Daftar Isi
Jodoh itu memang misteri, ya. Kadang datang dengan cara yang kita nggak pernah duga, bahkan setelah berusaha sekeras apapun. Tapi siapa sangka, kadang cinta itu udah ada di depan mata, cuma kita aja yang nggak sadar?
Cerita ini tentang perjalanan seorang pria yang selalu ragu, hingga akhirnya menemukan jodohnya di tempat yang paling nggak disangka. Siapa bilang jodoh nggak bisa datang di waktu yang tepat, dengan cara yang nggak biasa?
Jodoh Pasti Bertemu
Tertawa di Balik Cangkir Kopi
Kafe itu selalu ramai, terutama di sore hari. Ada aroma kopi yang selalu menyambutku begitu aku membuka pintu. Meja-meja kecil yang penuh dengan orang-orang sibuk berbicara atau sekadar mengecek ponsel mereka. Aku memilih duduk di pojokan, tempat yang biasanya kosong, dengan pemandangan langsung ke jendela besar yang menghadap ke jalan.
Aku suka tempat ini. Tertutup dari hiruk-pikuk kota, namun tetap terasa hangat dan hidup. Tempat yang cocok untuk melupakan semua hal sejenak dan hanya menikmati secangkir kopi, meskipun aku tidak benar-benar datang hanya untuk itu. Ada alasan lebih dalam. Ada alasan yang tidak banyak orang tahu, dan itu adalah Asha.
Asha, barista yang selalu punya senyum cerah. Kalau kamu bertanya tentang kepribadiannya, dia akan bilang dia orang yang ceria dan selalu bisa membuat orang tertawa. Padahal, kalau diperhatikan lebih seksama, ada sesuatu yang selalu tampak samar di matanya. Seolah dia punya cerita yang tak pernah terungkap.
Aku sudah cukup lama mengenalnya, meskipun aku selalu merasa seperti melihatnya hanya dari kejauhan. Selalu ada jarak, bahkan saat kami saling berbicara. Dia seperti tertawa untuk menutupi sesuatu, dan aku? Aku selalu menjadi pendengar yang baik, tapi tak pernah benar-benar ada di sisinya seperti yang dia harapkan.
Tapi hari ini berbeda. Aku baru saja melangkah ke kafe ini, dengan tujuan yang tak terlalu jelas. Hanya ingin duduk sejenak, melihat sekeliling, mungkin sedikit melupakan rutinitas harian yang semakin membosankan.
Ketika pintu kafe itu terbuka, aku tidak menyangka akan melihat dia di sana. Asha, dengan apron biru yang selalu melekat di tubuhnya, sedang sibuk menyusun cangkir di meja bar. Rambutnya yang selalu diikat kuncir kuda itu tampak sedikit berantakan, seolah-olah dia baru saja selesai berlari mengejar waktu.
Aku melangkah pelan menuju meja kasir, mencoba untuk tidak terlalu mengganggu. Tapi, seperti magnet, mataku tak bisa lepas dari Asha. Dia sedang tersenyum pada pelanggan lain, namun matanya tetap melirik ke arahku sesekali. Ada sesuatu yang membuatku merasa aneh, seperti ada getaran yang tak bisa dijelaskan.
Setelah aku memesan secangkir latte, aku duduk di meja pojok yang biasanya selalu aku pilih. Tak lama, Asha datang menghampiriku dengan senyum cerah di wajahnya.
“Latte, ya?” Asha menyodorkan gelas itu dengan gerakan yang sudah sangat terlatih. “Tadi kamu pesan yang manis atau biasa?”
Aku tersenyum kecut. “Biasa saja, Asha. Selalu biasa. Biar nggak terlalu manis, kayak hidup kita.”
Asha terkekeh mendengar itu, lalu duduk di kursi sebelah meja. “Hidupmu masih saja seperti itu, ya? Selalu terlihat penuh tawa, tapi aku tahu ada sesuatu yang kamu sembunyikan.”
Aku mengangkat bahu, menghindar dari tatapannya. “Siapa bilang aku sembunyikan sesuatu? Aku cuma… nggak suka drama, itu saja.”
Asha menyandarkan tubuhnya pada kursi, masih menatapku dengan tatapan yang lebih dalam. “Kamu tahu, Damar, kamu itu aneh. Bisa tertawa dengan mudah, tapi nggak pernah bener-bener terlihat bahagia.”
