Daftar Isi
Pernahkah Anda teringat momen masa kecil yang penuh petualangan, namun juga diwarnai luka dan pelajaran berharga? Dalam cerpen Jejak Pedal yang Patah: Kisah Masa Kecil yang Menggores Hati, kisah Aksara Vino, seorang anak desa Lembayung yang jatuh dari sepeda tuanya, membawa kita pada perjalanan emosional yang menyentuh. Cerita ini bukan sekadar tentang luka fisik, tetapi tentang keberanian bangkit dari rasa malu dan kegagalan, menghadirkan nostalgia yang relatable sekaligus inspiratif. Mari selami kisah penuh makna ini yang mengajarkan kita bahwa setiap goresan di hati adalah bagian dari perjalanan menuju kedewasaan.
Jejak Pedal yang Patah
Angin dan Impian di Jalan Berbatu
Di sebuah desa kecil bernama Lembayung, yang dikelilingi sawah hijau dan bukit-bukit kecil yang seolah berbisik tentang petualangan, hiduplah seorang anak laki-laki bernama Aksara Vino. Nama “Aksara” diberikan ibunya karena ia percaya anaknya akan menulis kisah hidup yang indah, sementara “Vino” adalah harapan ayahnya agar ia tumbuh penuh semangat seperti anggur merah yang matang di musim panas. Aksara, yang kala itu berusia sembilan tahun, adalah anak yang penuh rasa ingin tahu, dengan rambut ikal yang selalu berantakan karena angin dan mata cokelat yang berkilau seperti danau di pagi hari.
Pagi itu, matahari baru saja mengintip di ufuk timur, menyapu desa dengan sinar keemasan. Aksara berdiri di depan rumah kayu sederhana milik keluarganya, menatap sepeda tua yang baru saja diberikan oleh Pak Tua Rengas, tetangga yang dikenal sebagai tukang reparasi segala macam di desa. Sepeda itu bukanlah barang mewah—rangkanya berkarat di beberapa bagian, sadelnya sedikit robek, dan pedalnya kadang berderit seperti sedang mengeluh. Namun, bagi Aksara, sepeda itu adalah kapal bajak laut, pesawat tempur, dan kuda liar sekaligus. Itu adalah tiket menuju kebebasan.
“Aksara, hati-hati, ya! Jangan kebut-kebutan di jalan berbatu!” seru ibunya, Bu Ratih, dari beranda sambil menggenggam kain lap yang masih basah dari mencuci piring. Suaranya lembut, tapi penuh kekhawatiran yang khas seorang ibu.
“Iya, Bu! Aku cuma mau keliling sawah!” jawab Aksara, sambil mengayuh sepeda dengan penuh semangat. Ia tak benar-benar mendengar peringatan ibunya; pikirannya sudah melayang, membayangkan dirinya sebagai penjelajah ulung yang akan menemukan harta karun di ujung desa.
Jalanan di Lembayung tidak pernah ramah bagi pengendara sepeda pemula. Batu-batu kecil berserakan di sepanjang jalur tanah yang membelah sawah, dan lubang-lubang kecil di sana-sini seolah menunggu untuk menjebak roda. Tapi Aksara tidak peduli. Angin pagi yang sejuk membelai wajahnya, dan aroma tanah basah bercampur bunga liar membuatnya merasa seperti sedang menembus dunia lain. Ia mengayuh semakin kencang, merasakan detak jantungnya yang berlomba dengan derit pedal sepeda.
Di kejauhan, ia melihat teman-temannya—Kaelan, anak tukang kayu yang selalu membawa ketapel di saku, dan Sari, gadis kecil dengan dua kepang yang suka menggambar burung di buku catatannya. Mereka sedang duduk di bawah pohon beringin besar di ujung sawah, tempat favorit anak-anak desa untuk berkumpul. Aksara ingin memamerkan keahlian barunya mengendarai sepeda. Ia pernah melihat kakak sepupunya, Rivan, melaju dengan satu tangan di jalan kota, dan ia yakin bisa melakukan hal yang sama.
