Jejak Pertama di Puncak Awan: Kisah Pendakian Perdana yang Mengguncang Jiwa

Posted on

Apakah Anda pernah membayangkan bagaimana rasanya menaklukkan puncak gunung untuk pertama kalinya? Dalam cerpen Jejak Pertama di Puncak Awan: Kisah Pendakian Perdana yang Mengguncang Jiwa, Anda akan diajak menyelami petualangan emosional Kazvian Rahmadi, seorang pemula yang menghadapi tantangan alam dan dirinya sendiri di Gunung Arjasa. Cerita ini bukan hanya tentang mendaki, tetapi juga tentang keberanian, kebersamaan, dan penemuan jati diri yang menggetarkan hati. Siap untuk terinspirasi oleh perjalanan penuh makna ini?

Jejak Pertama di Puncak Awan

Panggilan Puncak

Langit masih gelap ketika Kazvian Rahmadi membuka matanya di pagi yang dingin. Di kamarnya yang sederhana di pinggiran kota, jam weker tua di samping ranjangnya berdering nyaring, memecah keheningan pukul 03.30 pagi. Cahaya redup dari lampu meja menerangi wajahnya yang penuh semangat, namun juga dihiasi keraguan. Hari ini adalah hari yang telah ia tunggu selama berbulan-bulan: pendakian pertamanya ke Gunung Arjasa, sebuah gunung yang tak terlalu terkenal namun memiliki reputasi menantang di kalangan pendaki lokal. Kazvian, atau yang biasa dipanggil Kaz, bukanlah tipe petualang sejati. Ia adalah seorang ilustrator lepas berusia 27 tahun, lebih terbiasa menghabiskan malamnya dengan sketsa dan secangkir teh daripada menantang alam liar. Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang bergejolak akhir-akhir ini, sebuah keresahan yang tak bisa ia jelaskan.

Kaz duduk di tepi ranjang, menatap ransel besar yang telah ia siapkan malam sebelumnya. Di dalamnya ada tenda ringkas, sleeping bag, beberapa bungkus makanan instan, botol air, dan sebuah jaket tebal yang ia pinjam dari tetangganya, Om Bardan, seorang pendaki berpengalaman yang sering bercerita tentang petualangannya. Kaz ingat betul malam ketika Om Bardan menunjukkan foto-foto puncak Arjasa yang diselimuti kabut, dengan langit jingga yang seolah menyapa jiwa. “Puncak itu bukan cuma soal ketinggian, Kaz,” kata Om Bardan dengan mata berbinar. “Di sana, kau akan menemukan sesuatu tentang dirimu sendiri.” Kalimat itu terus bergema di kepala Kaz, mendorongnya untuk mendaftar dalam kelompok pendakian kecil yang dipimpin oleh teman Om Bardan, seorang pemandu bernama Syavira Elnanda.

Syavira, atau yang lebih dikenal dengan nama Vira, adalah sosok yang penuh karisma. Berusia awal tiga puluhan, Vira memiliki kulit sawo matang yang tampak selalu berkilau di bawah sinar matahari, dan senyumnya seolah menyimpan seribu cerita tentang gunung yang telah ia jelajahi. Kaz pertama kali bertemu Vira seminggu sebelum pendakian, di sebuah kafe kecil yang menjadi markas tidak resmi komunitas pendaki lokal. Vira duduk di sudut ruangan, dikelilingi oleh lima orang lainnya, termasuk dua pendaki pemula seperti Kaz: Luthvira Tazkia, seorang mahasiswi biologi yang bersemangat dan selalu membawa buku catatan kecil untuk mencatat flora yang ia temui, dan Radifan Kael, seorang fotografer amatir yang tampak pendiam namun memiliki tatapan mata yang tajam, seolah mampu menangkap detail terkecil di sekitarnya.

Malam itu, Vira menjelaskan rute pendakian dengan penuh semangat. Gunung Arjasa memiliki ketinggian 2.800 meter di atas permukaan laut, dengan jalur yang didominasi hutan lebat, tanjakan curam, dan beberapa titik berbatu yang licin saat musim hujan. “Ini bukan gunung untuk orang yang setengah hati,” kata Vira, suaranya tegas namun hangat. “Tapi kalau kalian ikuti aturan dan jaga satu sama lain, puncak itu akan memberi hadiah yang tak akan kalian lupakan.” Kaz menelan ludah, merasakan campuran antara kegembiraan dan ketakutan. Ia bukan orang yang kuat secara fisik, dan meski ia rajin berjalan kaki di taman kota, mendaki gunung adalah sesuatu yang jauh di luar zona nyamannya.

