Daftar Isi
Menyusuri jalur pendakian Gunung Rinjani, cerpen “Jejak Langkah di Ufuk Rinjani” mengajak Anda menyelami perjalanan emosional Kaelan Vayr, seorang pemuda yang mencari jawaban atas kehilangan ibunya di antara savana Sembalun dan cermin Danau Segara Anak. Penuh dengan detail memukau dan sentuhan emosi yang mendalam, kisah ini bukan hanya tentang menaklukkan puncak, tetapi juga tentang menghadapi luka batin dan menemukan kedamaian. Siap terhanyut dalam petualangan yang menggugah hati ini?
Jejak Langkah di Ufuk Rinjani
Panggilan Gunung
Di bawah langit kelabu yang merangkak perlahan menutupi desa Sembalun, Nusa Tenggara Barat, seorang pemuda bernama Kaelan Vayr berdiri di tepi sawah yang menghijau. Angin pagi membelai rambutnya yang ikal, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang baru tersapu embun. Kaelan, dengan matanya yang cokelat keemasan, menatap puncak Gunung Rinjani di kejauhan, yang menjulang bak raksasa yang tengah tertidur di bawah selimut awan. Di usianya yang baru menginjak 27 tahun, Kaelan bukan penduduk asli Sembalun. Ia datang dari kota kecil di Jawa Tengah, membawa luka batin yang tak pernah ia ceritakan kepada siapa pun, bahkan kepada sahabatnya sendiri.
Kaelan adalah seorang penulis lepas yang mencari inspirasi di setiap sudut dunia yang ia jelajahi. Namun, kali ini, perjalanan ke Rinjani bukan semata tentang menulis artikel wisata untuk majalah daring yang biasa memesan karyanya. Ada sesuatu yang lebih dalam, sebuah dorongan yang tak bisa ia jelaskan, seolah gunung itu memanggil namanya dalam bisikan angin. Ia merasa, di puncak sana, ada jawaban atas kegelisahan yang menghantuinya selama bertahun-tahun—kehilangan ibunya, Veyra, yang meninggal dalam kecelakaan tragis saat Kaelan masih remaja. Veyra adalah pendaki gunung yang penuh semangat, dan Rinjani adalah tempat yang selalu ia ceritakan dengan mata berbinar, meski ia tak pernah sempat mengajak Kaelan ke sana.
Pagi itu, Kaelan bersiap di penginapan sederhana milik seorang wanita tua bernama Ibu Lestari, yang wajahnya penuh kerutan namun matanya penuh kehangatan. Ibu Lestari, yang sudah puluhan tahun tinggal di kaki Rinjani, menyiapkan sarapan nasi goreng kampung untuk Kaelan dan dua pendaki lain yang akan bergabung dengannya: Syarifa, seorang dokter muda dari Makassar yang berbicara dengan logat tegas namun penuh tawa, dan Tharion, seorang fotografer eksentrik dari Bali yang selalu membawa kamera analog tua ke mana pun ia pergi. Mereka bertemu malam sebelumnya di teras penginapan, berbagi cerita ringan sambil menyeruput kopi hitam yang diseduh Ibu Lestari. Namun, Kaelan lebih banyak diam, mendengarkan sambil memandang bintang-bintang, pikirannya melayang pada kenangan ibunya.
“Kaelan, kau yakin mau naik sampai puncak?” tanya Ibu Lestari sambil meletakkan piring berisi nasi goreng di hadapannya. Suaranya lembut, tapi ada nada kekhawatiran di dalamnya. “Rinjani bukan cuma soal fisik. Gunung ini punya cara sendiri untuk menguji hati.”
Kaelan tersenyum tipis, matanya masih tertuju pada puncak yang samar di kejauhan. “Saya harus coba, Bu. Ada sesuatu yang… saya harus temukan di sana.”
Ibu Lestari mengangguk pelan, seolah memahami sesuatu yang tak terucap. Ia tahu, banyak pendaki datang ke Rinjani bukan hanya untuk menaklukkan ketinggian, tetapi juga untuk menghadapi diri mereka sendiri.
Pagi itu, langit masih kelabu, namun sinar matahari mulai menyelinap di sela-sela awan, menciptakan gradasi emas di lereng-lereng bukit. Kaelan, Syarifa, dan Tharion memulai pendakian mereka dari pos pendaftaran Sembalun, ditemani seorang pemandu lokal bernama Pak Darma, pria berusia lima puluhan dengan kulit sawo matang dan senyum yang menenangkan. Mereka membawa ransel berat, penuh dengan peralatan camping, makanan, dan air untuk tiga hari di gunung. Kaelan merasakan beban di pundaknya, tapi itu tak seberapa dibandingkan beban di hatinya.
Jalur pendakian Sembalun dikenal sebagai rute yang menawarkan pemandangan savana luas sebelum memasuki hutan tropis yang lebat. Awalnya, langkah mereka ringan. Syarifa bercerita tentang pasien-pasiennya di rumah sakit, tentang bagaimana ia memutuskan mendaki Rinjani untuk “kabur sejenak dari bau antiseptik.” Tharion, dengan topi jerami yang sedikit miring, sibuk memotret setiap detail—dari rumput ilalang yang bergoyang ditiup angin hingga kupu-kupu kecil yang hinggap di bunga liar. Kaelan, meski ikut tersenyum mendengar candaan mereka, tetap tenggelam dalam pikirannya sendiri. Setiap langkah membawanya lebih dekat ke puncak, namun juga lebih dalam ke kenangan tentang ibunya.
