Daftar Isi
Gini deh, siapa sih yang nggak pernah ngerasain gimana rasanya jatuh cinta sama teman sekelas? Yang tadinya cuma temen ngobrol biasa, eh tiba-tiba jadi pusat perhatian di kelas.
Nah, cerita kali ini tentang gimana rasanya jatuh cinta sama teman yang awalnya justru jadi musuh kamu di kelas. Semua dimulai dari perasaan canggung, saling adu argumen, sampai akhirnya sadar kalau hati kita nggak bisa bohong. Penasaran kan? Yuk, simak cerita seru yang bakal bikin kamu baper dan ngakak barengan!
Jatuh Cinta pada Teman Sekelas
Antara Tugas dan Teka-Teki
Kelas 12 IPA 3 penuh dengan siswa yang lebih suka mengeluh daripada benar-benar belajar. Mungkin hanya beberapa orang yang benar-benar tertarik dengan pelajaran, dan aku salah satunya. Entah kenapa, aku selalu merasa ada yang hilang jika tidak mengikuti pelajaran dengan serius. Matematika, fisika, kimia—semuanya seperti puzzle yang harus aku pecahkan. Pekerjaan yang tak pernah selesai, tetapi tetap membuatku merasa puas. Aku duduk di bangku depan, dekat papan tulis, seperti biasa.
Di sebelahku, ada Lintang, teman sekelas yang bisa dibilang lebih tertarik pada apa yang ada di luar jendela daripada soal-soal yang ada di depan matanya. Lintang itu unik. Dia pintar, tetapi dia lebih suka tidak peduli. Ada sesuatu yang membuatku penasaran sekaligus kesal setiap kali melihatnya. Kenapa dia enggak bisa serius sedikit saja? Seperti saat ini.
Guru Matematika sedang menjelaskan soal yang cukup sulit, dan seperti biasa, Lintang duduk dengan tangan terlipat di depan dada, matanya menyelam dalam dunia lain. Tugas soal integrasi di meja kami sepertinya tidak ada artinya bagi dia.
“Lintang,” aku memulai, mencoba menjaga nada suara agar tetap tenang meski kesal. “Kamu enggak denger apa yang dikatakan Pak Erwin? Kamu malah asyik dengan dunia kamu sendiri.”
Lintang hanya melirik ke arahku tanpa mengalihkan pandangannya dari jendela. “Aku denger kok,” jawabnya santai, “tapi ya gitu deh, kayaknya kalau aku mikirin soal-soal itu, hidup jadi terasa berat banget.”
Aku menghela napas. “Berat? Emangnya kamu pikir soal-soal itu bisa dikerjain nanti? Itu akan mempengaruhi nilai kita, Lintang.”
Dia hanya tersenyum tipis. “Ah, nilai-nilai itu nggak akan bikin hidup lebih seru. Toh, hidup bukan cuma soal angka.”
Aku terkadang merasa dia itu penuh dengan pernyataan yang tidak masuk akal, tetapi ada sesuatu dalam caranya berbicara yang membuat aku enggak bisa marah. Lintang seperti memiliki kemampuan untuk menenangkan semuanya dengan satu kalimat. Walaupun, ya, aku tetap merasa sedikit kesal.
“Kenapa kamu enggak bisa serius sedikit saja sih? Seharusnya kamu bisa dapat nilai yang lebih bagus. Kamu itu pinter, Lintang,” aku tidak bisa menahan diri untuk berkata.
Lintang menoleh, memandangku dengan tatapan yang lebih tajam dari biasanya. “Pinter? Apa artinya pinter kalau nggak bisa menikmati hidup? Kalau kamu terus-terusan fokus sama nilai, nanti kamu kehabisan waktu buat ngerasain hal-hal lain yang lebih berharga.”
Ada ketegangan tipis di udara, dan aku merasa sedikit bingung. Dia bicara seolah-olah semua itu mudah, padahal aku tahu hidup enggak sesederhana itu. Aku bisa merasakan cemasnya—bahkan hanya dengan berpikir tentang ujian. Aku tidak bisa membayangkan tidak peduli dengan nilai, dengan masa depan.