Kembali ke pagi itu, Kaz menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan debaran jantungnya. Ia mengenakan jaket fleece biru tua, sepatu trekking yang masih kaku karena baru, dan topi rajut yang sedikit longgar di kepalanya. Di saku jaketnya, ia menyimpan sebuah liontin kecil berbentuk daun, peninggalan dari ibunya yang meninggal tiga tahun lalu. Liontin itu adalah pengingat baginya untuk tetap kuat, meski kadang ia merasa seperti daun yang rapuh, mudah tersapu angin. Ibunya, seorang pecinta alam yang selalu bercerita tentang keindahan gunung, adalah alasan utama Kaz memutuskan untuk mendaki. “Kalau kau ingin tahu siapa dirimu, pergilah ke tempat yang membuatmu takut,” kata ibunya dulu, dan Kaz merasa Gunung Arjasa adalah tempat itu.

Dengan langkah yang masih ragu, Kaz menggendong ranselnya dan melangkah keluar rumah. Udara pagi terasa dingin menusuk, dan kabut tipis masih menyelimuti jalanan. Di titik pertemuan, sebuah warung kecil di kaki gunung, ia bertemu dengan rombongan pendakiannya. Vira sudah ada di sana, memeriksa peralatan dengan cermat. Luthvira, atau yang lebih suka dipanggil Taz, sedang sibuk memeriksa buku catatannya, sementara Radifan berdiri di dekat pohon besar, memotret embun yang menempel di daun. Dua pendaki lain, yang lebih berpengalaman, adalah Zivran Hadi dan Melviora Sasti, sepasang sahabat yang sudah mendaki bersama selama bertahun-tahun. Zivran, dengan rambut gondrong yang diikat asal, adalah tipe yang selalu membuat lelucon, sementara Melviora, atau Melvi, adalah sosok tenang yang lebih suka mendengarkan.

“Siap, Kaz?” tanya Vira, menatapnya dengan senyum yang menenangkan. Kaz hanya mengangguk, tak yakin apakah ia benar-benar siap. Vira kemudian memimpin doa singkat, sebuah tradisi sebelum pendakian dimulai. Suara burung-burung pagi bercampur dengan aroma tanah basah, menciptakan suasana yang seolah membisikkan janji petualangan. Ketika rombongan mulai berjalan menuju pintu rimba, Kaz merasakan sesuatu yang aneh di dadanya—seperti campuran antara harapan dan ketakutan yang tak bisa ia pisahkan.

Jalur awal pendakian cukup landai, dengan tanah yang masih lunak dan ditutupi dedaunan kering. Pohon-pohon tinggi menjulang di kedua sisi jalur, membentuk kanopi hijau yang menyaring sinar matahari pagi. Kaz berjalan di belakang Taz, yang sesekali berhenti untuk memeriksa tanaman kecil di pinggir jalur. “Ini lumut yang jarang banget, Kaz!” serunya, menunjuk ke arah bercak hijau di batu. Kaz tersenyum, meski pikirannya sibuk dengan beban ransel yang mulai terasa di pundaknya. Radifan, yang berjalan di depan, kadang memperlambat langkah untuk memotret sesuatu—sehelai daun yang terkena sinar matahari, atau bayangan pohon yang membentuk pola indah di tanah.

Setelah dua jam berjalan, jalur mulai menanjak. Kaz merasakan napasnya semakin berat, keringat mulai membasahi keningnya. Vira, yang berjalan di depan, terus memberikan semangat. “Pelan saja, jangan buru-buru. Gunung ini bukan lomba lari,” katanya, suaranya tetap tenang meski langkahnya tak pernah goyah. Zivran, yang berjalan di samping Kaz, mencoba menghiburnya dengan cerita-cerita lucu tentang pendakian sebelumnya, tapi Kaz hanya bisa tersenyum tipis. Pikirannya mulai dipenuhi keraguan. Apa aku bisa sampai puncak? Apa aku cukup kuat?

Tiba-tiba, Melvi yang biasanya diam berbicara pelan di sampingnya. “Pertama kali selalu berat, Kaz. Tapi setiap langkah yang kau ambil, itu kemenangan kecil.” Kata-kata itu sederhana, tapi entah kenapa, mereka terasa seperti angin sejuk di tengah kepanasan. Kaz mengangguk, menggenggam liontin di sakunya lebih erat. Ia memandang ke depan, ke arah punggung Vira yang terus melangkah mantap, dan memutuskan untuk terus maju, meski kakinya mulai terasa berat.