Saat mereka sampai di Pos 1, savana terbentang luas di depan mereka, seperti lukisan alam yang tak berujung. Angin membawa aroma rumput kering, dan di kejauhan, puncak Rinjani masih berdiri gagah, seolah menantang mereka. Pak Darma mengajak mereka beristirahat sejenak, membuka bekal berupa pisang goreng yang dibungkus daun pisang. Kaelan duduk di atas batu besar, menatap lanskap di depannya. Ia teringat buku harian ibunya yang ia temukan beberapa bulan lalu, tersimpan di kotak kayu tua di loteng rumah. Di dalamnya, Veyra menulis tentang Rinjani dengan penuh cinta, menyebutnya “tempat di mana langit dan bumi berbisik.” Kaelan merasa, di tempat ini, ia bisa mendengar bisikan itu, meski samar.
“Apa yang kau cari di sini, Kaelan?” tanya Syarifa tiba-tiba, memecah keheningan. Ia duduk di sampingnya, memegang sebotol air yang sudah setengah kosong. “Kau kelihatan… seperti sedang mencari sesuatu yang lebih dari sekadar pemandangan.”
Kaelan terkejut dengan pertanyaan itu. Ia menoleh, melihat mata Syarifa yang penuh rasa ingin tahu, tapi juga kehangatan. Untuk sesaat, ia ingin menceritakan segalanya—tentang ibunya, tentang rasa bersalah karena ia tak pernah bisa mengucapkan selamat tinggal, tentang luka yang ia bawa selama ini. Tapi kata-kata itu tersekat di tenggorokannya. “Hanya… inspirasi,” jawabnya akhirnya, suaranya pelan.
Syarifa mengangguk, tak memaksa. “Kadang, gunung punya cara untuk memberi jawaban, meski kita tak tahu pertanyaannya.”
Perjalanan berlanjut menuju Pos 2, di mana vegetasi mulai berubah. Savana berganti dengan hutan pinus yang tinggi, dan udara menjadi lebih sejuk. Langkah Kaelan mulai terasa berat, bukan karena fisik, melainkan karena memorinya yang semakin jelas. Ia teringat malam-malam ketika ibunya pulang dari pendakian, membawa cerita tentang gunung-gunung yang ia taklukkan. Veyra selalu bilang, “Kaelan, gunung mengajarkan kita untuk tetap melangkah, meski kaki lelah dan hati berat.” Kata-kata itu kini bergema di kepalanya, seolah Veyra berjalan di sampingnya.
Saat senja tiba, mereka sampai di Plawangan Sembalun, titik perkemahan sebelum pendakian terakhir ke puncak. Langit di ufuk barat berwarna jingga, mencerminkan bayang-bayang Rinjani di permukaan Danau Segara Anak yang terlihat samar di kejauhan. Tharion sibuk memasang tripod untuk mengambil foto matahari terbenam, sementara Syarifa membantu Pak Darma mendirikan tenda. Kaelan duduk sendirian di tepi jurang, memandang danau yang berkilau di bawah sana. Ia mengeluarkan buku harian ibunya dari ranselnya, membuka halaman yang sudah ia baca berulang kali. Di sana, Veyra menulis:
“Rinjani bukan hanya gunung. Ia adalah cermin jiwa. Di puncaknya, kau akan melihat dirimu sendiri—bukan yang kau inginkan, tapi yang sebenarnya. Aku ingin suatu hari membawa Kaelan ke sini, supaya ia tahu siapa dirinya.”
Air mata Kaelan jatuh ke halaman buku itu, membasahi tinta yang sudah mulai memudar. Ia merasa ibunya begitu dekat, namun juga begitu jauh. Malam itu, di bawah langit yang dipenuhi bintang, Kaelan berjanji pada dirinya sendiri: ia akan mencapai puncak Rinjani, bukan hanya untuk ibunya, tetapi untuk menemukan dirinya sendiri. Namun, ia tak tahu bahwa gunung itu menyimpan ujian yang jauh lebih berat dari sekadar pendakian.
Bayang-Bayang di Tengah Malam
Langit di Plawangan Sembalun berpendar penuh bintang, seperti permadani hitam yang ditaburi berlian. Udara dingin menusuk kulit, membuat Kaelan Vayr menarik jaketnya lebih erat ke tubuhnya. Api unggun kecil yang dinyalakan Pak Darma memecah kegelapan, menyisakan asap tipis yang menari-nari di udara. Di sekitar api, Syarifa, Tharion, dan Kaelan duduk melingkar, tangan mereka menghangat di dekat nyala api. Pak Darma, dengan suara yang dalam dan penuh pengalaman, menceritakan legenda Rinjani—tentang Dewi Anjani, roh penjaga gunung, yang konon masih mengawasi setiap pendaki yang datang dengan niat tulus atau hati yang goyah.
