Daftar Isi
Kadang, hidup itu nggak selalu seperti yang kita inginkan. Patah hati, kecewa, dan segala perasaan yang berat bisa bikin kita ngerasa kalau cinta itu nggak buat kita. Tapi siapa sangka, cinta bisa datang lagi, dengan cara yang nggak kita duga.
Ini cerita tentang perjalanan jatuh cinta lagi setelah rasa sakit itu hilang, tentang pertemanan yang jadi lebih dari sekadar teman, dan tentang bagaimana kita akhirnya belajar menerima apa yang datang. Siap-siap, karena ini cerita yang bikin hati kamu hangat dan senyum-senyum sendiri.
Jatuh Cinta Lagi Setelah Patah Hati
Senja yang Tak Terduga
Taman kota itu, meski hanya sepetak kecil di tengah keramaian, selalu punya cara untuk memberi ketenangan. Di setiap sudut, pepohonan dengan daun-daun kekuningan berjatuhan, seakan ikut menyambut musim gugur. Biasanya, aku datang ke sini hanya untuk berlari, menghabiskan waktu setelah kerja dengan memecah rutinitas sehari-hari yang kadang terasa menjemukan. Tanpa tujuan lain, hanya ingin membiarkan pikiran kosong dan tubuh bergerak, seperti cara yang paling mudah untuk melepaskan diri dari tekanan yang tak terungkap.
Hari itu, aku datang seperti biasa, memakai sepatu lari hitam yang sudah agak lusuh, dengan hoodie abu-abu yang sudah lama ku miliki. Angin yang datang membawa aroma daun kering dan tanah basah, sedikit dingin, namun cukup segar untuk memberi semangat. Aku memulai langkahku di jalur setapak, merasakan tanah yang dipenuhi daun-daun berjatuhan di bawah kaki.
Di sisi bangku taman yang biasanya kosong, ada seorang wanita yang sedang duduk, wajahnya tertutup oleh buku yang sedang dibacanya. Rambutnya hitam legam, panjang dan tergerai bebas. Tubuhnya terlihat ramping, namun ada kesan ketenangan yang terpancar, seperti seseorang yang sudah lama merasa nyaman dengan dirinya sendiri.
Aku tidak tahu kenapa, tapi mataku tidak bisa lepas dari sosok itu. Mungkin karena ada sesuatu yang berbeda dari dirinya, atau mungkin hanya kebetulan, aku tidak tahu. Satu hal yang jelas, dia tampaknya tidak terlalu peduli dengan dunia sekitarnya. Begitu tenggelam dalam buku, seolah taman ini bukan tempat umum, tetapi ruang pribadinya.
Tanpa sengaja, langkahku sedikit terlalu cepat dan aku melangkah terlalu dekat dengan jalur tempat dia duduk. Angin kencang datang tiba-tiba, membuat halaman buku di tangannya terbang. Buku itu meluncur ke udara sebelum jatuh ke tanah.
“Ah, tidak…” gumamku, hampir tak terdengar.
Aku berhenti, memutar tubuh untuk mengambil buku yang jatuh tepat di depan bangku tempat dia duduk. Ketika aku menunduk untuk mengambilnya, mata kami bertemu, dan aku merasakan sesuatu yang aneh. Mungkin itu hanya kebetulan, tapi ada kesan seperti aku mengenalnya—meskipun aku tahu itu tidak mungkin. Dia tersenyum kecil, sedikit canggung, namun tidak ada rasa terganggu di wajahnya.
“Terima kasih,” katanya dengan suara lembut saat aku menyerahkan bukunya kembali. Aku hanya tersenyum sedikit.
“Tidak apa-apa,” jawabku, mencoba menghindari tatapannya, walaupun sebenarnya, aku lebih suka melihatnya.
“Cuaca ini memang bisa membuat segala sesuatu terbang dengan cepat ya,” lanjutnya sambil mengusap sampul bukunya, seakan mengalihkan perhatian dari situasi yang cukup canggung ini.
“Memang. Tapi mungkin itu tandanya buku ini harus berhenti sejenak dan dipikirkan lebih lama,” kataku sambil tersenyum, sedikit mengeluarkan komentar yang tidak terlalu penting, hanya untuk mengurangi rasa canggung.
Dia mengangguk pelan, senyumnya mengembang sedikit. “Buku itu memang berat. Berbicara tentang banyak hal yang kadang susah untuk dipahami.”
