Daftar Isi [hide]
Jejak yang Dikenang
Jejak yang Sulit Dihapus
Pagi itu, Raksa duduk santai di bangkunya, tangan terlipat di belakang kepala sementara teman-temannya sibuk mencatat materi yang ditulis Pak Ardan di papan tulis. Dengan wajah bosan, ia melirik jam dinding. Lima belas menit lagi bel istirahat berbunyi.
“Aku nggak ngerti kenapa kamu santai banget, Raksa,” bisik Bima, teman sebangkunya. “Tugas kita belum selesai.”
Raksa nyengir. “Santai aja, nanti juga selesai sendiri.”
Bima menggeleng, lalu kembali menulis. Raksa tidak terlalu peduli. Baginya, tugas sekolah hanya sesuatu yang bisa dikerjakan kapan saja—atau kalau bisa, tidak dikerjakan sama sekali. Nilai-nilainya memang tidak buruk, tapi bukan karena ia rajin. Ia hanya pintar mencari cara untuk lolos dari tugas, entah itu dengan menyontek atau sekadar mengarang jawaban.
Pak Ardan, yang sejak tadi berdiri di depan kelas, tiba-tiba berbalik dan menatap lurus ke arah Raksa. “Raksa,” panggilnya dengan nada santai, tapi tegas.
Raksa terkejut. “Eh, iya, Pak?”
“Kamu sudah mencatat?”
Raksa menggaruk kepala, berpura-pura berpikir. “Eh… belum, Pak. Pensilku patah tadi.”
Pak Ardan menaikkan alisnya. “Oh, gitu? Mau pakai punyaku?”
Beberapa teman Raksa menahan tawa. Raksa menghela napas, tahu bahwa alasan tadi tidak akan lolos dari guru itu. Dengan malas, ia akhirnya meraih pensil di dalam tas dan mulai mencatat, meski hanya asal-asalan.
Begitu bel istirahat berbunyi, Raksa langsung keluar kelas. Ia berjalan santai ke kantin, tapi tiba-tiba seseorang menarik tasnya dari belakang. Ia menoleh dan mendapati Nara, gadis berkepang dua yang terkenal rajin dan selalu mengikuti aturan.
“Kamu ini kenapa sih selalu males-malesan?” tanya Nara dengan wajah kesal.
Raksa mendengus. “Biasa aja kali, cuma nggak suka ribet.”
“Kamu tuh pinter, Raksa. Tapi kalau nggak mau berusaha, ya percuma.”
Raksa hanya tertawa kecil. “Kita ke kantin nggak sih? Atau kamu mau ceramah dulu?”
Nara mendengus kesal dan berjalan pergi. Raksa hanya mengangkat bahu, lalu mengikuti langkahnya.
Namun, di sudut lain sekolah, Pak Ardan mengamati dari kejauhan dengan tatapan berpikir. Ia tahu Raksa adalah anak yang cerdas, tetapi ada sesuatu yang harus diubah dalam dirinya. Sesuatu yang tidak bisa dipaksakan, tetapi harus ia sadari sendiri.
Dan esok, Pak Ardan sudah punya cara untuk itu.
Papan Tulis dan Rahasia Karakter
Keesokan harinya, suasana kelas terasa berbeda. Biasanya, Pak Ardan langsung menulis materi di papan tulis, tapi kali ini ia berdiri di depan kelas dengan membawa sebuah papan tulis kecil yang sudah lusuh. Murid-murid mulai berbisik penasaran.
“Aku ada sesuatu buat kalian hari ini,” kata Pak Ardan sambil meletakkan papan tulis itu di atas meja. “Tapi sebelum itu, aku mau tanya. Menurut kalian, apa yang paling penting di sekolah ini?”
“Belajar, Pak!” jawab Nara cepat.
“Bener, Nara. Tapi selain itu?”
“Nilai, dong!” kata seorang murid di belakang.
Pak Ardan tersenyum tipis. “Itu penting. Tapi ada yang lebih penting dari sekadar angka di rapor. Karakter.”
Murid-murid mulai diam, sebagian terlihat berpikir.
Pak Ardan menuliskan satu kata di papan kecilnya: JUJUR.
“Lihat kata ini,” katanya sambil menunjuk tulisan itu. “Sekarang, aku mau seseorang maju ke depan dan menuliskan satu kebiasaan buruk yang pernah kalian lakukan. Jangan takut. Ini bukan buat menghukum, tapi buat belajar.”
Kelas langsung riuh. Murid-murid saling pandang, beberapa cekikikan. Tidak ada yang berani maju.
“Raksa,” panggil Pak Ardan tiba-tiba.
Raksa yang sedang menggambar di buku catatannya langsung mendongak. “Hah? Aku, Pak?”
Pak Ardan mengangguk. “Iya. Ayo maju, tulis sesuatu.”
Raksa menghela napas panjang. Dengan enggan, ia bangkit dari kursinya dan berjalan ke depan. Semua mata tertuju padanya. Setelah berpikir sebentar, ia menulis dengan sedikit ragu: Menyontek.
Beberapa murid tertawa pelan, tapi Pak Ardan tetap tenang. Ia mengambil kain lap dan menghapus tulisan Raksa dengan mudah.
“Lihat, kalau kita sadar kesalahan dan mau memperbaikinya, kita bisa menghapusnya. Mudah, kan?” katanya sambil menepuk papan tulis yang kini bersih kembali.
Raksa mengangguk kecil. Ia mulai merasa ada sesuatu yang ingin disampaikan Pak Ardan.
“Tapi, gimana kalau kebiasaan buruk itu kita lakukan terus-menerus?” lanjut Pak Ardan. Ia lalu menuliskan beberapa kata lagi di papan kecil itu: Tidak disiplin, berbohong, tidak menghormati guru.