“Gunung ini bukan tempat sembarangan,” kata Pak Darma, matanya mencerminkan kilau api. “Kalian bawa apa di hati kalian, itu yang akan Rinjani balas. Jika ada beban, bersiaplah. Dia akan memaksa kalian menghadapinya.”
Kaelan menatap api unggun, kata-kata Pak Darma seperti menembus dinding hatinya. Ia memikirkan ibunya, Veyra, dan buku harian yang kini tersimpan rapi di dalam ranselnya. Di halaman-halaman itu, Veyra menulis tentang bagaimana Rinjani mengubahnya, membuatnya lebih kuat, lebih jujur pada dirinya sendiri. Kaelan bertanya-tanya, apa yang akan gunung ini tunjukkan padanya? Apakah ia siap menghadapi bayang-bayang masa lalunya?
Syarifa, yang duduk di samping Kaelan, memecah keheningan. “Pak, pernah ada pendaki yang… berubah setelah ke sini?” Suaranya penuh rasa ingin tahu, tapi ada nada hati-hati di dalamnya.
Pak Darma tersenyum kecil, kerutan di wajahnya tampak lebih dalam di bawah cahaya api. “Banyak. Ada yang pulang dengan hati ringan, ada yang pulang dengan luka baru. Rinjani tak pernah bohong. Dia seperti cermin.”
Tharion, yang selama ini lebih banyak mendengarkan sambil memainkan kamera analognya, akhirnya angkat bicara. “Aku sih cuma mau foto puncak pas matahari terbit. Tapi kalau gunung ini punya ‘keajaiban’ seperti yang Bapak bilang, aku nggak keberatan lihat apa yang dia tawarkan.” Nada santainya kontras dengan suasana malam yang hening, tapi Kaelan bisa melihat kilau serius di mata Tharion. Pria itu mungkin eksentrik, tapi ia bukan pendaki sembarangan.
Malam semakin larut, dan mereka memutuskan untuk beristirahat. Pendakian ke puncak akan dimulai dini hari, sekitar pukul dua pagi, untuk mengejar matahari terbit. Kaelan masuk ke tendanya, berbaring di atas sleeping bag yang tipis. Namun, tidur tak kunjung datang. Pikirannya penuh dengan bayangan ibunya—senyumnya yang hangat, suaranya yang penuh semangat saat bercerita tentang gunung, dan matanya yang selalu penuh cinta. Kaelan meraih buku harian Veyra dari ranselnya, membuka halaman yang sudah ia tandai dengan sehelai daun kering yang ia temukan di Pos 1.
“Di Rinjani, aku belajar bahwa kehilangan bukan akhir. Ia adalah bagian dari perjalanan. Tapi aku takut, jika suatu hari aku pergi, Kaelan tak akan memaafkanku karena meninggalkannya terlalu cepat.”
Kaelan menutup buku itu dengan cepat, dadanya terasa sesak. Ia tak pernah membenci ibunya karena pergi, tapi rasa bersalah itu selalu ada—kenapa ia tak bisa mengucapkan selamat tinggal? Kenapa ia tak memeluknya lebih erat di hari terakhir mereka bersama? Air mata mengalir di pipinya, tapi ia segera menyekanya. Ia tak mau Syarifa atau Tharion mendengar isakannya di tengah malam yang sunyi.
Tiba-tiba, suara gemerisik dari luar tenda membuat Kaelan tersentak. Ia duduk, mendengarkan dengan saksama. Angin bertiup kencang, membuat kain tenda berderit, tapi gemerisik itu terdengar lebih… dekat. Seperti langkah kaki yang pelan di atas kerikil. “Syarifa? Tharion?” panggilnya pelan. Tak ada jawaban. Dengan hati-hati, Kaelan membuka ritsleting tenda dan mengintip keluar. Cahaya bulan menyinari Plawangan Sembalun, membuat bayang-bayang batu-batu besar tampak seperti sosok-sosok yang diam. Tak ada siapa pun di luar.
Kaelan menghela napas, menganggap itu hanya imajinasinya. Namun, saat ia hendak menutup tenda, ia melihat sesuatu di kejauhan—sebuah siluet samar di tepi jurang, berdiri menghadap Danau Segara Anak. Sosok itu kecil, seperti seorang wanita, dengan rambut panjang yang tertiup angin. Jantungan Kaelan berdetak kencang. Ia ingin memanggil, tapi tenggorokannya terasa kering. Sebelum ia bisa bergerak, sosok itu menghilang, seolah ditelan kegelapan.
Kaelan kembali ke dalam tenda, tangannya gemetar. Ia mencoba meyakinkan diri bahwa itu hanya halusinasi, efek dari kelelahan dan emosi yang berkecamuk. Tapi di lubuk hatinya, ia merasa sosok itu… familiar. Seperti Veyra. Malam itu, ia tak bisa memejamkan mata lagi.
Pukul satu dini hari, Pak Darma membangunkan mereka. “Ayo, bangun! Waktunya ke puncak!” serunya dengan suara yang tetap penuh meski di tengah malam. Kaelan, Syarifa, dan Tharion bersiap dengan cepat. Mereka mengenakan jaket tebal, headlamp di kepala, dan sepatu yang sudah berdebu. Udara di luar tenda begitu dingin hingga napas mereka membentuk uap putih.
