk hati Maya. Dia ingin memeluk Rian, ingin mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja, tapi kata-kata itu terasa kosong. Dia hanya duduk di samping anaknya, membiarkan keheningan berbicara.
Sore itu, kabar buruk datang dari Bu Sari yang mampir dengan wajah pucat. “Maya, puskesmas kehabisan oksigen. Anakku harus ke kota, tapi jalan ke sana macet, dan bensin susah didapat.” Maya memandang Bu Sari, merasakan ketakutan yang sama merayap di nadinya. “Rian juga batuk, Bu. Aku takut…” suaranya tercekat. Bu Sari menggenggam tangan Maya, tapi tidak ada kata-kata penghibur yang keluar. Mereka sama-sama tahu, kabut asap ini bukan hanya bencana alam—ini adalah monster yang perlahan mencuri kehidupan mereka.
Malam tiba, dan Maya duduk di samping Rian yang kini tidur dengan napas tersengal. Dia memandang foto keluarga di meja, wajah Bima yang tersenyum seolah menatapnya dengan penuh harap. “Bim, apa yang harus aku lakukan?” bisiknya, air mata akhirnya jatuh setelah sekian lama dia tahan. Di luar, kabut asap semakin pekat, menyelinap melalui celah-celah rumah, seolah ingin menelan mereka berdua. Maya tahu, dia tidak bisa tinggal diam. Dia harus membuat keputusan, meski itu berarti meninggalkan rumah yang penuh kenangan ini. Tapi ke mana mereka bisa pergi, ketika dunia di luar sana sama kelabunya dengan hati mereka?
Bayang-Bayang Pilihan
Hari itu, kabut asap terasa seperti dinding yang tak bisa ditembus. Cahaya matahari yang sudah lemah kini nyaris lenyap, meninggalkan desa Sumber Rejo dalam suasana kelabu yang menyerupai senja abadi. Maya duduk di kursi kayu tua di ruang tamu, tangannya memegang secarik kertas yang sudah lusuh—surat dari pemerintah desa. Surat itu berisi pengumuman singkat: warga dihimbau untuk mengungsi ke kota terdekat jika kondisi kesehatan memburuk, karena puskesmas setempat tak lagi mampu menangani pasien akibat kabut asap. Di sampingnya, radio tua berdengung pelan, menyampaikan berita tentang kebakaran hutan yang masih tak terkendali, dengan janji bantuan yang terdengar semakin hampa setiap hari.
Maya melirik Rian, yang duduk di lantai dengan buku pelajaran yang sudah tak dibukanya sejak sekolah ditutup. Anak itu menggambar lingkaran-lingkaran kecil di kertas kosong, wajahnya pucat dan matanya masih merah. Batuknya semakin sering, pendek tapi mengkhawatirkan, seperti derit pintu yang terus berulang. Maya ingin mengatakan sesuatu untuk menghiburnya, tapi tenggorokannya sendiri terasa tersumbat, bukan hanya oleh asap, tetapi juga oleh ketakutan yang semakin menggerogoti. “Rian, minum air lagi, ya,” ujarnya pelan, mendorong gelas berisi air keruh ke arah anak itu. Rian hanya mengangguk, tapi tangannya tak bergerak untuk mengambil gelas.
Di luar, angin membawa aroma hangus yang lebih tajam, disertai suara batuk-batuk tetangga yang samar-samar terdengar. Maya bangkit, berjalan ke jendela, dan mengintip melalui celah kecil. Pekarangan rumahnya kini dipenuhi abu halus, seperti salju kelabu yang tak pernah mencair. Pohon mangga, yang dulu menjadi tempat Bima mengajari Rian memanjat, kini berdiri seperti kerangka tua, cabang-cabangnya gundul dan rapuh. Maya teringat malam-malam ketika mereka bertiga duduk di bawah pohon itu, Bima bercerita tentang mimpinya membawa keluarga ke kota, ke tempat di mana udara bersih dan Rian bisa sekolah tanpa khawatir. “Kita akan punya rumah kecil dengan taman, Maya,” katanya dulu, suaranya penuh keyakinan. Kini, mimpi itu terasa seperti lelucon kejam yang ditertawakan oleh kabut asap.
