Jejak Hujan di Jantung Jakarta: Kisah yang Mengguncang Hati tentang Cinta dan Identitas

Posted on

Selamat datang di dunia Jejak Hujan di Jantung Jakarta, sebuah cerpen memikat yang mengajak Anda menyelami liku-liku emosi di tengah gemerlap kota Jakarta yang basah oleh hujan. Kisah ini menghadirkan Luneta Arvida dan Vandrio Kaelan, dua jiwa yang terikat oleh cinta, namun terhambat oleh rahasia kelam dan trauma masa lalu. Dengan latar belakang kafe kecil yang penuh nostalgia dan gang-gang sempit yang penuh misteri, cerpen ini menggambarkan perjuangan menemukan identitas sejati di tengah badai batin. Siapkah Anda terhanyut dalam narasi yang penuh dengan intrik, air mata, dan harapan? Simak ulasan lengkapnya dan temukan mengapa cerpen ini wajib dibaca!

Jejak Hujan di Jantung Jakarta

Aroma Kopi dan Rahasia yang Basah

Hujan turun seperti tirai kelabu, membungkus Jakarta dalam selimut air yang tak kenal lelah. Di sudut kota yang sibuk, di antara deru klakson dan lampu neon yang berkedip-kedip, kafe kecil bernama Senandung berdiri seperti oase. Dinding kayunya yang usang dihiasi mural sederhana—gambaran pohon beringin dan burung-burung yang seolah terbang keluar dari dinding. Lampu gantung temaram menggantung rendah, memancarkan cahaya kuning keemasan yang membelai meja-meja kayu yang sudah mengilap karena usia. Aroma kopi panggang menyatu dengan bau tanah basah yang menyelinap dari jendela yang sedikit terbuka, menciptakan perpaduan yang hangat namun sekaligus melankolis.

Di meja pojok, dekat jendela yang diguyur hujan, duduk seorang wanita bernama Luneta Arvida. Rambutnya, cokelat kemerahan dengan ujung yang sedikit melengkung, tergerai basah karena ia lupa membawa payung. Sweater biru tua yang ia kenakan sedikit lembap, menempel di pundaknya, tapi ia tak peduli. Matanya, sepasang iris hazel yang selalu tampak menyimpan pertanyaan, menatap cangkir kopi di depannya. Uap tipis masih menari di atas latte yang ia pesan, tapi ia belum menyentuhnya. Jarinya mengelus pinggir cangkir, gerakan kecil yang penuh kegelisahan, seolah ia sedang mencoba menahan sesuatu yang ingin pecah di dalam dirinya.

Luneta bukan orang baru di Senandung. Kafe ini adalah tempat pelariannya selama setahun terakhir, tempat di mana ia bisa duduk sendirian tanpa dihakimi oleh tatapan orang asing. Di sini, ia pertama kali bertemu Vandrio Kaelan, pria yang kini membuat hatinya terperangkap antara harapan dan ketakutan. Vandrio, dengan senyum miringnya yang selalu terasa seperti rahasia, dan mata kelabu yang penuh badai namun entah bagaimana tetap hangat. Mereka bertemu di meja yang sama ini, saat hujan juga turun seperti malam ini, ketika Vandrio menawarkan setengah payungnya dan sebuah percakapan yang mengalir begitu mudah, seolah mereka sudah saling kenal selama bertahun-tahun.

Malam ini, Luneta menunggunya lagi. Tapi ada sesuatu yang berbeda. Ada beban di udara, sesuatu yang lebih berat dari hujan yang menggedor jendela. Dua hari lalu, ia menerima pesan dari nomor tak dikenal: “Vandrio bukan yang kamu pikir. Hati-hati, atau kamu akan terseret ke dalam kegelapannya.” Pesan itu singkat, tanpa nama, tapi cukup untuk membuat tidurnya gelisah selama dua malam. Ia ingin percaya itu hanya lelucon, tapi kata-kata itu terus berputar di kepalanya, seperti lagu yang tak bisa dilupakan.

Lonceng di atas pintu kafe berdenting, memecah lamunannya. Luneta menoleh, jantungnya melonjak. Vandrio melangkah masuk, basah kuyup. Jaket hitamnya menempel di tubuhnya yang kurus, air menetes dari rambutnya yang hitam legam, membentuk genangan kecil di lantai kayu. Wajahnya pucat, lebih pucat dari biasanya, tulang pipinya menonjol seperti pahatan di bawah cahaya lampu kafe. Tapi matanya—mata kelabu yang selalu membuat Luneta merasa dilihat, benar-benar dilihat—penuh dengan sesuatu yang tak bisa ia baca. Bukan hanya kelelahan, bukan hanya ketakutan, tapi sesuatu yang lebih dalam, seperti kerinduan yang bercampur dengan penyesalan.

“Lun…” suara Vandrio serak, napasnya tersengal seolah ia telah berlari melintasi kota. Ia menarik kursi di depan Luneta, duduk dengan gerakan yang hati-hati, seolah takut tubuhnya akan pecah jika bergerak terlalu cepat. “Maaf aku telat. Aku… aku baru keluar dari tempat yang nggak seharusnya aku tinggali.”

Luneta mengerutkan kening, tangannya mencengkeram cangkir lebih erat. “Tempat apa?” tanyanya, suaranya pelan tapi penuh kecurigaan. “Vandrio, apa yang lagi kamu sembunyikan dari aku?”

Vandrio menunduk, jari-jarinya menggosok ujung lengan jaketnya yang basah. “Aku nggak sembunyikan apa-apa,” katanya, tapi nada suaranya ragu, seperti seseorang yang sedang mencoba meyakinkan dirinya sendiri. “Cuma… ada hal-hal yang nggak gampang dijelasin. Nggak sekarang.”

Luneta menarik napas dalam, mencoba menahan gelombang emosi yang mengancam menelannya. “Vandrio,” katanya, suaranya kini lebih tegas, “aku dapat pesan dua hari lalu. Dari seseorang yang bilang aku harus hati-hati sama kamu. Bahwa kamu… bukan yang aku pikir.” Ia menatapnya tajam, mencari retakan di wajahnya, tanda-tanda kebohongan. “Siapa yang ngirim itu? Dan kenapa?”

Wajah Vandrio membeku. Matanya melebar sesaat, lalu kembali menunduk, seolah lantai kayu di bawahnya tiba-tiba jadi lebih menarik. “Aku… aku nggak tahu pasti,” gumamnya. “Tapi mungkin… itu dari seseorang yang nggak ingin kita bareng.”

