Daftar Isi [hide]
Jembatan Kata
Mimpi di Antara Kata
Di sebuah kota kecil yang tak terlalu ramai, berdiri SMA Nusantara, sekolah yang terkenal dengan prestasi akademiknya. Tapi, ada satu hal yang paling dinantikan oleh para siswa setiap tahunnya: Kompetisi Cerpen Nasional. Bukan sekadar lomba biasa, pemenangnya akan mendapatkan beasiswa penuh hingga kuliah.
Bagi kebanyakan siswa, kompetisi ini hanyalah ajang bergengsi yang sulit dimenangkan. Namun, bagi Arzaka, itu adalah harapan. Ia bukan siswa terpintar, bukan pula yang paling menonjol di kelas. Tapi satu hal yang pasti—ia mencintai kata-kata. Sejak kecil, ia selalu terpesona oleh keindahan bahasa. Setiap kali menemukan kata yang unik atau asing, ia mencatatnya dalam buku kecilnya, lalu mencari tahu artinya.
Suatu sore, di perpustakaan sekolah yang sunyi, Arzaka sedang menulis sesuatu di buku catatannya ketika suara seorang teman mengganggunya.
“Lagi nulis apaan sih? Kayak skripsi aja,” suara itu datang dari Nanda, sahabatnya sejak SMP.
Arzaka hanya tersenyum tipis. “Cuma nyatet kata-kata yang menarik.”
Nanda mengambil buku itu tanpa izin dan membacanya keras-keras. “Ketakziman, euforia, sublimasi? Buset, ini mah kamus berjalan!”
Arzaka tertawa kecil, lalu merebut bukunya kembali. “Aku suka aja nyari kata-kata baru. Bahasa Indonesia itu keren, tau.”
Nanda menggeleng-geleng. “Kamu tuh unik banget. Pantesan pengen ikut lomba cerpen. Tapi… yakin bisa menang?”
Arzaka mendesah. Itu pertanyaan yang selama ini menghantuinya.
“Nggak tau,” jawabnya jujur. “Tegar ikut juga, kan?”
Begitu nama itu disebut, Nanda langsung mendengus. Tegar, si juara bertahan dua tahun berturut-turut. Semua orang tahu kalau dia jago nulis. Bukan cuma jago, tapi juga perfeksionis.
“Jujur aja, Za. Kayaknya sulit deh ngalahin dia,” kata Nanda pelan. “Tegar tuh udah kayak ikon di kompetisi ini.”
Arzaka terdiam. Ia tahu Nanda nggak bermaksud menjatuhkannya, tapi tetap saja, mendengar kenyataan itu membuat hatinya sedikit menciut.
• • •
Beberapa hari kemudian, di kantin sekolah, Arzaka tanpa sengaja bertemu dengan Tegar.
“Dengar-dengar, kamu mau ikut lomba?” suara Tegar datar, tapi ada nada meremehkan di sana.
Arzaka menoleh. “Iya.”
Tegar menyilangkan tangan di dadanya, menyeringai kecil. “Berani juga, ya.”
Arzaka menatapnya, tak mengerti maksudnya.
“Maksudnya?”
Tegar mendekat, nada bicaranya seperti seorang senior yang menggurui. “Aku udah menang dua tahun berturut-turut. Kompetisi ini nggak cuma soal nulis, Za. Ini soal seni. Kalau cuma modal suka bahasa, nggak cukup buat menang.”
Arzaka mengepalkan tangannya di bawah meja, tapi tetap berusaha tenang. “Ya, kita lihat aja nanti.”
Tegar tertawa kecil. “Yaudah. Aku tunggu ceritamu. Semoga nggak membosankan.”
Arzaka hanya diam, tapi dalam hatinya, ada api yang mulai menyala. Ia tahu Tegar memang hebat. Tapi… apakah benar menulis hanya soal teknik dan keindahan? Apakah perasaan dan ketulusan nggak ada artinya?
Di malam itu, Arzaka duduk di meja belajarnya, menatap halaman kosong di laptopnya. Ia menarik napas dalam-dalam.