“Aku bahagia kok,” jawabku cepat, meskipun aku tahu dia bisa melihat kebohonganku. “Aku kan bisa menghibur orang lain. Itu yang paling penting, kan?”
Asha melirikku sekilas, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Tapi kamu juga butuh sesuatu, kan? Kalau nggak, nggak mungkin kamu selalu datang ke sini.”
Aku terdiam. Rasanya seperti ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokan. “Ya, aku datang ke sini karena kamu,” kataku, akhirnya mengaku. “Tapi lebih dari itu… kadang aku datang ke sini cuma buat ngilangin sepi.”
Asha terdiam. Sekejap itu, ruang kafe yang biasanya penuh dengan suara tawa dan musik latar, terasa sunyi. Asha memandangku, seolah berusaha membaca pikiranku. “Kamu tahu nggak, kadang aku mikir… kamu itu kayak orang yang nggak pernah merasa cukup bahagia.”
Aku tersenyum, meski rasanya sedikit pahit. “Mungkin aku memang nggak pernah cukup bahagia, Asha. Tapi aku tahu satu hal—cinta itu kadang datang terlambat. Kita nggak bisa nunggu cinta datang pas kita udah siap. Kita harus nerima kalau jodoh itu nggak selalu sesuai rencana.”
Asha mengangguk perlahan, matanya tak lepas dari wajahku. “Jodoh ya? Kamu yakin nggak lagi ngomongin hal-hal yang terlalu rumit, Damar?”
Aku tertawa kecil. “Paling nggak, aku berharap jodoh itu nggak datang dengan cara yang aneh, kayak drama Korea gitu.”
Asha ikut tertawa. “Kita berdua pasti berakhir jadi komedian, Damar. Tapi, ya, siapa tahu? Mungkin kita cuma belum siap ketemu dengan jodoh kita.”
Aku menatap Asha, merasa ada kehangatan yang perlahan tumbuh di dalam hatiku. Meski aku sudah bertahun-tahun mencintainya tanpa pernah berani mengatakannya, rasanya kali ini ada sesuatu yang berbeda. Aku nggak tahu apakah itu jodoh yang benar-benar aku cari, atau hanya sebuah kebetulan yang terasa manis.
Tapi yang aku tahu, kadang jodoh itu memang datang dengan cara yang tak pernah kita bayangkan. Seperti secangkir kopi yang baru saja aku teguk—manis dan penuh kejutan.
“Kalau jodoh itu pasti bertemu,” kataku, menatap Asha yang sedang tersenyum lebar, “mungkin kita cuma harus sabar menunggu.”
Asha tidak menjawab, hanya tersenyum. Tapi senyum itu, entah kenapa, terasa berbeda. Ada sesuatu yang aku rasakan dalam diamnya. Seperti ada benang merah yang menghubungkan kami berdua, meskipun kami tidak pernah menyadarinya sebelumnya.
Dan mungkin, hanya mungkin, inilah awal dari kisah yang selama ini kami coba pahami, meskipun baru pertama kali kami mulai menyadari kehadirannya.
Jodoh yang Tertunda, Tak Pernah Terlupakan
Hari-hari berlalu dengan cara yang sama, dan Asha tetap ada di sana—di kafe itu, dengan senyum cerahnya yang tak pernah luntur. Setiap kali aku datang, aku merasa seolah dunia berhenti sejenak. Namun, aku mulai merasa ada jarak di antara kami. Sesuatu yang entah bagaimana selalu membuatku terjebak dalam keragu-raguan. Asha tidak pernah mengatakan apa-apa yang lebih dari sekadar kata-kata manis. Dan aku? Aku terus berusaha bersikap seolah-olah semuanya baik-baik saja.
Hari itu, aku kembali ke kafe seperti biasa. Sepanjang perjalanan menuju tempat itu, aku terus berpikir, apakah aku akan terus begini? Bertahun-tahun terjebak dalam perasaan yang tak pernah terucapkan? Aku tak tahu jawabannya. Yang aku tahu, Asha selalu ada di sana, tersenyum, membuat kopi, dan tetap terlihat bahagia. Dia tampak seperti seseorang yang tidak membutuhkan apa pun lebih dari sekadar rutinitasnya.
Begitu aku melangkah masuk ke kafe, aku segera merasakan kehangatannya. Suara mesin kopi yang berdengung, pelanggan yang saling bercakap, dan tentu saja, aroma kopi yang selalu menggoda. Asha, dengan apron birunya, sedang sibuk melayani pelanggan di meja bar. Dia tidak melihatku, dan aku tidak berniat mengganggunya. Aku hanya memilih meja yang sama, di pojokan, sambil menatap keluar jendela. Seperti biasa.