Jalur menuju puncak Rinjani adalah bagian tersulit dari pendakian. Tanjakan curam dengan medan berpasir dan kerikil membuat setiap langkah terasa seperti dua langkah mundur. Kaelan, yang biasanya pendiam, kini benar-benar tenggelam dalam fokus. Ia mengatur napasnya, mengingat saran ibunya: “Langkah demi langkah, Kaelan. Jantunganmu akan membawa dan ke mana pun kau ingin pergi.” Headlamp-nya menerangi jalur sempit di depannya, tapi pikirannya masih terbayang pada siluet misterius di tepi jurang.
Syarifa, yang berjalan di depannya, tiba-tiba berhenti. “Kalian dengar apa tadi?” tanyanya, suaranya pelan tapi tegang. Kaelan dan Tharion menoleh. Angin menderu, membawa suara-suara samar yang sulit di bedakan—mungkin hanya suara kerikil yang jatuh, atau mungkin… sesuatu yang lain. “Mungkin cuma angin,” kata Tharion, tapi ia memegang tali ranselnya lebih erat.
Pak Darma, yang memimpin rombongan, mengangkat tangan agar mereka diam. Ia mendengarkan dengan saksama, lalu berkata, “Rinjani sedang berbicara. Jangan takut, tapi tetap fokus. Kita hampir sampai.”
Perjalanan berlanjut, tapi suasana kini berbeda. Kaelan merasa ada sesuatu yang mengintai mereka, bukan dalam bentuk fisik, tapi seperti beban tak terlihat yang menekan pundaknya. Ia teringat cerita Pak Darma tentang Dewi Anjani, dan untuk sesaat, ia bertanya-tanya apakah gunung ini benar-benar hidup, mengamati setiap langkah mereka.
Saat mereka sampai di punggungan terakhir, langit mulai memudar dari hitam menjadi biru tua. Puncak Rinjani sudah terlihat, hanya beberapa ratus meter lagi. Kaelan merasa napasnya semakin berat, bukan hanya karena udara tipis di ketinggian, tapi karena emosi yang kini meluap. Ia merasa ibunya ada di sana, di puncak, menunggunya. Tapi di saat yang sama, ia takut—takut bahwa ketika ia sampai, ia tak akan menemukan apa pun selain kehampaan.
Tiba-tiba, Syarifa tersandung lagi, kali ini dengan keras. Ia jatuh ke lututnya, napasnya tersengal. “Aku… aku nggak tahu kenapa, tapi aku tiba-tiba merasa… berat,” katanya, suaranya gemetar. Kaelan dan Tharion bergegas membantunya berdiri. Wajah Syarifa pucat, dan untuk pertama kalinya, dokter yang selalu penuh semangat itu tampak rapuh.
“Kalian bawa apa di hati kalian?” tanya Pak Darma lagi, suaranya kini lebih tegas. “Rinjani tahu. Kalian harus jujur, kalau tidak, langkah kalian nggak akan sampai puncak.”
Syarifa menunduk, air matanya jatuh ke tanah berdebu. “Aku… aku kabur dari rumah sakit karena aku gagal. Pasienku… anak kecil, dia meninggal di tanganku. Aku nggak tahu apa aku pantas jadi dokter.”
Kaelan terdiam, terkejut oleh keberanian Syarifa mengakui lukanya. Tharion meletakkan tangan di pundaknya, tanpa kata-kata. Kaelan ingin berkata sesuatu, tapi ia sendiri tak tahu bagaimana caranya membuka luka yang ia bawa. Ia hanya memandang Syarifa, lalu ke puncak yang kini begitu dekat.
Pak Darma mengangguk pelan. “Itu langkah pertama. Sekarang, berdiri. Kita lanjut.”
Mereka melanjutkan pendakian, dan akhirnya, saat langit berwarna ungu keemasan, mereka sampai di puncak Rinjani. Mata hari terbit di ufuk, menyapu lanskap dengan cahaya yang hangat. Danau Segara Anak berkilau seperti permata di bawah, dan awan-awaan bergulung lembut di sekitar mereka. Tharion mengambil kamera, Syarifa tersenyum kecil meski matanya masih basah, dan Kaelan… berdiri di tepi puncak, merasa hatinya terbuka lebar.
Tapi di tengah keindahan itu, Kaelan melihat sesuatu lagi—siluet samar di kejauhan, berdiri di antara bebatuan. Sosok itu menoleh ke arahnya, dan untuk sesaat, Kaelan yakin ia melihat wajah ibunya. Sebelum ia bisa bergerak, sosok itu lenyap, meninggalkan Kaelan dengan pertanyaan yang kini lebih berat dari sebelumnya: apakah Rinjani benar-benar membawanya pada jawaban, atau hanya bayang-bayang yang tak akan pernah ia gapai?