“Hei, Kaelan! Sari! Lihat ini!” teriak Aksara, mengangkat satu tangan dari stang sepeda sambil tersenyum lebar. Angin menerpa wajahnya lebih kencang, dan untuk sesaat, ia merasa seperti burung yang terbang bebas. Kaelan bertepuk tangan, sementara Sari memandang dengan mata terbelalak, setengah kagum, setengah khawatir.
Namun, keberanian itu hanya bertahan beberapa detik. Roda depan sepeda tiba-tiba menghantam batu besar yang tersembunyi di balik rumput liar. Sepeda oleng, dan Aksara, yang belum mahir menjaga keseimbangan, kehilangan kendali. Dunia seolah berputar lambat. Ia melihat langit biru, kemudian sawah hijau, dan akhirnya tanah cokelat yang mendekat dengan cepat. Bunyi brak keras menggema saat tubuhnya menghantam tanah, diikuti oleh suara derit sepeda yang jatuh di sisinya.
Rasa sakit menyergap seperti kilat. Lututnya terasa perih, dan telapak tangannya yang mencoba menahan tubuhnya kini berdarah, penuh goresan dari batu-batu kecil. Tapi yang lebih menyakitkan adalah suara tawa kecil dari Kaelan, yang berusaha ditahan tapi tetap terdengar. Sari berlari mendekat, wajahnya penuh kekhawatiran. “Aksara, kamu nggak apa-apa?!” tanyanya, suaranya gemetar.
Aksara tidak menjawab segera. Ia duduk di tanah, menatap sepeda yang kini terbaring miring dengan roda depan yang sedikit bengkok. Air mata mulai menggenang di matanya, bukan hanya karena rasa sakit di lutut dan tangannya, tapi juga karena rasa malu yang membakar dadanya. Ia ingin terlihat hebat di depan teman-temannya, tapi kini ia hanya seorang anak kecil yang jatuh dari sepeda tua.
“Aku… aku baik-baik saja,” gumamnya, meski suaranya bergetar. Ia mencoba bangkit, tapi lututnya terasa lemas, dan darah mulai menetes dari luka di telapak tangannya. Sari meraih lengan Aksara, membantu mengangkatnya, sementara Kaelan, yang kini menyadari kesalahannya, buru-buru mendekat dan memunguti sepeda.
“Maaf, Aksara, aku nggak bermaksud ketawa,” kata Kaelan, wajahnya memerah. “Keren kok, tadi kamu hampir berhasil!”
Aksara hanya mengangguk pelan, tapi hatinya terasa berat. Ia menatap sepeda itu lagi, kapal bajak laut yang tadi begitu gagah, kini tampak seperti tumpukan besi tua yang mengejeknya. Angin pagi yang tadinya terasa menyenangkan kini terasa dingin, menggigit kulitnya yang penuh luka. Ia ingin pulang, ingin bersembunyi di pelukan ibunya, tapi ia tahu perjalanan pulang masih panjang—dan ia harus mendorong sepeda itu sendiri.
Di kejauhan, suara burung-burung kecil terdengar, seolah mencoba menghibur. Tapi bagi Aksara, dunia pagi itu terasa sedikit lebih kelabu. Ia tidak tahu bahwa kejadian ini, yang kini terasa seperti akhir dari petualangannya, hanyalah awal dari sebuah pelajaran yang akan ia kenang seumur hidup.
Jejak Luka dan Langkah Pulang
Hari itu, matahari sudah sedikit lebih tinggi di langit Lembayung, sinarnya kini terasa hangat di kulit Aksara yang masih gemetar. Bau tanah basah dan rumput liar bercampur dengan aroma darah tipis dari lukanya, membuatnya merasa sedikit mual. Ia berdiri di tepi jalan berbatu, menatap sepeda tua yang kini terbaring tak berdaya di sisinya. Roda depannya sedikit bengkok, dan rantainya terlepas, bergoyang lemas seperti tali yang putus. Aksara merasa sepeda itu mencerminkan dirinya saat ini—patah, lemah, dan jauh dari gagah seperti yang ia bayangkan tadi pagi.