Aku tertawa kecil. “Kadang, aku rasa kita juga sama. Berat, tapi penuh hal yang harus dipahami.”
Dia tersenyum lagi, seperti menemukan keakraban dalam percakapan ringan ini. Sebuah percakapan yang tidak pernah aku kira akan terjadi. Sebelum aku sempat mengatakan apa-apa lagi, dia menutup bukunya dan berdiri dari bangku, seolah-olah siap untuk pergi.
“Aku Rara,” katanya, memperkenalkan diri dengan santai. “Dan kamu?”
“Faris,” jawabku sambil mengulurkan tangan. Kami berjabat tangan dengan agak kaku, namun entah kenapa, itu terasa seperti perkenalan yang sudah lama aku tunggu, meskipun baru pertama kali bertemu.
“Jadi, Faris… Kamu sering berlari di sini?” tanyanya, mengalihkan pembicaraan.
Aku mengangguk, sedikit tertawa. “Ya, hampir setiap sore. Biasanya cuma untuk menghilangkan pikiran.”
“Pantas, kamu tampak seperti orang yang butuh banyak waktu untuk berpikir,” jawabnya, dengan nada yang ringan, namun aku bisa menangkap kesan bahwa dia mengerti lebih banyak dari yang ku kira.
Ada keheningan sejenak di antara kami, namun tidak ada rasa canggung lagi. Itu bukan percakapan yang besar, hanya sebuah pengenalan singkat, tapi cukup untuk membuatku merasa nyaman. Rara, dengan caranya sendiri, telah memecah dinding keheningan yang sudah lama aku bangun. Seperti halnya buku yang jatuh tadi, percakapan itu seperti tanda kecil yang mengarah pada sesuatu yang lebih besar.
“Aku harus pergi sekarang,” kata Rara setelah beberapa saat, menutup bukunya dan meletakkannya di tas.
“Ya, hati-hati. Semoga hari kamu menyenangkan,” kataku, tanpa tahu kenapa aku merasa sedikit berat melepaskannya pergi.
Dia menoleh sesaat, senyum tipis kembali menghiasi wajahnya. “Kamu juga, Faris. Sampai ketemu lagi.”
Aku hanya mengangguk dan menyaksikan dia pergi, langkahnya ringan dan penuh tujuan. Sementara aku, entah kenapa, merasa ada yang tertinggal. Aku hanya berdiri di sana, memandangi punggungnya yang semakin jauh, dan untuk pertama kalinya, aku merasa ada yang berbeda. Mungkin ini bukan kebetulan.
Aku melanjutkan lari kecilku, namun ada satu hal yang terus berputar di kepalaku: Rara. Dan aku tahu, ini baru permulaan dari sesuatu yang lebih besar yang sedang menanti.
Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa seperti kembali menemukan alasan untuk menantikan esok hari.
Percakapan Tanpa Kata
Sejak pertemuan pertama itu, aku mulai merasakan ada sesuatu yang berbeda. Bukan hanya tentang Rara—meskipun dia ada di benakku hampir setiap saat—tapi lebih tentang bagaimana perasaan itu datang dengan cara yang tak terduga. Setelah bertemu dengannya di taman, aku mulai datang lebih sering. Bahkan, aku tidak bisa menunggu hingga sore tiba, berharap ada kesempatan lagi untuk bertemu dengannya. Itu bukan karena aku mencari percakapan, tapi karena aku merasa ada energi yang berbeda setiap kali aku melihatnya.
Beberapa hari setelah itu, aku melihat Rara lagi di bangku yang sama. Dia duduk dengan buku yang sama, dan kali ini, tak ada angin yang mengacaukan segala sesuatunya. Segalanya terasa lebih tenang. Aku melangkah menuju jalur setapak dan, tanpa sengaja, mata kami bertemu lagi. Senyuman kecil di wajahnya membuat hatiku terasa lebih ringan. Dia masih seperti yang aku ingat—tidak banyak bicara, tapi ada ketenangan yang membuatku ingin tahu lebih banyak.
Aku berhenti di dekatnya, merasa ragu untuk menghampirinya, tapi entah kenapa, aku merasa seolah-olah dia juga menunggu sesuatu yang sama. Tanpa berkata apa-apa, aku duduk di bangku kosong di dekatnya, berusaha tidak mengganggu ketenangannya. Ada rasa nyaman hanya dengan berada di dekatnya. Rara menoleh sebentar dan tersenyum, lalu kembali fokus pada bukunya. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut kami. Kami hanya saling berada di sana, berbagi ruang tanpa perlu menjelaskan apa-apa.