Cermin di Danau
Cahaya matahari terbit membalut puncak Rinjani dengan warna emas yang lembut, seolah alam ingin menenangkan hati para pendaki yang baru saja menaklukkan ketinggian 3.726 meter. Kaelan Vayr berdiri di tepi puncak, napasnya masih tersengal, namun matanya tak bisa lepas dari pemandangan di bawah: Danau Segara Anak yang berkilau seperti cermin raksasa, dikelilingi dinding-dinding batu gunung yang kokoh. Uap tipis naik dari permukaan danau, menandakan keberadaan mata air panas di dekatnya. Di kejauhan, Gunung Barujari—kerucut vulkanik kecil di tengah danau—berdiri seperti penutup rahasia alam. Namun, pikiran Kaelan tak sepenuhnya ada pada keindahan itu. Siluet samar yang ia lihat tadi, yang begitu mirip dengan ibunya, Veyra, masih menghantui benaknya.
Tharion, dengan kamera analognya yang sudah usang, sibuk mengabadikan momen matahari terbit. Ia bergerak dari satu sudut ke sudut lain, mencari komposisi sempurna, sesekali menggumam tentang “cahaya yang hidup.” Syarifa, yang kini tampak lebih tenang setelah pengakuannya di tengah pendakian, duduk di atas batu besar, memandang danau dengan ekspresi yang sulit dibaca. Pak Darma, pemandu mereka, berdiri sedikit terpisah, memeriksa peralatan untuk perjalanan turun ke danau. Ia tampak tenang, tapi matanya selalu waspada, seolah memindai sesuatu yang tak terlihat oleh yang lain.
“Kaelan, kau baik-baik saja?” tanya Syarifa, memecah keheningan. Ia bangkit dan mendekati Kaelan, yang masih mematung di tepi puncak. “Kau kelihatan… seperti melihat sesuatu.”
Kaelan menoleh, ragu-ragu. Ia ingin menceritakan tentang siluet itu, tentang perasaan aneh yang menyelimuti hatinya sejak malam di Plawangan Sembalun. Tapi ia takut terdengar gila, atau lebih buruk lagi, terlalu rapuh. “Hanya… kagum sama pemandangannya,” jawabnya akhirnya, suaranya pelan. Tapi matanya, yang cokelat keemasan, tak bisa menyembunyikan kegelisahan.
Syarifa mengangguk, tapi ekspresinya menunjukkan ia tak sepenuhnya percaya. “Kalau kau perlu bicara, aku di sini. Aku tahu, gunung ini… punya cara bikin kita mikir hal-hal yang biasanya kita hindari.”
Kaelan tersenyum tipis, menghargai kepekaan Syarifa. Ia ingin membalas dengan pertanyaan tentang apa yang membuat Syarifa begitu terbuka tadi malam, tapi sebelum ia sempat berbicara, Pak Darma memanggil mereka. “Ayo, kita turun ke danau sekarang. Jalurnya licin, jadi hati-hati. Kita bermalam di tepi Segara Anak malam ini.”
Perjalanan turun dari puncak menuju Danau Segara Anak adalah tantangan baru. Jika pendakian ke puncak penuh dengan tanjakan berpasir yang menguras tenaga, jalur turun ini dipenuhi batu-batu licin dan akar pohon yang tersembunyi di bawah dedaunan kering. Kaelan, yang berjalan di belakang Syarifa, mencoba fokus pada langkahnya, tapi pikirannya terus kembali ke siluet itu. Apakah itu hanya imajinasinya? Atau benar-benar sesuatu yang lebih? Ia teringat buku harian ibunya, di mana Veyra menulis tentang “bisikan Rinjani” yang terasa nyata di tepi danau. Kaelan merasa, jika ada jawaban atas kegelisahannya, ia akan menemukannya di sana.
Jalur turun membawa mereka melalui hutan tropis yang lebat, di mana sinar matahari hanya masuk dalam semburat-semburat kecil, menciptakan pola cahaya dan bayang di tanah. Aroma lumut dan tanah basah memenuhi udara, bercampur dengan suara burung-burung liar yang bernyanyi di kejauhan. Tharion, yang biasanya cerewet, kini lebih banyak diam, fokus pada jalur yang semakin menantang. Di satu titik, ia hampir tergelincir di batu licin, tapi Kaelan dengan cepat menarik lengannya.
“Terima kasih, bro,” kata Tharion, tersenyum lebar. “Kalau aku jatuh, kameraku yang kasihan.”
Kaelan mengangguk, tapi pikirannya masih melayang. Ia teringat kejadian malam sebelumnya, ketika ia mendengar gemerisik di luar tenda. Apakah itu hanya angin, atau ada sesuatu yang mengikuti mereka? Ia mencoba mengusir pikiran itu, tapi perasaan tak nyaman itu terus membayang.
Setelah beberapa jam yang terasa seperti abad, mereka akhirnya sampai di tepi Danau Segara Anak. Air danaunya jernih, mencerminkan langit biru dan awan putih yang berarak pelan. Di sisi danau, mata air panas mengeluarkan uap, menciptakan suasana yang hampir mistis. Pak Darma mengarahkan mereka ke area perkemahan yang sudah sering digunakan pendaki, di mana beberapa batu besar membentuk lingkaran alami untuk api unggun. Mereka mulai mendirikan tenda, sementara matahari perlahan merangkak ke puncak langit, menghangatkan udara yang sebelumnya dingin.