Saat matahari mulai tinggi, rombongan berhenti di sebuah pos kecil untuk istirahat. Kaz duduk di atas batu besar, meneguk air dari botolnya sambil memandang ke arah lembah yang mulai terlihat di kejauhan. Kabut pagi telah hilang, digantikan oleh pemandangan hijau yang luas, dengan bukit-bukit kecil yang tampak seperti lukisan. Untuk pertama kalinya, Kaz merasakan sesuatu yang baru: perasaan kecil di hadapan alam, namun juga perasaan bahwa ia adalah bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar. Ia tak tahu apa yang menantinya di puncak, tapi di saat itu, ia merasa bahwa setiap langkah yang ia ambil membawanya lebih dekat—tidak hanya ke puncak, tetapi juga ke bagian dari dirinya sendiri yang belum ia temukan.

Tanjakan yang Menguji

Matahari sudah mulai meninggi ketika rombongan melanjutkan perjalanan dari pos istirahat pertama. Cahayanya menembus celah-celah dedaunan, menciptakan bercak-bercak emas di jalur tanah yang kini mulai berbatu. Kazvian Rahmadi, atau Kaz, merasakan kakinya sedikit lebih ringan setelah istirahat singkat, meski pundaknya masih terasa pegal akibat beban ransel. Udara di ketinggian ini terasa lebih segar, membawa aroma tanah basah dan lumut yang entah kenapa membuatnya teringat pada pagi-pagi di rumah ibunya dulu, ketika mereka berdua sering duduk di teras sambil menikmati teh hangat. Kenangan itu membawa secercah kehangatan di dadanya, tapi juga sejumput rasa sesak yang tak bisa ia tepis.

Syavira Elnanda, atau Vira, memimpin rombongan dengan langkah yang mantap, sesekali menoleh untuk memastikan semua anggota kelompok masih mengikuti. “Tanjakan berikutnya agak curam, tapi kita pelan-pelan saja,” ujarnya dengan suara yang tetap tenang, meski Kaz bisa melihat keringat mulai membasahi pelipisnya. Di belakang Vira, Luthvira Tazkia—orang yang lebih suka dipanggil Taz—berjalan dengan semangat yang tak pudar. Buku catatan kecilnya kini terselip di saku jaketnya, tapi matanya terus memindai sekitar, seolah setiap helai daun atau serangga kecil adalah penemuan baru. Radifan Kael, si fotografer pendiam, berjalan di tengah rombongan, kadang-kadang berhenti sejenak untuk mengambil foto, lensa kameranya menangkap detail yang luput dari mata orang lain: tetesan air di ujung daun, atau bayangan pohon yang menari di bebatuan.

Zivran Hadi dan Melviora Sasti, duo pendaki berpengalaman, berjalan di barisan belakang bersama Kaz. Zivran, dengan rambut gondrongnya yang kini sedikit acak-acakan karena angin, terus bercerita tentang pendakian sebelumnya di gunung lain, lengkap dengan lelucon yang kadang membuat Kaz tersenyum meski napasnya mulai tersengal. “Pernah nggak sih, Kaz, ngerasa kayak krisis eksistensial pas lagi nanjak gini?” tanya Zivran sambil terkekeh. Kaz hanya menggeleng, tak yakin apakah Zivran serius atau hanya mencoba mencairkan suasana. Melvi, yang berjalan di sisi lain, hanya tersenyum kecil, matanya menatap jalur di depan dengan fokus yang tenang. “Jangan dengar Zivran, Kaz. Fokus ke langkahmu,” katanya pelan, suaranya lembut namun penuh kepastian.

Jalur pendakian kini berubah drastis. Tanah lunak yang mereka lalui di awal mulai berganti dengan bebatuan licin dan akar-akar pohon yang mencuat dari tanah, seolah alam sengaja menempatkan rintangan untuk menguji tekad mereka. Tanjakan yang Vira sebut “agak curam” ternyata adalah lereng dengan kemiringan hampir 45 derajat, di mana setiap langkah terasa seperti pertarungan melawan gravitasi. Kaz merasakan otot-otot kakinya menegang, dan napasnya mulai pendek-pendek. Ia mencoba mengatur irama, seperti yang Vira ajarkan tadi pagi: tarik napas dalam, hembuskan pelan, langkah kecil tapi pasti. Tapi teori terasa jauh lebih mudah daripada praktik. Ransel di punggungnya terasa seperti menariknya ke belakang, dan sepatu trekking barunya mulai membuat lecet di tumitnya.

Di depan, Taz tampak tak terpengaruh oleh tanjakan. Ia bahkan sempat berhenti untuk memeriksa sehelai tanaman merambat yang menjuntai dari pohon, mencatat sesuatu di buku kecilnya dengan antusias. “Ini Smilax! Jarang banget ketemu di ketinggian ini!” serunya, suaranya penuh semangat meski wajahnya memerah karena panas. Kaz iri pada energinya, tapi juga merasa terhibur. Setidaknya, antusiasme Taz membuatnya lupa sejenak pada rasa lelah yang mulai merayap.