“Tapi kamu harus tahu,” lanjutku dengan suara lebih rendah, “bukan soal angka, tapi soal siapa kamu nanti setelah lulus. Kalau kamu nggak berusaha, ya nanti yang susah siapa?”
Dia mengangkat bahu, lalu mengembuskan napas panjang. “Ya, mungkin. Tapi kalau kita cuma mikirin masa depan terus, kita bisa lupa nikmatin saat ini.”
Aku ingin sekali berdebat lebih lanjut, tetapi seketika aku merasa seperti ada yang mengikatku untuk diam. Lintang memiliki caranya sendiri untuk membuat aku merasa terhenti, meskipun setiap kata yang dia ucapkan seakan menantang cara berpikirku yang terlalu terstruktur dan kaku.
Suasana kelas terasa semakin membosankan. Aku kembali fokus pada soal yang harus diselesaikan, mencoba untuk mengalihkan pikiranku dari percakapan tadi. Tapi Lintang, dengan cara yang tak terduga, selalu ada untuk mengganggu ketenanganku. Dia suka menggoda, suka mengusik.
Tiba-tiba dia menulis sesuatu di kertasnya, melemparkannya ke meja aku. Aku menoleh dan melihat selembar kertas yang bertuliskan “Jangan terlalu serius, Rafa. Nanti kamu bisa kehabisan senyum.”
Aku hanya bisa menatap kertas itu, bingung antara ingin tertawa atau malah merasa kesal. Lintang ini memang selalu punya cara untuk membuatku merasa canggung. Mungkin itu yang dia inginkan. Tapi dia enggak tahu kalau dia sudah berhasil menambah kebingunganku.
Di luar jam pelajaran, aku kembali melihat Lintang, kali ini berbicara dengan Aira di luar kelas. Aku tidak tahu kenapa, tapi ada sesuatu yang tidak bisa aku jelaskan ketika melihat mereka tertawa bersama. Cemburu? Mungkin. Tapi aku enggak tahu kenapa perasaan itu ada.
Aira itu teman sekelas yang cukup dekat dengan Lintang, mereka sering bercanda, dan aku selalu merasa sedikit aneh saat melihat kedekatan mereka. Aku tidak pernah mengakuinya, tetapi ada rasa yang mengganjal di dadaku setiap kali mereka berdua terlihat bahagia tanpa aku.
“Lintang,” aku memanggilnya pelan, sedikit enggan. “Kamu dekat banget ya sama Aira.”
Lintang menoleh dan tersenyum lebar. “Kenapa? Cemburu?”
Aku menggelengkan kepala dengan cepat, berusaha menyembunyikan perasaan yang sebenarnya sudah jelas terbaca di wajahku. “Enggak kok, cuma… Ya gitu deh.”
Lintang tertawa kecil, menatapku dengan tatapan yang sulit dimengerti. “Enggak apa-apa, Rafa. Cemburu itu wajar kok. Tapi inget, aku kan teman kamu juga.”
Aku tidak tahu kenapa, tetapi kata-katanya kali ini membuat aku merasa aneh. Ada semacam ketegangan yang sulit dijelaskan. Apakah ini rasa cemburu? Atau mungkin lebih dari itu? Rasanya aku mulai kebingungan dengan perasaan sendiri.
Tetapi satu hal yang aku tahu pasti: semakin aku dekat dengan Lintang, semakin aku merasa hatiku seperti terombang-ambing. Entah mengapa, berada di dekatnya membawa perasaan yang sulit dijelaskan—sebuah campuran antara frustrasi, kesal, dan… mungkin, sedikit suka.