Tiba-tiba, ketukan keras di pintu depan mengagetkan Maya. Dia buru-buru membuka pintu, menemukan Pak Darto, kepala desa, berdiri di ambang dengan masker menutupi wajahnya. Matanya yang terlihat di balik masker penuh kekhawatiran. “Maya, aku dengar Rian batuk-batuk. Kalian harus ke kota. Puskesmas sudah penuh, dan truk evakuasi terakhir berangkat besok pagi,” ujarnya tanpa basa-basi. Maya merasa dadanya sesak. “Ke kota? Pak, aku nggak punya apa-apa di sana. Rumah ini… ini satu-satunya yang kami punya,” balasnya, suaranya gemetar. Pak Darto menghela napas. “Aku tahu, Maya. Tapi anakmu nggak akan tahan kalau kalian tetap di sini. Asap ini… ini sudah merenggut nyawa di desa sebelah.”
Kata-kata itu menghantam Maya seperti batu. Dia menoleh ke arah Rian, yang kini memandang mereka dengan ekspresi bingung. “Bu, kita mau ke mana?” tanya Rian, suaranya kecil tapi penuh ketakutan. Maya tak bisa menjawab. Dia hanya menggenggam tangan Rian, merasakan jari-jari kecil itu dingin di telapak tangannya. “Nanti Ibu jelasin, Nak,” bisiknya, meski dia sendiri tak tahu apa yang harus dijelaskan.
Malam itu, Maya tak bisa tidur. Dia duduk di samping Rian, yang akhirnya tertidur dengan napas tersengal. Setiap batuk kecil dari anak itu membuat jantungan Maya berdetak lebih kencang. Di meja, surat dari pemerintah desa masih tergeletak, berdampingan dengan foto keluarga. Maya mengambil foto itu, menelusuri wajah Bima dengan ujung jarinya. “Kamu pasti tahu apa yang harus kulakukan, Bim,” gumamnya, air mata menggenang di matanya. Tapi Bima hanya tersenyum dari dalam bingkai, tak memberi jawaban.
Di luar, kabut asap semakin pekat, menyusup melalui celah-celah dinding kayu. Maya merasa seperti sedang bertarung dengan musuh yang tak terlihat, yang tak hanya mencuri udara, tapi juga harapan. Dia tahu mengungsi ke kota adalah pilihan logis, tapi meninggalkan rumah ini berarti meninggalkan kenangan Bima, pohon mangga, dan semua yang pernah mereka bangun bersama. Di sisi lain, setiap batuk Rian adalah pengingat bahwa waktu mereka semakin menipis. Maya menutup mata, berusaha mencari keberanian di tengah kabut yang tak hanya menyelimuti desa, tapi juga hatinya. Besok pagi, dia harus memilih—antara rumah yang penuh kenangan atau nyawa anak yang menjadi satu-satunya alasan dia bertahan.
Langkah di Tengah Kabut
Fajar menyingsing di Sumber Rejo, tapi langit tetap kelabu, seolah matahari telah menyerah pada kabut asap yang kini terasa seperti bagian dari kehidupan. Maya terjaga sepanjang malam, duduk di samping Rian yang tidur dengan napas tersengal-sengal. Setiap batuk kecil dari anak itu seperti palu yang menghantam hatinya, mengingatkannya bahwa waktu mereka di desa ini sudah habis. Di meja kecil, surat evakuasi dari pemerintah desa terlipat rapi di samping foto keluarga. Maya menatap wajah Bima dalam bingkai itu, mencari jawaban yang tak kunjung datang. “Bim, aku harus kuat untuk Rian, tapi kenapa ini terasa seperti pengkhianatan?” bisiknya, suaranya nyaris tenggelam dalam deru kipas angin yang berputar lemah.
Pagi itu, desa terasa lebih sunyi dari biasanya. Suara mesin truk evakuasi terdengar samar dari kejauhan, menggema di antara rumah-rumah yang sebagian besar sudah kosong. Maya berdiri di depan pintu, memandang pekarangan yang kini tertutup lapisan abu tebal. Pohon mangga, yang dulu menjadi saksi tawa keluarga mereka, kini berdiri seperti monumen kesedihan, cabang-cabangnya patah dan daunnya hilang. Maya merasa hatinya terkoyak—meninggalkan rumah ini berarti meninggalkan Bima, kenangan malam-malam penuh cerita, dan mimpi-mimpi yang pernah mereka rajut bersama. Tapi setiap kali Rian batuk, dia tahu bahwa bertahan di sini bukan lagi pilihan.
