Daftar Isi
Pernahkah Anda membayangkan bagaimana sebuah kecelakaan bisa mengubah hidup seseorang selamanya? Dalam cerpen Jatuh dari Pohon: Kisah Pilu yang Mengubah Hidupku, Salindra Kael, seorang anak desa yang penuh semangat, menghadapi cobaan berat setelah terjatuh dari pohon akasia yang menjadi simbol keberanian. Kisahnya penuh dengan emosi, perjuangan, dan keberanian untuk bangkit dari kegelapan. Artikel ini akan membawa Anda menyelami perjalanan Salindra yang penuh makna, menginspirasi Anda untuk menemukan kekuatan dalam setiap tantangan hidup.
Jatuh dari Pohon
Awal dari Segalanya
Di bawah langit senja yang memerah di Desa Renggali, angin membawa aroma tanah basah dan dedaunan kering. Aku, Salindra Kael, seorang anak berusia sebelas tahun dengan rambut ikal yang selalu berantakan, berdiri di depan pohon akasia tua yang menjulang di ujung ladang kakekku. Pohon itu bukan sembarang pohon. Bagi anak-anak di desa, itu adalah simbol keberanian, sebuah tantangan bisu yang menanti untuk ditaklukkan. Cabang-cabangnya yang kokoh dan tinggi seolah berbisik, menggoda kami untuk memanjat hingga puncaknya, tempat yang konon bisa membuatmu melihat seluruh dunia—atau setidaknya, seluruh Desa Renggali.
Hari itu, aku merasa berbeda. Ada sesuatu yang menggelitik di dadaku, campuran antara rasa ingin tahu dan keinginan untuk membuktikan diri. Dua minggu sebelumnya, Viondra, sahabatku yang selalu punya senyum lebar dan mata berbinar, berhasil memanjat sampai cabang ketiga. Dia berdiri di sana, melambai ke arah kami yang menonton dari bawah, seolah dia raja dunia. Sorak-sorai teman-teman kami menggema, dan aku, entah kenapa, merasa kecil. Bukan karena aku iri, tapi karena aku tahu aku belum pernah mencoba. Dan hari ini, aku memutuskan untuk melakukannya.
“Sal, yakin mau naik?” tanya Viondra, berdiri di sampingku dengan tangan di pinggang. Matanya menyipit, memandangku dengan campuran khawatir dan penasaran. Dia tahu aku bukan tipe anak yang suka mengambil risiko. Aku lebih suka menghabiskan sore dengan menggambar di buku sketsa tua pemberian ibuku atau mendengarkan cerita kakek tentang hantu-hantu di hutan.
“Yakin,” jawabku, meski suaraku sedikit bergetar. Aku menatap pohon itu, cabang-cabangnya yang bengkok seperti tangan-tangan raksasa yang siap menangkapku—orang-orang bilang, menjatuhkanmu jika kamu tidak hati-hati. Aku menggosok telapak tanganku ke celana pendekku yang sudah usang, mencoba menghilangkan keringat yang mulai membasahi kulitku.
Langkah pertamaku terasa berat. Aku meraih cabang terendah, yang cukup tebal untuk menahan berat badanku. Kulit pohonnya kasar, menggores telapak tanganku, tapi aku tidak peduli. Aku menarik tubuhku ke atas, kaki mencari pijakan di batang pohon yang penuh tonjolan. Viondra dan beberapa anak lain, termasuk Lirenza, gadis pendiam yang selalu membawa buku ke mana-mana, menonton dari bawah. Aku bisa mendengar mereka berbisik, dan itu membuat jantungku berdetak lebih kencang.
“Sal, pelan-pelan!” teriak Viondra. Aku tidak menjawab, fokusku hanya pada cabang berikutnya. Aku berhasil mencapai cabang kedua, lalu ketiga. Angin di ketinggian ini terasa lebih kencang, membelai wajahku dengan lembut. Dari sini, aku bisa melihat atap rumah kakekku yang terbuat dari seng, ladang jagung yang bergoyang diterpa angin, dan bukit kecil di kejauhan yang selalu tampak misterius di bawah cahaya senja. Rasanya seperti aku berada di puncak dunia.