Sari masih berdiri di sampingnya, tangan kecilnya memegang lengan Aksara dengan lembut, seolah takut menyakitinya lebih jauh. “Kamu yakin bisa jalan, Aksara? Lukanya kelihatan sakit,” katanya, suaranya penuh kepedulian. Matanya yang besar dan bulat menatap luka di telapak tangan Aksara, yang kini mulai membentuk kerak kecil di sekitar darah yang mengering. Kaelan, yang tadi sempat tertawa, kini tampak gelisah. Ia mondar-mandir di sekitar sepeda, mencoba memeriksanya seolah ia tahu cara memperbaikinya, meskipun jelas ia sama bingungnya dengan Aksara.
“Aku… aku bisa pulang sendiri,” kata Aksara, suaranya masih serak karena menahan tangis. Ia tidak ingin terlihat lemah di depan teman-temannya, apalagi setelah kegagalan memalukannya tadi. Tapi setiap langkah kecil yang ia coba buat terasa seperti menusuk lututnya, yang kini membengkak dan memerah di bawah celana pendeknya yang robek. Ia memaksakan diri untuk mengangkat sepeda, meski tangannya gemetar dan rasa perih di telapak tangannya membuatnya meringis.
Kaelan melangkah mendekat, kali ini dengan ekspresi serius. “Biar aku yang dorong sepedanya, Aksara. Kamu jalan aja pelan-pelan sama Sari.” Ia meraih stang sepeda tanpa menunggu jawaban, dan meskipun Aksara ingin menolak, ia tahu ia tak punya tenaga untuk berdebat. Sari mengangguk, lalu dengan hati-hati memegang tangan Aksara yang tidak terluka, menuntunnya seperti kakak yang melindungi adiknya, meskipun mereka sebaya.
Perjalanan pulang terasa seperti perjalanan melintasi lautan badai bagi Aksara. Jalan berbatu yang tadi pagi terasa penuh petualangan kini seperti musuh yang kejam. Setiap langkah membuat lututnya berdenyut, dan debu yang beterbangan dari tanah kering menempel di luka-lukanya, menambah rasa perih. Angin yang tadinya sejuk kini terasa seperti cambuk, dan suara burung-burung yang berkicau di kejauhan seolah mengejek kegagalannya. Tapi yang paling berat baginya bukanlah rasa sakit fisik—itulah rasa malu yang masih membakar dadanya, dan ketakutan bahwa ibunya akan kecewa melihatnya pulang dalam keadaan seperti ini.
Di tengah perjalanan, mereka melewati sawah Pak Dimas, petani tua yang selalu tersenyum lebar dan menyapa setiap anak yang lewat. Pagi itu, Pak Dimas sedang mencangkul di sawahnya, topi capingnya miring di kepala. Ia melambai pada mereka, tapi begitu melihat wajah murung Aksara dan sepeda yang didorong Kaelan, ia menghentikan pekerjaannya dan berjalan mendekat.
“Lho, Aksara, kenapa ini? Jatuh dari sepeda, ya?” tanyanya, suaranya penuh kehangatan tapi juga sedikit cemas. Ia jongkok di depan Aksara, memeriksa lututnya dengan mata yang penuh pengalaman. “Lukanya nggak dalam, tapi harus dibersihkan segera. Kalau nggak, bisa infeksi.”
Aksara hanya mengangguk pelan, tidak berani menatap mata Pak Dimas. Ia takut pertanyaan berikutnya akan tentang bagaimana ia bisa jatuh, dan ia belum siap menceritakan kegagalan memalukannya itu. Tapi Pak Dimas tidak bertanya lebih jauh. Ia hanya tersenyum, mengelus kepala Aksara, dan berkata, “Anak laki-laki yang berani coba sesuatu pasti pernah jatuh. Yang penting, kamu bangkit lagi. Pulang dulu, biar ibumu urus lukanya.”
Kata-kata itu seharusnya menghibur, tapi bagi Aksara, mereka terasa seperti beban baru. “Bangkit lagi” terdengar mudah diucapkan, tapi bagaimana caranya bangkit ketika ia merasa begitu kecil dan rapuh? Ia hanya mengangguk lagi, dan rombongan kecil itu melanjutkan perjalanan. Sari sesekali berbicara, mencoba menghibur dengan cerita tentang burung-burung yang ia gambar di bukunya, tapi Aksara hanya mendengarkan setengah hati. Pikirannya terjebak pada sepeda yang kini didorong Kaelan, pada roda yang bengkok, dan pada mimpinya yang tadi pagi terasa begitu nyata, kini hancur seperti rantai yang lepas.
