Daftar Isi
Pernah nggak sih ngerasa jauh banget dari seseorang, tapi hati kalian tetep terhubung meskipun nggak saling melihat? Cerita ini bakal ngasih kamu gambaran tentang Aster dan Ixia, sepasang kekasih yang meskipun terpisah jarak, mereka selalu merasa dekat, seolah cinta mereka nggak kenal batas.
Lewat angin, malam yang penuh bintang, dan perasaan yang nggak bisa dijelaskan, mereka ngerasain sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata. Penasaran gimana ceritanya? Yuk, simak!
Jauh di Mata, Dekat di Hati
Bisikan di Balik Surat
Sore itu, Aster duduk di beranda rumahnya, memandangi cakrawala yang berwarna tembaga. Angin musim gugur mengusap rambutnya, membawa aroma tanah basah dan daun yang berguguran. Di meja kayu di sampingnya, ada sebuah surat yang sudah ia tulis dengan tangan yang hampir tak bisa berhenti menulis. Tulisan tangan yang rapi, penuh dengan kata-kata yang terkadang hanya dimengerti oleh dirinya sendiri, tapi cukup untuk mengungkapkan perasaan yang tidak pernah bisa ia ucapkan langsung.
Aster memandang surat itu sebentar sebelum menulis lagi di bagian bawah. “Ixia,” tulisnya, hati terasa berat saat menuliskan nama itu. Nama yang selalu ia sebut dengan penuh rindu. “Aku berharap kamu merasakan apa yang aku rasakan, meskipun kita terpisah jarak yang tak terhingga.”
Dia membaca kalimat itu sekali lagi. Lalu, dia melipat surat itu dengan hati-hati dan menyelipkan ke dalam amplop yang sudah disiapkan. Tanpa sadar, ia menghela napas panjang, merasakan kekosongan yang menunggu di ujung surat-surat yang ia kirimkan. Sudah tiga bulan sejak Ixia pindah ke kota besar. Tiga bulan yang terasa seperti tiga tahun bagi Aster.
Saat ia memasukkan surat itu ke dalam kotak pos di dekat jalan desa, angin berhembus lagi, membawa aroma yang berbeda kali ini. Aster menoleh. Tak ada yang terlihat aneh, hanya langit senja yang perlahan memudar. Tapi, ada sesuatu yang membuatnya merasa seolah-olah Ixia ada di dekatnya. Hati Aster berdebar.
“Ini hanya perasaan saja,” gumamnya, mencoba menenangkan diri.
Di tempat yang jauh, Ixia sedang duduk di tepi jendela apartemennya yang menghadap ke jalan utama kota. Ruas-ruas jalan itu padat, dipenuhi orang-orang yang sibuk dengan hidup mereka masing-masing. Meski begitu, Ixia merasa sepi. Hanya suara pianonya yang terdengar lembut, mengisi ruang kosong di dalam hatinya.
Dia baru saja menyelesaikan sebuah komposisi baru untuk sebuah konser besar yang akan datang, tetapi seiring berjalannya waktu, musik itu terasa hampa. Ada sebuah kekosongan yang sulit ia jelaskan. Sebuah kekosongan yang tidak bisa diisi dengan nada-nada atau prestasi yang ia raih.
Tiba-tiba, sebuah surat tiba di meja kerjanya. Surat itu datang dengan bau lavender yang khas—wangi yang selalu mengingatkannya pada Aster, pada desa yang jauh di sana. Sebuah senyuman kecil muncul di wajah Ixia saat ia membuka surat itu. Setiap kali ia menerima surat dari Aster, seolah ada bagian dari dirinya yang kembali pulang.
Dengan hati-hati, ia mulai membaca tulisan tangan yang sudah sangat dikenalnya. “Ixia,” tulis Aster. “Aku berharap kamu merasakan apa yang aku rasakan, meskipun kita terpisah jarak yang tak terhingga.”
Ixia memejamkan mata sejenak. Ada sesuatu yang sangat familiar tentang kata-kata itu, seakan Aster sedang berdiri di sampingnya, meskipun ia tahu itu mustahil. Saat ia membuka matanya, ia melihat sesuatu yang lebih aneh. Sebuah gambar kecil terjatuh dari surat itu—gambar lavender yang digambar dengan tangan, sangat mirip dengan gambarnya sendiri yang pernah ia buat ketika mereka masih bersama di desa.