Tapi kemudian, aku melihat ke bawah.
Itu kesalahanku yang pertama. Ketinggian itu, yang tadinya membuatku merasa tak terkalahkan, tiba-tiba terasa menakutkan. Kepalaku pusing, pandanganku kabur sejenak. Aku memegang cabang di atas kepalaku lebih erat, tapi tanganku licin karena keringat. Aku mendengar suara Viondra dari bawah, tapi kata-katanya samar, seperti teredam oleh angin.
“Sal, turun sekarang!” teriaknya, nadanya penuh kepanikan. Aku ingin menjawab, ingin bilang bahwa aku baik-baik saja, tapi tenggorokanku terasa kering. Aku mencoba menggerakkan kakiku untuk mencari pijakan yang lebih aman, tapi kakiku justru tersangkut di celah antara cabang dan batang pohon. Aku kehilangan keseimbangan.
Semuanya terjadi begitu cepat. Aku merasakan tubuhku terlepas dari cabang, tanganku mencakar udara dengan sia-sia. Aku mendengar jeritan Viondra, lalu suara angin yang menderu di telingaku. Dunia berputar, langit dan tanah bercampur menjadi satu. Aku menutup mata, berharap ini hanya mimpi.
Lalu, ada hentakan keras. Rasa sakit yang luar biasa menusuk punggungku, menyebar ke seluruh tubuhku seperti api. Aku terbaring di tanah, napasku tersengal, dunia di sekitarku menjadi gelap. Suara-suara teman-temanku terdengar jauh, seperti gema dari dunia lain. Aku ingin bergerak, ingin memanggil Viondra, tapi tubuhku tidak menurut. Yang terakhir kuingat adalah wajah Lirenza yang pucat, matanya penuh air mata, dan tangan Viondra yang memegang tanganku erat, berulang kali memanggil namaku.
“Salll! Bangun, Sal! Jangan tutup mata!” suaranya penuh keputusasaan.
Tapi aku tidak bisa melawan. Dunia menjadi hitam, dan aku tenggelam dalam kegelapan.
Di Ambang Kegelapan
Saat kesadaranku perlahan kembali, dunia terasa seperti kabut tebal yang menyelimuti segalanya. Aroma antiseptik yang menyengat menusuk hidungku, bercampur dengan bau kain bersih dan sesuatu yang samar, seperti logam dingin. Aku mendengar suara-suara asing—derit roda troli, langkah kaki yang terburu-buru, dan bisikan pelan yang terputus-putus. Mataku terasa berat, seolah kelopaknya terbuat dari timah, tapi aku memaksa mereka terbuka. Cahaya lampu neon di atas membuatku memicing, dan aku segera menyesali keputusanku untuk membuka mata.
Aku terbangun di ranjang rumah sakit, tubuhku kaku dan dipenuhi rasa nyeri yang tumpul namun konstan. Selang infus menempel di lengan kiriku, dan perban melilit pergelangan tangan kananku yang terasa berdenyut. Aku mencoba menggerakkan kakiku, tapi sebuah rasa sakit tajam menjalar dari pinggangku ke bawah, membuatku tersentak dan menahan napas. Aku tidak tahu berapa lama aku pingsan, tapi rasanya seperti aku telah terperangkap dalam mimpi buruk yang tak kunjung usai.
Di samping ranjangku, ibuku, Ysmera, duduk dengan wajah pucat dan mata merah. Rambutnya yang biasanya rapi kini berantakan, dan tangannya memegang saputangan yang sudah kusut. Dia menatapku, dan ketika matanya bertemu dengan mataku, dia tersentak, saputangannya jatuh ke lantai.
“Salindra! Oh, Tuhan, kamu sadar!” Suaranya pecah, campuran antara lega dan ketakutan. Dia meraih tanganku dengan hati-hati, seolah takut aku akan pecah jika dia memegang terlalu erat. “Jangan gerak dulu, Nak. Dokter bilang kamu harus istirahat.”