“Aku akan menulis. Aku akan buktikan kalau bahasa bukan sekadar kata-kata.”
Dan dengan semangat itu, ia mulai mengetik.
Lawan yang Tak Terduga
Hari demi hari berlalu, dan batas waktu pengumpulan cerpen semakin dekat. Di setiap sudut sekolah, pembicaraan tentang lomba mulai memanas. Semua orang tahu bahwa Tegar pasti ikut, dan seperti biasa, mereka menganggapnya sebagai calon pemenang.
Namun, kali ini ada satu kejutan: Arzaka.
Bagi sebagian orang, nama Arzaka bukanlah ancaman serius. Ia bukan anak yang sering ikut lomba, bukan pula jurnalis majalah sekolah. Tapi bagi Tegar, ia tetaplah pesaing—bukan karena kemampuannya, tapi karena keberaniannya.
• • •
Di perpustakaan sekolah, Arzaka kembali tenggelam dalam tulisannya. Ia sudah menemukan ide yang menurutnya kuat: kisah seorang anak desa yang berjuang belajar membaca meski banyak keterbatasan. Baginya, bahasa adalah jembatan impian, dan itu yang ingin ia sampaikan dalam cerpennya.
Saat ia asyik mengetik, sebuah suara mengejutkannya.
“Udah selesai?”
Arzaka menoleh. Nanda sedang berdiri di sampingnya dengan tatapan penuh rasa ingin tahu.
“Belum. Masih butuh beberapa revisi,” jawab Arzaka sambil menekan tombol backspace, menghapus satu kalimat yang terasa kurang pas.
Nanda menghela napas. “Kamu serius banget ya, Za. Beda sama biasanya.”
Arzaka menoleh, menatap sahabatnya. “Aku nggak mau sekadar ikut-ikutan, Nd. Aku mau ceritaku benar-benar punya makna.”
Nanda mengangguk kecil, lalu tersenyum. “Yaudah, kalau gitu aku bakal jadi pembaca pertama. Biar tahu seberapa keren cerpen kamu.”
Arzaka tertawa kecil. “Siap, tapi jangan kebanyakan kritik ya.”
“Nggak janji,” kata Nanda sambil tertawa.
• • •
Namun, di saat Arzaka semakin percaya diri dengan ceritanya, sesuatu terjadi.
Saat ia berjalan melewati koridor sekolah, Tegar muncul entah dari mana dan menghadangnya.
“Arzaka,” panggilnya santai.
Arzaka berhenti, menatapnya. “Kenapa?”
Tegar menyeringai. “Ceritamu tentang apa?”
Arzaka mengernyit. “Kenapa nanya?”
Tegar menyandarkan dirinya ke dinding, ekspresinya tetap santai tapi tajam. “Cuma penasaran. Aku yakin ceritamu bagus. Tapi kamu tahu sendiri, di lomba ini yang dinilai bukan cuma cerita yang menyentuh hati, tapi juga teknik. Dan jujur aja, aku nggak yakin kamu punya itu.”
Arzaka mengepalkan tangannya di saku. Ia tahu Tegar hanya mencoba menurunkan kepercayaan dirinya.
“Menulis bukan cuma soal teknik,” balasnya tenang. “Tapi juga soal apa yang kita rasakan.”
Tegar mendengus. “Itu alasan orang yang nggak siap kalah.”
Alih-alih terpancing, Arzaka hanya tersenyum tipis. “Kita lihat nanti siapa yang kalah.”
Tegar mendekat sedikit, menatap mata Arzaka dengan tajam. “Jangan terlalu percaya diri, Za. Aku udah dua kali menang. Aku ngerti apa yang dicari juri. Dan aku nggak akan kalah dari seseorang yang baru pertama kali ikut.”
Setelah berkata begitu, Tegar berbalik pergi tanpa menunggu jawaban.
Arzaka tetap berdiri di tempatnya. Bukannya takut, justru ia merasa semakin tertantang.
“Aku nggak perlu menang untuk membuktikan apa pun. Aku cuma perlu menulis dengan hatiku.”