“Siapa?” desak Luneta, suaranya meninggi sedikit, menarik perhatian pelayan yang sedang menyeka meja di sudut ruangan. “Vandrio, aku nggak main-main. Aku perlu tahu. Kalau ada sesuatu yang kamu sembunyikan, bilang sekarang, atau aku pergi dari sini dan kita selesai.”

Kata-kata itu keluar lebih keras dari yang ia maksud, tapi Luneta tak menyesalinya. Ada sesuatu di dalam dirinya yang sudah lelah—lelah dengan rahasia, lelah dengan ketidakpastian, lelah dengan perasaan bahwa ia mencintai seseorang yang mungkin tak pernah benar-benar ia kenal.

Vandrio mengangkat kepala, matanya kini bertemu dengan mata Luneta. Ada kilauan di sana, seperti air yang tertahan di tepi kelopak. “Luneta,” katanya, suaranya pecah, “aku nggak mau kehilangan kamu. Tapi… aku nggak tahu caranya ceritain semuanya tanpa bikin kamu lari. Aku sakit. Bukan cuma fisik. Ada… ada bagian di dalam aku yang nggak utuh.”

Luneta merasa dadanya sesak. “Sakit apa?” tanyanya, suaranya nyaris berbisik. Hujan di luar semakin deras, suaranya seperti genderang yang mengiringi ketegangan di antara mereka. “Vandrio, apa yang kamu maksud?”

Vandrio menghela napas, tangannya meraih tangan Luneta di atas meja, tapi ia berhenti di tengah jalan, jari-jarinya menggantung di udara. “Aku punya trauma,” katanya akhirnya, kata-kata itu jatuh seperti batu ke ruang di antara mereka. “Dulu… aku hampir nggak selamat. Aku coba akhiri semuanya. Dan sejak itu, aku… aku kadang nggak tahu siapa aku. Kadang aku merasa seperti orang lain, seseorang yang lebih kuat, yang bisa jadi apa yang kamu suka. Tapi itu tetap aku, Lun. Aku janji.”

Luneta menatapnya, mencoba mencerna kata-katanya. Trauma. Bunuh diri. Versi lain dari dirinya. Pikirannya berputar, mengingat setiap momen mereka bersama—tawa di tengah hujan, obrolan larut malam tentang mimpi dan ketakutan, caranya memandangnya seperti ia adalah satu-satunya orang di dunia. Apakah semua itu nyata? Atau hanya topeng yang Vandrio pakai untuk menyembunyikan luka-lukanya?

Sebelum ia bisa menjawab, pintu kafe berdenting lagi. Seorang wanita melangkah masuk, mantel panjangnya basah kuyup, rambutnya yang pirang kecokelatan tergerai liar di pundaknya. Wajahnya pucat, tapi matanya—mata hijau zamrud yang tajam—penuh dengan campuran kemarahan dan kepanikan. Luneta merasa jantungnya terhenti. Ia tahu wanita ini. Zalika Marvayne, teman masa kecilnya yang menghilang tanpa jejak setahun lalu, tepat setelah Luneta mulai dekat dengan Vandrio.

“Luneta!” Zalika berjalan cepat ke meja mereka, sepatunya mencipratkan air di lantai. “Aku cari kamu kemana-mana. Dan kamu—” matanya beralih ke Vandrio, menyipit penuh kecurigaan, “—kenapa kamu masih di sini? Setelah semua yang kamu lakuin?”

Vandrio membeku, tangannya mencengkeram tepi meja. “Zalika…” gumamnya, suaranya rendah, hampir seperti doa. “Kamu nggak seharusnya di sini.”

Luneta menoleh dari Zalika ke Vandrio, pikirannya berpacu. “Kalian kenal?” tanyanya, suaranya gemetar. “Zalika, apa yang lagi terjadi? Apa yang kamu tahu soal dia?”

Zalika menatap Luneta, matanya penuh penyesalan. “Aku yang kirim pesan itu, Lun,” katanya, suaranya pelan tapi tegas. “Aku cuma mau melindungi kamu. Vandrio… dia nggak cuma sakit. Dia punya masa lalu yang bisa nyakitin kamu. Aku tahu, karena aku pernah jadi bagian dari masa lalu itu.”

Udara di kafe terasa membeku. Hujan di luar terus menggedor jendela, seolah ingin menenggelamkan semua rahasia yang mulai terbuka. Luneta merasa lantai di bawahnya bergoyang, seperti dunia yang ia kenal sedang retak. Ia menatap Vandrio, mencari jawaban di wajahnya, tapi yang ia lihat hanya bayang-bayang—bayang-bayang dari seseorang yang ia pikir ia cintai, tapi mungkin tak pernah benar-benar ia kenal.

Bayang-Bayang di Balik Cermin

Kafe Senandung terasa seperti ruang yang terhenti dalam waktu. Hujan di luar terus menggedor jendela, setiap tetes seperti detak jam yang menghitung mundur menuju kebenaran yang belum terungkap. Cahaya lampu gantung yang temaram menciptakan lingkaran-lingkaran keemasan di lantai kayu, tetapi di sudut meja tempat Luneta, Vandrio, dan Zalika berada, udara terasa berat, seolah dipenuhi oleh rahasia yang terlalu besar untuk diucapkan. Aroma kopi yang tadinya hangat kini terasa pahit di hidung Luneta, bercampur dengan bau mantel basah Zalika yang masih meneteskan air ke lantai.

Luneta duduk kaku, tangannya mencengkeram lengan sweaternya, jari-jarinya mencari pegangan di kain yang sudah mulai berbulu karena sering dicuci. Matanya berpindah dari wajah Vandrio yang pucat ke Zalika yang berdiri dengan postur tegang, seperti prajurit yang siap bertarung. Zalika Marvayne, teman yang dulu selalu ada di sisinya, yang menghilang tanpa kabar setahun lalu, kini berdiri di depannya dengan mata hijau zamrud yang penuh luka dan kemarahan. Luneta merasa seperti melihat cermin yang retak—bayangan masa lalu mereka bersama kini terdistorsi, dipecah oleh rahasia yang tak pernah ia duga.