Aku ingin bertanya apa yang terjadi, tapi tenggorokanku terasa seperti dipenuhi pasir. Aku hanya bisa mengangguk lemah, mataku menyusuri ruangan. Dinding putih yang steril, monitor yang berdetak pelan di sampingku, dan jendela kecil yang menampakkan langit malam yang kelam. Di sudut ruangan, aku melihat Viondra berdiri dengan ekspresi bersalah, tangannya memeluk tubuhnya sendiri seolah mencoba menghibur diri. Di sampingnya, Lirenza duduk di kursi plastik, bukunya terbuka di pangkuannya tapi matanya tertuju padaku, penuh kekhawatiran.
“Ma…” suaraku serak, hampir tak terdengar. “Aku… kenapa?”
Ibuku menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan air mata yang kembali menggenang. “Kamu jatuh dari pohon, Sal. Patah tulang di pinggang dan lengan kananmu. Dokter bilang kamu beruntung masih hidup. Kalau kepalamu yang terbentur…” Dia tak melanjutkan, hanya menggelengkan kepala dan menutup mulutnya dengan tangan.
Kata-katanya seperti pisau yang menusuk dadaku. Aku ingat pohon itu, cabang-cabangnya, angin yang menderu, dan rasa takut yang melumpuhkanku sebelum aku jatuh. Tapi mendengarnya dari ibuku membuat semuanya terasa lebih nyata, lebih berat. Aku mencoba mengingat detik-detik sebelum kegelapan menelanku, tapi memoriku buram, seperti lukisan yang terhapus separuh.
Viondra melangkah mendekat, matanya berkaca-kaca. “Sal, maafkan aku,” katanya, suaranya gemetar. “Aku seharusnya nggak membiarkan kamu naik. Aku tahu kamu nggak biasa, tapi aku cuma… aku cuma ingin kamu senang.” Dia menunduk, rambutnya yang panjang jatuh menutupi wajahnya, tapi aku bisa melihat bahunya bergetar.
Aku ingin bilang bahwa ini bukan salahnya, bahwa akulah yang memilih untuk memanjat pohon itu. Tapi kata-kata itu terjebak di tenggorokanku. Aku hanya bisa menatapnya, merasakan sesak di dadaku yang bukan karena rasa sakit fisik. Viondra selalu menjadi pendorongku, yang membuatku berani keluar dari zona nyamanku. Tapi sekarang, melihatnya menyalahkan diri sendiri, aku merasa bersalah karena telah membuatnya merasa seperti ini.
Lirenza bangkit dari kursinya, bukunya terjatuh ke lantai dengan suara pelan. Dia mendekati ranjangku, tangannya ragu-ragu sebelum akhirnya menyentuh lengan kiriku yang tidak terluka. “Kamu menakut-nakuti kami, Sal,” katanya dengan suara lembut, hampir berbisik. “Kami pikir… kami pikir kamu nggak akan bangun.” Matanya, yang biasanya tenang dan penuh pemikiran, kini dipenuhi ketakutan yang belum pernah kulihat sebelumnya.
Aku ingin tersenyum untuk meyakinkan mereka, tapi wajahku terasa kaku. Aku hanya bisa mengangguk lagi, berharap gerakan kecil itu cukup untuk menunjukkan bahwa aku masih di sini, masih bernapas. Tapi di dalam, aku merasa seperti terpecah. Bagian dari diriku ingin menangis, ingin berteriak karena rasa sakit dan ketakutan. Bagian lain ingin menghibur mereka, ingin bilang bahwa aku akan baik-baik saja. Tapi kebenarannya, aku tidak tahu apakah aku akan baik-baik saja.
Dokter masuk beberapa saat kemudian, seorang pria tua dengan kacamata tebal dan wajah yang penuh kerutan tapi ramah. Namanya Dr. Halvian, dan dia menjelaskan kondisiku dengan nada yang tenang namun tegas. Patah tulang di pinggangku cukup serius, kata dia. Aku mungkin perlu beberapa bulan untuk pulih, dan ada kemungkinan aku tidak akan bisa berjalan seperti dulu untuk sementara waktu—atau lebih lama. Kata-kata itu terasa seperti pukulan, tapi aku terlalu lelah untuk bereaksi. Ibuku mendengarkan dengan wajah tegang, tangannya mencengkeram tanganku lebih erat setiap kali dokter menyebutkan kata “mungkin” atau “belum pasti.”