Beberapa menit berlalu sebelum akhirnya dia menutup bukunya dengan pelan. “Kamu datang lagi,” katanya, suaranya lembut namun cukup untuk membuatku terkejut.
Aku mengangguk, merasa sedikit canggung. “Iya, kebetulan. Sepertinya taman ini jadi tempat yang nyaman buatku.”
“Kenapa nyaman?” dia bertanya dengan tatapan penasaran. “Bukan hanya karena sepi kan?”
Aku tersenyum, menyandarkan punggungku ke sandaran bangku. “Bukan hanya itu. Tapi… mungkin karena tempat ini punya banyak cerita, dan aku bisa merasa bebas mendengarkan semuanya, meskipun nggak ada suara.”
Rara tertawa pelan, senyumnya semakin mengembang. “Kamu aneh, ya. Tapi aku mengerti. Kadang, kebisingan dunia luar bisa membuat kita lupa untuk mendengarkan suara dalam diri kita sendiri.”
Aku terdiam sejenak. Ada sesuatu dalam kata-katanya yang menusuk, yang tiba-tiba membuatku merasa lebih dekat dengannya daripada sebelumnya. Seolah-olah dia mengerti lebih banyak tentang diriku, bahkan tanpa aku mengatakan apapun.
“Kadang aku berpikir, mungkin aku cuma terbiasa sendiri,” lanjutku, suara lebih rendah dari biasanya. “Tapi di sini… di tempat ini, rasanya nggak perlu takut untuk merasa sendirian.”
Rara menatapku dengan lembut. “Aku rasa, kita semua punya cara berbeda untuk menemukan kedamaian, Faris. Mungkin kamu hanya belum menemukan orang yang bisa buat kamu merasa tidak sendirian.”
Aku tertawa pelan, meski di dalam hati aku merasa ada yang berbeda. “Mungkin kamu benar,” jawabku. “Tapi, kadang aku suka berpikir, siapa yang mau menemani seseorang yang terlalu terbiasa dengan kesendirian?”
“Terkadang kita nggak perlu memaksakan diri untuk menemukan seseorang,” katanya, mengalihkan pandangannya ke pohon besar di ujung taman. “Tapi kalau kita berani membuka diri, bisa jadi orang yang kita butuhkan sudah ada di sekitar kita.”
Ada keheningan yang nyaman antara kami setelah itu. Kami berdua tidak perlu mengatakan apa-apa lagi, karena kata-kata seperti itu sudah cukup mengisi ruang kosong yang selalu ada. Kami hanya duduk, berbagi keheningan yang tak perlu dipaksakan, hanya menikmati hadirnya masing-masing.
Matahari sudah mulai merendah, memberikan sinar jingga yang hangat di sekeliling taman. Beberapa orang mulai pulang, meninggalkan taman yang semakin sepi. Aku menatap Rara, yang sepertinya sudah siap untuk pergi.
“Jadi, kamu akan terus datang ke sini?” tanyanya, matanya mengandung rasa ingin tahu.
“Iya, aku rasa tempat ini sekarang jadi punya arti lebih,” jawabku dengan senyum tipis.
Rara bangkit dari bangkunya, mengambil tas di sampingnya. “Kalau begitu, sampai besok, Faris. Semoga hari kamu menyenangkan.”
Aku hanya mengangguk, sedikit terkejut karena dia langsung melangkah pergi begitu saja. Tapi entah kenapa, aku merasa senang. Ada perasaan hangat yang mengalir dalam dadaku, dan aku merasa tak ingin momen itu berakhir.
“Rara,” aku memanggilnya saat dia sudah hampir jauh. Dia berhenti dan menoleh. “Terima kasih. Untuk percakapan ini.”
Dia tersenyum, lalu melambaikan tangan ringan. “Tidak masalah, Faris. Sampai ketemu lagi.”
Saat itu, aku tahu. Tidak perlu ada banyak kata untuk menggambarkan perasaan yang mulai tumbuh. Kadang, percakapan yang tak terucapkan lebih kuat dari apapun. Aku hanya berharap, langkahku ke depan bisa sejalan dengannya, meski tak tahu bagaimana akhirnya. Tapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa ada sesuatu yang berharga menanti di ujung sana.