Namun, tak lama kemudian, insiden kecil terjadi. Radifan, yang sedang sibuk memotret sebuah formasi batu yang menyerupai wajah manusia, tersandung akar pohon yang tersembunyi di bawah dedaunan. Kameranya hampir jatuh, tapi ia berhasil menahannya dengan tangan yang gemetar. Vira segera menghampiri, memeriksa apakah Radifan baik-baik saja. “Hati-hati, Fan. Jalur ini suka bikin orang lengah,” katanya, nada suaranya tetap tenang tapi tegas. Radifan hanya mengangguk, wajahnya sedikit pucat. Kaz memperhatikan dari belakang, merasa sedikit lega karena bukan dia yang tersandung, tapi juga merasa bersalah karena lega. Ia mulai menyadari bahwa pendakian ini bukan hanya tentang fisik, tapi juga tentang bagaimana mereka saling menjaga.

Setelah hampir satu jam berjuang di tanjakan, rombongan sampai di sebuah dataran kecil yang dikelilingi oleh pohon-pohon pinus. Vira memutuskan untuk berhenti sejenak, memberi kesempatan pada semua orang untuk menarik napas. Kaz langsung ambruk di atas sehelai rumput, merasakan keringat menetes dari dagunya. Ia membuka botol airnya, meneguknya perlahan sambil memandang ke arah lembah yang kini terlihat lebih jelas. Di kejauhan, bukit-bukit hijau bergulung seperti ombak, dan awan-awan putih bergerak lamban di langit biru. Pemandangan itu indah, tapi juga mengingatkannya pada betapa kecil dirinya di tengah luasnya alam.

Saat istirahat, Kaz mendengar percakapan pelan antara Vira dan Melvi di dekatnya. Mereka membicarakan cuaca, yang menurut Vira mulai menunjukkan tanda-tanda tidak bersahabat. “Awan di utara itu agak gelap. Kita harus cepat sampai ke pos berikutnya sebelum hujan,” kata Vira, suaranya sedikit cemas. Melvi mengangguk, menambahkan bahwa jalur berikutnya akan lebih terbuka, dengan sedikit perlindungan dari pohon. Kaz, yang mendengar percakapan itu, merasakan jantungnya berdetak lebih kencang. Hujan? Ia tak pernah memikirkan kemungkinan itu. Jaketnya memang tahan air, tapi ia tak yakin apakah ia siap menghadapi hujan di tengah pendakian.

Tiba-tiba, Zivran duduk di sampingnya, menawarkan sebatang cokelat energi. “Makan ini, Kaz. Bikin semangat,” katanya sambil menyeringai. Kaz menerima cokelat itu, menggigitnya pelan. Rasa manisnya sedikit mengembalikan tenaganya, tapi juga memicu kenangan lain: ibunya yang selalu menyisipkan cokelat kecil di tasnya setiap kali ia pergi ke sekolah. “Cokelat itu obat hati,” kata ibunya dulu, dan Kaz merasa air matanya mulai menggenang. Ia buru-buru mengedipkan mata, tak ingin Zivran atau yang lain melihatnya.

Sebelum melanjutkan perjalanan, Vira mengumpulkan rombongan untuk briefing singkat. “Jalur berikutnya lebih terbuka, tapi juga lebih berangin. Pastikan kalian ikat tali sepatu dengan benar, dan kalau merasa lelet, jangan malu bilang. Kita tim, bukan lomba.” Kata-katanya sederhana, tapi Kaz merasakan kekuatan di dalamnya. Ia menatap liontin daun di sakunya, menggenggamnya erat-erat. Ia teringat kata-kata ibunya lagi: “Gunung itu seperti hidup, Kaz. Kadang curam, kadang licin, tapi kalau kau terus melangkah, kau akan sampai.”

Ketika rombongan mulai bergerak lagi, Kaz merasakan angin yang lebih kencang menerpa wajahnya. Jalur kini lebih terbuka, dengan pohon-pohon yang semakin jarang. Tanah di bawah kakinya berubah menjadi campuran kerikil dan pasir, yang membuat setiap langkah terasa tidak stabil. Di kejauhan, ia bisa melihat puncak Arjasa yang masih diselimuti kabut tipis, seperti menantangnya untuk terus maju. Tapi di dalam dadanya, ada perasaan campur aduk: semangat untuk membuktikan dirinya, ketakutan akan kegagalan, dan kerinduan pada ibunya yang tak pernah pudar. Setiap langkah terasa seperti perjuangan, tapi juga seperti doa—doa untuk menemukan sesuatu yang selama ini hilang dari hidupnya.