Cemburu Tanpa Alasan
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan entah kenapa, aku merasa semakin terjebak dalam permainan perasaan yang aku buat sendiri. Lintang, dengan segala caranya yang menyebalkan, terus mengusikku. Tapi ada sesuatu yang membuatnya berbeda. Mungkin aku sudah mulai terbiasa dengan tatapan matanya yang cerah itu, atau mungkin, aku mulai menyadari hal-hal kecil yang membuat dia begitu menarik. Padahal, aku tahu—kita hanya teman sekelas. Itu saja. Tidak lebih.
Hari itu, pelajaran Kimia terasa semakin berat. Semua orang sepertinya terjebak dalam kebingungan yang sama—soal-soal yang terlalu rumit untuk dipahami dalam waktu singkat. Aku yang biasanya merasa tenang saat menghadapinya, kini merasa kewalahan. Aku menatap lembaran soal yang terbuka di hadapanku dengan lesu. Semua jawaban yang kutulis terasa salah. Dan aku, yang selama ini berusaha keras untuk mempertahankan nilai bagus, merasa seolah-olah semua usahaku sia-sia.
“Eh, kamu kenapa, Rafa? Kayaknya kamu lagi pusing banget,” suara Lintang tiba-tiba terdengar di sampingku.
Aku menoleh ke arahnya, sedikit terkejut. Lintang, yang biasanya tidak terlalu peduli dengan pelajaran, kini tampak memperhatikan. Dia menatapku dengan ekspresi serius, yang jarang aku lihat darinya. Ada keanehan dalam pandangannya. Dia memperhatikan setiap gerakan tanganku yang menulis dan tampaknya bisa merasakan kekhawatiranku.
“Enggak apa-apa,” jawabku cepat, mencoba menutupi kegugupanku. “Cuma soal-soal ini yang bikin pusing. Seperti nggak ada jalan keluarnya.”
Lintang mengangkat alisnya dan tersenyum tipis. “Kamu terlalu keras sama diri sendiri. Coba tarik napas dulu, baru jawab lagi. Jangan dipikirin banget. Nanti malah lebih susah.”
Aku menggelengkan kepala pelan. “Tapi aku nggak bisa kalau nggak selesai. Aku harus bisa.” Aku merasa semakin terjebak dalam kewajiban yang hanya aku buat sendiri. Kenapa semuanya harus terasa begitu penting?
Lintang mengangkat bahu. “Ya kalau kamu bilang begitu.” Dia terdiam sejenak, lalu melanjutkan dengan nada yang lebih ringan. “Tapi kalau kamu pengen aku bantu, aku bisa ajarin kok.”
Aku menatapnya sekilas, lalu kembali melihat soal-soal di depanku. Sebenarnya aku enggak mau kelihatan lemah di depan dia. Aku enggak mau dia menganggap aku nggak mampu. Tapi di sisi lain, tawaran Lintang terdengar begitu mudah. Mungkin itu satu-satunya cara agar aku bisa menyelesaikan soal-soal ini tanpa terlalu stres.
“Aku nggak mau merepotkan kamu,” kataku dengan suara pelan.
Lintang tertawa kecil, suaranya yang rendah itu membuat aku sedikit kesal, sekaligus bingung. “Kamu ini terlalu keras kepala. Coba deh, buka pikiran sedikit. Nggak ada salahnya minta bantuan teman.”
Aku merasa sesuatu yang aneh saat mendengar kata-katanya. Bantu teman? Apakah aku hanya sekadar teman buatnya? Ada sedikit rasa cemas yang merayapi pikiranku. Aku menelan ludah dan mengangguk perlahan, meski dalam hati masih terasa ada yang mengganjal. Kenapa rasanya seperti ada jarak antara kita yang semakin terasa?
Sepanjang pelajaran, Lintang memang benar-benar membantu menjelaskan soal-soal yang aku anggap rumit. Tanpa sadar, aku mulai lebih sering menatapnya, bukan karena dia sedang menjelaskan materi, tapi karena ada sesuatu yang membuatku semakin tertarik. Setiap senyum kecilnya, setiap cara dia berbicara—semua itu mengganggu fokusku. Aku merasa cemas, tetapi juga terpesona. Apakah ini yang disebut dengan rasa suka? Kalau iya, kenapa aku merasa begitu bingung?