“Apa yang kamu maksud ‘bagian dari masa lalunya’?” tanya Luneta, suaranya serak, nyaris tenggelam dalam deru hujan. Ia menatap Zalika, mencari jejak sahabat yang dulu selalu membawa tawa dengan cerita-cerita konyol tentang klien di kantor arsitek tempat ia magang. Tapi wanita di depannya ini bukan Zalika yang dulu. Ada garis-garis kelelahan di wajahnya, lingkaran hitam di bawah matanya, dan ketegangan di rahangnya yang membuatnya tampak lebih tua dari usia sebenarnya, yang baru 24 tahun.

Zalika menarik napas dalam, tangannya merogoh saku mantelnya dan mengeluarkan sebuah foto kecil yang sudah kusut di ujung-ujungnya. Ia meletakkannya di atas meja dengan gerakan hati-hati, seolah takut foto itu akan hancur jika disentuh terlalu keras. Luneta menunduk, jantungnya berdegup kencang. Foto itu menunjukkan dua orang muda, berdiri di bawah pohon beringin besar yang diterangi sinar matahari sore. Pria di foto itu jelas Vandrio—rambut hitamnya sedikit lebih pendek, senyumnya lebih lebar, lebih bebas dari beban yang kini terlihat di wajahnya. Di sampingnya, seorang wanita dengan rambut pirang kecokelatan dan mata hijau zamrud tersenyum tipis, tangannya memegang lengan Vandrio dengan akrab. Zalika.

“Itu… kita,” kata Zalika, suaranya rendah, hampir seperti bisik. “Dua tahun lalu. Sebelum semuanya hancur.”

Vandrio menatap foto itu, wajahnya membeku. Tangannya gemetar di atas meja, seolah ingin meraih foto itu tapi takut menyentuh kenangan yang terkandung di dalamnya. “Zalika, jangan,” gumamnya, suaranya penuh permohonan. “Jangan bawa dia ke sana.”

“Tapi dia harus tahu!” Zalika membentak, suaranya meninggi hingga membuat pelayan di sudut kafe menoleh dengan cemas. Ia menurunkan nada suaranya, tapi kemarahannya tetap terasa, seperti bara yang tersembunyi di bawah abu. “Luneta, kamu pikir kamu kenal dia? Kamu pikir cerita-cerita yang dia kasih ke kamu itu nyata? Dia bilang dia penulis lepas yang pindah ke Jakarta untuk mulai lagi, kan? Itu bohong. Dia bukan penulis. Dia bahkan bukan dari Bandung seperti yang dia ceritain.”

Luneta merasa dadanya sesak, seperti ada tangan tak kasat mata yang mencengkeram jantungnya. “Terus dia siapa?” tanyanya, suaranya gemetar. Ia menoleh ke Vandrio, mencari jawaban di wajahnya, tapi Vandrio hanya menunduk, matanya terpaku pada foto itu, seolah kenangan di dalamnya adalah rantai yang mengikatnya.

Zalika melanjutkan, suaranya kini lebih terkendali tapi penuh kepahitan. “Vandrio Kaelan adalah anak tunggal keluarga kaya di Surabaya. Ayahnya, pemilik perusahaan properti besar, pengen dia lanjutkan bisnis keluarga. Tapi Vandrio… dia nggak tahan tekanan itu. Dia kabur dari rumah lima tahun lalu, setelah—” Ia terhenti, matanya melirik Vandrio, seolah ragu untuk melanjutkan. “Setelah dia nyaris mati.”

“Nyaris mati?” Luneta mengulang, kata-kata itu terasa asing di lidahnya. Ia menatap Vandrio, mencari tanda-tanda kebohongan, tapi wajah pria itu hanya menunjukkan kepedihan yang dalam. “Vandrio, apa yang dia maksud?”

Vandrio menghela napas, tangannya menutupi wajahnya sejenak, seolah mencoba menyembunyikan diri dari dunia. “Aku… aku coba akhiri hidupku,” katanya akhirnya, suaranya pecah, setiap kata seperti ditarik keluar dengan paksa. “Dua tahun lalu. Aku nggak tahan lagi. Tekanan dari ayahku, harapan yang nggak bisa aku penuhi, dan… suara-suara di kepalaku yang bilang aku nggak cukup. Aku minum pil, terlalu banyak. Zalika yang nemuin aku, bawa aku ke rumah sakit. Dia selamatin aku.”

Luneta menahan napas, dunia di sekitarnya seolah menyusut menjadi meja kecil di antara mereka. Hujan di luar terasa lebih keras, suaranya seperti jeritan yang tak bisa ia dengar dengan jelas. “Kenapa kamu nggak pernah cerita?” tanyanya, suaranya nyaris tak terdengar. “Aku pikir… aku pikir kita nggak punya rahasia.”

Vandrio mengangkat kepala, matanya bertemu dengan mata Luneta. Ada air di sana, berkilau di bawah cahaya lampu kafe. “Karena aku takut, Lun,” katanya. “Takut kamu lihat aku sebagai… orang yang rusak. Aku cuma pengen jadi seseorang yang pantas buat kamu. Seseorang yang bisa bikin kamu ketawa, yang bisa dengerin cerita kamu tanpa bikin kamu khawatir.”

Zalika mendengus, suaranya penuh ejekan pahit. “Pantas? Vandrio, kamu bahkan nggak tahu siapa kamu sendiri.” Ia menatap Luneta, matanya penuh peringatan. “Lun, dia nggak cuma kabur dari keluarganya. Dia kabur dari dirinya sendiri. Dia punya… sisi lain. Kadang dia berubah, jadi orang yang nggak aku kenal. Dia pake nama lain, cerita lain. Dia bilang itu cuma ‘cara dia bertahan’, tapi itu berbahaya. Untuk dia, dan untuk orang-orang di sekitarnya.”

Luneta merasa kepalanya pusing. Pikirannya memutar ulang setiap momen dengan Vandrio—malam-malam ketika mereka duduk di trotoar, berbagi roti bakar dan cerita tentang masa depan; pagi-pagi ketika ia menerima pesan darinya yang selalu dimulai dengan “Lun, pagi ini aku mikirin kamu”; caranya memandangnya dengan mata kelabu yang seolah menyimpan seluruh galaksi. Apakah semua itu hanya bagian dari cerita yang Vandrio ciptakan? Apakah ia jatuh cinta pada seseorang yang tidak benar-benar ada?

“Zalika,” kata Luneta, suaranya tegas meski bergetar, “kenapa kamu nggak bilang apa-apa selama ini? Kamu temenku. Kamu tahu aku dekat sama dia, tapi kamu menghilang. Dan sekarang kamu muncul cuma buat bilang dia berbahaya?”