Kaelan duduk di tepi danau, menatap air yang tenang. Ia mengeluarkan buku harian ibunya lagi, membuka halaman yang berbicara tentang Segara Anak. “Danau ini seperti cermin jiwa,” tulis Veyra. “Aku duduk di tepinya, dan aku melihat bukan hanya wajahku, tapi semua yang aku bawa—penyesalan, harapan, dan cinta. Aku ingin Kaelan melihat ini suatu hari, supaya ia tahu bahwa ia tak pernah sendiri.”
Kaelan merasakan air mata menggenang, tapi ia tak menyekanya kali ini. Ia ingin merasakan emosi itu, membiarkannya mengalir seperti air danau di depannya. Syarifa, yang sedang mengisi botol air, memperhatikan Kaelan dari kejauhan. Ia mendekat, duduk di sampingnya tanpa berkata apa-apa. Untuk beberapa saat, mereka hanya duduk dalam diam, mendengarkan suara air yang bergerak pelan dan angin yang bertiup di antara pepohonan.
“Aku kehilangan ibuku,” kata Kaelan tiba-tiba, suaranya hampir seperti bisikan. Ia tak menoleh, tapi merasakan Syarifa menatapnya. “Dia pendaki, seperti kita. Rinjani adalah mimpinya. Tapi dia… pergi sebelum bisa membawaku ke sini.”
Syarifa mengangguk pelan, tangannya menyentuh pundak Kaelan dengan lembut. “Itu sebabnya kau di sini, ya? Untuk merasakan apa yang dia rasakan?”
Kaelan menarik napas dalam-dalam. “Aku pikir… kalau aku sampai di sini, aku bisa merasa lebih dekat dengannya. Tapi sekarang, aku malah takut. Takut kalau aku cuma mengejar bayang-bayang.”
Syarifa tersenyum kecil, matanya penuh empati. “Kadang, bayang-bayang itu yang bikin kita terus melangkah. Aku juga punya bayang-bayangku sendiri. Pasienku… anak kecil itu. Aku masih dengar suara ibunya menangis di kepalaku setiap malam.”
Kaelan menoleh, melihat air mata di mata Syarifa. Untuk pertama kalinya, ia merasa ada ikatan di antara mereka—bukan hanya sebagai pendaki, tapi sebagai orang-orang yang membawa luka serupa. “Kau kuat, Syarifa. Bisa ceritakan itu tadi malam… aku nggak tahu apa aku bisa.”
“Kau sedang melakukannya sekarang,” jawab Syarifa, suaranya lembut.
Malam itu, mereka berkumpul di sekitar api unggun lagi. Pak Darma memasak mi instan dengan tambahan bumbu lokal yang ia bawa, dan aroma harumnya memenuhi udara. Tharion, yang kini lebih terbuka, menceritakan kisahnya sendiri—tentang bagaimana ia kehilangan kakaknya dalam kecelakaan laut beberapa tahun lalu. “Aku motret pemandangan buat dia,” katanya, menatap api. “Dia bilang, kalau aku bisa abadikan dunia, dia bakal selalu lihat lewat mataku.”
Kaelan mendengarkan, merasa hatinya semakin terbuka. Rinjani, seperti yang dikatakan Pak Darma, memang cermin. Di tepi danau ini, mereka semua dipaksa menghadapi luka mereka, tapi juga harapan yang masih tersisa.
Tiba-tiba, angin bertiup kencang, membuat api unggun berkedip-kedip. Kaelan merasa bulu kuduknya merinding. Ia menoleh ke arah danau, dan di sana, di bawah cahaya bulan yang memantul di air, ia melihatnya lagi—siluet wanita itu, berdiri di tepi air, rambutnya tertiup angin. Kali ini, ia yakin itu bukan imajinasi. Sosok itu menoleh ke arahnya, dan meski wajahnya tak jelas, Kaelan merasa ada kehangatan yang familiar.
“Kalian lihat itu?” tanyanya, suaranya gemetar. Syarifa dan Tharion menoleh ke arah yang sama, tapi mereka hanya menggeleng. Pak Darma, yang memperhatikan Kaelan, berkata pelan, “Rinjani menunjukkan apa yang kau bawa di hati. Apa yang kau lihat, itu milikmu.”
Kaelan berdiri, ingin mendekati sosok itu, tapi sebelum ia melangkah, siluet itu memudar, menyisakan riak kecil di permukaan danau. Ia jatuh ke lututnya, air mata mengalir tanpa suara. Untuk pertama kalinya, ia merasa ibunya benar-benar ada di sana, bukan hanya sebagai kenangan, tapi sebagai bagian dari gunung ini, dari danau ini, dari perjalanannya.
Malam itu, Kaelan tidur dengan hati yang sedikit lebih ringan, tapi juga penuh pertanyaan. Apa yang ingin dikatakan Rinjani kepadanya? Dan apakah ia akan menemukan jawaban di hari terakhir perjalanan mereka?
Perpisahan di Ufuk
Pagi di tepi Danau Segara Anak membawa aroma segar dari embun yang menempel di rumput dan batu-batu di sekitar perkemahan. Cahaya matahari menyelinap melalui celah-celah awan, menciptakan pantulan keemasan di permukaan danau yang tenang. Kaelan Vayr bangun dengan perasaan yang bercampur—antara ketenangan setelah pengakuan kecilnya kepada Syarifa malam sebelumnya dan kegelisahan yang masih mengintai karena siluet misterius yang terus menghantuinya. Ia duduk di tepi tenda, memandang danau yang berkilau, mencoba mencari makna dari apa yang ia lihat tadi malam. Apakah itu benar-benar ibunya, Veyra, atau hanya bayang-bayang yang diciptakan pikirannya yang lelah?