Sekitar sepuluh menit berlalu sebelum Asha datang menghampiriku. Kali ini, dia tidak langsung membawa pesanan. Sebaliknya, dia duduk di depanku dengan tatapan yang serius, lebih dalam dari sebelumnya. Aku langsung merasa gugup, bahkan sebelum dia mengatakan sepatah kata pun.
“Kenapa kamu selalu datang ke sini, Damar?” Asha akhirnya membuka suara, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya.
Aku terkejut dengan pertanyaannya, dan jujur saja, aku tidak tahu bagaimana harus menjawabnya. “Karena… ya, karena aku suka kopinya. Dan kamu, tentunya.”
Asha mengangguk pelan, seolah tidak terlalu puas dengan jawabanku. “Kamu tahu, Damar… aku selalu merasa ada yang nggak beres. Ada sesuatu yang kamu sembunyikan. Kenapa nggak pernah jujur sama aku?”
Aku menatap matanya. Ada kedalaman yang sulit dijelaskan. Aku merasakan kekhawatiran yang tidak biasa datang dari Asha, dan itu membuatku bingung. “Aku nggak tahu apa yang harus kukatakan, Asha. Hidup itu kadang… ya, kamu tahu kan? Kadang kita nggak siap untuk hal-hal yang datang, dan kita cuma bisa berusaha terus bertahan.”
Asha terdiam sejenak, matanya seolah mencari sesuatu di wajahku. “Kadang kita memang nggak siap, tapi itu bukan alasan untuk terus menyembunyikan perasaan. Kalau jodoh itu pasti datang, kenapa kita nggak bisa melihatnya sekarang?”
Aku menggelengkan kepala, merasa semakin tersudut. “Jodoh itu, Asha, bukan hal yang bisa kita tebak begitu saja. Cinta itu datang dengan cara yang aneh, dan kadang kita cuma bisa berharap. Tapi kalau jodoh benar-benar ada, kenapa rasanya aku selalu terjebak di sini, di tempat ini, dengan perasaan yang nggak pernah terbalas?”
Asha mendekatkan wajahnya, matanya menatapku dalam-dalam. “Jodoh itu nggak selalu datang dengan cara yang kita inginkan. Kadang, dia datang dengan cara yang sederhana—hanya dengan memberi kesempatan pada diri kita untuk menerima kenyataan.”
Aku terdiam. Perasaan itu… itu sesuatu yang sudah lama aku rasakan. Aku tahu aku tak bisa terus menerus bersembunyi dalam kebohongan, dalam senyum yang kupaksakan. Asha tidak pernah bilang apa-apa tentang perasaannya, tetapi ada sesuatu di matanya yang selalu menarikku, membuatku ingin tahu lebih banyak.
“Jadi, apa yang kamu maksud?” tanyaku, sedikit ragu, meskipun aku bisa merasakan bahwa Asha ingin mengatakan sesuatu yang lebih besar dari sekadar percakapan biasa.
Asha tersenyum, namun kali ini senyumnya berbeda. Ada kehangatan yang lebih dalam. “Aku… aku nggak pernah bilang langsung, tapi aku sudah lama tahu kalau ada sesuatu di antara kita. Kita selalu berputar-putar di tempat yang sama, Damar. Tapi mungkin kita cuma belum siap untuk menerima kenyataan. Kita berdua terlalu takut, kan?”
Aku menggigit bibir, merasa jantungku berdetak lebih cepat. “Asha, aku nggak tahu… Aku selalu takut kalau aku salah paham, kalau aku terlalu berharap lebih. Aku nggak ingin membuat segalanya lebih rumit dari yang sudah rumit.”
Asha menghela napas, lalu menggenggam tanganku di atas meja. “Kadang, kita nggak perlu terlalu banyak berpikir. Cinta itu, jodoh itu, bukan soal siapa yang lebih berani. Itu soal siapa yang mau mencoba, siapa yang mau membuka hati.”
Dan dengan kata-kata itu, aku merasa seperti dunia berhenti sejenak. Seperti ada pintu yang terbuka, yang selama ini aku kunci rapat-rapat dengan keraguan dan ketakutan. Asha benar, mungkin aku terlalu takut untuk mencoba, terlalu banyak berpikir tentang apa yang bisa salah, daripada melihat apa yang benar-benar ada di depanku.