Saat mereka akhirnya sampai di depan rumah kayu keluarga Aksara, Bu Ratih sedang menyapu halaman. Begitu melihat anaknya dengan wajah pucat dan pakaian penuh debu, ia menjatuhkan sapunya dan berlari mendekat. “Aksara! Ya Tuhan, apa yang terjadi?!” serunya, suaranya campuran antara panik dan kemarahan yang terselubung. Ia meraih wajah Aksara, memeriksa luka di tangan dan lututnya, lalu memeluknya erat tanpa peduli debu yang menempel di pakaiannya.
“Aku jatuh, Bu…” gumam Aksara, suaranya hampir hilang di pelukan ibunya. Air mata yang tadi ia tahan kini mengalir tanpa bisa dicegah, membasahi bahu Bu Ratih. Rasa malu, sakit, dan ketakutan bercampur menjadi satu, dan untuk pertama kalinya pagi itu, Aksara merasa aman, meski hanya untuk sesaat.
Bu Ratih melepaskan pelukannya, menatap mata Aksara dengan penuh kasih. “Kamu nggak apa-apa, Nak. Lukanya bisa disembuhkan. Yang penting kamu pulang ke rumah.” Ia lalu menoleh ke Sari dan Kaelan, tersenyum lembut. “Terima kasih, ya, sudah antar Aksara pulang. Kalian mau masuk, minum teh dulu?”
Sari dan Kaelan menggeleng, mungkin merasa sedikit canggung. “Kami balik dulu, Tante,” kata Kaelan, lalu menepuk bahu Aksara pelan sebelum pergi bersama Sari, meninggalkan sepeda tua itu bersandar di dinding rumah.
Bu Ratih membawa Aksara masuk, duduk di kursi kayu di dapur, dan mulai membersihkan lukanya dengan air hangat dan kain bersih. Setiap sentuhan membuat Aksara meringis, tapi ia tidak protes. Ia hanya menatap lantai, pikirannya masih terpaku pada sepeda di luar sana. “Bu, apa sepeda itu masih bisa dipakai lagi?” tanyanya tiba-tiba, suaranya kecil.
Bu Ratih berhenti sejenak, lalu tersenyum. “Bisa, Nak. Pak Tua Rengas pasti bisa perbaiki. Tapi sekarang, kamu istirahat dulu. Sepeda bisa menunggu, tapi kamu harus sembuh dulu.”
Aksara mengangguk, tapi hatinya tidak yakin. Ia takut sepeda itu tak akan pernah sama lagi, seperti mimpinya yang tadi pagi terasa begitu besar, kini terasa jauh dan tak tergapai. Di luar, angin Lembayung berhembus pelan, membawa suara dedaunan yang bergoyang, seolah berbisik bahwa perjalanan Aksara belum berakhir—bahwa luka ini, meski perih, adalah bagian dari cerita yang baru saja dimulai.
Bayang-Bayang di Bawah Lampu Minyak
Malam menyelimuti Lembayung dengan lembut, seperti selimut tua yang hangat namun sedikit berdebu. Di dalam rumah kayu keluarga Aksara, cahaya lampu minyak yang bergoyang di sudut ruang tamu menciptakan bayang-bayang yang menari-nari di dinding kayu. Bau obat merah dan perban kain masih menyeruak di udara, sisa dari perawatan yang Bu Ratih lakukan pada luka-luka Aksara sore tadi. Aksara duduk di dipan bambu yang sudah usang, kakinya terangkat di atas bantal tua untuk meredakan nyeri di lututnya yang masih bengkak. Di tangannya, ia memegang cangkir teh jahe hangat yang ibunya buat, uapnya naik perlahan, membawa aroma yang seharusnya menenangkan, tapi pikirannya terlalu kalut untuk merasakan kehangatan itu.
