Daftar Isi
Jatuh cinta itu kadang enggak harus lewat pandangan pertama, apalagi lewat cerita-cerita romantis ala film. Kadang, cinta yang paling kuat justru datang dari doa yang dipanjatkan dengan tulus dan hati yang penuh harapan.
Kalau kamu pernah merasa, Ya Allah, semoga yang terbaik buat aku, cerpen ini mungkin bakal bikin kamu mikir kalau cinta yang sebenar-benarnya itu ada di tangan-Nya, bukan cuma soal perasaan yang datang dan pergi. Yuk, simak perjalanan cinta yang nggak cuma soal dua orang, tapi juga tentang doa, iman, dan bagaimana semua itu bisa berujung pada kebahagiaan yang abadi.
Jatuh Cinta Karena Allah
Langkah Pertama Menuju Ridha-Nya
Amira menatap langit senja yang perlahan berubah menjadi jingga di luar jendela kamarnya. Sore itu, seperti sore-sore sebelumnya, ia duduk di kursi kayu yang menghadap ke taman belakang rumah. Suasana di sekitar rumahnya sepi, hanya terdengar suara riuh burung yang terbang pulang. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikiran yang selalu sibuk dengan berbagai hal. Setiap kali pertanyaan tentang pernikahan muncul, hatinya merasa sedikit terhimpit.
“Sampai kapan aku harus menunggu, Ya Allah?” gumamnya pelan.
Ia menundukkan kepala, mengingat betapa seringnya ia berdoa untuk seseorang yang akan menemani hidupnya. Sejak kecil, Amira sudah diajarkan bahwa pernikahan bukan hanya soal cinta, tetapi juga soal menjalani hidup bersama demi mencapai ridha Allah. Dia tahu, jalan hidupnya bukan untuk memenuhi ekspektasi orang lain. Itu sebabnya, ia selalu berusaha sabar meski kadang rasa rindu akan pendamping hidup itu begitu menggelora.
Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari sahabatnya, Fina.
Fina: “Amira, gimana? Mau ikut acara komunitas besok sore? Aku dengar ada kegiatan baru yang menarik banget!”
Amira membaca pesan itu sambil tersenyum. Fina selalu tahu bagaimana cara membuatnya terlibat dalam banyak hal, bahkan saat Amira lebih suka menyendiri.
Amira: “Insya Allah, aku ikut. Terkadang ikut acara seperti itu membuatku lebih tenang.”
Tidak lama setelah itu, pesan Fina datang lagi.
Fina: “Serius deh, ada beberapa orang baru yang bakal ikut. Salah satunya, ada Khalid. Dia teman baru di komunitas ini. Kayaknya dia orang yang baik banget.”
Khalid. Nama itu mengingatkan Amira pada seseorang yang ia lihat beberapa kali dalam kegiatan masjid. Sosoknya tidak mencolok, tetapi ada ketenangan dalam cara dia berinteraksi dengan orang lain. Amira tidak tahu banyak tentang dia, tetapi ada sesuatu yang membuat hatinya penasaran.
Amira: “Oh, gitu? Kalau dia teman baru, berarti kita bakal ketemu ya?”
Fina: “Iya, siapa tahu kan kamu cocok. Hehe.”
Amira tersenyum kecil. Sering kali, Fina melontarkan lelucon seperti itu. Namun, untuk pertama kalinya, nama Khalid membuatnya sedikit terperangah. Tak tahu mengapa, ada sesuatu dalam dirinya yang merasa sedikit gelisah.
Esok harinya, Amira bersiap-siap untuk pergi ke acara komunitas itu. Ia mengenakan pakaian yang sederhana namun tetap nyaman, dengan hijab yang rapi menutupi rambutnya. Ia tidak ingin terkesan berlebihan, hanya ingin fokus pada kegiatan dan mendekatkan diri kepada Allah.
Saat tiba di lokasi, suasana hangat menyambutnya. Banyak orang yang sudah berkumpul, berbincang-bincang ringan sebelum acara dimulai. Amira melangkah masuk dengan senyum kecil, mencoba mencari Fina di antara kerumunan.
“Amira! Di sini!” Fina melambai-lambai dari sudut ruangan. Amira pun berjalan menuju Fina, dan di sebelahnya, seorang lelaki berdiri dengan senyum yang ramah. Dia mengenakan kemeja putih dan celana gelap. Tidak terlalu mencolok, tetapi ada ketenangan yang terlihat jelas dari wajahnya. Khalid.
“Hai, ini Khalid,” Fina memperkenalkan mereka. “Khalid, ini Amira. Kalian pasti belum kenal kan?”
Amira mengangguk dan tersenyum. “Iya, baru pertama kali bertemu. Senang akhirnya bisa berkenalan.”
Khalid membalas senyumannya dengan tulus. “Senang juga. Semoga acara ini bisa memberikan manfaat buat kita semua.”