Malam itu, setelah dokter pergi dan Viondra serta Lirenza dipaksa pulang oleh ibuku, aku terbaring sendirian di ranjang rumah sakit. Suara monitor yang berdetak menjadi satu-satunya temanku. Aku menatap langit-langit, mencoba memahami apa yang telah terjadi. Pohon itu, yang tadinya adalah simbol keberanian, kini menjadi pengingat akan kebodohanku. Aku memikirkan kakekku, yang selalu bilang bahwa setiap pohon di desa kami punya cerita. Aku bertanya-tanya, apakah pohon akasia itu mencoba menceritakan sesuatu padaku—atau hanya menghukumku karena terlalu berani.
Aku memejamkan mata, merasakan air mata hangat mengalir di pipiku. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi besok, atau minggu depan, atau bulan depan. Yang kutahu, hidupku telah berubah, dan aku harus menemukan cara untuk menghadapi apa yang ada di depan. Tapi untuk saat ini, aku hanya ingin tidur, berharap mimpi akan membawaku kembali ke sore itu, sebelum aku memutuskan untuk memanjat pohon yang mengubah segalanya.
Bayang-Bayang Ketakutan
Hari-hari di rumah sakit berlalu seperti kabut yang tak kunjung sirna, setiap detiknya terasa lambat dan penuh beban. Aroma antiseptik yang dulu hanya tercium samar kini seolah meresap ke dalam kulitku, menjadi bagian dari diriku yang baru—Salindra Kael yang terbaring lemah, bukan lagi anak yang berlarian di ladang kakekku. Ranjang rumah sakit dengan kasur kerasnya terasa seperti penjara, dan setiap kali aku mencoba menggerakkan tubuhku, rasa sakit di pinggangku mengingatkanku akan kebodohan yang telah membawaku ke sini. Tapi lebih dari rasa sakit fisik, ada sesuatu yang lebih berat menekan dadaku: ketakutan yang tak bisa kugambarkan dengan kata-kata.
Hari kelima di rumah sakit, sinar matahari pagi menyelinap melalui celah-celah jendela, membentuk garis-garis emas di lantai ubin yang dingin. Ibuku, Ysmera, duduk di sampingku seperti biasa, tapi wajahnya kini dipenuhi kerutan baru yang seolah muncul dalam semalam. Dia berusaha tersenyum setiap kali aku menatapnya, tapi aku tahu senyum itu dipaksakan. Matanya, yang dulu selalu penuh kehangatan, kini sering menatap kosong ke arah jendela, seolah mencari jawaban yang tak pernah datang.
“Sal, dokter bilang kamu bisa mulai fisioterapi minggu depan,” katanya suatu pagi, suaranya penuh harap yang rapuh. “Mereka bilang itu akan membantu kamu bergerak lagi. Pelan-pelan, tapi pasti.” Dia meraih tanganku, jari-jarinya yang dingin membelai punggung tanganku yang masih dibalut perban.
Aku mengangguk, tapi di dalam hati, aku tidak yakin. Dr. Halvian telah menjelaskan bahwa patah tulang di pinggangku—fraktur kompresi di tulang belakang lumbar, katanya—bisa memengaruhi kemampuanku untuk berjalan dengan normal. “Kita akan lihat bagaimana tubuhmu merespons,” katanya dengan nada yang terlalu hati-hati, seolah dia sedang menimbang setiap kata untuk tidak membuatku takut. Tapi aku bukan anak kecil yang bisa ditipu. Aku tahu ada kemungkinan aku tidak akan pernah berlari lagi, tidak akan bisa mengejar Viondra di ladang atau memanjat pagar kayu di belakang rumah kakekku.
Pikiran itu seperti bayang-bayang yang mengintai di setiap sudut ruangan. Setiap malam, ketika lampu dimatikan dan hanya suara detak monitor yang menemani, aku membayangkan diriku terjebak di kursi roda, bergantung pada orang lain untuk sesuatu yang sederhana seperti mengambil segelas air. Aku membenci diri sendiri karena memanjat pohon itu, tapi lebih dari itu, aku membenci ketakutan yang kini menggerogoti keberanianku. Aku, Salindra Kael, yang dulu bermimpi menjadi penjelajah seperti tokoh-tokoh dalam buku petualangan kakekku, kini takut hanya untuk menggerakkan kakiku.