Jarak yang Semakin Dekat
Seminggu setelah percakapan singkat di taman itu, aku mulai merasakan ada perubahan yang aneh dalam rutinitasku. Setiap sore, tanpa sadar aku sudah berada di taman itu lebih awal dari biasanya. Menunggu tanpa menunggu, berharap bisa bertemu dengan Rara lagi. Entah kenapa, meski kami tidak banyak berbicara, rasanya aku tidak pernah merasa sebebas ini dengan orang lain. Keberadaannya membuat dunia seakan lebih ringan, seolah setiap detik yang berlalu di dekatnya adalah waktu yang lebih berharga.
Hari itu, langit tampak sedikit mendung, tetapi aku tetap melangkah ke taman, dengan harapan bisa bertemu dengannya. Aku tahu ini mungkin terdengar bodoh—menunggu di tempat yang sama, setiap hari, hanya berharap ada seseorang yang juga ingin berbicara—tapi aku tidak peduli. Ada perasaan yang tidak bisa dijelaskan. Sebuah rasa yang muncul perlahan, tumbuh begitu saja, dan aku mulai terbiasa dengannya.
Taman itu lebih sepi dari biasanya. Hanya ada beberapa orang yang sedang berolahraga, sementara aku duduk di bangku yang sama, menatap daun-daun yang berguguran. Beberapa saat kemudian, langkah pelan terdengar di dekatku, dan aku menoleh dengan sedikit terkejut. Rara muncul dengan senyuman yang sudah aku kenal, membawa tas yang sama dan buku yang selalu dia bawa. Kali ini, dia tidak langsung duduk, tetapi berhenti sejenak di hadapanku.
“Sepertinya kamu sering datang ke sini,” katanya, suaranya cerah seperti biasa, meski ada kehangatan yang terasa lebih mendalam dari biasanya.
Aku mengangguk, merasa sedikit canggung, meskipun kami sudah beberapa kali bertemu. “Iya, aku rasa aku sudah mulai nyaman di sini.”
Dia duduk di bangku sebelahku, tidak ada jarak yang terlalu jauh. Ada sesuatu yang akrab dalam setiap gerakan kecilnya, dan tanpa banyak bicara, kami berdua hanya duduk diam, menikmati suasana taman yang mulai temaram dengan cahaya senja.
“Ada yang baru dari kehidupan kamu?” tanyanya setelah beberapa menit, suaranya mengalun lembut, tapi penuh perhatian.
Aku berpikir sejenak, mencoba menyusun kata-kata yang tepat. “Bukan hal besar sih… Tapi aku mulai merasa kalau rutinitas yang dulu nggak terlalu penting. Kadang hanya hal-hal kecil yang bisa bikin kita merasa lebih hidup.”
Rara tersenyum, menatap ke depan, seperti sedang merenungkan kata-kataku. “Terkadang, hal kecil itulah yang punya makna besar. Kalau kita nggak menghargai yang kecil, kita nggak akan pernah tahu apa yang sebenarnya kita cari.”
Aku terdiam, meresapi setiap kata yang dia ucapkan. Ada kedalaman dalam setiap percakapan dengannya, sesuatu yang tidak aku dapatkan dari percakapan lain. Seakan dia punya cara untuk menembus dinding yang selama ini kubangun.
“Jadi, menurut kamu,” lanjutku, sedikit ragu, “apa hal kecil yang menurutmu bisa membuat hidup lebih berarti?”
Dia menoleh padaku dengan tatapan serius, namun tetap lembut. “Mungkin, seperti mendengarkan suara hati kita sendiri, bukan hanya suara orang lain. Atau kadang, hanya dengan berada di tempat yang tepat, dengan orang yang tepat, meskipun kita nggak banyak bicara.”
Aku mengangguk pelan, merasa ada koneksi yang kuat meskipun tanpa kata-kata berlebihan. “Aku rasa… aku mulai mengerti apa yang kamu maksud.”
Kami terdiam sejenak, tapi kali ini, keheningan itu tidak terasa canggung. Aku merasa lebih ringan, lebih nyaman berada di dekatnya. Sebuah perasaan yang sulit dijelaskan, namun selalu ada setiap kali aku bersamanya. Seolah dunia ini tidak terlalu berat, dan mungkin, aku tidak perlu lagi merasa sendirian dalam menjalani semuanya.