Dengan keyakinan itu, ia kembali ke laptopnya malam itu. Tangannya mengetik lebih cepat dari sebelumnya, seakan kata-kata mengalir begitu saja dari pikirannya.
Ia tahu, ini bukan sekadar lomba. Ini adalah caranya untuk membuktikan bahwa bahasa bukan hanya milik mereka yang ahli, tapi juga mereka yang menggunakannya dengan ketulusan.
Suara Hati dalam Cerita
Hari terakhir pengumpulan cerpen tiba. Suasana di SMA Nusantara terasa lebih sibuk dari biasanya. Banyak peserta yang masih sibuk menyempurnakan tulisan mereka, ada yang panik, ada juga yang tampak percaya diri.
Di pojok perpustakaan, Arzaka menatap layar laptopnya. Naskahnya sudah selesai. Ia membaca ulang cerita itu untuk yang kesekian kalinya, memastikan setiap kata benar-benar menggambarkan perasaan yang ingin ia sampaikan.
Di dalam cerpennya, ia menceritakan tentang seorang anak desa bernama Gibran, yang lahir di lingkungan yang tak peduli dengan pendidikan. Ia tumbuh tanpa mengenal huruf, hingga suatu hari ia melihat selembar kertas jatuh dari tas seorang guru. Di sana tertulis sebuah kalimat pendek:
“Jangan biarkan dunia menuliskan takdir untukmu. Tulislah sendiri dengan penamu.”
Sejak saat itu, Gibran bertekad untuk belajar membaca dan menulis. Ia mencatat huruf-huruf di tanah dengan ranting, menyalin papan nama warung dengan sekuat tenaga, hingga akhirnya berhasil menulis namanya sendiri untuk pertama kalinya.
Pesan dalam cerpen itu jelas: bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tapi juga kekuatan yang bisa mengubah hidup seseorang.
Arzaka menutup laptopnya. Ia menghela napas dalam-dalam.
“Sudah siap?”
Suara Nanda membuatnya menoleh. Sahabatnya itu duduk di sebelahnya, menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu.
“Udah,” jawab Arzaka. “Aku udah tulis semuanya dengan hati. Sekarang tinggal nasib yang nentuin.”
Nanda tersenyum kecil. “Aku bangga sama kamu, Za. Kamu bener-bener serius kali ini.”
Arzaka hanya tersenyum tipis, lalu berdiri. “Yaudah, ayo kita ke ruang panitia.”
Mereka berjalan keluar perpustakaan menuju aula utama, tempat panitia lomba menerima naskah dari peserta. Saat mereka tiba, antrean sudah cukup panjang. Di depan meja panitia, seorang siswa sedang menyerahkan naskahnya dengan ekspresi percaya diri.
Itu Tegar.
Saat Tegar melihat Arzaka di antrean, ia menyeringai tipis.
“Akhirnya datang juga,” katanya. “Semoga kamu nggak telat nyerahin.”
Arzaka menatapnya datar. “Aku nggak bakal telat. Aku cuma pastiin ceritaku udah benar-benar siap.”
Tegar tertawa kecil. “Well, good luck. Kita lihat apakah cerita kamu cukup kuat untuk bersaing.”
Arzaka tidak menjawab, hanya tersenyum tipis. Setelah Tegar pergi, ia maju ke meja panitia dan menyerahkan naskahnya.
“Nama?” tanya panitia.
“Arzaka.”
Panitia mencatat namanya, lalu menerima naskah itu. “Baik, naskah kamu sudah diterima. Pengumuman pemenang akan dilakukan minggu depan.”
Arzaka mengangguk, lalu melangkah pergi bersama Nanda. Saat keluar dari aula, ia menarik napas panjang.
“Akhirnya selesai,” gumamnya.
Nanda menepuk pundaknya. “Sekarang tinggal nunggu hasilnya. Kamu udah ngasih yang terbaik, Za.”
Arzaka mengangguk. Apapun hasilnya nanti, ia sudah puas. Ia menulis bukan untuk menang, tapi untuk menyampaikan sesuatu yang bermakna.
Namun, jauh di lubuk hatinya, ia tetap bertanya-tanya: Apakah ceritanya cukup kuat untuk melawan Tegar?