Saat istirahat, aku berjalan keluar kelas, mencoba menenangkan pikiran. Tetapi, saat aku melangkah ke luar, aku melihat Lintang dan Aira duduk berdua di bawah pohon besar, tertawa dan berbicara dengan akrab. Seketika, perasaan aneh itu muncul lagi—cemburu. Ada sesuatu yang mengganggu di dalam dada, sesuatu yang membuat aku ingin pergi menjauh. Kenapa mereka terlihat begitu dekat? Kenapa aku merasa seperti terasingkan? Bukankah aku juga teman Lintang?
Aku mencoba menenangkan diri, tapi perasaan itu tak bisa kuhilangkan. Aku berjalan menjauh dari mereka, berharap bisa menenangkan pikiran. Tetapi entah mengapa, semakin jauh aku pergi, semakin besar perasaan aneh itu. Cemburu? Ya, mungkin. Tapi kenapa aku merasa begitu bodoh hanya karena hal sepele seperti ini?
Di saat seperti itu, tiba-tiba aku mendengar suara langkah kaki mendekat. Aku menoleh, dan ternyata itu Lintang, yang ternyata sudah berdiri di belakangku. Matanya menatapku dengan penuh tanya.
“Kenapa kamu kelihatan bingung banget? Ada yang nggak beres?” tanyanya dengan nada yang lebih lembut dari biasanya.
Aku ragu-ragu, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Enggak, nggak ada apa-apa,” jawabku cepat, berusaha menutupi kebingunganku.
Lintang tidak langsung meyakini jawabanku. “Kamu tahu, kamu enggak perlu sok kuat kalau kamu nggak baik-baik aja. Kalau ada apa-apa, kamu bisa cerita, Rafa. Aku teman kamu kan?”
Aku menatapnya, dan untuk sesaat, aku merasa seperti ada sesuatu yang melambung di dadaku. Entah kenapa, kata-kata itu terasa begitu dekat dengan perasaan yang selama ini aku coba hindari. Teman. Tapi apakah hanya itu yang aku rasakan terhadap Lintang? Apa aku benar-benar hanya teman untuknya?
Aku mengangguk, berusaha menutupi kebingunganku. “Iya, terima kasih, Lintang. Tapi, aku baik-baik aja kok.”
Lintang tersenyum dan mengacak rambutku dengan santai, seperti biasanya. “Kalau ada apa-apa, bilang aja. Aku nggak akan pergi kok.”
Entah kenapa, kata-katanya kali ini berhasil menenangkan sedikit kekalutan dalam diriku. Tapi di sisi lain, ada perasaan yang belum bisa aku pahami. Apakah ini cuma sekadar rasa cemas seorang teman, atau ada lebih dari itu?
Pengakuan yang Terlambat
Beberapa hari setelah kejadian itu, perasaanku semakin rumit. Lintang semakin sering mendekat, dan entah kenapa, aku merasa cemas setiap kali dia memperhatikanku lebih dari yang seharusnya. Seperti biasa, dia datang dengan tawaran bantuannya yang tak pernah kutolak, walau di dalam hati aku tahu—mungkin ini adalah cara dia menjaga jarak dengan semua orang. Tidak ada yang spesial tentang kami, bukan? Kami hanya teman sekelas, yang lebih sering bertengkar daripada berbicara baik-baik.
Tetapi, aku mulai merasa ada yang berubah. Setiap kali dia mengusap rambutku dengan santai, aku merasa jantungku berdetak lebih cepat. Setiap senyuman kecil yang ia berikan, terasa lebih dari sekadar basa-basi. Dan ketika dia berbicara dengan Aira, aku mulai merasa cemburu, meski aku tidak tahu alasan pastinya. Kenapa aku merasa seperti ini? Bukankah ini hanya sebuah kebetulan?