Badai di Jalur Terbuka

Angin semakin kencang, membawa aroma tanah basah dan sesekali hembusan dingin yang membuat Kazvian Rahmadi, atau Kaz, menarik jaketnya lebih rapat. Langit yang tadinya biru cerah kini mulai diselimuti awan kelabu yang bergulung di kejauhan, seperti tirai raksasa yang perlahan menutup pemandangan lembah di bawah. Rombongan pendakian, yang dipimpin oleh Syavira Elnanda—atau Vira—melangkah dengan hati-hati di jalur yang kini lebih terbuka, dengan kerikil kecil yang bergoyang di bawah sepatu mereka. Pohon-pohon pinus yang tadinya rimbun kini semakin jarang, digantikan oleh semak-semak rendah dan bebatuan yang terpapar angin. Kaz merasakan setiap langkahnya lebih berat, bukan hanya karena medan yang sulit, tapi juga karena firasat buruk yang mulai merayap di benaknya.

Vira, yang berjalan di depan, sesekali menoleh untuk memeriksa rombongan. Wajahnya yang biasanya penuh semangat kini menunjukkan sedikit ketegangan, meski ia berusaha menyembunyikannya dengan senyum kecil. “Perhatikan langkah kalian, ya. Jalur ini licin kalau basah,” katanya, suaranya tetap tenang tapi ada nada urgensi di dalamnya. Kaz memperhatikan tangan Vira yang erat memegang trekking pole, seolah ia juga sedang mempersiapkan diri untuk sesuatu yang tak terduga. Di belakang Vira, Luthvira Tazkia—Taz—masih sesekali mencuri pandang ke semak-semak, meski buku catatannya kini tersimpan aman di dalam ranselnya yang dilapisi pelindung hujan. Radifan Kael, si fotografer, berjalan dengan kamera tergantung di lehernya, tapi ia tak lagi sering berhenti untuk memotret. Wajahnya tampak lebih tegang, mungkin karena insiden tersandung tadi atau karena ia juga merasakan perubahan cuaca.

Zivran Hadi dan Melviora Sasti, duo pendaki berpengalaman, tetap berada di barisan belakang bersama Kaz. Zivran, yang biasanya penuh canda, kini lebih banyak diam, fokus pada jalur di depannya. Namun, sesekali ia masih melontarkan komentar ringan untuk mencairkan suasana. “Kalau hujan turun, Kaz, kita bakal main lomba seluncur lumpur, gimana?” katanya sambil menyeringai, tapi Kaz hanya bisa membalas dengan senyum tipis. Melvi, seperti biasa, berjalan dengan tenang, tapi Kaz memperhatikan bahwa ia sering melirik ke arah langit, seolah menghitung waktu sebelum awan kelabu itu benar-benar mengguyur mereka.

Jalur yang mereka lalui kini semakin menantang. Tanjakan tidak lagi setajam sebelumnya, tapi kerikil-kerikil kecil di bawah kaki mereka membuat setiap langkah terasa seperti berjalan di atas kelereng. Kaz merasakan tumitnya semakin lecet, dan setiap kali ia menginjak batu yang goyah, ia harus menahan napas untuk menjaga keseimbangan. Ransel di punggungnya terasa seperti beban tambahan yang ingin menariknya ke belakang, dan keringat yang bercampur dengan udara dingin membuat tubuhnya merinding. Ia mencoba mengalihkan perhatiannya dengan memandang ke arah puncak Arjasa, yang kini sedikit lebih jelas meski masih diselimuti kabut tipis. Puncak itu seolah memanggilnya, tapi juga mengintimidasinya dengan ketinggiannya yang tak terjangkau.

Tiba-tiba, tetesan air pertama jatuh di pipi Kaz. Ia mengira itu keringat, tapi ketika tetesan kedua dan ketiga menyusul, ia menyadari bahwa hujan mulai turun. Vira segera berhenti dan mengangkat tangan, memberi isyarat agar rombongan berhenti. “Pasang raincoat sekarang!” perintahnya, suaranya kini lebih tegas. Kaz buru-buru membuka ritsleting samping ranselnya, merogoh raincoat tipis berwarna hijau lumut yang ia beli seminggu lalu. Tanganannya gemetar saat ia memakainya, bukan hanya karena dingin, tapi juga karena kecemasan yang mulai menggerogoti. Hujan di gunung bukan seperti hujan di kota, pikirnya. Di sini, tak ada tempat berteduh kecuali pohon-pohon yang kini semakin jarang.