“Jadi, apa yang kita lakukan sekarang?” tanyaku, merasa sedikit terkejut dengan diriku sendiri. Kenapa aku merasa seperti ini? Seperti ada beban yang hilang begitu saja.
Asha tersenyum lebih lebar, lalu perlahan berdiri. “Kita tidak perlu melakukan apa-apa, Damar. Cukup biarkan semuanya berjalan dengan sendirinya. Kalau jodoh itu benar-benar ada, dia pasti datang dengan cara yang tak pernah kita duga. Dan kalau itu kamu, aku siap.”
Aku terdiam. Sesuatu dalam diriku merasa sangat tenang, meskipun aku tahu ini baru permulaan dari perjalanan yang panjang. Asha, dengan caranya yang sederhana, mengajarkan aku untuk percaya pada takdir—dan mungkin, ini saatnya aku berhenti berlari dari kenyataan.
Jodoh yang Bersembunyi di Balik Waktu
Hari itu terasa berbeda. Seakan-akan dunia memberi tahu aku bahwa aku tidak bisa terus bersembunyi di balik kebingunganku. Sesuatu yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya—keinginan untuk lebih dekat, lebih memahami—terasa semakin kuat setelah percakapan itu. Asha, dengan segala kebaikan dan keberanian untuk berbicara tentang hal yang selama ini aku takutkan, telah membuatku melihat segala sesuatu dengan cara yang berbeda.
Aku memutuskan untuk tidak terlalu banyak berpikir. Malam itu, setelah kafe tutup dan Asha pulang, aku hanya duduk di sana, menatap kursi kosong di seberangku, tempat Asha biasanya duduk. Ada rasa kosong yang menyelinap, tapi juga ada ketenangan yang aneh. Mungkin, aku sudah siap untuk menerima kenyataan—bahwa jodoh itu tidak selalu datang dalam bentuk yang kita inginkan, tetapi datang ketika kita paling tidak menduganya.
Beberapa hari kemudian, aku kembali ke kafe itu. Kali ini, Asha tidak ada di belakang bar, dan kafe terasa sedikit sepi. Hanya ada beberapa pelanggan yang duduk di meja-meja yang sudah familiar. Aku mencari-cari keberadaan Asha, berharap dia akan datang dan memberi senyum cerahnya. Tapi hari ini tidak seperti hari-hari sebelumnya. Tidak ada Asha. Hanya ada rasa cemas yang menggerogoti dadaku.
“Asha nggak masuk hari ini, Damar,” ujar Tania, teman kerja Asha, yang datang mendekat dengan secangkir kopi. “Ada urusan keluarga, katanya.”
Aku mengangguk, meski sedikit kecewa. Rasanya seperti ada sesuatu yang hilang tanpa kehadirannya di kafe itu. Tania duduk di meja seberangku, menatapku dengan senyum lebar. “Kamu lagi nyari Asha, ya?”
“Kenapa?” Aku mencoba menghindar, takut Tania tahu lebih banyak dari yang aku ingin katakan.
“Udah tahu kan kalau Asha itu orangnya nggak bisa diam. Kalau dia bilang ‘urusan keluarga’, berarti urusannya pasti serius. Kamu nggak perlu khawatir. Tapi… aku rasa, kamu punya alasan sendiri untuk khawatir, kan?” Tania menyeringai, seolah-olah dia tahu semuanya.
Aku terdiam, tak tahu harus bagaimana. Tania memang tahu lebih banyak daripada yang aku duga. Dia selalu bisa membaca suasana hati orang lain, dan kali ini, aku tahu dia menatapku dengan penuh perhatian.
“Jadi, gimana hubungan kalian sebenarnya?” Tania bertanya lagi, lebih serius sekarang.
Aku menarik napas panjang. “Aku nggak tahu, Tania. Aku pikir, Asha hanya teman biasa. Tapi kadang, perasaan ini… nggak bisa aku jelaskan. Aku cuma takut kalau aku salah paham.”
Tania menatapku sejenak, lalu tersenyum lebar. “Kadang, kita emang harus berani untuk bilang apa yang kita rasakan. Jangan cuma diam aja, Damar. Kalau kamu nggak bilang, kamu nggak akan tahu jawabannya.”
“Dan kalau ternyata jawabannya… aku nggak bisa menerima?” Aku berusaha mencari jawaban dari dalam diri.