Hari itu, pelajaran Bahasa Indonesia baru saja dimulai. Semua orang duduk dengan tenang, tapi aku tidak bisa fokus. Mataku terus mengarah pada Lintang yang duduk di depan, berdekatan dengan Aira. Mereka berdua tampak begitu akrab, tertawa ringan di tengah materi yang sedang dibahas. Dan aku? Aku duduk di belakang mereka, merasa seperti penonton yang tidak diundang. Perasaan itu datang lagi—perasaan seakan ada sesuatu yang mengganjal di dalam dada.
“Rafa, kenapa kamu tampak jauh?” suara Lintang tiba-tiba memecah lamunan. Dia menoleh ke belakang, tatapannya kali ini berbeda—lebih penuh perhatian.
Aku buru-buru mengalihkan pandanganku, mencoba terlihat biasa saja. “Enggak apa-apa,” jawabku singkat, tapi jantungku masih berdegup kencang. Kenapa aku harus merasa begitu gelisah hanya karena dia menatapku?
Lintang menyandarkan tangan di meja dan tersenyum. “Kamu nggak percaya sama aku ya?” tanyanya sambil mengerutkan kening, seolah mengerti ada yang aneh dengan sikapku.
Aku terdiam, bingung harus menjawab apa. Aku tidak bisa mengakui apa yang sebenarnya aku rasakan—bukan hanya karena aku takut dia tidak merasakannya, tapi juga karena aku takut ini akan mengubah segalanya. Aku tidak ingin kehilangan apa pun yang sudah aku punya dengan Lintang, meski itu hanya sekadar persahabatan.
“Gak gitu kok,” jawabku, mencoba tersenyum seakan-akan semuanya baik-baik saja.
Namun, Lintang tidak tampak percaya begitu saja. Dia terus menatapku, mata cokelatnya yang dalam itu menelusuri setiap gerak-gerikku. “Jangan bohong, Rafa. Kamu nggak bisa terus-terusan nyembunyiin sesuatu. Kalau ada apa-apa, kamu bisa cerita kok. Aku di sini, kan?”
Perasaan itu datang lagi—rasa yang mulai sulit ditahan. Aku merasa seolah-olah Lintang membaca pikiranku, atau bahkan lebih buruk lagi, dia mulai merasakan apa yang aku rasakan. Aku menelan ludah, mencoba mencari kata-kata yang tepat, namun mulutku terasa terkunci.
Sebelum aku sempat mengatakan apa-apa, tiba-tiba suara bel berbunyi, memisahkan kami. Aku menarik napas lega, meski di dalam hati, aku tahu bahwa ini hanya penundaan sementara. Suasana kelas berubah menjadi lebih riuh, namun aku tetap terjebak dalam kebingunganku.
Setelah kelas selesai, aku berjalan keluar dengan cepat, berusaha menghindar dari Lintang yang tampaknya sedang menungguku. Aku tahu aku harus menghadapi kenyataan ini, tapi entah kenapa, aku memilih untuk menunda lagi. Namun, langkahku terhenti begitu aku mendengar suara Lintang memanggilku dari belakang.
“Rafa! Tunggu!” Suaranya terdengar agak panik, dan aku merasa semakin cemas. Kenapa dia harus begitu peduli?
Aku memutar tubuhku, dan di sana, di lorong yang sepi, Lintang berdiri, menatapku dengan serius. Matanya yang biasanya penuh dengan candaan kini terlihat lebih dalam, seperti ada sesuatu yang dia ingin sampaikan tapi terhalang.
“Ada apa, Lintang?” Aku berusaha terdengar tenang, meskipun aku tahu ekspresiku justru memberi petunjuk sebaliknya.
Lintang menghela napas, lalu berjalan mendekat. “Aku nggak tahu kenapa kamu jadi kayak gini, Rafa. Aku lihat ada yang beda dari kamu akhir-akhir ini. Kamu selalu menghindar, dan aku bisa ngerasain kalau kamu nggak sepetus dulu lagi.”
Aku menundukkan kepala, merasa semakin cemas. “Aku nggak tahu apa yang kamu maksud. Aku baik-baik aja.”