Ia terdiam, memandangi gambar itu. Kenapa Aster menggambar lavender ini? Padahal mereka tak pernah berbicara tentang hal itu sejak ia pergi. Tapi, entah kenapa, perasaan rindu itu muncul dengan sangat kuat.
“Ixia,” suara itu kembali terdengar, kali ini lebih jelas, meskipun hanya dalam pikirannya. “Aku ingin kamu tahu bahwa meskipun aku jauh, hatiku selalu ada di sini, di tempat yang kita kenal bersama.”
Ixia menggenggam surat itu erat-erat, merasakan jantungnya berdegup kencang. Dia merasa seperti ada sesuatu yang memanggilnya untuk kembali, entah ke mana, entah kapan, tapi perasaan itu sangat nyata.
Sementara itu, Aster kembali ke rumahnya, duduk di meja yang sama, menatap surat yang baru saja dikirimkan. Sebuah perasaan aneh menggelayuti dirinya, seolah ia bisa merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata yang ia tulis. Seolah Ixia juga sedang merasakannya. Sesuatu yang tak bisa dijelaskan, namun begitu kuat.
Dia menulis lagi, “Semoga aku bisa segera melihatmu lagi, Ixia. Aku rindu.”
Surat itu terasa seperti utusan dari hati yang penuh kerinduan. Tapi ada satu hal yang membuatnya merasa lebih dari sekadar rindu biasa. Ia merasa seperti… seperti mereka sedang terhubung melalui sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang magis.
Dengan cepat, Aster menuliskan kata terakhir pada suratnya. “Aku akan selalu ada untukmu, Ixia, meski jarak memisahkan kita.”
Dan dengan itu, ia menutup surat itu, menyimpannya dalam amplop yang sama, menanti hari esok ketika angin akan membawa suratnya ke tangan Ixia.
Mimpi di Bawah Bulan Purnama
Malam itu, Aster terbangun dari tidurnya dengan keringat dingin membasahi keningnya. Langit di luar kamar terlihat cerah, dipenuhi bintang-bintang yang berkilauan, namun perasaan gelisah menguasai hatinya. Matanya terpejam sejenak, mencoba mengingat mimpi yang baru saja ia alami.
Dalam mimpi itu, ia melihat dirinya berdiri di tepi sebuah sungai. Suara aliran air yang tenang memenuhi telinganya, namun di seberang sungai, ada sosok yang dikenalinya—Ixia. Ia tampak jauh, lebih jauh dari yang bisa dijangkau oleh Aster, meskipun keduanya saling menatap. Dalam mimpi itu, Aster merasa seolah ia ingin berlari, ingin melintasi sungai itu dan berada di dekat Ixia, namun kakinya terasa sangat berat, seolah terikat oleh sesuatu yang tak terlihat.
“Ixia!” Aster berteriak, meskipun suaranya hilang dalam gemuruh air yang mengalir.
Tapi Ixia hanya berdiri di sana, diam, seolah tak bisa mendengar panggilannya. Wajahnya tampak pucat, dengan mata yang penuh kesedihan. Ia menggenggam sesuatu di tangannya, sesuatu yang berkilau di bawah cahaya rembulan.
Kemudian, seperti mimpi-mimpi lain yang tak pernah ia mengerti, semuanya menjadi gelap.
Aster terbangun dengan perasaan cemas yang mendalam, seperti ada sesuatu yang hilang. Ia menoleh ke jendela, melihat bulan purnama yang bersinar terang, hampir menyelimuti seluruh desa dalam cahaya keperakan. Rasanya seperti ada sebuah ikatan yang menghubungkannya dengan Ixia, sesuatu yang melampaui ruang dan waktu.
Di sisi lain dunia, Ixia juga terbangun dari tidurnya. Seperti Aster, ia merasa gelisah. Sebuah mimpi aneh mengganggu tidurnya, satu yang ia tak ingin lupakan. Dalam mimpinya, ia melihat Aster duduk di atas batu besar di dekat sungai desa mereka, memandang jauh ke arah bukit lavender. Ia memanggil namanya, namun suara itu hanya terdengar seperti angin yang berdesir, tak jelas dan samar.
“Ixia…” Suara itu melayang-layang di udara, tapi Ixia tak bisa meraihnya. Ia ingin berlari menghampiri Aster, ingin berada di sana, tetapi tubuhnya terasa kaku, tak bisa bergerak.