Di luar, suara jangkrik dan katak sawah berdendang, menciptakan simfoni malam yang biasanya membuat Aksara merasa damai. Tapi malam ini, suara-suara itu terasa asing, seperti mengingatkannya pada pagi yang penuh kegagalan. Sepeda tua itu masih bersandar di dinding luar, diterangi samar oleh cahaya bulan yang menyelinap melalui celah-celah pohon kelapa di halaman. Setiap kali Aksara memikirkan sepeda itu, dadanya terasa sesak. Ia membayangkan roda yang bengkok, rantai yang lepas, dan mimpinya yang kini terasa seperti lelucon anak kecil yang terlalu naif.
Bu Ratih duduk di sampingnya, tangannya sibuk menjahit tambalan pada celana pendek Aksara yang robek akibat jatuh tadi. Jarum dan benang bergerak dengan ritme yang teratur, seolah mencerminkan ketenangan ibunya yang selalu membuat Aksara kagum, bahkan di saat-saat seperti ini. “Kamu kenapa murung begitu, Nak?” tanya Bu Ratih tanpa mengalihkan pandangan dari jahitannya. Suaranya lembut, tapi ada nada penuh pengertian yang membuat Aksara merasa ingin menceritakan semuanya, sekaligus takut untuk membukanya.
“Aku… aku cuma malu, Bu,” gumam Aksara, menatap cangkir teh di tangannya. Uapnya sudah mulai memudar, seperti semangatnya yang perlahan meredup. “Aku pikir aku bisa kayak Rivan, naik sepeda dengan satu tangan, kelihatan keren di depan Kaelan sama Sari. Tapi malah jatuh. Mereka pasti nertawain aku di belakang.”
Bu Ratih berhenti menjahit. Ia meletakkan kain dan jarum di pangkuannya, lalu menatap Aksara dengan mata yang penuh kasih, namun juga tegas. “Aksara, orang lain ketawa atau nggak, itu bukan ukuran keberanianmu. Kamu berani coba sesuatu yang baru, itu sudah lebih dari cukup. Jatuh itu biasa, Nak. Bahkan Rivan yang kamu kagumi itu, dulu juga pernah jatuh berkali-kali sebelum bisa naik sepeda dengan satu tangan.”
Aksara mengangguk pelan, tapi kata-kata ibunya belum sepenuhnya meresap. Ia masih bisa mendengar tawa kecil Kaelan di kepalanya, dan bayangan Sari yang menatapnya dengan rasa kasihan. Ia ingin percaya pada ibunya, tapi rasa malu itu seperti bayang-bayang yang terus mengintai, menolak pergi meski cahaya lampu minyak berusaha meneranginya.
Malam itu, setelah Bu Ratih selesai menjahit dan menyuruh Aksara untuk tidur, ia tidak langsung menuju kamarnya. Ia berjalan pelan, pincang, menuju beranda belakang rumah, tempat ayahnya, Pak Wirya, biasanya duduk sambil merokok tembakau setelah seharian bekerja di sawah. Pak Wirya adalah pria pendiam, tapi matanya selalu penuh cerita. Rambutnya yang mulai memutih di pelipis dan tangannya yang kasar karena kerja keras membuatnya tampak seperti pohon jati tua—kokoh, tapi penuh goresan waktu.
“Ayah,” panggil Aksara pelan, berdiri di ambang pintu beranda. Pak Wirya menoleh, asap rokoknya melayang perlahan di udara malam. Ia tersenyum tipis, mengangguk agar Aksara mendekat. “Duduk sini, Nak. Apa kabar lututmu?”
Aksara duduk di samping ayahnya, merasakan dinginnya lantai kayu di bawahnya. “Masih sakit, Yah. Tapi… bukan itu. Aku cuma… nggak tahu apa aku mau naik sepeda itu lagi.” Suaranya kecil, hampir tenggelam dalam suara jangkrik yang kini semakin nyaring.
Pak Wirya menghembuskan asap rokoknya, lalu memandang ke arah sawah yang gelap di kejauhan. “Dulu, waktu Ayah seumuran kamu, Ayah juga punya sepeda. Bukan hadiah, bukan pinjaman, tapi Ayah buat sendiri dari potongan besi yang Ayah kumpulin dari tempat sampah di kota. Roda depannya bengkok, sadelnya cuma papan kayu, tapi Ayah bangga sekali. Pertama kali nyoba, Ayah jatuh ke parit, muka penuh lumpur. Kakekmu ketawa sampai nangis lihatnya.”