Viondra dan Lirenza datang hampir setiap sore setelah sekolah, membawa cerita-cerita tentang dunia di luar rumah sakit yang terasa semakin jauh. Viondra, dengan semangatnya yang tak pernah padam, berusaha menghiburku dengan lelucon-lelucon konyol dan cerita tentang kucing liar yang kini tinggal di gudang sekolah. Tapi aku bisa melihat rasa bersalah di matanya setiap kali dia berhenti bicara, seolah dia takut mengatakan sesuatu yang salah. Lirenza, di sisi lain, lebih pendiam. Dia sering membacakan buku untukku, suaranya lembut seperti aliran sungai kecil di hutan. Salah satu buku favoritku adalah novel petualangan tentang seorang anak yang tersesat di hutan dan menemukan kota kuno. Dulu, cerita itu membuatku bersemangat; sekarang, setiap kata terasa seperti pengingat akan apa yang telah kuhilangkan.
Suatu sore, ketika hujan gerimis membasahi jendela, Viondra duduk di samping ranjangku dengan sebuah kotak kecil di tangannya. “Ini untukmu,” katanya, wajahnya sedikit memerah. Aku membuka kotak itu dengan tangan yang masih kaku, dan di dalamnya ada sebuah gelang tali sederhana dengan liontin kayu berukir inisial “S”. “Aku bikin ini sama Lirenza. Supaya kamu ingat kami, meskipun… meskipun kamu nggak bisa main sama kami untuk sementara.”
Aku menatap gelang itu, merasakan sesak di tenggorokanku. “Kalian nggak perlu melakukan ini,” kataku, suaraku serak. “Aku nggak akan lupa kalian.” Tapi kata-kata itu terasa kosong, karena di dalam hati, aku takut bahwa aku bukan lagi Salindra yang mereka kenal. Aku takut bahwa kecelakaan ini telah mengubahku menjadi seseorang yang asing, bahkan untuk diriku sendiri.
Lirenza, yang selama ini diam, tiba-tiba berbicara. “Sal, kamu nggak boleh menyerah,” katanya, suaranya tegas meski matanya berkaca-kaca. “Aku tahu kamu takut. Aku juga takut waktu itu, lihat kamu jatuh. Tapi kamu kuat. Kamu selalu bilang kamu ingin jadi seperti pahlawan di buku-buku itu. Pahlawan nggak menyerah, kan?”
Kata-katanya seperti tamparan lembut, membangunkan sesuatu di dalam diriku yang telah lama tertidur. Aku ingin percaya padanya, ingin percaya bahwa aku masih punya keberanian itu. Tapi setiap kali aku mencoba menggerakkan kakiku, rasa sakit dan ketidakpastian kembali menghantuiku. Aku hanya bisa tersenyum tipis, berharap itu cukup untuk menyembunyikan badai di dalam dadaku.
Malam itu, setelah mereka pulang, aku memegang gelang itu erat-erat, jari-jariku menelusuri ukiran inisialku. Aku memikirkan pohon akasia itu, yang kini berdiri di ujung ladang kakekku seperti monumen atas kegagalanku. Kakekku pernah bilang bahwa setiap pohon punya jiwa, dan pohon akasia itu, dengan cabang-cabangnya yang menjulang, adalah penjaga desa kami. Aku bertanya-tanya, apakah pohon itu benar-benar menghukumku, atau apakah ini adalah ujian—ujian untuk melihat apakah aku bisa bangkit dari kegelapan yang kini menyelimutiku.
Aku menutup mata, mendengar suara hujan yang semakin deras di luar. Di tengah ketakutan yang masih mencengkeramku, ada secercah harapan kecil yang mulai menyala. Mungkin Lirenza benar. Mungkin aku masih punya kekuatan untuk menjadi pahlawan dalam ceritaku sendiri. Tapi untuk saat ini, aku hanya bisa berbaring di ranjang ini, memegang gelang itu, dan berdoa agar esok hari membawa lebih banyak cahaya daripada bayang-bayang.