Zalika menunduk, rambutnya yang basah jatuh menutupi wajahnya. “Aku nggak menghilang karena aku mau, Lun,” katanya, suaranya penuh penyesalan. “Aku pergi karena aku nggak tahan lihat dia hancurkan dirinya sendiri lagi. Aku coba bantu dia, selama bertahun-tahun. Aku tarik dia dari tepi jurang, berkali-kali. Tapi setiap kali dia mulai sembuh, dia kabur lagi, jadi orang lain. Aku… aku capek.”

Luneta menatap Zalika, mencoba mencari sisa-sisa sahabat yang dulu ia kenal. Zalika yang selalu punya lelucon untuk setiap situasi, yang mengajarinya cara membuat sketsa bangunan dengan pensil arang, yang pernah menangis di pundaknya saat ayahnya meninggal. Tapi wanita di depannya ini terasa asing, seperti cangkang dari seseorang yang pernah ia sayangi.

“Dan kamu pikir ngirim pesan tanpa nama itu bakal ngebantu?” tanya Luneta, nadanya penuh kepahitan. “Kamu bikin aku takut, Zalika. Aku nggak tahu harus percaya siapa lagi.”

Zalika menggeleng, matanya berkaca-kaca. “Aku cuma mau kamu aman, Lun. Aku tahu kamu sayang sama dia. Aku lihat caranya kamu ceritain dia, caranya kamu senyum tiap buka pesan dari dia. Tapi… kamu nggak tahu apa yang aku tahu. Vandrio nggak cuma punya trauma. Dia punya… bayang-bayang. Sisi dirinya yang dia panggil ‘Kael’. Dan Kael nggak seperti Vandrio yang kamu kenal. Kael dingin. Kael nggak peduli. Dan kalau Kael muncul, dia bisa nyakitin orang tanpa sengaja.”

Luneta menoleh ke Vandrio, jantungnya berdegup kencang. “Kael?” ulangnya, suaranya penuh pertanyaan. “Vandrio, apa yang dia maksud?”

Vandrio menggigit bibirnya, tangannya mencengkeram meja lebih keras hingga buku-buku jarinya memutih. “Itu… cuma nama yang aku kasih buat bagian diriku yang nggak aku suka,” katanya, suaranya rendah, hampir seperti pengakuan dosa. “Kadang, pas aku nggak tahan lagi, aku biarin Kael yang ngambil alih. Dia yang bikin aku bisa jalan terus, meski aku nggak tahu ke mana. Tapi aku nggak pernah nyakitin siapa pun, Lun. Aku janji.”

Luneta menatapnya, mencoba mencari kebenaran di matanya. Tapi yang ia lihat hanya kegelapan—bukan kebohongan, tapi kekosongan, seperti seseorang yang tersesat di dalam dirinya sendiri. Hujan di luar mulai reda, tapi badai di dalam dada Luneta semakin kencang. Ia ingin mempercayai Vandrio, ingin memeluknya dan bilang bahwa ia akan tetap di sisinya. Tapi kata-kata Zalika, foto itu, dan pengakuan Vandrio tentang Kael membuatnya merasa seperti berdiri di tepi jurang, tanpa tahu apakah ada yang akan menangkapnya jika ia jatuh.

Tiba-tiba, lonceng pintu kafe berdenting lagi. Seorang pria masuk, jas abu-abunya rapi meski basah oleh hujan. Wajahnya tegas, dengan garis-garis keras yang menunjukkan usia sekitar empat puluh tahun. Ia membawa map kulit hitam, mirip seperti yang dibawa Adnan Mahesa, pengacara keluarga Kastulus yang pernah datang ke kosan Luneta beberapa minggu sebelumnya. Pria ini berjalan langsung ke meja mereka, matanya menyapu ruangan sebelum tertuju pada Vandrio.

“Vandrio Kaelan,” katanya, suaranya dalam dan penuh otoritas. “Kamu sudah cukup lama kabur dari keluarga. Waktunya pulang.”

Vandrio menegang, wajahnya memucat lebih dari sebelumnya. “Paman…” gumamnya, suaranya penuh kengerian. “Kenapa kamu di sini?”

Luneta dan Zalika saling pandang, keduanya sama-sama bingung. Pria itu tidak menjawab langsung. Ia hanya meletakkan map kulitnya di atas meja, tepat di samping foto Zalika, dan berkata, “Ada dokumen yang harus kamu tanda tangani. Dan… ada seseorang yang ingin bertemu denganmu. Seseorang yang tahu tentang Kael.”

Kafe terasa semakin kecil, dinding-dindingnya seperti merapat, menjebak mereka dalam ruang yang penuh dengan rahasia yang belum terungkap. Luneta menatap Vandrio, lalu Zalika, lalu pria asing itu, dan merasa seperti tenggelam dalam lautan pertanyaan yang tak ada jawabannya. Hujan di luar telah berhenti, tapi di dalam hatinya, badai baru saja dimulai.

Retakan di Bawah Cahaya

Kafe Senandung terasa seperti kapsul waktu yang rapuh, siap pecah di bawah tekanan rahasia yang menumpuk di udara. Hujan telah berhenti, meninggalkan genangan-genangan kecil di trotoar di luar jendela, memantulkan cahaya lampu neon yang berkedip seperti denyut nadi kota yang tak pernah tidur. Di dalam, aroma kopi yang kini telah dingin bercampur dengan bau kain basah dari mantel Zalika dan jas pria asing yang baru saja masuk. Lampu gantung di atas meja mereka bergoyang pelan, seolah terdorong oleh ketegangan yang tak terucap, menciptakan bayang-bayang yang menari-nari di wajah Luneta, Vandrio, Zalika, dan pria yang dipanggil “Paman” oleh Vandrio.

Luneta Arvida duduk dengan tangan terkepal di pangkuannya, kuku-kukunya menekan telapak tangannya hingga meninggalkan bekas bulan sabit kecil. Sweater biru tuanya terasa semakin berat, seolah menyerap tidak hanya air hujan tetapi juga beban kata-kata yang baru saja ia dengar. Vandrio, dengan trauma dan “Kael”-nya yang misterius. Zalika, dengan pengkhianatan diam-diamnya melalui pesan tanpa nama. Dan kini, pria ini—dengan jas abu-abu yang terlalu rapi untuk malam yang basah seperti ini—membawa dokumen dan ancaman yang membuat udara terasa lebih dingin dari hujan di luar. Luneta menatap Vandrio, mencari jejak pria yang dulu membuatnya merasa dunia ini lebih lembut, tapi wajah Vandrio kini seperti topeng porselen yang retak, penuh ketakutan dan keputusasaan.