Kemenangan Sejati
Hari pengumuman pemenang akhirnya tiba.
Aula SMA Nusantara penuh sesak oleh siswa dan guru yang menantikan hasil lomba cerpen nasional. Di atas panggung, sebuah layar besar menampilkan logo kompetisi, sementara panitia sibuk mempersiapkan berkas pengumuman.
Di antara kerumunan, Arzaka duduk dengan gelisah. Ia bukan tipe orang yang terlalu berharap, tapi jantungnya tetap berdebar kencang. Apakah ceritanya cukup berkesan untuk para juri?
Di sebelahnya, Nanda menyenggol lengannya pelan. “Kamu tegang banget, Za.”
Arzaka menghela napas. “Nggak bisa santai, Nd. Ini pertama kalinya aku ikut lomba kaya gini.”
Tiba-tiba, suara panitia terdengar dari mikrofon.
“Selamat pagi semuanya! Hari ini kita akan mengumumkan pemenang Kompetisi Cerpen Nasional SMA Nusantara tahun ini. Terima kasih kepada semua peserta yang telah mengirimkan karya terbaiknya. Karya-karya kalian luar biasa!”
Suasana aula semakin hening. Semua mata tertuju ke panggung.
“Dan… juara ketiga jatuh kepada… Annisa Ramadhani, dengan cerpen berjudul ‘Langit yang Berbicara’!”
Siswa kelas sebelas di barisan depan bersorak. Annisa maju ke panggung dengan senyum lebar, menerima sertifikat dan hadiah.
“Selanjutnya, juara kedua adalah… Tegar Wijaya, dengan cerpen berjudul ‘Simfoni Kata’!”
Aula mendadak sunyi.
Arzaka terpaku. Tegar hanya juara dua?
Wajah Tegar tak menunjukkan emosi apa pun saat ia berjalan ke panggung. Namun, dari cara ia menggenggam sertifikatnya, terlihat bahwa ia tidak menyangka akan kalah.
Arzaka menelan ludah. Itu berarti…
“Dan akhirnya… pemenang pertama, yang akan mendapatkan beasiswa penuh ke perguruan tinggi pilihan adalah…”
Seluruh aula menahan napas.
“Arzaka Pratama, dengan cerpen berjudul ‘Jembatan Kata’!”
Aula meledak dalam tepuk tangan dan sorakan.
Arzaka terdiam. Ia butuh beberapa detik untuk menyadari bahwa namanya baru saja dipanggil sebagai juara pertama.
Nanda menepuk bahunya keras-keras. “Kamu menang, Za! KAMU MENANG!”
Arzaka bangkit dari kursinya dengan langkah ragu. Matanya masih belum percaya. Saat ia berjalan ke panggung, ia bisa melihat ekspresi banyak orang—kaget, terkesan, bangga.
Saat sertifikat dan trofi diserahkan ke tangannya, ia mendengar panitia berbicara,
“Cerpen Arzaka menyentuh hati juri dengan kesederhanaannya. Karyanya mengingatkan kita bahwa bahasa bukan hanya soal teknik dan keindahan, tetapi juga tentang perasaan, perjuangan, dan makna yang kita tanamkan di dalamnya.”
Arzaka menatap trofi di tangannya. Ia menang.
Bukan karena ceritanya paling indah. Tapi karena ceritanya memiliki jiwa.
Saat ia turun dari panggung, ia berpapasan dengan Tegar.
Tegar menatapnya lama sebelum akhirnya berkata pelan, “Aku remehin kamu.”
Arzaka menghela napas. Ia tidak ingin merendahkan siapa pun. “Kamu tetap penulis hebat, Teg.”
Tegar menatapnya sebentar, lalu tersenyum kecil—bukan senyum sinis seperti biasanya, tapi lebih seperti seseorang yang baru menyadari sesuatu.
“Aku belajar sesuatu dari kamu, Za,” katanya. “Menulis bukan cuma soal teknik, tapi juga soal apa yang kita rasakan.”
Arzaka tersenyum. Itulah kemenangan sesungguhnya.