Aksara menatap ayahnya, sedikit terkejut. Ia jarang mendengar Pak Wirya bercerita tentang masa kecilnya, apalagi dengan nada yang begitu ringan. “Terus, Ayah nggak malu?” tanyanya, suaranya penuh rasa ingin tahu.
“Malu? Pasti. Tapi Ayah pikir, kalau Ayah berhenti gara-gara malu, sepeda itu cuma bakal jadi tumpukan besi di gudang. Jadi Ayah coba lagi. Dan lagi. Sampai akhirnya Ayah bisa naik ke kota, bawa hasil kebun untuk dijual. Jatuh itu cuma satu langkah, Aksara. Yang bikin kamu hebat adalah apa yang kamu lakukan setelahnya.”
Kata-kata ayahnya terasa seperti angin malam—dingin, tapi membawa kejernihan. Untuk pertama kalinya sejak pagi tadi, Aksara merasa ada secercah harapan di dadanya. Ia menatap tangannya yang diperban, lalu ke arah sepeda di luar yang samar-samar terlihat dari beranda. Mungkin sepeda itu bukan kapal bajak laut lagi, tapi ia mulai berpikir bahwa ia bisa membuatnya kembali berjalan—mungkin bukan besok, tapi suatu hari.
Sebelum tidur, Aksara berbaring di kasur jerami di kamarnya, menatap plafon kayu yang penuh noda air hujan dari tahun-tahun sebelumnya. Ia memikirkan kata-kata Pak Dimas, Bu Ratih, dan Pak Wirya. Mereka semua bilang jatuh adalah bagian dari perjalanan, tapi bagaimana caranya ia bisa melangkah lagi ketika lukanya masih perih, dan bayang-bayang rasa malu masih mengintai? Di luar, bulan purnama menggantung tinggi, menyinari Lembayung dengan cahaya perak. Aksara menutup matanya, berharap mimpi malam itu akan membawanya kembali ke pagi yang penuh semangat, sebelum batu di jalan menghentikan langkahnya.
Tapi di sudut hatinya, ia tahu bahwa esok hari akan membawa sesuatu yang baru—mungkin bukan keberanian penuh seperti pagi tadi, tapi langkah kecil yang akan mengubah caranya memandang sepeda itu, dan dirinya sendiri.
Pedal Baru, Langkah Baru
Pagi kembali menyapa Lembayung dengan lembut, sinar matahari menyelinap melalui celah-celah daun kelapa, menaburkan bintik-bintik emas di halaman rumah kayu keluarga Aksara. Suara ayam jantan berkokok di kejauhan, bercampur dengan aroma embun dan tanah basah yang khas pagi desa. Aksara berdiri di beranda, memandang sepeda tua yang masih bersandar di dinding, roda depannya yang bengkok kini tampak seperti luka yang belum sembuh, sama seperti lututnya yang masih diperban. Namun, ada sesuatu yang berbeda hari ini. Rasa sesak di dadanya tidak lagi seberat malam sebelumnya. Kata-kata Pak Wirya, Bu Ratih, dan Pak Dimas masih bergema di kepalanya, seperti nyanyian lembut yang mendorongnya untuk melangkah lagi.
Luka di lutut dan telapak tangannya masih perih, tapi sudah mulai membaik. Perban kain yang Bu Ratih pasang kini sedikit longgar, dan bengkak di lututnya sudah berkurang, meski setiap langkah masih terasa kaku. Aksara mengenakan kaus lusuh dan celana pendek yang baru saja ditambal ibunya, tambalannya sedikit tidak rapi tapi penuh kasih sayang. Ia menarik napas dalam-dalam, mencium aroma pagi yang segar, dan memutuskan untuk mendekati sepeda itu. Ia tidak yakin apa yang ingin dilakukannya—mungkin hanya ingin melihatnya lebih dekat, atau mungkin, di sudut hatinya, ia ingin mencoba lagi.