Syarifa sudah bangun, sedang merebus air untuk kopi di atas kompor portabel kecil. Rambutnya yang biasanya terikat rapi kini tergerai, sedikit acak-acakan, tapi wajahnya tampak lebih cerah dibandingkan malam sebelumnya. Tharion, seperti biasa, sibuk dengan kameranya, kali ini memotret kabut tipis yang melayang di atas danau, menciptakan efek seperti lukisan air. Pak Darma, dengan gerakan yang sudah terlatih, sedang membongkar peralatan camping, mempersiapkan mereka untuk perjalanan terakhir: turun dari Danau Segara Anak menuju Senaru, desa di sisi lain gunung.
“Hari ini kita turun lewat jalur Senaru,” kata Pak Darma sambil memeriksa tali-tali di ranselnya. “Jalurnya lebih hijau, tapi juga lebih curam. Kalian harus tetap fokus, apalagi setelah apa yang kalian rasakan di sini.” Ia menatap mereka satu per satu, matanya penuh makna. “Rinjani sudah bicara sama kalian. Sekarang, bawa pulang apa yang dia ajarkan.”
Kaelan mengangguk pelan, tapi pikirannya masih tertambat pada siluet di tepi danau. Ia merasa gunung ini belum selesai dengannya. Ada sesuatu yang masih harus ia temukan, sesuatu yang akan menutup luka yang ia bawa selama ini. Ia mengambil buku harian ibunya dari ransel, membuka halaman terakhir yang pernah ia baca. Di sana, Veyra menulis dengan tulisan tangan yang sedikit gemetar: “Jika aku tak sempat kembali ke Rinjani, aku harap Kaelan akan menemukan tempat ini. Bukan hanya untuk melihat keindahannya, tapi untuk memaafkan dirinya sendiri. Aku mencintainya, selalu.”
Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk hati Kaelan. Memaafkan dirinya sendiri? Untuk apa? Untuk tidak bisa menyelamatkan ibunya? Untuk tidak mengucapkan selamat tinggal? Atau untuk semua penyesalan kecil yang menumpuk selama bertahun-tahun? Ia menutup buku itu, menarik napas dalam-dalam, dan bergabung dengan yang lain untuk sarapan sederhana: roti bakar dengan selai kacang dan kopi hitam yang pahit tapi menghangatkan.
Perjalanan turun dimulai setelah matahari cukup tinggi, sekitar pukul delapan pagi. Jalur Senaru memang berbeda dari jalur Sembalun yang mereka lewati saat naik. Jika Sembalun menawarkan savana luas dan pemandangan terbuka, Senaru adalah labirin hijau penuh pohon-pohon tinggi, akar-akar yang mencuat dari tanah, dan suara air terjun yang samar di kejauhan. Udara di sini lebih lembap, dan aroma hutan yang basah memenuhi paru-paru mereka. Kaelan berjalan di belakang Pak Darma, mencoba menjaga langkahnya agar tidak tersandung di jalur yang licin. Syarifa dan Tharion mengobrol ringan di belakangnya, sesekali tertawa, tapi Kaelan tetap tenggelam dalam pikirannya.
Di tengah perjalanan, mereka berhenti di sebuah titik yang menghadap ke air terjun kecil. Airnya jatuh dari tebing setinggi puluhan meter, menciptakan kabut halus yang menyegarkan wajah mereka. Tharion, dengan semangat yang tak pernah padam, langsung mengambil kameranya, sementara Syarifa melepas sepatunya dan mencelupkan kaki ke dalam aliran air yang dingin. “Ini obat terbaik setelah pendakian,” katanya, tersenyum lebar.
Kaelan duduk di atas batu besar, memandang air terjun itu. Ia teringat cerita ibunya tentang air terjun di Senaru, yang konon disebut sebagai “air mata Rinjani.” Veyra pernah bilang bahwa air terjun ini adalah tempat di mana gunung menangis, melepaskan semua beban yang ia pikul. Kaelan merasa air mata itu juga miliknya. Ia ingin menangis, ingin melepaskan semua rasa bersalah yang selama ini ia pendam, tapi ada sesuatu yang masih menahannya.
“Kaelan,” panggil Syarifa, yang kini berdiri di sampingnya. “Kau masih memikirkan dia, ya? Ibumu?”
Kaelan terkejut, tapi ia tak menyangkal. “Aku… aku merasa dia ada di sini. Di gunung ini. Tapi aku tak tahu apa yang harus kulakukan dengan perasaan ini.”
Syarifa duduk di sampingnya, memandang air terjun. “Aku bukan ahli soal kehilangan, tapi aku belajar sesuatu dari pasienku yang pergi. Kadang, kita nggak perlu mencari jawaban. Kita cuma perlu merasakan, membiarkan luka itu ada, dan perlahan-lahan… membiarkannya sembuh.”