Ketika ia terbangun, ia merasa tercekik oleh perasaan rindu yang luar biasa. Begitu nyata, seperti Aster benar-benar ada di sampingnya. Ia merasa jantungnya berdegup kencang, dan sebuah kekosongan yang ia rasa semakin dalam.
Ixia memandang ke luar jendela, di mana langit malam menunjukkan bulan purnama yang begitu terang. Cahayanya seolah mengingatkannya pada mimpi itu, pada Aster yang duduk di batu, memandang ke arahnya. Ada perasaan yang sangat kuat, seolah-olah Aster memanggilnya, tetapi ia tak tahu bagaimana cara menjelaskan perasaan itu.
Pada pagi harinya, Aster kembali menulis surat, dengan perasaan yang tak bisa ia ungkapkan. Meskipun ia merasa sedikit aneh dengan mimpi semalam, ia tak bisa menahan rindu yang terus menggelora.
“Ixia,” tulisnya, “Terkadang, meskipun kita terpisah, aku merasa kita tetap terhubung, seperti ada benang yang tak terlihat yang mengikat kita. Mungkin aku salah, mungkin ini hanya perasaan saja, tapi aku yakin ada sesuatu yang lebih. Aku merasa dekat denganmu, meskipun jarak memisahkan kita.”
Aster menggulung surat itu, menutupnya dengan erat, dan meletakkannya dalam kotak pos seperti biasanya. Tetapi kali ini, perasaan yang menggelayuti hatinya lebih kuat. Ia merasa bahwa surat-surat ini bukan sekadar kata-kata kosong. Ada sesuatu yang lebih dalam yang menghubungkan dirinya dengan Ixia, sesuatu yang lebih kuat dari sekadar jarak fisik.
Ixia juga menulis surat balasan, namun kali ini, tangannya lebih tergores oleh perasaan yang sulit ia jelaskan.
“Aster,” tulisnya, “Aku merasa ada sesuatu yang aneh, seperti ada kekuatan yang tak tampak yang membawa kita lebih dekat, meskipun kita jauh. Mimpi semalam menggangguku, membuatku merasa seolah-olah kita sedang terhubung dalam cara yang tak bisa dijelaskan. Aku tak tahu apa ini, tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku merindukanmu. Setiap hari.”
Surat itu terasa lebih dari sekadar kata-kata. Ixia merasa seperti Aster sedang berdiri di dekatnya, berbicara padanya, meskipun mereka berjauhan.
Di luar sana, angin berhembus, membawa kabar dari hati yang saling merindukan. Meskipun jarak memisahkan, Aster dan Ixia tahu bahwa ikatan batin yang menghubungkan mereka lebih kuat daripada apapun.
Dan di bawah bulan purnama yang sama, di tempat yang berbeda, mereka berdua merasakan hal yang sama—perasaan yang membuncah, tak terungkapkan, tapi selalu ada.
Panggilan dari Angin
Hari itu, angin bertiup lebih kencang dari biasanya. Aster berdiri di halaman belakang rumahnya, mengamati daun-daun yang bergoyang tak terkendali. Beberapa helai daun jatuh berputar-putar di udara, seakan mengikuti irama yang hanya mereka ketahui. Aster mengangkat wajahnya, menatap langit yang mulai memudar menjadi biru tua. Entah kenapa, ia merasa angin itu membawa sesuatu—sebuah pesan, atau mungkin sebuah perasaan yang terabaikan.
Pikirannya melayang kembali pada Ixia. Sudah beberapa minggu sejak mereka saling mengirim surat, dan meskipun surat-surat itu terasa seperti jembatan, Aster merasa ada kekosongan yang tidak bisa diisi dengan kata-kata. Seperti ada yang hilang, sesuatu yang tak dapat dijelaskan oleh jarak atau waktu.
Aster menghela napas, merasakan angin yang menyapu wajahnya. “Ixia, aku merasa seperti ada sesuatu yang lebih,” gumamnya, meskipun tak ada yang mendengar.
Di kota, Ixia menatap keluar jendela apartemennya. Hari itu, angin juga terasa berbeda. Ia bisa mendengar suara desiran angin yang berhembus, seperti bisikan yang mencoba mengungkapkan sesuatu. Matanya tertuju pada langit, pada langit yang terlihat lebih biru dari biasanya. Ia merasa, seolah-olah ada sesuatu yang menariknya keluar dari kesendirian ini, sebuah panggilan yang tidak bisa diabaikan.