Lintang tertawa kecil, meskipun tawa itu terasa canggung. “Kamu selalu bilang gitu, tapi aku tahu. Aku nggak bodoh, Rafa. Aku bisa lihat kalau kamu ngerasa nggak nyaman. Ada yang kamu sembunyiin, kan?”
Aku menggigit bibir, merasa ada sesuatu yang ingin keluar, tetapi aku menahannya. Kenapa harus sekarang? Kenapa harus dia yang menanyakan ini? Kalau saja aku bisa mengeluarkan semua perasaanku tanpa takut kehilangan apa pun.
“Apa kamu merasa cemburu?” Lintang tiba-tiba bertanya, suaranya lembut, tapi ada nada serius yang tidak bisa aku abaikan.
Hatiku terhenti sejenak. Cemburu? Aku menatap Lintang dengan mata yang tak bisa menutupi rasa terkejutku. Apa dia bisa tahu? Bagaimana dia bisa begitu yakin? Apa yang harus aku katakan?
Aku menelan ludah, mencoba untuk tetap tenang. “Aku… nggak tahu,” aku akhirnya menjawab dengan suara pelan, menghindari tatapannya. “Mungkin, aku nggak yakin kalau perasaan ini bener.”
Lintang mendekat lebih lagi, kini hanya beberapa langkah dariku. “Perasaan ini nggak akan hilang, Rafa. Kamu nggak bisa terus menyembunyikannya.”
Dia menyentuh bahuku dengan lembut, membuat aku terdiam. Ada sesuatu di dalam tatapannya yang membuatku terperangah. Sesuatu yang begitu nyata, namun juga begitu takut aku hadapi.
“Jadi, apa kamu akan terus menghindar?” tanya Lintang, suaranya kali ini lebih rendah, seolah-olah meminta jawaban yang aku tak tahu jawabannya.
Aku merasa bingung, cemas, dan entah kenapa, aku merasa seperti berada di ujung jurang.
Keputusan yang Diharapkan
Suasana di sekitar kami semakin sepi, hanya ada suara langkah kaki yang terdengar jauh di lorong sekolah. Lintang masih berdiri di depanku, tatapannya lebih lembut dari sebelumnya, tetapi aku merasa ada ketegangan yang belum juga menghilang. Kami berdua terdiam sejenak, seolah waktu berhenti berputar di sekitar kami.
Aku memejamkan mata, berusaha untuk menenangkan diri. Kenapa perasaan ini bisa begitu rumit? Sejak pertama kali bertemu dengannya, aku tahu ada sesuatu yang berbeda. Tapi kenapa sekarang, ketika aku merasa hampir siap menghadapinya, aku justru ingin mundur?
“Rafa…” Lintang memanggil namaku pelan, dan aku bisa merasakan getaran di suaranya. Ada sesuatu di sana yang aku tak bisa hanya sekadar abaikan.
Aku membuka mataku dan menatapnya. Hanya ada dia dan aku, tidak ada siapa-siapa lagi. Entah kenapa, aku merasa dunia ini menyempit, seolah-olah hanya ada kami berdua dalam ruang yang kosong. “Apa yang harus aku lakukan, Lintang?” suara aku terdengar lemah, tidak biasa.
Lintang menghela napas panjang, matanya tetap mengarah padaku, penuh pengertian. “Aku nggak akan pernah memaksakan kamu, Rafa,” katanya, suara rendah namun jelas. “Aku tahu kamu butuh waktu, dan aku bisa sabar. Aku nggak mau kamu merasa terpaksa, tapi aku juga nggak mau kamu terus menyembunyikan perasaan ini.”
Aku menunduk, merasa malu pada diriku sendiri. Mengapa aku begitu ragu? Mengapa aku merasa takut akan sesuatu yang sudah jelas ada di depan mata?
Lintang mengangkat daguku dengan lembut, memaksaku untuk menatap matanya. “Kadang, kita harus berani mengambil langkah, meskipun takut, Rafa. Kamu nggak akan tahu kalau kamu nggak coba.”