“Rian, bangun, Nak. Kita harus bersiap,” ujar Maya lembut, membelai rambut anak itu. Rian membuka mata, wajahnya pucat dan matanya berkaca-kaca. “Bu, kita beneran mau pergi? Rumah ini… rumah Papa…” suaranya terputus oleh batuk kering yang membuat Maya buru-buru menyerahkan masker kain. “Ibu tahu, Nak. Tapi Papa pasti ingin kamu sehat. Kita cuma pergi sementara, ya?” Maya berbohong, meski dia sendiri tak yakin apakah mereka akan kembali. Rian mengangguk pelan, tapi matanya menunjukkan keraguan yang sama yang menghantui hati Maya.
Maya mulai mengemasi barang-barang penting ke dalam tas kain tua. Beberapa pakaian, buku-buku Rian, dan foto keluarga itu dimasukkan dengan hati-hati. Saat mengambil foto, jari-jarinya berhenti di bingkai kayu yang sudah sedikit retak. Dia teringat hari ketika Bima membawa pulang bingkai itu dari pasar, tersenyum lebar sambil berkata, “Ini buat kita, Maya. Biar kenangan kita selalu ada.” Air mata menetes di pipinya, tapi dia buru-buru mengusapnya sebelum Rian melihat. Dia tak ingin anak itu melihatnya lemah, bukan saat mereka harus menghadapi ketidakpastian.
Di luar, truk evakuasi sudah parkir di ujung jalan desa. Beberapa tetangga, termasuk Bu Sari dan anaknya, terlihat membawa tas-tas kecil, wajah mereka penuh kelelahan dan keputusasaan. Maya menggenggam tangan Rian, merasakan jari-jari kecil itu gemetar. “Bu, aku takut,” bisik Rian, suaranya hampir tak terdengar di tengah suara mesin truk. Maya berjongkok, menatap mata anak itu. “Ibu juga takut, Nak. Tapi kita akan baik-baik saja, asal kita bersama.” Dia memeluk Rian erat, mencium keningnya yang dingin, berharap pelukan itu bisa menenangkan mereka berdua.
Saat mereka melangkah menuju truk, Maya menoleh sekali lagi ke arah rumah. Pintu kayu yang sudah lapuk, jendela-jendela yang ditutup rapat, dan pohon mangga yang sekarat—semuanya terasa seperti lukisan yang memudar. Kabut asap masih menyelimuti desa, menyapu jalanan seperti hantu yang enggan pergi. Maya merasa dadanya sesak, bukan hanya karena udara yang beracun, tapi juga karena beban meninggalkan tempat yang telah menjadi bagian dari dirinya. Tapi saat Rian memegang tangannya lebih erat, dia tahu dia membuat pilihan yang benar.
Di dalam truk, mereka duduk berdempetan dengan warga lain. Bau asap masih menyengat, meski jendela truk ditutup rapat. Rian bersandar di bahu Maya, matanya menatap kosong ke arah lantai. “Bu, nanti di kota, apa kita bisa lihat langit biru lagi?” tanyanya tiba-tiba, suaranya penuh harap yang polos. Maya tersenyum tipis, meski hatinya perih. “Pasti, Nak. Kita akan cari langit biru, dan Ibu janji, kita akan buat kenangan baru di sana.” Dia tak tahu apakah janji itu bisa ditepati, tapi untuk pertama kalinya dalam berminggu-minggu, dia melihat sedikit cahaya di mata Rian.
Truk mulai bergerak, meninggalkan desa Sumber Rejo yang kini hanya bayangan kelabu di kejauhan. Kabut asap masih menggantung berat di udara, tapi di dalam hati Maya, ada secercah harapan kecil yang mulai menyala. Dia memeluk Rian lebih erat, foto keluarga terselip di dalam tas di sampingnya. Bima mungkin tak lagi ada, tapi semangatnya hidup dalam Rian, dalam setiap langkah mereka menuju masa depan yang tak pasti. Di tengah kabut yang menyelimuti jiwa, Maya menemukan kekuatan untuk melangkah—bukan untuk melupakan, tapi untuk membawa kenangan mereka ke tempat yang baru, di mana napas bisa kembali lega, dan langit, mungkin, akan kembali biru.
Melalui “Kabut Asap Menyelimuti Jiwa”, kita diajak merenungi betapa rapuhnya kehidupan ketika bencana lingkungan seperti kabut asap menghantam, namun juga bagaimana cinta dan harapan bisa menjadi pendorong untuk melangkah maju. Cerpen ini bukan hanya sebuah kisah, tetapi juga cerminan realitas yang mengajak kita untuk lebih peduli terhadap bumi dan masa depan generasi mendatang.