Hujan mulai menderas, mengubah jalur kerikil menjadi licin dan berlumpur. Vira memimpin dengan lebih hati-hati, memilih langkah yang aman dan sesekali menunjukkan batu atau akar yang harus dihindari. Taz, yang tadinya penuh semangat, kini tampak lebih pendiam, fokus pada setiap langkahnya. Radifan menyimpan kameranya di dalam tas tahan air, wajahnya menunjukkan kekecewaan karena tak bisa memotret pemandangan yang kini mulai diselimuti kabut. Zivran dan Melvi tetap di belakang, sesekali membantu Kaz dengan menunjukkan pijakan yang lebih stabil. “Pegang akar ini, Kaz,” kata Melvi saat mereka melewati tanjakan kecil yang licin. Kaz mengangguk, berterima kasih dalam hati atas perhatiannya.

Namun, di tengah hujan yang semakin deras, insiden yang lebih serius terjadi. Taz, yang berjalan di depan Kaz, tiba-tiba tergelincir saat menginjak batu licin. Ia berteriak kecil sebelum jatuh ke samping, lututnya menghantam tanah dengan keras. Vira segera berbalik, berlari ke arah Taz dengan wajah penuh kekhawatiran. “Taz, kamu baik-baik saja?” tanyanya sambil berlutut di sampingnya. Taz mengangguk, tapi wajahnya meringis kesakitan saat ia mencoba berdiri. Vira memeriksa lututnya, yang mulai memerah dan sedikit berdarah akibat lecet. “Bisa jalan?” tanya Vira lagi, suaranya lembut tapi penuh otoritas. Taz mengangguk lagi, meski langkahnya kini lebih pelan dan pincang.

Kaz, yang menyaksikan kejadian itu dari belakang, merasakan jantungnya berdegup kencang. Ia tiba-tiba teringat pada ibunya, yang pernah jatuh saat mendaki sebuah bukit kecil di dekat kampung halaman mereka. Ibunya baik-baik saja saat itu, tapi kenangan itu membuat Kaz merasa tak berdaya. Ia ingin membantu Taz, tapi ia tak tahu caranya. Melvi, yang tampaknya menyadari kegelisahan Kaz, meletakkan tangan di pundaknya. “Dia kuat, Kaz. Kita semua akan saling jaga,” katanya pelan. Kata-kata itu sederhana, tapi cukup untuk membuat Kaz mengangguk dan mencoba menenangkan diri.

Rombongan melanjutkan perjalanan dengan lebih hati-hati, hujan masih mengguyur tanpa ampun. Jalur yang tadinya sulit kini terasa seperti perang melawan alam. Kaz merasakan air hujan merembes ke dalam sepatunya, membuat kaus kakinya basah dan kakinya semakin lelet. Napasnya semakin berat, dan setiap langkah terasa seperti menguras seluruh tenaganya. Ia mulai mempertanyakan keputusannya untuk mendaki. Kenapa aku ada di sini? pikirnya. Aku bukan pendaki. Aku cuma orang biasa yang suka menggambar. Tapi setiap kali ia ingin menyerah, ia merogoh saku jaketnya, merasakan liontin daun peninggalan ibunya. “Gunung itu seperti hidup,” kata ibunya dulu. “Kadang kau jatuh, kadang kau lelah, tapi kau harus terus melangkah.”

Setelah perjuangan yang terasa seperti berjam-jam, rombongan akhirnya sampai di sebuah dataran kecil yang dilindungi oleh beberapa pohon besar. Vira memutuskan untuk mendirikan tenda darurat untuk berlindung dari hujan. “Kita tunggu sampai hujan reda,” katanya, suaranya kini lebih tenang karena mereka akhirnya menemukan tempat yang relatif aman. Zivran dan Melvi dengan cepat membantu Vira mendirikan tenda, sementara Radifan membantu Taz duduk di atas sehelai plastik yang mereka bentangkan. Kaz, yang merasa tak bisa berbuat banyak, hanya membantu memegang tali tenda agar tak tertiup angin.

Saat mereka duduk di dalam tenda yang sempit, mendengarkan deru hujan yang menghantam atap kain, Kaz merasakan campuran emosi yang sulit diuraikan. Ada rasa takut, tentu saja—takut bahwa hujan tak akan berhenti, takut bahwa mereka tak akan sampai ke puncak. Tapi ada juga rasa kebersamaan yang aneh, sesuatu yang ia tak pernah rasakan di kota. Di sini, di tengah hujan dan dingin, ia merasa terhubung dengan orang-orang yang hampir tak ia kenal beberapa hari lalu. Taz, meski wajahnya masih pucat, tersenyum kecil saat Zivran menawarkan cokelat energi kepadanya. Radifan, yang biasanya pendiam, mulai bercerita tentang foto favoritnya dari pendakian sebelumnya. Dan Vira, dengan kehadirannya yang menenangkan, terus memastikan bahwa semua orang baik-baik saja.