Saat ia menyentuh stang sepeda yang dingin karena embun malam, suara langkah kaki yang familiar mendekat. “Aksara, mau ke mana pagi-pagi?” tanya Bu Ratih dari ambang pintu, tangannya memegang keranjang anyaman berisi sayuran yang baru dipetik dari kebun belakang. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran, tapi juga ada kilau harapan di matanya, seolah ia tahu anaknya sedang berjuang melawan sesuatu yang lebih besar dari sekadar luka fisik.
“Cuma… cuma mau lihat sepedanya, Bu,” jawab Aksara, suaranya pelan tapi lebih teguh dari kemarin. Ia menelusuri rangka sepeda dengan jari-jarinya, merasakan karat yang kasar di bawah sentuhannya. “Aku pikir… mungkin aku bisa bawa ke Pak Tua Rengas. Apa dia bisa benerin roda sama rantainya?”
Bu Ratih tersenyum, mengangguk. “Pasti bisa. Tapi kamu nggak usah buru-buru, Nak. Kalau belum siap, sepeda itu bisa menunggu.” Ia melangkah mendekat, meletakkan keranjang di beranda, dan mengelus rambut ikal Aksara yang masih berantakan. “Tapi kalau kamu sudah siap, Ibu dukung. Bawa ke Pak Tua Rengas, nanti Ibu ikut.”
Aksara mengangguk, merasakan kehangatan dari sentuhan ibunya. Ia mendorong sepeda itu perlahan, berhati-hati agar roda yang bengkok tidak tersangkut. Perjalanan ke rumah Pak Tua Rengas tidak jauh, hanya beberapa menit berjalan kaki melewati jalan tanah yang sama yang menjadi tempat kejatuhannya kemarin. Setiap langkah membuatnya teringat pada batu besar yang menghentikan mimpinya, tapi kali ini, ia tidak merasa takut. Ada sesuatu di dalam dirinya yang mulai bertumbuh—bukan keberanian penuh seperti pagi sebelumnya, tapi sesuatu yang lebih tenang, lebih kokoh.
Rumah Pak Tua Rengas, yang lebih mirip gudang penuh alat-alat tua, berdiri di ujung jalan, dikelilingi tumpukan besi tua dan ban-ban bekas. Bau oli dan logam menyapa hidung Aksara begitu ia melangkah masuk, didampingi Bu Ratih yang membawa sepeda di sisinya. Pak Tua Rengas, dengan rambut putihnya yang selalu diikat ke belakang dan kacamata tua yang bertengger di hidung, sedang duduk di bangku kayu, memeriksa sebuah mesin jahit yang sudah renta.
“Lho, Aksara! Bawa pasien baru, ya?” seru Pak Tua Rengas, matanya berbinar saat melihat sepeda itu. Ia bangkit, mengusap tangannya yang penuh oli ke kain lap di pinggangnya, dan mendekati sepeda dengan langkah penuh semangat, seolah-olah setiap barang rusak adalah teka-teki yang menunggu untuk dipecahkan. “Mari kita lihat apa yang bisa diperbaiki.”
Aksara menjelaskan kejadian kemarin dengan suara yang sedikit gemetar, tapi ia berusaha untuk tidak terdengar terlalu lemah. “Rodanya bengkok, Pak. Rantainya juga lepas. Apa… apa masih bisa diperbaiki?” Ia menahan napas, takut mendengar jawaban yang akan menghancurkan harapannya.
Pak Tua Rengas memeriksa sepeda itu dengan cermat, memutar roda depan yang berderit dan memeriksa rantai yang bergoyang. “Hmm, ini sih cuma luka kecil,” katanya sambil tersenyum. “Roda bisa diluruskan, rantai bisa dipasang lagi. Besok pagi sudah selesai, asal kamu janji bakal hati-hati lain kali.” Ia mengedipkan mata, membuat Aksara tersenyum kecil untuk pertama kalinya sejak kejadian itu.
Sore itu, setelah meninggalkan sepeda di bengkel Pak Tua Rengas, Aksara berjalan pulang bersama Bu Ratih. Di tengah jalan, mereka bertemu Kaelan dan Sari, yang sedang bermain di tepi sawah dengan ketapel Kaelan dan buku gambar Sari. Melihat Aksara, Sari berlari mendekat, wajahnya penuh antusiasme. “Aksara! Kamu bawa sepeda ke mana? Sudah nggak sakit, kan?” tanyanya, matanya memeriksa perban di tangan Aksara.