Bangkit dari Reruntuhan
Waktu di rumah sakit akhirnya berakhir setelah tiga minggu yang terasa seperti abad. Aku kembali ke Desa Renggali, tapi dunia yang kutinggalkan seolah telah berubah. Rumah kakekku, dengan dinding kayunya yang sudah lapuk dan atap seng yang berderit saat hujan, terasa asing. Ladang jagung yang dulu menjadi tempatku berlarian kini hanya bisa kupandang dari kursi roda yang dingin dan kaku. Setiap pagi, aku duduk di beranda, memandangi pohon akasia tua di kejauhan, yang masih berdiri megah di ujung ladang. Pohon itu, yang pernah menjadi simbol keberanianku, kini seperti bayangan masa lalu yang mengejekku.
Fisioterapi dimulai seminggu setelah aku pulang. Dua kali seminggu, ibuku mendorong kursi rodaku ke puskesmas desa, tempat seorang fisioterapis bernama Mbok Sari, wanita paruh baya dengan tangan kuat dan senyum penuh semangat, membantuku belajar bergerak lagi. Setiap sesi terasa seperti perang kecil melawan tubuhku sendiri. Aku belajar untuk menggerakkan kakiku, meski hanya beberapa sentimeter, dan setiap gerakan kecil itu diiringi rasa sakit yang membuatku ingin menyerah. Tapi Mbok Sari tidak membiarkanku. “Salindra, tubuhmu seperti tanah liat,” katanya suatu hari, sambil membantu ku memegang palang latihan. “Sakit sekarang, tapi kalau kamu terus membentuknya, dia akan jadi sesuatu yang indah.”
Di luar sesi fisioterapi, Viondra dan Lirenza menjadi penutup luka di hatiku. Mereka datang hampir setiap sore, membawa tawa dan cerita yang membuatku lupa sejenak pada kursi roda yang membatasi gerakku. Viondra, dengan semangatnya yang tak pernah padam, sering mendorongku keliling halaman, berpura-pura kami sedang menjelajahi hutan belantara seperti dalam buku-buku petualangan kami. Lirenza, dengan caranya yang tenang, membacakan cerita baru atau mengajakku menggambar di buku sketsaku. Aku mulai menggambar pohon akasia itu, tapi bukan seperti yang kuingat—pohon dalam gambar-gambarku kini dipenuhi bunga-bunga yang tidak pernah ada, seolah aku mencoba memberikan makna baru pada kenangan pahit itu.
Namun, di balik tawa dan dukungan mereka, aku masih bergulat dengan bayang-bayang ketakutan. Malam-malamku dipenuhi mimpi buruk tentang jatuh dari pohon itu, tentang dunia yang berputar dan tanah yang menghantamku. Aku sering terbangun dengan keringat dingin, tanganku mencengkeram gelang tali pemberian Viondra dan Lirenza, seolah itu satu-satunya jangkar yang menahanku dari kegelapan. Aku tak pernah menceritakan mimpi-mimpi itu pada siapa pun, bahkan pada ibuku. Aku tak ingin mereka melihatku sebagai anak yang rapuh, meski di dalam hati, aku merasa seperti cangkang yang retak.
Suatu sore, ketika matahari mulai tenggelam dan langit Desa Renggali berubah menjadi lautan oranye, kakekku, yang selama ini lebih banyak diam, mengajakku ke ujung ladang. Dia mendorong kursi rodaku dengan pelan, tangannya yang keriput namun kuat menjaga ritme yang stabil. Kami berhenti tepat di depan pohon akasia itu. Aku menahan napas, jantungku berdetak kencang. Pohon itu terlihat lebih besar dari dekat, cabang-cabangnya seperti lengan-lengan yang menjulur ke langit, penuh rahasia yang tak pernah kufahami.
“Salindra,” kata kakekku, suaranya dalam dan penuh kebijaksanaan, seperti pohon itu sendiri sedang berbicara. “Pohon ini sudah berdiri di sini sebelum aku lahir, dan akan terus berdiri setelah kita semua pergi. Dia melihat banyak hal—keberanian, kegagalan, tawa, dan air mata. Tapi dia tidak pernah menghakimi. Dia hanya menyaksikan.”