Kaz memandang keluar tenda, ke arah kabut yang menyelimuti jalur. Puncak Arjasa masih jauh, tapi untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa perjalanan ini bukan hanya tentang sampai di puncak. Ini tentang langkah-langkah kecil, tentang keberanian untuk terus maju meski hujan dan lumpur menghalangi. Ia menggenggam liontinnya lagi, merasakan kehangatan ibunya dalam logam dingin itu. Dan di tengah deru hujan, ia berjanji pada dirinya sendiri: Aku akan terus melangkah.

Puncak yang Menjawab

Hujan akhirnya mereda menjelang senja, meninggalkan udara yang dingin dan lembap serta aroma tanah yang semakin kuat. Di dalam tenda darurat yang sempit, rombongan pendakian berkumpul, berbagi kehangatan dari secangkir teh panas yang dibuat Vira dengan kompor portabel kecil. Kazvian Rahmadi, atau Kaz, duduk di sudut tenda, memeluk lututnya sambil menatap tetesan air yang masih menempel di dinding kain. Wajahnya penuh kelelahan, tapi ada kilau kecil di matanya—secercah tekad yang mulai tumbuh setelah perjuangan melawan hujan dan tanjakan licin. Liontin daun di sakunya terasa seperti jangkar, mengingatkannya pada ibunya dan alasan ia memulai perjalanan ini.

Syavira Elnanda, atau Vira, memeriksa jam tangannya dan menatap langit yang kini mulai terbuka, menampakkan semburat jingga di ufuk barat. “Kita punya waktu untuk sampai ke pos terakhir sebelum malam,” katanya, suaranya kembali penuh semangat. “Jalurnya masih berat, tapi puncak sudah dekat. Kalian siap?” Taz, yang lututnya masih sedikit kaku akibat tergelincir tadi, mengangguk dengan senyum lemah namun penuh semangat. Radifan Kael, yang kini lebih banyak bicara setelah berbagi cerita di tenda, memeriksa kameranya dengan hati-hati, berharap bisa menangkap puncak Arjasa dalam cahaya senja. Zivran Hadi dan Melviora Sasti, seperti biasa, siap dengan energi yang seolah tak pernah habis. “Ayo, Kaz, kita kasih puncak itu salam perpisahan!” canda Zivran, membuat Kaz tersenyum meski tubuhnya terasa seperti akan ambruk.

Rombongan membongkar tenda dengan cepat, memastikan semua peralatan kembali tersimpan rapi. Jalur menuju pos terakhir adalah kombinasi tanjakan berbatu dan dataran berumput yang licin karena hujan. Angin masih bertiup kencang, membawa kabut tipis yang melayang seperti tirai di depan mereka. Kaz berjalan di tengah rombongan, mencoba mengatur napasnya seperti yang Vira ajarkan: tarik dalam, hembus pelan. Sepatu trekkingnya yang basah membuat setiap langkah terasa berat, tapi ia terus memandang ke depan, ke arah siluet puncak yang kini mulai terlihat lebih jelas. Kabut yang menyelimuti Gunung Arjasa seolah membuka jalan, seperti memberikan izin kepada mereka untuk melangkah lebih jauh.

Setelah satu jam berjalan, jalur menjadi lebih terjal, dengan bebatuan besar yang mengharuskan mereka memanjat menggunakan tangan. Vira memimpin dengan penuh perhitungan, menunjukkan pijakan yang aman dan sesekali membantu Taz yang masih kesulitan dengan lututnya. Kaz, yang berada di belakang Taz, merasa jantungnya berdetak kencang setiap kali ia harus meraih batu yang dingin dan licin. Rasa takut kembali muncul, tapi setiap kali ia ingin berhenti, ia mendengar suara ibunya di kepalanya: “Gunung itu seperti hidup, Kaz. Kadang kau harus memanjat meski tanganmu gemetar.” Ia menggenggam liontin di sakunya, merasakan logam dingin itu memberi kekuatan yang tak bisa ia jelaskan.

Tiba-tiba, Vira berhenti di sebuah tikungan dan mengangkat tangan. “Lihat ke depan!” serunya, suaranya penuh kegembiraan. Kaz menoleh, dan untuk pertama kalinya, ia melihat puncak Arjasa dalam jarak yang begitu dekat. Di bawah cahaya senja, puncak itu berdiri megah, dikelilingi oleh awan-awan tipis yang bergerak lamban seperti tarian. Padang rumput kecil di dekat puncak tampak berkilau akibat sisa air hujan, dan di kejauhan, lembah hijau terbentang luas, diterangi oleh semburat jingga dan ungu dari matahari yang mulai tenggelam. Pemandangan itu begitu indah sehingga Kaz merasa dadanya sesak, bukan karena lelah, tapi karena emosi yang tiba-tiba meluap.