Pria itu, yang memperkenalkan dirinya sebagai Ravendro Kaelan, paman Vandrio, berdiri dengan postur tegap, tangannya masih memegang map kulit hitam yang tampak seperti peti mati kecil, penuh dengan rahasia keluarga. Wajahnya keras, dengan garis-garis di dahi yang menunjukkan tahun-tahun penuh kekhawatiran, tapi matanya—kelabu seperti Vandrio—memiliki kilau dingin yang membuat Luneta merinding. Ia menarik kursi kosong di meja mereka tanpa meminta izin, duduk dengan gerakan yang penuh otoritas, dan membuka map itu dengan jari-jari yang stabil, seolah telah melakukan ini berkali-kali.

“Vandrio,” kata Ravendro, suaranya dalam dan terukur, seperti seseorang yang terbiasa memerintah. “Kamu tahu kenapa aku di sini. Keluarga sudah cukup sabar. Lima tahun kamu menghilang, meninggalkan tanggung jawabmu. Tapi sekarang, ada… urusan yang tidak bisa ditunda lagi.” Ia mengeluarkan selembar dokumen dari map, kertas tebal dengan cap resmi di sudutnya, dan mendorongnya ke arah Vandrio. “Tanda tangani ini. Ini perjanjian untuk kembali ke Surabaya, mengambil alih bagianmu di perusahaan. Ayahmu… tidak punya banyak waktu lagi.”

Vandrio menatap dokumen itu seperti melihat racun. Tangannya mencengkeram tepi meja, buku-buku jarinya memutih. “Paman,” katanya, suaranya serak, penuh perlawanan yang rapuh, “aku sudah bilang aku nggak mau. Aku nggak bisa hidup kayak gitu lagi. Aku nggak—”

“Kamu tidak punya pilihan,” potong Ravendro, nadanya tajam seperti pisau. “Kamu pikir kamu bisa lari selamanya? Menyembunyikan diri di Jakarta, pura-pura jadi orang lain? Kael sudah cukup bikin masalah, Vandrio. Jangan buat ini lebih sulit.”

Nama “Kael” kembali menggantung di udara, seperti bayang-bayang yang merayap dari sudut-sudut gelap kafe. Luneta merasa jantungnya berdegup kencang, pikirannya berputar mencoba menyusun potongan-potongan yang masih kabur. Ia menoleh ke Zalika, yang kini duduk dengan wajah pucat, matanya terpaku pada dokumen itu seolah mengandung kutukan. “Zalika,” kata Luneta, suaranya gemetar, “apa lagi yang kamu tahu soal Kael? Kamu bilang dia berbahaya. Apa yang dia lakuin?”

Zalika menelan ludah, tangannya menggenggam lengan mantelnya seperti mencari pegangan. “Lun…” katanya, suaranya penuh keraguan, “Kael bukan… orang lain. Dia bagian dari Vandrio. Tapi dia muncul pas Vandrio nggak tahan lagi. Dua tahun lalu, pas aku masih dekat sama dia, Kael pernah… menghilang selama seminggu. Aku nemuin dia di sebuah kosan murah di pinggiran Surabaya, penuh dengan buku catatan yang isinya… cerita-cerita aneh. Cerita tentang orang yang nggak pernah ada, tapi Vandrio bilang itu hidupnya. Dia bilang Kael yang nulis itu, bukan dia.”

Luneta merasa kepalanya pusing, seperti berdiri di tepi tebing yang runtuh perlahan. “Jadi… Kael itu kayak kepribadian lain?” tanyanya, mencoba memahami. “Kayak gangguan identitas?”

“Bukan!” Vandrio membentak, suaranya meninggi hingga membuat cangkir kopi di meja bergetar. Ia menutup mulutnya sejenak, seolah menyesali ledakannya, lalu melanjutkan dengan suara yang lebih rendah, penuh keputusasaan. “Kael bukan orang lain, Lun. Dia cuma… bagian diriku yang aku ciptain supaya aku bisa bertahan. Pas aku nggak kuat, pas aku takut, Kael yang ngambil alih. Dia yang bikin aku bisa pura-pura semuanya baik-baik aja. Tapi aku nggak pernah nyakitin siapa pun. Aku cuma… cuma pengen hidup.”

Luneta menatapnya, matanya mencari kebenaran di wajah Vandrio yang kini penuh retakan. Ada kejujuran di sana, tapi juga kegelapan—seperti laut yang tenang di permukaan tapi penuh arus berbahaya di bawahnya. “Kenapa kamu nggak cerita dari awal?” tanyanya, suaranya pecah. “Aku kasih kamu hati aku, Vandrio. Aku ceritain semua tentang aku—tentang ibuku yang ninggalin aku, tentang ketakutan aku gagal di kuliah, tentang mimpi-mimpi kecilku. Tapi kamu… kamu sembunyikan ini semua?”

Vandrio menggeleng, air mata akhirnya jatuh, meninggalkan jejak berkilau di pipinya. “Aku takut, Lun,” katanya, suaranya nyaris tak terdengar. “Takut kamu lihat aku kayak mereka—kayak paman, kayak Zalika, kayak dokter yang cuma lihat aku sebagai pasien. Aku cuma pengen jadi Vandrio yang kamu suka, yang bisa bikin kamu bahagia.”

Ravendro mendengus, suaranya penuh cemooh. “Bahagia? Vandrio, kamu bahkan nggak bisa bikin dirimu sendiri bahagia.” Ia menatap Luneta, matanya dingin tapi penuh perhitungan. “Nona Arvida, saya sarankan Anda menjauh dari keponakan saya. Dia bukan orang yang stabil. Dan kalau Anda tahu apa yang dia lakukan dua tahun lalu—bukan cuma percobaan bunuh diri, tapi apa yang Kael lakukan setelah itu—Anda tidak akan duduk di sini.”

Luneta merasa darahnya membeku. “Apa yang Kael lakukan?” tanyanya, suaranya bergetar. Ia menoleh ke Vandrio, tapi pria itu hanya menunduk, tangannya menutupi wajahnya seperti ingin menghilang dari dunia.