Tania terkekeh. “Kalau nggak bisa menerima, ya jangan berharap. Tapi kalau kamu nggak coba, kamu bakal menyesal, loh. Jodoh itu memang nggak selalu datang seperti yang kita mau, tapi kalau kamu nggak berusaha, kamu nggak akan pernah tahu.”
Aku merenung, merasa kata-kata Tania cukup menamparku. “Kamu benar. Aku harus berani mencoba.”
Hari-hari berlalu, dan Asha tidak muncul di kafe selama beberapa hari. Aku semakin merasa cemas, semakin merasa ada yang kurang. Pikiranku penuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab. Aku ingin berbicara dengan Asha, tapi aku tahu ini bukan saat yang tepat. Aku ingin menunggu, tapi aku juga sadar, waktu tidak akan menunggu siapa pun.
Hingga suatu sore, Asha kembali. Dia muncul dengan senyum yang biasa, meski matanya sedikit sembab. Wajahnya tidak semenyenankan biasanya, tapi ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang membuatku merasa semakin ingin tahu. Asha meletakkan tasnya di meja, lalu berjalan ke arahku, kali ini bukan dengan senyuman yang biasa, tapi dengan ekspresi yang lebih serius.
“Asha, kamu kenapa?” tanyaku, merasakan ada sesuatu yang tak biasa dari dirinya.
Asha menatapku sejenak, lalu duduk di sebelahku. “Aku… baru saja menerima kabar buruk. Ayahku sakit parah. Aku harus pergi ke luar kota besok pagi.”
Aku terkejut, dan seketika perasaan ingin melindungi Asha datang begitu saja. “Asha, kenapa nggak bilang lebih awal? Kalau kamu butuh bantuan atau sesuatu, aku siap kok.”
Asha tersenyum, meski senyum itu tidak sepenuhnya menghapus kekhawatirannya. “Aku nggak mau mengganggu kamu dengan masalah keluarga. Tapi, aku senang kamu peduli.”
Aku tidak bisa berkata apa-apa. Hanya ada kekosongan yang memenuhi ruang di antara kami. Tapi dalam kekosongan itu, aku merasakan sesuatu yang lebih kuat. Ada perasaan yang lebih besar dari sekadar kekhawatiran—perasaan yang seolah memberi tahu aku bahwa mungkin, hanya mungkin, ini adalah saat yang tepat untuk mengungkapkan perasaanku.
“Asha…” Aku mulai berkata dengan hati-hati, mencoba menyusun kata-kata yang selama ini aku pendam. “Aku nggak bisa terus diam. Aku suka kamu, Asha. Selama ini, aku takut kalau aku salah paham. Tapi aku nggak bisa menunggu lagi.”
Asha terdiam sejenak, seolah mencerna setiap kata yang keluar dari mulutku. Kemudian, perlahan dia mengangguk. “Aku tahu, Damar. Aku sudah tahu dari lama. Tapi kita tidak bisa terburu-buru, kan? Semua butuh waktu.”
Aku merasakan kelegaan yang aneh, seperti sesuatu yang selama ini tertahan akhirnya bisa mengalir. Mungkin ini memang benar. Mungkin, jodoh itu tidak datang saat kita siap, tetapi saat kita berani menerima kenyataan. Dan aku tahu, Asha adalah bagian dari kenyataan itu.
“Tapi, aku nggak ingin waktu menghalangi kita,” aku berkata lagi, sedikit ragu, tapi merasa lebih yakin. “Aku siap menunggu. Kalau kamu juga siap.”
Asha tersenyum, senyum yang kini lebih hangat, lebih tulus. “Kita lihat saja nanti, Damar. Kalau memang ini jodoh, dia nggak akan pergi kemana-mana.”
Dengan kata-kata itu, aku merasa lebih tenang. Mungkin memang jodoh itu datang ketika kita berhenti mengejarnya, dan biarkan ia datang pada waktunya.
Jodoh yang Ternyata Ada di Sini
Beberapa minggu berlalu sejak percakapan itu, dan aku mulai merasa bahwa waktu benar-benar punya cara tersendiri untuk mengatur semuanya. Asha kembali ke kota, dan meskipun aku masih merasa sedikit canggung dan penuh harapan, ada sesuatu yang berubah dalam diriku. Seperti ada rasa percaya yang tumbuh setiap kali aku memandangnya.