Namun, perjalanan belum selesai. Jalur terakhir menuju puncak adalah tanjakan berbatu yang curam, dengan angin yang semakin kencang seolah ingin mendorong mereka kembali. Kaz merasakan kakinya gemetar, tapi ia melihat Vira yang terus melangkah di depan, Taz yang tetap berjuang meski pincang, dan Radifan yang kini berjalan dengan kamera di tangan, siap menangkap momen berharga. Zivran dan Melvi, di belakangnya, terus memberikan semangat dengan kata-kata sederhana yang entah kenapa terasa begitu berarti. “Satu langkah lagi, Kaz. Kau sudah sejauh ini,” kata Melvi, suaranya lembut namun penuh kekuatan.

Ketika akhirnya rombongan sampai di puncak, matahari sudah hampir tenggelam, meninggalkan langit yang bercampur antara jingga, merah, dan ungu. Kaz berdiri di tepi puncak, menatap pemandangan yang terbentang di depannya: bukit-bukit yang bergulung, awan-awan yang melayang rendah, dan keheningan yang hanya dipecah oleh suara angin. Ia merasakan air mata mengalir di pipinya, bukan karena sedih, tapi karena perasaan yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata. Ia merasa kecil di hadapan alam, namun juga merasa utuh untuk pertama kalinya dalam tiga tahun sejak kepergian ibunya.

Vira mengumpulkan rombongan untuk berfoto bersama di puncak. Radifan mengatur kameranya dengan hati-hati, menangkap senyum lelah namun penuh kemenangan dari setiap anggota tim. Taz, meski wajahnya pucat, tersenyum lebar sambil memegang buku catatannya yang kini penuh coretan tentang flora yang ia temui. Zivran membuat pose konyol, sementara Melvi hanya tersenyum kecil, seperti biasa. Kaz berdiri di samping Vira, merasakan kehangatan dari kebersamaan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Setelah foto, Kaz berjalan ke sudut puncak yang lebih sepi, duduk di atas batu besar sambil memandang matahari yang kini tinggal secercah cahaya di ufuk. Ia mengeluarkan liontin daun dari sakunya, memegangnya erat-erat. “Aku sampai, Bu,” bisiknya, suaranya hampir tenggelam oleh angin. Ia teringat semua kenangan bersama ibunya: pagi-pagi di teras, cerita tentang gunung, dan cokelat kecil yang selalu ibunya sisipkan di tasnya. Di puncak ini, ia merasa ibunya ada bersamanya, bukan sebagai kenangan yang menyakitkan, tapi sebagai kekuatan yang mendorongnya untuk terus maju.

Malam mulai turun, dan rombongan memutuskan untuk mendirikan tenda di dekat puncak untuk bermalam. Vira menyalakan api unggun kecil, dan mereka duduk mengelilinginya, berbagi cerita dan tawa. Zivran menceritakan lelucon yang membuat Taz tertawa hingga terbatuk, sementara Radifan menunjukkan beberapa foto yang ia ambil di puncak, termasuk satu foto candid Kaz yang menatap matahari terbenam dengan air mata di pipinya. “Ini foto terbaikku hari ini,” kata Radifan pelan, membuat Kaz tersipu.

Saat malam semakin larut, Kaz berbaring di dalam sleeping bag-nya, mendengarkan suara angin dan derik dedaunan. Ia memandang langit yang kini dipenuhi bintang, lebih terang dari yang pernah ia lihat di kota. Puncak Arjasa bukan hanya tentang ketinggian atau pemandangan; bagi Kaz, ini adalah perjalanan untuk menemukan dirinya sendiri. Ia menyadari bahwa keberanian bukan berarti tak pernah takut, tapi tentang melangkah meski ketakutan ada. Dan di tengah bintang-bintang itu, ia merasa ibunya tersenyum kepadanya, bangga atas jejak pertama yang telah ia ukir di puncak awan.

Jejak Pertama di Puncak Awan mengajarkan kita bahwa setiap langkah di gunung adalah cerminan perjuangan hidup—penuh rintangan, namun juga penuh harapan. Kisah Kazvian mengingatkan kita bahwa puncak bukan hanya tujuan fisik, tetapi juga simbol kemenangan atas ketakutan dan keraguan diri. Jika Anda mencari inspirasi untuk memulai petualangan baru atau sekadar ingin tersentuh oleh cerita yang mendalam, cerpen ini adalah bacaan yang wajib Anda jelajahi.

Terima kasih telah menyimak kisah inspiratif ini! Semoga perjalanan Kazvian memotivasi Anda untuk melangkah keluar dari zona nyaman dan menemukan puncak Anda sendiri. Jangan lupa bagikan artikel ini dan ikuti terus petualangan menarik lainnya bersama kami!

Leave a Reply