“Faris,” Rara memecah keheningan, matanya menatap lurus ke depan. “Kadang, kita nggak perlu mencari jawaban dari semua pertanyaan. Kita hanya perlu menerima dan menikmati perjalanan, tanpa terburu-buru.”
Aku mengangguk, merasa kata-katanya menyentuh sesuatu yang dalam. “Kamu benar. Kadang kita terjebak terlalu lama dalam pertanyaan yang tidak pernah bisa kita jawab.”
Dia tersenyum tipis, lalu mengambil buku dari tasnya. “Aku nggak tahu kenapa, tapi aku selalu merasa ada sesuatu yang mengikat kita dalam hal-hal sederhana seperti ini. Mungkin kita terlalu lama berlarian, mencari sesuatu yang ternyata sudah ada di depan mata.”
Aku menatapnya, sedikit bingung, namun lebih dari itu, aku merasa hangat. “Apa yang kita cari, kadang memang cuma kita yang tahu. Tapi, aku mulai merasa, entah kenapa, ini bukan kebetulan.”
Rara tidak langsung menjawab, hanya mengangguk pelan, kemudian membuka bukunya. “Mungkin ini bukan kebetulan. Tapi jika itu adalah takdir, aku rasa kita akan menemukannya.”
Aku tersenyum, merasa seperti kalimat itu bukan hanya sebuah harapan kosong. Sebuah janji tersirat yang kami buat, tanpa benar-benar mengatakannya. Sesuatu yang lebih besar dari sekadar pertemuan biasa di taman ini.
Hari itu, kami duduk bersama, menikmati senja yang semakin memudar, tanpa perlu menjelaskan apapun. Aku tahu, tidak ada kata yang lebih tepat selain “kita” untuk menggambarkan bagaimana perasaan itu mulai tumbuh. Seperti dua garis yang semakin dekat, meskipun tak pernah tahu pasti kapan mereka akan bertemu.
Saat Rara berdiri dan melambaikan tangan, aku merasa ada sesuatu yang tertinggal di udara. Sebuah perasaan yang aku tahu akan membawa kami ke suatu tempat yang lebih berarti. Sebuah perjalanan yang baru dimulai.
Langkah yang Seirama
Hari-hari berlalu begitu cepat sejak percakapan kami yang terakhir di taman. Setiap sore, aku selalu melangkah dengan harapan bisa bertemu Rara lagi, meskipun aku tahu tak ada yang pasti. Namun, kehadirannya mulai menjadi bagian dari rutinitasku yang tak bisa digantikan. Tanpa banyak bicara, tanpa banyak pernyataan, kami terus bersama, seperti dua langkah yang saling menyusuri jalan tanpa ragu.
Hari itu, cuaca agak cerah, tetapi angin sedikit lebih kencang dari biasanya. Aku duduk di bangku yang sama, memandang langit yang mulai memerah saat matahari terbenam. Rasanya seperti dunia ini berhenti sejenak, memberikan ruang bagi segala perasaan yang sudah menumpuk. Aku menunggu, tapi tidak menunggu sesuatu yang pasti. Hanya berharap, seperti biasa, bahwa dia akan datang.
Dan, seperti biasa, Rara muncul dengan senyuman yang selalu bisa membuat hari terasa lebih baik. Dia berjalan menuju tempatku dengan langkah yang ringan, tas di bahunya dan buku yang sudah mulai usang di tangannya. Tidak ada yang lebih menenangkan dari melihat dia datang, meskipun kami hanya berbicara sedikit. Tetapi setiap kali kami bertemu, ada perasaan yang tidak bisa dijelaskan. Keberadaannya sudah menjadi kenyataan yang tak bisa diabaikan lagi.
“Hei,” katanya begitu sampai di dekatku, duduk di bangku yang sama, tepat di sampingku. Kali ini, dia tidak bertanya apa yang aku lakukan, atau bagaimana hariku. Seperti kami sudah berada di titik yang sama, tidak perlu banyak kata.
“Hei juga,” jawabku, menoleh sekilas padanya. Tak banyak yang bisa aku katakan, tapi perasaan itu selalu ada, mengalir begitu saja.
Beberapa menit berlalu dalam keheningan, seolah-olah kami berdua saling memberi ruang untuk merenung, menyelami apa yang tak perlu diungkapkan. Aku menatap langit yang mulai gelap, dan Rara, sepertinya, sedang menikmati suasana yang sama. Tak ada kata yang terucap, tetapi perasaan itu mengikat kami lebih erat dari yang kami kira.