Ada keheningan sejenak, namun tidak canggung. Amira merasa nyaman dalam percakapan itu. Meskipun tidak banyak yang dibicarakan, ada sesuatu yang terasa berbeda, seperti ada ikatan tak terlihat di antara mereka. Namun, Amira cepat-cepat mengalihkan perasaannya. “Jangan terburu-buru, Amira,” bisiknya dalam hati. Ia tahu, jalan hidup ini hanya akan berjalan seperti yang Allah takdirkan, dan ia tak boleh melangkah tanpa petunjuk-Nya.
Acara itu berjalan dengan lancar. Banyak diskusi yang bermakna tentang kebaikan dalam kehidupan sehari-hari, serta pentingnya menjaga niat dalam setiap langkah. Amira merasa banyak pelajaran yang ia dapatkan. Setiap kata yang diucapkan oleh pembicara seolah menambah ketenangan dalam hatinya. Namun, satu hal yang terus terngiang-ngiang dalam pikirannya adalah Khalid. Dia terlihat tenang dan penuh perhatian.
Di akhir acara, Amira dan Khalid bertemu lagi, namun kali ini percakapan mereka lebih ringan.
“Kamu sering ikut acara komunitas seperti ini?” tanya Khalid sambil menatapnya dengan senyum.
“Sering. Saya rasa ini cara yang baik untuk mendekatkan diri kepada Allah,” jawab Amira.
Khalid mengangguk. “Betul, aku juga merasa begitu. Kadang, aku merasa lebih dekat dengan-Nya saat membantu orang lain.”
Amira mengangguk pelan. “Ya, membantu sesama itu seperti saluran untuk mendekatkan diri kepada Allah.”
Percakapan mereka terhenti sejenak. Amira merasakan suasana yang penuh ketenangan. Tapi hatinya mulai bertanya-tanya, “Apa yang sebenarnya aku rasakan tentang dia?”
Saat perjalanan pulang, Amira tak bisa berhenti berpikir tentang Khalid. Meskipun hanya pertemuan singkat, ada rasa yang sulit dijelaskan. Amira mencoba mengalihkan pikiran itu dengan berdoa. Di dalam doanya, ia berkata, “Ya Allah, aku tidak tahu apa yang aku rasakan. Jika dia adalah seseorang yang Engkau tetapkan untukku, mudahkanlah jalannya. Tetapi, jika tidak, jauhkanlah aku darinya dengan cara yang terbaik. Jadikanlah aku selalu mencintai-Mu di atas segala hal.”
Doa itu keluar dari hati yang tulus. Amira tahu, segala sesuatu yang baik datang dari Allah, dan ia ingin semua langkahnya diiringi dengan petunjuk-Nya. Namun, untuk pertama kalinya, ia merasa ada sesuatu yang perlu dijalani dengan penuh ketenangan, karena ia yakin bahwa Allah akan menunjukkan jalan yang terbaik.
Doa yang Tak Pernah Putus
Hari-hari berlalu begitu cepat. Setiap pagi Amira mulai bangun dengan doa yang lebih khusyuk. Seiring berjalannya waktu, perasaan yang semula samar-samar tentang Khalid mulai mengendap di dalam hatinya. Dia sering kali berdoa agar Allah membimbingnya untuk memahami apakah perasaan itu merupakan tanda dari-Nya atau hanya perasaan sementara. Amira tahu, dalam hidup ini, ia tidak bisa terburu-buru dalam mengambil langkah. Semua harus berdasarkan petunjuk-Nya.
Pada suatu pagi yang cerah, setelah selesai shalat Dhuha, Amira duduk sejenak di ruang tamunya, membuka buku catatan yang sudah lama tak ia sentuh. Seiring jari-jarinya membalik halaman, matanya terhenti pada tulisan yang ia buat beberapa waktu lalu. Tulisannya penuh dengan doa dan harapan. Salah satunya tentang jodoh.
“Ya Allah, berikanlah aku seorang pendamping yang akan menuntunku lebih dekat kepada-Mu, yang akan membantu aku dalam setiap langkah menuju Ridha-Mu. Jika dia adalah yang terbaik untukku, maka dekatkanlah kami. Jika bukan, jauhkanlah aku dengan cara yang terbaik.”
Amira merasa doa itu begitu tulus, namun kini ia merasa seolah-olah doa tersebut baru terasa benar-benar dalam. Ia memandang langit melalui jendela yang terbuka, menikmati udara pagi yang segar. Pikirannya teralihkan oleh suara notifikasi dari ponselnya.
Fina: “Amira, aku lagi di kafe dekat masjid, loh. Gimana kalau kita ngopi bareng? Ada yang mau aku bicarain.”
Amira: “Boleh banget! Aku siap.”
Amira segera merapikan barang-barangnya, lalu bergegas menuju kafe tempat Fina menunggunya. Setiap kali bertemu Fina, Amira selalu merasa lebih ringan. Fina memang sahabat yang selalu bisa mendengarkan dan memberinya nasihat.
Begitu Amira tiba, ia melihat Fina sudah duduk di sudut kafe dengan secangkir kopi di depannya. Fina melambaikan tangan dengan senyum lebar.