Aku merasa hati ini berdebar semakin kencang. Rasanya seperti ada dorongan kuat yang membuatku ingin mengatakan sesuatu yang selama ini aku pendam. Aku ingin berkata bahwa aku merasa cemburu melihatnya dengan Aira, bahwa aku mulai menyadari bahwa dia lebih dari sekadar teman sekelas bagiku. Aku ingin mengatakan semuanya, tapi takut itu akan merusak semuanya.
“Aku nggak tahu harus mulai dari mana, Lintang…” aku berkata pelan, jujur pada diriku sendiri.
Lintang hanya tersenyum, senyum yang selalu membuatku merasa lebih tenang. “Kamu nggak perlu tahu semuanya sekarang, Rafa. Yang penting, kita mulai dari sini.”
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk menerima kenyataan bahwa aku memang sudah jatuh hati pada Lintang. Bukan hanya karena dia teman sekelasku, atau karena dia selalu ada saat aku butuh bantuan, tapi juga karena ada sesuatu yang lebih. Sesuatu yang sulit diungkapkan, namun terasa begitu jelas.
Aku mengangguk pelan. “Oke, Lintang. Aku nggak akan menghindar lagi. Aku akan coba,” kataku, akhirnya memberikan jawaban yang selama ini aku takutkan.
Dia tersenyum lebar, seolah dunia di sekitarnya tiba-tiba menjadi lebih cerah. “Aku senang denger itu, Rafa.”
Dalam sekejap, aku merasa ada sesuatu yang berubah antara kami. Bukan hanya sekadar persahabatan, bukan hanya sekadar teman sekelas. Kami berdua sudah mengambil langkah pertama, dan meskipun ada banyak ketidakpastian yang tersisa, setidaknya kami tidak lagi takut untuk menghadapi masa depan bersama.
“Ayo, kita ke kantin?” Lintang menawarkan, membuka pembicaraan baru dengan cara yang ringan.
Aku tersenyum, merasa lebih lega dari sebelumnya. “Boleh, tapi kamu yang bayar ya,” jawabku, mencoba membuat suasana sedikit lebih santai.
Dan begitu kami berjalan beriringan, aku tahu satu hal pasti—perjalanan ini baru saja dimulai. Apa pun yang akan terjadi, aku sudah siap untuk itu, dan mungkin, inilah saatnya aku berhenti menahan perasaanku.
Lintang menoleh ke arahku, mata cokelatnya penuh dengan harapan. “Pasti, Rafa. Tapi jangan harap aku mau ngasih diskon, ya.”
Aku tertawa kecil, merasa seperti beban besar di pundakku akhirnya terlepas. “Aku nggak minta diskon, kok. Cuma pengen makan aja.”
Kami melangkah bersama, dua teman sekelas yang kini punya sesuatu lebih dari sekadar persahabatan. Sesuatu yang tak perlu dijelaskan dengan kata-kata, karena hanya dengan berada di sisi satu sama lain, kami sudah tahu apa yang kami rasakan.
Dan di sanalah, di bawah sinar matahari sore yang mulai meredup, kami berjalan menuju kantin, saling berbagi tawa dan kehangatan. Ini mungkin hanya awal, tetapi untuk pertama kalinya, aku merasa siap menjalani setiap langkahnya.
Jadi, siapa sangka kan kalau perasaan yang awalnya cuma dianggap sepele bisa berkembang jadi sesuatu yang indah? Kadang, cinta itu datang dari tempat yang nggak kita duga, bahkan dari teman sekelas yang awalnya cuma bikin kesel.
Tapi, ya begitulah hidup, penuh kejutan. Kalau kamu lagi ngalamin hal yang serupa, mungkin sekarang saatnya buat lebih berani ngungkapin apa yang sebenarnya kamu rasain. Jangan takut jatuh, karena kadang, cinta yang datang dari tempat yang nggak terduga itu justru yang paling berarti.