Kata-kata Syarifa sederhana, tapi entah kenapa, mereka terasa seperti kunci yang membuka sesuatu di hati Kaelan. Ia menatap air terjun, mendengarkan suara air yang jatuh, dan untuk pertama kalinya, ia merasa boleh menangis. Air mata mengalir di pipinya, tapi ia tak menyekanya. Ia membiarkan mereka jatuh, seperti air terjun di depannya, seperti air mata Rinjani.
Perjalanan berlanjut, dan saat mereka semakin mendekati desa Senaru, vegetasi mulai berubah. Hutan lebat perlahan berganti dengan kebun-kebun kopi dan sawah kecil milik penduduk lokal. Langit yang tadinya tertutup kanopi pohon kini terbuka lebar, menunjukkan biru cerah yang kontras dengan hijau di sekitar mereka. Kaelan merasa langkahnya lebih ringan, meski tubuhnya lelah. Ia mulai memahami apa yang dimaksud ibunya tentang Rinjani—gunung ini bukan hanya tentang puncak atau danau, tapi tentang perjalanan, tentang menghadapi diri sendiri.
Saat mereka sampai di pos terakhir sebelum desa Senaru, Pak Darma mengajak mereka berhenti sejenak. Di sana, ada sebuah batu besar yang dikenal sebagai “Batu Perpisahan,” tempat di mana pendaki biasanya mengucapkan selamat tinggal pada Rinjani sebelum kembali ke kehidupan mereka. Pak Darma menjelaskan bahwa banyak pendaki meninggalkan sesuatu di sini—catatan, bunga, atau bahkan doa—sebagai tanda bahwa mereka telah menyelesaikan perjalanan mereka, baik secara fisik maupun batin.
Tharion mengeluarkan sebuah foto kecil dari dompetnya, sebuah gambar dirinya dan kakaknya di pantai. Ia meletakkannya di sela-sela batu, tersenyum kecil. “Buat kau, bro. Aku harap kau suka pemandangan dari sini.”
Syarifa menuliskan sesuatu di selembar kertas kecil, lalu melipatnya dan meletakkannya di bawah batu. “Untuk anak itu,” katanya pelan. “Aku janji akan jadi dokter yang lebih baik.”
Kaelan ragu-ragu. Ia memandang buku harian ibunya, yang selama ini menjadi jangkar emosinya. Ia membukanya, merobek halaman terakhir dengan hati-hati—halaman yang berisi harapan Veyra untuknya. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia melipat kertas itu dan meletakkannya di sela-sela batu. “Aku maafkan diriku, Ma,” bisiknya, suaranya hampir tak terdengar. “Dan aku tahu, kau selalu ada di sini.”
Saat ia melangkah mundur, angin bertiup lembut, membawa aroma bunga liar dari hutan. Untuk sesaat, Kaelan merasa ada kehangatan yang menyentuh pundaknya, seperti pelukan yang tak terlihat. Ia menoleh, tapi tak ada siapa pun. Namun, di hatinya, ia tahu—itulah perpisahan yang ia cari, bukan hanya dengan Rinjani, tapi dengan luka yang selama ini ia bawa.
Mereka melanjutkan perjalanan hingga akhirnya sampai di desa Senaru sore itu. Langit berwarna jingga, dan suara adzan dari masjid kecil di desa menyambut mereka. Kaelan, Syarifa, dan Tharion berpelukan, tertawa, dan saling berjanji untuk tetap menjaga kontak. Pak Darma, dengan senyum bijaknya, mengangguk sebagai tanda perpisahan. “Rinjani sudah beri kalian sesuatu,” katanya. “Jangan lupakan itu.”
Malam itu, di penginapan sederhana di Senaru, Kaelan duduk di teras, menatap langit yang penuh bintang. Ia tak lagi membawa buku harian ibunya—halaman terakhir sudah ia tinggalkan di Batu Perpisahan—tapi ia merasa lebih dekat dengan Veyra daripada sebelumnya. Rinjani telah menjadi cermin, seperti yang ibunya tulis, dan di dalamnya, Kaelan melihat bukan hanya lukanya, tapi juga harapan, cinta, dan kekuatan untuk melanjutkan hidup.
Saat ia menutup mata, ia membayangkan ibunya tersenyum di puncak Rinjani, rambutnya tertiup angin, seperti siluet yang ia lihat di tepi danau. Kali ini, Kaelan tersenyum kembali. “Terima kasih, Ma,” bisiknya. “Aku pulang sekarang.”
“Jejak Langkah di Ufuk Rinjani” bukan sekadar cerita pendakian, melainkan cerminan perjalanan batin yang penuh makna. Dari puncak Rinjani hingga tepi Danau Segara Anak, kisah Kaelan mengajarkan kita bahwa setiap langkah di gunung adalah langkah menuju penyembuhan dan penerimaan diri. Jangan lewatkan cerpen ini untuk merasakan keajaiban Rinjani yang tak hanya indah, tetapi juga mengubah hidup.
Terima kasih telah menyusuri kisah emosional “Jejak Langkah di Ufuk Rinjani” bersama kami. Semoga cerita ini menginspirasi Anda untuk menjelajahi tidak hanya keindahan alam, tetapi juga kedalaman hati Anda sendiri. Sampai jumpa di petualangan berikutnya!