Akhirnya, dia membuka mulutnya, melawan keheningan yang hampir sempurna. “Aku pikir kita sudah cukup lama berjalan di jalan yang sama, tanpa benar-benar tahu ke mana arah ini. Tapi aku mulai berpikir… mungkin kita sudah sampai di tempat yang tepat.”
Aku menatapnya dengan sedikit terkejut. Kalimat itu sederhana, tapi terdengar begitu berat. Seperti ada makna yang tak terucapkan, sesuatu yang lebih dalam yang hanya bisa dipahami oleh dua hati yang saling berbagi.
“Jadi, menurut kamu…” Aku mulai berbicara pelan, mencoba menangkap arah percakapan kami. “Kita nggak perlu lagi mencari apa yang hilang?”
Rara tersenyum tipis, matanya berkilau di bawah cahaya senja. “Mungkin kita nggak perlu mencari lagi. Mungkin yang kita butuhkan selama ini adalah belajar untuk menerima apa yang ada. Kadang, kita terlalu sibuk mengejar sesuatu, sampai lupa untuk berhenti dan melihat sekeliling.”
Aku mengangguk pelan, merasakan apa yang dia maksud. Dalam hidup ini, terkadang kita terlalu sibuk mengejar hal-hal besar, tanpa menyadari bahwa kebahagiaan itu bisa datang dari hal-hal yang lebih sederhana—seperti berada di sini, di sisi seseorang yang mengerti tanpa perlu banyak bicara.
“Jadi, kita berdua sudah menemukan apa yang kita cari?” tanyaku, mataku tidak bisa lepas dari wajahnya.
“Entahlah,” jawabnya sambil tertawa ringan. “Mungkin kita hanya perlu melangkah ke depan, tanpa terlalu banyak bertanya. Jika kita berada di jalan yang sama, bukankah itu sudah cukup?”
Aku terdiam. Tentu saja, itu sudah cukup. Tidak ada yang perlu dibicarakan lebih banyak. Kami berdua hanya duduk, menikmati kebersamaan itu. Tak ada kebutuhan untuk saling mengungkapkan semua perasaan, karena terkadang, kata-kata justru menghalangi apa yang sudah ada di hati.
Kali ini, aku merasa lebih yakin daripada sebelumnya. Tidak ada lagi keraguan tentang perasaan ini, tidak ada lagi ketakutan untuk membuka diri. Kami sudah berada di titik yang sama, dengan langkah yang seirama. Mungkin, cinta tidak selalu datang dengan cara yang cepat atau langsung, tapi melalui perjalanan yang penuh makna, pelan-pelan, langkah demi langkah.
Saat aku melihat Rara bangkit dan mulai melangkah pergi, aku tahu itu bukan akhir. Mungkin hari ini berakhir dengan senja yang menutupi langit, tapi perjalanan kami baru saja dimulai. Aku tersenyum pada dirinya, dan dia menoleh sebentar, memberikan senyuman yang lebih manis dari sebelumnya.
“Jangan khawatir, Faris,” katanya, sambil melambaikan tangan. “Kita sudah berada di jalan yang benar.”
Aku hanya mengangguk, dan tanpa kata-kata lebih lanjut, kami berdua berjalan pulang dengan langkah yang ringan. Dengan perasaan yang sama, tetapi lebih kuat, lebih pasti. Apa yang kami butuhkan tidak lebih dari saling hadir, dan itu sudah lebih dari cukup.
Langkah kami semakin jauh, dan aku tahu, saat kami berpisah, tak ada kata perpisahan yang perlu diucapkan. Karena apa yang kami punya, sudah lebih dari cukup untuk meyakinkan kami bahwa perjalanan ini, perjalanan cinta ini, akan berlanjut.
Jadi, siapa bilang cinta nggak bisa datang lagi setelah patah hati? Kadang, yang kita butuhkan cuma waktu dan keberanian untuk membuka hati lagi. Perjalanan ini nggak selalu mudah, tapi yang pasti, kadang cinta datang dengan cara yang paling sederhana.
Kalau kamu sedang di posisi yang sama, inget aja, nggak ada kata terlambat untuk jatuh cinta lagi. Jadi, selamat menikmati perjalanan cintamu, karena mungkin, kisah terbaikmu baru saja dimulai.