Suatu sore yang cerah, aku kembali ke kafe, dan kali ini Asha sudah berada di sana. Dia tidak sedang terburu-buru, tidak ada ekspresi kecemasan atau kesedihan seperti sebelumnya. Dia terlihat lebih ringan, lebih bahagia, seolah masalah yang sebelumnya mengekangnya kini telah terselesaikan.
“Asha,” panggilku, berjalan mendekat ke meja tempat dia duduk.
Dia menatapku dengan senyum yang lebih lebar daripada biasanya. “Damar! Kamu datang lebih awal hari ini.”
Aku duduk di hadapannya, mengamati matanya yang masih menyisakan sedikit kelelahan, tapi senyum di wajahnya membuat semuanya terasa lebih baik. “Gimana ayah kamu? Sudah lebih baik, kan?”
Asha mengangguk. “Iya, sudah lebih baik. Terima kasih sudah peduli. Itu sangat berarti buatku.” Dia menyandarkan punggung di kursinya, merasa lebih nyaman setelah semua kecemasan itu hilang.
Aku menghela napas, mencoba merangkai kata-kata yang selama ini terpendam. “Asha, aku mau ngomong sesuatu.”
Asha menatapku, matanya penuh perhatian, seolah tahu betul apa yang akan aku katakan. “Apa, Damar? Ada yang ingin kamu sampaikan?”
Aku terdiam sejenak, lalu akhirnya membuka mulut. “Aku merasa, jodoh itu memang nggak datang dengan cara yang kita bayangkan. Aku takut kalau selama ini aku malah membiarkan waktuku terbuang hanya karena rasa ragu.”
Asha menyandarkan dagunya ke tangan, senyumnya semakin manis. “Jodoh itu memang datangnya bukan seperti yang kita harapkan. Kadang, kita harus berani menerima kenyataan, meskipun dia datang dalam bentuk yang tak terduga.”
Aku menarik napas panjang. “Aku nggak mau menunggu lagi. Aku sudah cukup ragu, Asha. Aku ingin mencoba bersama kamu. Kalau kamu juga siap.”
Asha terdiam sejenak, seolah memikirkan kata-kataku dengan serius. Tapi kemudian, dia mengangguk pelan dan tersenyum. “Damar, aku sudah tahu dari awal kalau kita punya perasaan yang sama. Aku juga tidak ingin menunggu lebih lama lagi. Jadi, kalau kamu siap, aku juga siap.”
Seketika, semuanya terasa lebih jelas. Ada perasaan lega yang mengalir dalam diriku. Kadang, memang kita harus berhenti mengejar apa yang kita inginkan dan membiarkan semuanya terjadi dengan sendirinya. Terkadang, jodoh itu datang dengan cara yang tidak kita duga, di waktu yang tidak kita persiapkan, dan pada orang yang tidak kita harapkan.
Aku tersenyum lebar. “Kalau begitu, ayo mulai dari sini, Asha. Kita lihat kemana perjalanan ini membawa kita.”
Asha mengangguk dan tertawa kecil. “Ya, Damar. Kita lihat saja nanti. Jodoh itu pasti bertemu, kan?”
Aku merasa, inilah awal dari sesuatu yang baru. Tidak ada lagi keraguan, tidak ada lagi kebingunganku. Mungkin, selama ini aku mencari jodoh di tempat yang salah, padahal dia sudah ada di dekatku sejak awal. Dan sekarang, aku tahu satu hal: jodoh itu memang pasti bertemu, hanya perlu waktu untuk kita menyadarinya.
Kami duduk berdua, di meja yang sama, berbicara tentang hal-hal sederhana dan senyum yang tulus. Waktu terasa berhenti sejenak, namun aku tahu, setiap detik yang aku habiskan bersamanya adalah langkah menuju masa depan yang lebih pasti. Satu hal yang aku yakin, jodoh itu tidak pernah salah alamat.
Dan akhirnya, aku bisa tertawa lepas, karena aku tahu, aku sudah menemukan jawabannya.
Jadi, kalau kamu masih ragu soal jodoh, ingat aja, kadang yang kita cari itu udah deket banget. Mungkin nggak sesuai ekspektasi, atau malah datang di waktu yang salah, tapi percayalah, kalau udah waktunya, jodoh pasti bakal datang.
Dan kadang, hal terbaik yang bisa kita lakukan adalah menyerah pada waktu, biar dia yang ngebawa kita ke tempat yang seharusnya. Jadi, jangan takut untuk membuka hati dan percaya kalau segala sesuatu punya waktunya sendiri.