“Ixia…”
Suara itu terdengar jelas, meskipun tak ada yang mengucapkannya. Ixia menggigil, meskipun udara di luar hangat. Ada sesuatu yang sangat familiar dengan suara itu—sesuatu yang mengingatkannya pada Aster. Jantungnya berdegup kencang, dan dalam sekejap, dia merasa seolah Aster benar-benar ada di dekatnya. Panggilan itu, meskipun hanya ada dalam pikirannya, begitu nyata.
Sebelum dia bisa mengerti lebih lanjut, ponselnya bergetar. Ixia mengambilnya dengan tangan yang sedikit gemetar. Sebuah pesan masuk. Dari Aster.
“Ixia, aku tahu kita tidak bisa saling melihat secara langsung, tapi entah kenapa, aku merasa seperti kita selalu ada satu sama lain. Setiap angin yang berhembus, aku merasa seolah aku mendengar suaramu. Mungkin ini gila, tapi rasanya aku bisa merasakanmu di sini.”
Ixia menatap pesan itu, seakan kata-kata itu menguatkan perasaan yang selama ini ia pendam. Tanpa ragu, ia membalasnya.
“Aster, aku juga merasakan hal yang sama. Aku tak bisa menjelaskan, tapi setiap kali angin berhembus, aku merasa kamu ada di sini, di sampingku. Seperti ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan, tapi sangat nyata. Aku merindukanmu.”
Setelah mengirim pesan itu, Ixia meletakkan ponselnya di atas meja. Ia merasa cemas dan khawatir, tetapi juga ada ketenangan yang aneh. Seolah ada sesuatu yang lebih besar yang sedang menghubungkan mereka, lebih dari sekadar pikiran atau perasaan biasa. Seperti mereka terhubung oleh sebuah benang tak terlihat yang menarik mereka lebih dekat satu sama lain.
Aster, di sisi lain, duduk di meja kayunya, menatap pesan Ixia dengan tatapan kosong. Ada getaran di dalam dirinya yang sulit dijelaskan. Seperti sebuah penantian yang panjang, sebuah jawaban yang telah lama ia tunggu. Ia tahu, Ixia merasakannya juga. Meskipun tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkan ini, mereka berdua tahu bahwa perasaan itu lebih dari sekadar perasaan biasa.
“Aku ingin kamu tahu,” Aster menulis di balasan pesannya, “meskipun kita jauh, aku merasa kita tak pernah benar-benar terpisah. Seperti angin yang berhembus dari satu tempat ke tempat lain, kita tetap saling terhubung, Ixia. Aku tak tahu bagaimana ini bisa terjadi, tapi aku merasa kamu ada di sini.”
Aster mengirimkan pesan itu dan menatap layar ponselnya, berharap Ixia bisa merasakan hal yang sama. Ia tahu, meskipun hanya melalui kata-kata, perasaan mereka bisa terhubung. Mungkin ini bukan hal yang biasa. Tapi bukankah cinta itu memang sesuatu yang tak bisa dijelaskan?
Di luar, angin semakin kencang. Daun-daun berputar dalam tarian mereka, berputar mengikuti irama alam yang tak terbendung. Aster merasa, entah bagaimana, dunia ini seperti mengerti bahwa mereka berdua saling membutuhkan. Dalam keheningan itu, ia tahu—meskipun jarak memisahkan mereka, angin dan hati mereka tetap terhubung.
Dan di tempat yang sama, meski berjauhan, Ixia merasakan hal yang sama. Sebuah suara, sebuah panggilan yang datang dari jauh, namun sangat dekat. Ia menatap ke luar jendela, merasa angin menyentuh wajahnya, membawa aroma yang sudah lama ia kenal. Lavender.
“Ixia…” suara itu kembali terdengar dalam bisikan angin. Dan meskipun ia tidak bisa melihat Aster, ia tahu, di balik setiap hembusan angin itu, Aster selalu ada.
Begitu jelas, begitu nyata.