Zalika menjawab, suaranya penuh beban. “Kael… nyaris menyakiti seseorang. Aku nggak tahu pasti apa yang terjadi, karena Vandrio nggak pernah cerita detail. Tapi ada laporan polisi di Surabaya, tentang seorang pria yang mirip Vandrio menyerang orang asing di pelabuhan. Vandrio bilang itu Kael, bukan dia. Tapi… polisi nggak nemuin bukti cukup, dan keluarga Kaelan nutup kasus itu dengan uang.”

Luneta merasa dunia di sekitarnya bergoyang. Ia menatap Vandrio, mencoba mencari pria yang dulu duduk bersamanya di kafe ini, berbagi cerita tentang buku favoritnya, tentang mimpi-mimpi kecilnya untuk membuka toko buku kecil di pinggir kota. Tapi kini, setiap kenangan itu terasa seperti lukisan yang mulai luntur, warnanya memudar di bawah tekanan kebenaran yang baru terungkap.

“Vandrio,” katanya, suaranya penuh kepedihan, “benar nggak? Apa yang mereka bilang… tentang Kael, tentang apa yang kamu lakuin… itu benar?”

Vandrio mengangkat kepala, matanya penuh air mata tapi juga tekad. “Aku nggak ingat, Lun,” katanya, suaranya penuh keputusasaan. “Aku nggak ingat apa yang Kael lakuin malam itu. Aku cuma tahu aku bangun di rumah sakit, penuh luka, dan Zalika bilang aku nyaris mati. Aku nggak mau nyakitin siapa pun. Aku cuma… cuma pengen lepas dari semuanya.”

Ravendro menggeleng, tangannya mendorong dokumen itu lebih dekat ke Vandrio. “Cukup, Vandrio. Tanda tangani ini, dan kita selesai. Kamu bisa pulang, dapat perawatan yang layak. Dan nona-nona ini—” ia melirik Luneta dan Zalika, “—bisa melanjutkan hidup mereka tanpa terlibat dalam kekacauanmu.”

Luneta merasa ada sesuatu yang pecah di dalam dirinya. Ia ingin mempercayai Vandrio, ingin memegang tangannya dan bilang bahwa mereka bisa menghadapi ini bersama. Tapi bayang-bayang Kael, laporan polisi, dan tatapan dingin Ravendro membuatnya merasa seperti berdiri di persimpangan yang tak punya jalan keluar. Ia menatap Zalika, mencari dukungan, tapi wajah sahabatnya penuh penyesalan, seperti seseorang yang sudah terlalu lama membawa beban yang sama.

Tiba-tiba, Vandrio berdiri, kursinya bergesekan keras dengan lantai kayu. “Aku nggak akan tanda tangan apa-apa,” katanya, suaranya tegas meski bergetar. “Aku nggak akan balik ke hidup yang bikin aku pengen mati. Dan kalian—” ia menatap Ravendro, lalu Zalika, dan akhirnya Luneta, “—kalian nggak bisa bikin aku jadi orang yang kalian mau.”

Ia berbalik, melangkah cepat menuju pintu kafe. Lonceng berdenting keras saat ia mendorong pintu, dan dalam sekejap, ia lenyap ke dalam kegelapan malam Jakarta. Luneta terpaku, jantungnya berdegup kencang. Ia ingin mengejarnya, ingin memanggil namanya, tapi kakinya terasa seperti tertancap di lantai.

“Luneta,” kata Zalika, suaranya lembut tapi penuh urgensi, “biarin dia pergi. Buat kebaikan kamu sendiri.”

Ravendro mengangguk, menutup mapnya dengan gerakan yang penuh finalitas. “Dia akan kembali,” katanya, suaranya dingin. “Dia selalu kembali. Tapi kalau kamu pintar, nona, kamu akan menjauh sebelum Kael muncul lagi.”

Luneta menatap pintu yang kini diam, genangan air dari mantel Vandrio masih berkilau di lantai. Di luar, malam Jakarta terasa lebih gelap, seperti menelan Vandrio dan semua jawaban yang ia cari. Tapi di dalam dadanya, ada sesuatu yang berkobar—bukan hanya rasa sakit, tapi juga tekad. Ia tidak tahu apakah ia bisa mempercayai Vandrio, atau apakah Kael benar-benar berbahaya. Tapi satu hal yang ia tahu: ia tidak akan membiarkan rahasia ini menghancurkan hidupnya tanpa mencari tahu kebenaran.

Ia meraih tasnya, berdiri dengan kaki yang masih gemetar. “Aku harus nemuin dia,” katanya, suaranya penuh tekad. “Aku nggak akan lari dari ini.”

Zalika meraih lengannya, matanya penuh kekhawatiran. “Lun, jangan. Kamu nggak tahu apa yang kamu hadapi.”

Luneta melepaskan tangan Zalika dengan lembut tapi tegas. “Mungkin aku nggak tahu,” katanya, “tapi aku nggak akan hidup dengan penyesalan karena nggak coba cari tahu.”

Ia melangkah keluar dari kafe, lonceng berdenting pelan di belakangnya. Udara malam yang dingin menyapa wajahnya, membawa aroma aspal basah dan sisa hujan. Jakarta terbentang di depannya, luas dan penuh bayang-bayang, tapi di suatu tempat di antara lampu-lampu kota, Vandrio—or Kael—menunggu. Dan Luneta tahu, perjalanan ini baru saja dimulai.

Cahaya di Ujung Badai

Jakarta di tengah malam terasa seperti labirin yang hidup, jalan-jalannya berkelok di antara gedung-gedung tinggi dan lampu neon yang berkedip seperti mata yang tak pernah lelah mengawasi. Udara masih membawa aroma aspal basah, sisa hujan yang kini hanya meninggalkan genangan-genangan kecil yang memantulkan warna-warni kota. Luneta Arvida berjalan cepat, sepatunya mencipratkan air setiap kali menginjak trotoar yang licin. Jaketnya yang tipis tak cukup melindungi dari angin malam yang dingin, tapi ia tak peduli. Di dalam dadanya, ada api kecil yang membakar—tekad untuk menemukan Vandrio, untuk memahami apakah pria yang ia cintai adalah seseorang yang layak diperjuangkan, atau hanya bayang-bayang yang akan menyeretnya ke dalam kegelapan.