Aku menatap pohon itu, merasakan sesak di dadaku. “Aku benci pohon ini,” kataku, suaraku hampir berbisik. “Kalau aku nggak naik, aku nggak akan begini.”
Kakekku menggeleng pelan. “Bukan pohonnya yang membuatmu begini, Nak. Itu pilihanmu. Dan sekarang, kamu punya pilihan lain—mau menyerah, atau mau bangkit.” Dia menunjuk ke arah akar pohon yang menjulur dari tanah, kuat dan kokoh. “Lihat akar-akar itu. Mereka pernah patah karena badai, tapi pohon ini tetap tumbuh. Kamu juga bisa.”
Kata-kata kakekku seperti percikan api di tengah kegelapan. Aku memandang pohon itu lagi, dan untuk pertama kalinya, aku tidak melihatnya sebagai musuh. Aku melihatnya sebagai saksi bisu dari perjuanganku, dari keberanianku yang salah arah, dan dari harapan yang mulai tumbuh di dalam diriku. Malam itu, aku bermimpi tentang pohon akasia lagi, tapi kali ini aku tidak jatuh. Dalam mimpiku, aku berdiri di puncaknya, memandang Desa Renggali yang diterangi bulan, dan aku merasa utuh.
Bulan-bulan berikutnya adalah perjuangan yang melelahkan namun penuh makna. Aku mulai bisa berdiri dengan bantuan kruk, lalu berjalan beberapa langkah tanpa bantuan. Setiap langkah terasa seperti kemenangan kecil, dan setiap kemenangan itu dirayakan bersama Viondra, Lirenza, dan ibuku. Suatu hari, ketika aku berhasil berjalan dari beranda ke pagar depan rumah tanpa kruk, Viondra berlari memelukku, air matanya membasahi bajuku. “Kamu kembali, Sal!” katanya, suaranya penuh kebahagiaan. Lirenza hanya tersenyum dari kejauhan, tapi matanya berbinar, seperti bintang di malam yang cerah.
Satu tahun setelah kecelakaan itu, aku berdiri lagi di depan pohon akasia, kali ini dengan kakiku sendiri. Aku tidak lagi memanjat, tapi aku tidak takut. Aku memegang gelang di pergelangan tanganku, merasakan ukiran inisial “S” di bawah jariku. Pohon itu tidak lagi menjadi simbol kegagalanku, melainkan pengingat bahwa aku telah jatuh—dan bangkit kembali. Aku menoleh ke arah Viondra dan Lirenza, yang berdiri di sampingku, dan kami bertiga tertawa, tawa yang penuh kehidupan, tawa yang menggema di bawah langit senja Desa Renggali.
Di kejauhan, angin membawa aroma tanah basah dan dedaunan kering, dan aku tahu, di dalam hatiku, bahwa aku bukan lagi Salindra yang dulu. Aku adalah Salindra yang baru, yang telah belajar bahwa keberanian sejati bukan tentang memanjat pohon tertinggi, tapi tentang bangkit dari reruntuhan, langkah demi langkah, menuju cahaya.
Kisah Salindra Kael dalam Jatuh dari Pohon: Kisah Pilu yang Mengubah Hidupku mengajarkan kita bahwa keberanian sejati bukan hanya tentang menaklukkan ketinggian, tetapi tentang bangkit dari kegagalan dan menemukan cahaya di tengah kegelapan. Cerita ini bukan hanya tentang sebuah kecelakaan, tetapi tentang perjuangan, persahabatan, dan harapan yang mampu mengubah hidup. Jadilah seperti Salindra, yang memilih untuk melangkah maju meski dunia pernah runtuh di bawah kakinya.
Terima kasih telah menyimak kisah inspiratif Salindra Kael bersama kami! Semoga cerita ini meninggalkan jejak di hati Anda dan memotivasi Anda untuk terus berjuang menghadapi setiap rintangan. Jangan lupa bagikan artikel ini kepada teman-teman Anda dan tinggalkan komentar tentang apa yang paling menginspirasi Anda dari perjalanan Salindra. Sampai jumpa di kisah inspiratif berikutnya!