“Ke Pak Tua Rengas,” jawab Aksara, kali ini dengan nada yang lebih ringan. “Besok sepedanya selesai. Aku… aku mau coba lagi.” Ia menatap Kaelan, yang kini tampak sedikit canggung, mungkin masih merasa bersalah atas tawanya kemarin.
Kaelan mengangguk, lalu mengeluarkan ketapel dari sakunya. “Kalau gitu, besok kita balapan, ya? Tapi pelan-pelan dulu, biar nggak jatuh lagi!” Ia tertawa, tapi kali ini tawanya penuh semangat, bukan ejekan. Sari mengangguk setuju, menunjukkan gambar burung baru di bukunya. “Kalau kamu menang, aku gambar sepedamu di bukuku!”
Aksara tertawa, dan untuk pertama kalinya sejak kejatuhannya, ia merasa dadanya ringan. Malam itu, ia tidur dengan lebih tenang, bermimpi tentang angin yang membelai wajahnya saat ia mengayuh sepeda, kali ini tanpa rasa takut. Keesokan paginya, ketika ia dan Bu Ratih kembali ke rumah Pak Tua Rengas, sepeda itu sudah berdiri tegak, roda depannya lurus, rantainya terpasang rapi, dan sadelnya diperbaiki dengan tambalan kain baru.
“Coba, Nak,” kata Pak Tua Rengas, mendorong sepeda ke arah Aksara. Dengan hati-hati, Aksara naik ke sadel, merasakan pedal di bawah kakinya yang masih sedikit kaku. Ia mengayuh perlahan di halaman rumah Pak Tua Rengas, diikuti sorak kecil dari Bu Ratih dan tepukan tangan dari Pak Tua Rengas. Angin pagi kembali membelai wajahnya, dan meskipun ia belum berani melepas satu tangan dari stang, ia merasa seperti sedang terbang lagi—bukan sebagai penjelajah ulung, tapi sebagai anak kecil yang belajar untuk bangkit.
Di kejauhan, Kaelan dan Sari muncul di ujung jalan, melambai dengan penuh semangat. Aksara tersenyum lebar, mengayuh ke arah mereka, kali ini dengan langkah yang lebih pasti. Sepeda tua itu bukan lagi kapal bajak laut atau pesawat tempur, tapi ia adalah teman yang telah mengajarinya sesuatu yang jauh lebih berharga: bahwa luka, baik di tubuh maupun hati, adalah bagian dari perjalanan, dan keberanian sejati lahir dari langkah kecil setelah jatuh.
Saat matahari naik lebih tinggi, menyinari sawah Lembayung yang hijau, Aksara mengayuh bersama teman-temannya, tertawa di bawah pohon beringin besar. Di hatinya, ia tahu bahwa jejak pedal yang patah itu telah membawanya pada cerita baru—cerita tentang dirinya yang tidak menyerah, yang akan terus mengayuh, meski jalan di depan masih penuh batu.
Jejak Pedal yang Patah bukan hanya cerita tentang seorang anak dan sepedanya, melainkan cerminan kehidupan yang mengajarkan kita untuk bangkit dari setiap kejatuhan. Kisah Aksara mengingatkan kita bahwa luka, baik fisik maupun emosional, adalah bagian dari proses belajar yang membentuk siapa kita hari ini. Cerpen ini adalah pengingat bahwa di balik setiap pedal yang patah, ada harapan untuk melaju kembali dengan lebih kuat. Jadilah seperti Aksara, yang memilih untuk mengayuh lagi meski jalan penuh batu, dan temukan inspirasi dalam setiap langkah kecil menuju keberanian.
Terima kasih telah menyusuri jejak kisah Aksara bersama kami! Semoga cerita ini membawa Anda kembali ke kenangan masa kecil yang penuh warna dan menginspirasi Anda untuk terus melangkah, apa pun rintangan di depan. Sampai jumpa di artikel berikutnya, dan jangan lupa bagikan kisah ini kepada mereka yang juga merindukan petualangan kecil di hati!