Langkahnya membawanya ke sebuah gang sempit di belakang stasiun kereta Tanah Abang, tempat yang pernah disebut Vandrio dalam salah satu cerita larut malam mereka. “Kalau aku hilang, cari aku di tempat yang nggak ada orangnya,” katanya sambil tertawa, tapi kini Luneta bertanya-tanya apakah itu bukan lelucon, melainkan petunjuk. Gang itu gelap, hanya diterangi oleh lampu temaram dari warung kecil di ujung jalan, di mana seorang penjual bakso masih mengaduk kuah panas, uapnya menari di udara malam. Bau kaldu sapi dan bawang goreng menyelinap ke hidung Luneta, kontras dengan ketegangan yang mencengkeram hatinya. Di ujung gang, sebuah pintu besi tua yang berkarat berdiri, setengah terbuka, seolah mengundangnya masuk ke dunia yang tak ia kenal.

Luneta menarik napas dalam, tangannya menyentuh ponsel di saku jaketnya. Ia telah mengabaikan tiga panggilan dari Zalika, yang pasti panik setelah ia meninggalkan kafe Senandung tanpa penjelasan. Tapi Luneta tahu, jika ia berhenti sekarang, ia mungkin tak akan pernah menemukan jawaban. Dengan hati-hati, ia mendorong pintu besi itu, yang berderit keras seperti jeritan logam tua. Di dalam, sebuah gudang kecil terbuka di depannya, penuh dengan tumpukan kardus berdebu dan lampu neon yang berkedip-kedip di langit-langit, menciptakan bayang-bayang yang bergoyang seperti hantu.

“Vandrio?” panggil Luneta, suaranya bergema di ruangan yang dingin. Tidak ada jawaban, hanya suara tetesan air dari atap yang bocor, setiap tetes seperti detak jam yang menghitung mundur. Ia melangkah lebih dalam, kakinya menginjak lantai beton yang basah, sepatunya meninggalkan jejak kecil di debu. Di sudut ruangan, di bawah cahaya neon yang redup, ia melihat sebuah meja kayu usang. Di atasnya, sebuah buku catatan kulit hitam tergeletak, terbuka, dengan pulpen yang masih terjepit di antara halaman-halaman kuningnya. Jantung Luneta berdegup kencang. Ia tahu tulisan tangan itu—miring, sedikit berantakan, penuh goresan ragu. Tulisan Vandrio.

Dengan tangan gemetar, ia mengambil buku itu, matanya menyapu halaman yang terbuka. Kalimat-kalimat pendek, seperti puisi yang tak selesai, tertulis dengan tinta biru yang mulai memudar:

“Kael bilang aku lemah. Kael bilang aku nggak pantas hidup. Tapi malam ini, aku dengar suara lain. Suara Luneta, yang bilang aku cukup.”

“Aku takut Kael menang. Kalau dia menang, aku nggak tahu apakah aku masih Vandrio. Atau apakah aku cuma bayang-bayang yang dia ciptakan.”

“Lun, kalau kamu baca ini, maaf. Aku cuma pengen jadi seseorang yang kamu bisa cinta, tanpa takut.”

Air mata Luneta jatuh, membasahi halaman itu, membuat tinta sedikit luntur. Ia menutup buku itu, memeluknya erat di dadanya, seolah bisa merasakan detak jantung Vandrio melalui kertas-kertas itu. “Vandrio, kamu di mana?” bisiknya, suaranya penuh keputusasaan. Tapi sebelum ia bisa bergerak, sebuah suara rendah, seperti desahan angin, terdengar dari sudut gelap gudang.

“Luneta.”

Ia berbalik, jantungnya melonjak. Vandrio berdiri di sana, tubuhnya tersembunyi sebagian di bayang-bayang. Jaket hitamnya masih basah, rambutnya menempel di dahi, dan matanya—mata kelabu yang selalu membuat Luneta merasa dilihat—kini penuh dengan sesuatu yang asing. Tatapannya dingin, hampir tak manusiawi, seperti cermin yang hanya memantulkan kegelapan. Luneta mundur selangkah, tangannya mencengkeram buku catatan lebih erat.

“Vandrio?” tanyanya, suaranya gemetar. “Atau… Kael?”

Pria itu tersenyum tipis, tapi senyumnya tak hangat seperti Vandrio. “Kamu pintar, Luneta,” katanya, suaranya rendah, hampir seperti dengungan. “Vandrio bilang kamu bakal nemuin aku. Dia bilang kamu nggak akan nyerah, meski Zalika dan paman bilang aku monster.”

Luneta menelan ludah, kakinya terasa seperti tertancap di lantai. “Kael,” katanya, mencoba menjaga suaranya tetap stabil, “aku nggak takut sama kamu. Aku cuma pengen Vandrio kembali. Aku tahu dia ada di dalam kamu.”

Kael melangkah keluar dari bayang-bayang, cahaya neon menyoroti wajahnya yang pucat. Tulang pipinya tampak lebih tajam, matanya lebih dalam, seperti lubang yang tak punya dasar. “Vandrio lemah,” katanya, suaranya penuh cemooh. “Dia cuma beban—buat keluarganya, buat Zalika, buat kamu. Aku yang bikin dia bertahan. Aku yang bikin dia bisa jalan, meski dunia pengen dia mati. Kamu pikir kamu bisa nyelametin dia? Kamu cuma bakal hancur bareng dia.”

Luneta merasa dadanya sesak, tapi ia melangkah maju, menolak membiarkan ketakutan menguasainya. “Kamu salah,” katanya, suaranya tegas meski bergetar. “Vandrio nggak lemah. Dia bertahan karena dia pengen hidup, karena dia punya mimpi, karena dia… dia sayang sama aku. Dan aku nggak akan biarin kamu ambil dia dari aku.”

Kael tertawa, suaranya dingin dan kosong, bergema di gudang yang sepi. “Sayang? Kamu pikir cinta bisa benerin orang kayak dia? Orang yang nyaris bunuh dirinya sendiri? Orang yang nyaris nyakitin orang lain di pelabuhan itu?” Ia melangkah lebih dekat, matanya menyipit. “Kamu tahu, Luneta, aku yang di pelabuhan malam itu. Aku yang ngejar orang asing itu, cuma karena dia bilang Vandrio nggak berguna. Aku cuma pengen dia diam. Tapi Vandrio… dia bangun, dan dia takut. Dia lari dari aku, dari dirinya sendiri.”

Luneta menahan napas, kata-kata Kael seperti pisau yang menusuk hatinya. Tapi di balik ketakutannya, ia melihat sesuatu—secercah keraguan di mata Kael, seperti retakan kecil di tembok yang kokoh. “Kael,” katanya, suaranya lembut sekarang, penuh harapan, “kamu nggak harus lindungin Vandrio dengan cara gini. Kamu nggak harus jadi monster. Kamu… kamu juga bagian dari dia. Dan aku percaya dia bisa sembuh, kalau kita kasih dia kesempatan.”