“Kali ini, aku mau beberapa dari kalian ikut menulis.”
Satu per satu, murid-murid maju dan menuliskan sesuatu. Ada yang menulis “suka telat“, ada yang menulis “sering lupa tugas“, dan ada yang menulis “membantah orang tua“. Setelah papan itu penuh dengan tulisan, Pak Ardan kembali mengambil kain lapnya.
Ia mencoba menghapusnya seperti tadi. Tapi kali ini, kain lapnya sudah penuh tinta dan kotor. Tulisan-tulisan itu bukannya hilang, malah menyebar ke seluruh papan, membuatnya terlihat semakin kotor.
Kelas mendadak hening.
“Apa yang bisa kita pelajari dari ini?” tanya Pak Ardan sambil meletakkan kain lapnya.
Murid-murid saling pandang. Raksa menatap papan itu dengan alis mengernyit. Lalu, tanpa sadar, ia mengangkat tangan.
“Kalau kita terus-terusan ngelakuin kebiasaan buruk, itu bakal ninggalin jejak yang susah dihapus?” katanya pelan.
Senyum Pak Ardan mengembang. “Tepat sekali, Raksa. Karakter kita, seperti papan tulis ini. Kalau kita melakukan kesalahan, kita masih bisa memperbaikinya. Tapi kalau terus diulangi, lama-lama akan membekas dan susah dihapus.”
Raksa menelan ludah. Ia memandangi papan tulis yang sekarang terlihat kotor, penuh bekas tulisan yang tidak bisa hilang sempurna. Entah kenapa, ada sesuatu dalam dirinya yang terasa bergetar.
“Jadi,” lanjut Pak Ardan, “apa yang harus kita lakukan supaya papan ini tetap bersih?”
“Berhenti bikin kesalahan yang sama?” jawab Bima.
Pak Ardan mengangguk. “Dan mulai membangun kebiasaan baik. Itu lebih penting dari sekadar mendapatkan nilai bagus di sekolah.”
Raksa masih diam. Ia tidak banyak bicara setelah itu. Namun, di dalam hatinya, ia mulai bertanya-tanya. Selama ini, ia selalu berpikir kalau sifatnya tidak ada hubungannya dengan masa depannya. Tapi, bagaimana kalau Pak Ardan benar?
Bagaimana kalau selama ini, ia telah meninggalkan jejak yang salah?
Jejak yang Dikenang
Hari itu adalah hari terakhir semester. Kelas terasa lebih santai dibanding biasanya. Murid-murid sudah menyelesaikan ujian mereka, dan kini tinggal menunggu pembagian rapor. Raksa duduk di bangkunya sambil mengetukkan pensil ke meja, menunggu apa yang akan dilakukan Pak Ardan hari ini.
Tak lama, Pak Ardan masuk dengan membawa amplop cokelat besar—amplop yang sama yang ia gunakan beberapa bulan lalu.
“Kalian masih ingat kertas yang kalian tulis di awal semester?” tanya Pak Ardan sambil mengangkat amplop itu.
Beberapa murid langsung mengangguk. Raksa sendiri merasa jantungnya berdebar sedikit lebih cepat. Ia bahkan hampir lupa dengan kertas itu, tapi kini rasa penasarannya muncul kembali.
Pak Ardan mulai membagikan kertas-kertas itu satu per satu. Saat Raksa menerima miliknya, ia menatap tulisan yang ia buat dulu:
“Aku ingin berhenti menunda-nunda dan lebih bertanggung jawab.”
Raksa terdiam. Ia membaca ulang kalimat itu, lalu merenungkan perjalanannya selama beberapa bulan terakhir.
Apakah ia sudah benar-benar berubah?
Ia memang masih sering malas. Kadang-kadang, ia masih ingin menyontek atau menunda tugas. Tapi dibanding dulu, ia sudah jauh lebih baik. Ia mulai mencoba untuk lebih disiplin, lebih bertanggung jawab atas perbuatannya, dan lebih menghargai waktu.
Pak Ardan menatap mereka semua. “Sekarang, aku mau kalian bertanya pada diri sendiri: sudahkah kalian berubah?”
Kelas hening. Semua murid tenggelam dalam pikirannya masing-masing.
Raksa menarik napas. Ia tersenyum tipis. Ia tahu jawabannya.
Saat bel pulang berbunyi, murid-murid mulai berhamburan keluar kelas, tetapi Raksa tetap duduk di tempatnya. Ia menatap ke depan, di mana Pak Ardan sedang membereskan buku-bukunya.
Setelah beberapa saat, ia akhirnya berdiri dan berjalan mendekat.
“Pak,” panggilnya pelan.
Pak Ardan menoleh. “Ya, Raksa?”
Raksa ragu sejenak, lalu berkata, “Makasih, Pak. Buat semuanya.”
Pak Ardan tersenyum. “Aku nggak ngelakuin apa-apa, Raksa. Kamu yang memilih untuk berubah.”
Raksa tersenyum kecil. Ia tahu itu benar.
Sebelum pergi, Pak Ardan membuka laci mejanya dan mengeluarkan sesuatu—papan tulis kecil yang dulu ia gunakan di kelas. Ia menyerahkannya pada Raksa.
Raksa mengerutkan kening. “Buat aku, Pak?”
Pak Ardan mengangguk. “Jejak karakter baik akan selalu dikenang. Aku percaya, kamu akan terus menulis jejak yang baik di masa depan.”
Raksa menggenggam papan itu erat. Ia tidak perlu berkata apa-apa lagi. Ia tahu, ini bukan akhir dari perubahannya—ini baru permulaan.
Dan kali ini, ia siap untuk meninggalkan jejak yang tidak akan sulit dihapus.