Menyatu dalam Hening
Hari-hari berlalu, dan meskipun jarak fisik masih memisahkan mereka, Aster dan Ixia merasakan perasaan yang semakin kuat. Setiap angin yang berhembus, setiap kilau bintang di langit malam, selalu membawa kenangan tentang satu sama lain. Mereka tidak lagi merasa terpisah oleh dunia yang begitu luas. Sebaliknya, mereka mulai merasa bahwa dunia ini adalah jembatan yang menghubungkan hati mereka, meskipun tidak ada kata-kata yang cukup untuk mengungkapkannya.
Suatu malam, Aster duduk di balkon rumahnya, menatap bulan purnama yang bersinar dengan lembut. Cahaya itu memancar ke seluruh dunia, membawa ketenangan yang hampir magis. Ia menghela napas, merasakan perasaan yang begitu hangat, seolah ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar hidup sehari-hari yang harus dihadapi.
“Ixia…” bisiknya pelan, meskipun tak ada yang mendengar.
Tidak ada yang bisa menjelaskan kenapa, tetapi pada saat itu, Aster merasa seperti ada ikatan tak terputus di antara mereka, ikatan yang mengalir lebih dalam dari apa yang bisa dilihat oleh mata. Ia merasa Ixia ada bersamanya, meskipun ia tidak ada di sana. Angin yang berhembus seakan membawa suara Ixia yang terdengar dalam pikirannya, seperti suara yang tertangkap di antara rindu dan harapan.
Sementara itu, Ixia berjalan di sepanjang jalan setapak di taman kota. Malam itu terasa begitu sunyi, namun anehnya, ia merasa tenang. Langkahnya pelan, seolah mencoba meresapi setiap momen yang ada. Ia menatap ke atas, melihat langit yang begitu luas, dengan bulan purnama yang memantulkan cahaya keperakan. Seketika, ia teringat pada Aster, pada setiap surat, setiap pesan, setiap kata yang mereka bagi.
“Ixia,” bisik angin yang berdesir, dan ia tahu, angin itu membawa namanya.
Ia berhenti sejenak, matanya menatap jauh, seolah ingin melihat Aster di sana, di tempat yang tak tampak. “Aku merindukanmu,” gumamnya pelan.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Aster.
“Ixia, aku tahu kita mungkin tak akan pernah bisa bertemu dalam waktu dekat, tapi ada satu hal yang aku yakin. Kita selalu terhubung. Angin yang membawa kita, cahaya bulan yang menuntun kita, semuanya berbicara tentang kita. Aku ingin kamu tahu, di setiap detik, di setiap hembusan angin, aku ada di sini, menunggu.”
Ixia tersenyum, membacanya berulang kali, seolah kata-kata itu mampu menenangkan seluruh gelisah yang ia rasakan. Ia membalas pesan itu, mengetik dengan hati yang penuh.
“Aster, meskipun kita terpisah oleh waktu dan ruang, aku merasa kamu selalu ada di sini, dalam setiap hembusan angin, dalam setiap langkahku. Aku tahu kita tak bisa selalu bersama, tapi aku yakin, kita selalu terhubung. Di dalam hati kita.”
Pesan itu terkirim, dan meskipun tidak ada jawaban langsung, Ixia tahu, Aster merasakannya. Mereka tidak butuh kata-kata lagi. Perasaan itu sudah cukup untuk saling memahami. Dalam diam, mereka tahu bahwa cinta mereka lebih besar dari segala hal yang bisa diungkapkan.
Pada malam itu, di bawah bulan purnama yang bersinar, mereka berdua merasa seolah dunia telah menyatu dalam ketenangan. Tidak ada jarak yang bisa memisahkan hati mereka. Tidak ada waktu yang bisa mengubah ikatan yang telah terbentuk. Dalam hening, mereka tahu bahwa meskipun jauh di mata, mereka selalu dekat di hati.
Seperti angin yang tak terlihat, cinta mereka mengalir, bebas, dan abadi.
Begitulah Aster dan Ixia, meskipun terpisah oleh jarak dan waktu, mereka tetap merasa dekat, seperti angin yang selalu membawa pesan tanpa harus terlihat. Cinta mereka bukannya tanpa tantangan, tapi justru semakin kuat meski tak ada yang bisa membuktikan dengan mata.
Karena kadang, yang paling nyata itu bukan yang bisa dilihat, tapi yang bisa dirasakan di dalam hati. Semoga cerita ini bikin kamu percaya, bahwa meskipun jauh di mata, kita tetap bisa dekat di hati.