Kael terdiam, wajahnya membeku. Untuk sesaat, matanya bergetar, seperti ada sesuatu di dalamnya yang mencoba keluar. Tapi sebelum ia bisa menjawab, suara langkah kaki terdengar dari pintu gudang. Zalika muncul, napasnya tersengal, rambutnya yang basah menempel di wajahnya. Di belakangnya, Ravendro Kaelan berdiri, jasnya masih rapi meski malam telah larut.

“Luneta!” Zalika berteriak, suaranya penuh kepanikan. “Mundur! Jangan deket-deket dia!”

Ravendro melangkah masuk, matanya tertuju pada Kael. “Cukup, Vandrio,” katanya, suaranya dingin tapi penuh otoritas. “Permen ini selesai. Kael, atau apa pun kamu panggil diri kamu, waktunya berhenti. Aku bawa dokter dari Surabaya. Kamu akan pulang, dan kita akan beresin ini.”

Kael menatap Ravendro, senyumnya kembali muncul, tapi kini penuh ejekan. “Pulang? Ke kandang yang bikin Vandrio pengen mati? Kamu pikir dokter bisa beresin aku? Aku lebih kuat dari dia, Paman. Aku yang bikin dia hidup.”

Luneta merasa dunia di sekitarnya menyusut, seperti hanya ada dia dan Kael di gudang ini. Ia melangkah lebih dekat, mengabaikan teriakan Zalika dan tatapan Ravendro. “Kael,” katanya, suaranya penuh keyakinan sekarang, “aku nggak percaya kamu lebih kuat. Aku percaya Vandrio masih di situ. Dan aku percaya dia bisa lawan kamu, kalau dia tahu aku nggak akan ninggalin dia.”

Ia mengulurkan tangan, jari-jarinya gemetar tapi penuh tekad. “Vandrio, kalau kamu denger aku, balik. Aku nggak takut sama Kael. Aku cuma pengen kamu.”

Kael menatap tangan itu, wajahnya berubah. Senyumnya memudar, dan untuk sesaat, matanya berbinar—bukan kegelapan Kael, tapi kehangatan Vandrio. Ia mengangkat tangan, jari-jarinya hampir menyentuh tangan Luneta, tapi lalu ia tersentak, seperti tersambar petir. Tubuhnya gemetar, matanya memejam, dan ia jatuh berlutut, tangannya mencengkeram kepalanya.

“Lun…” gumamnya, suaranya pecah, penuh rasa sakit. “Aku… aku nggak tahu caranya balik…”

Luneta berlutut di depannya, tangannya memegang pundak Vandrio, merasakan getaran tubuhnya yang rapuh. “Kamu bisa,” katanya, air mata mengalir di pipinya. “Aku di sini. Aku nggak akan pergi. Kita hadepin ini bareng.”

Zalika melangkah maju, matanya penuh kekhawatiran, tapi ia berhenti, seolah tahu ini bukan waktunya untuk ikut campur. Ravendro tetap berdiri di pintu, wajahnya tak terbaca, tapi tangannya mencengkeram map kulitnya lebih erat.

Vandrio membuka mata, dan untuk pertama kalinya malam itu, Luneta melihatnya—Vandrio yang ia kenal, dengan mata kelabu yang penuh badai tapi juga harapan. “Lun,” katanya, suaranya lemah tapi penuh kejujuran, “aku nggak janji aku bisa sembuh. Tapi… aku janji aku akan coba. Buat kamu.”

Luneta memeluknya, tubuh mereka gemetar di bawah cahaya neon yang berkedip-kedip. Gudang itu terasa seperti dunia kecil mereka, tempat di mana rahasia akhirnya menemukan cahaya, meski hanya secercah. Di luar, Jakarta terus bernapas, lampu-lampunya berkilau seperti bintang-bintang yang jatuh ke bumi. Hujan mungkin telah berhenti, tapi jejaknya tetap ada—di aspal, di hati, di setiap langkah yang akan mereka ambil bersama.

Epilog kecil terlintas di benak Luneta beberapa minggu kemudian, saat ia duduk di Senandung lagi, kali ini dengan Vandrio di sampingnya. Mereka tidak berbicara banyak, hanya menikmati aroma kopi dan keheningan yang kini terasa damai. Vandrio mulai terapi, dengan dokter yang dipilihnya sendiri, bukan yang dipaksakan keluarganya. Kael masih ada di sana, di sudut pikirannya, tapi Vandrio belajar untuk menghadapinya, satu hari pada satu waktu. Zalika mengunjungi mereka kadang-kadang, membawa cerita-cerita ringan untuk mengisi keheningan, meski Luneta tahu sahabatnya masih membawa luka dari masa lalu.

Ravendro tidak pernah muncul lagi, tapi dokumen-dokumen itu tetap ada di meja Luneta, pengingat bahwa masa lalu tidak pernah benar-benar pergi. Tapi Luneta tidak takut lagi. Ia tahu, cinta bukan tentang memperbaiki seseorang, tapi tentang berjalan bersama di tengah badai, mencari cahaya di ujungnya. Dan di Jakarta yang penuh hujan ini, ia dan Vandrio menemukan jejak mereka sendiri—jejak yang basah, rapuh, tapi penuh harapan.

Jejak Hujan di Jantung Jakarta bukan sekadar cerpen, melainkan cermin yang memantulkan kerapuhan dan kekuatan hati manusia. Melalui perjalanan Luneta dan Vandrio, kita diajak untuk merenungkan makna cinta yang sejati—bukan tentang memperbaiki, tetapi tentang berjalan bersama di tengah hujan deras kehidupan. Dengan alur yang mendebarkan dan emosi yang mendalam, cerpen ini meninggalkan jejak yang tak terlupakan di hati pembaca. Jangan lewatkan kesempatan untuk membaca karya ini dan rasakan sendiri bagaimana hujan Jakarta bisa menjadi saksi bisu dari kisah yang begitu menyentuh.

Terima kasih telah menyelami Jejak Hujan di Jantung Jakarta bersama kami—semoga kisah ini menginspirasi Anda untuk menemukan cahaya di tengah badai, dan sampai jumpa di petualangan literatur berikutnya!

Leave a Reply