“Hai, Amira! Duduk sini.” Fina mengajak Amira untuk duduk di kursi kosong yang ada di depan meja.
Amira duduk, meletakkan tasnya di samping. “Ada apa, Fi? Kamu kelihatan serius banget.”
Fina tersenyum misterius. “Hmm, sebenarnya aku cuma mau cerita sedikit tentang Khalid.”
Amira menahan napas, tak bisa menutupi rasa ingin tahunya. “Khalid? Kenapa?”
Fina mengangkat alisnya dengan nada menggoda. “Gini, aku lihat kamu jadi sering mikirin dia akhir-akhir ini. Dan sepertinya dia juga merasa hal yang sama. Aku sempat ngobrol sama dia setelah acara komunitas kemarin.”
Amira sedikit terkejut. “Serius? Dia ngomong apa?”
Fina melanjutkan ceritanya dengan santai. “Dia bilang dia merasa ada ketenangan ketika berbicara dengan kamu. Dia bilang, kamu bukan hanya menarik, tapi ada sesuatu yang membuatnya ingin mengenalmu lebih dalam. Cuma… dia juga agak bingung.”
“Kenapa bingung?” Amira bertanya, mencoba menyembunyikan gelisahnya.
“Dia bilang dia merasa kalau niatnya untuk lebih mengenalmu harus dilakukan dengan cara yang benar. Dia ingin mendekatimu, tapi hanya dengan cara yang diridhoi Allah. Dia juga bilang, dia ingin berdoa terlebih dahulu sebelum melangkah lebih jauh.”
Amira terdiam. Ada perasaan aneh di dalam hatinya, namun hatinya merasa tenang. “Allah,” batinnya. “Kau yang menggerakkan hati kami.”
“Jadi,” lanjut Fina dengan nada yang lebih serius, “aku rasa kalian berdua sedang berada di jalan yang sama. Tetapi, kamu juga harus lebih sabar. Semua ini harus dilalui dengan niat yang benar.”
Amira menatap Fina sejenak. “Aku tahu. Ini bukan hanya soal perasaan, Fi. Ini soal bagaimana Allah mengatur semuanya. Aku yakin, kalau dia memang untukku, Allah akan memudahkan segalanya. Kalau tidak, aku hanya ingin menjadi pribadi yang lebih baik lagi.”
Fina tersenyum, tampaknya terharu mendengar kata-kata Amira. “Kamu benar, Amira. Itu yang membuatku salut sama kamu. Selalu memilih untuk berdoa terlebih dahulu, mencari petunjuk-Nya.”
Sejak pertemuan itu, Amira mulai merasakan ketenangan dalam hatinya. Dia mulai lebih rajin berdoa, memohon kepada Allah agar diberikan petunjuk yang jelas. Amira tahu, hati manusia bisa berubah-ubah, tetapi hanya Allah yang mengetahui apa yang terbaik. Satu hal yang selalu ia pegang adalah, setiap langkah dalam hidup ini harus dilakukan dengan niat yang tulus hanya karena-Nya.
Hari demi hari, Amira tetap melanjutkan rutinitasnya. Namun, di setiap doa yang ia panjatkan, selalu ada permintaan agar Allah memberinya petunjuk, apalagi setelah mendengar bahwa Khalid pun berdoa dengan niat yang sama.
Satu malam, setelah shalat malam, Amira duduk sejenak di matras, menundukkan kepala dan memulai doa dari hatinya.
“Ya Allah, jika dia adalah yang terbaik untukku, dekatkanlah kami dengan cara yang Engkau ridhoi. Jika bukan, jauhkanlah aku darinya dengan cara yang terbaik. Jaga hatiku agar selalu terpaut pada-Mu. Aamiin.”
Di luar, suara angin malam yang sejuk menyentuh daun-daun di pohon, membawa ketenangan. Amira merasa bahwa setiap detik yang ia jalani dengan penuh doa, adalah langkah menuju kedamaian yang lebih dalam.
Dia tidak tahu apakah Khalid adalah bagian dari takdirnya, tetapi Amira sadar, ia hanya perlu berpegang pada keyakinan bahwa Allah selalu memberikan yang terbaik, sesuai dengan waktu-Nya.
Menggenggam Harapan dalam Diam
Pagi itu, Amira bangun dengan rasa yang berbeda. Udara yang segar di luar jendela seakan menyambut hari baru dengan penuh semangat. Namun, di hatinya, ada ketenangan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Keputusan untuk menyerahkan semuanya kepada Allah sepertinya mulai menemukan tempatnya di dalam hati Amira. Ia merasa tidak perlu terburu-buru atau cemas lagi—semua sudah diatur dengan sempurna oleh-Nya.
Setelah shalat subuh, Amira duduk di depan meja belajarnya, membuka Al-Qur’an yang terletak rapi di sampingnya. Membaca ayat-ayat-Nya, ia merasa semakin dekat dengan-Nya. Doa-doa yang ia panjatkan terasa lebih dalam, lebih tulus. Seolah-olah setiap kata yang ia ucapkan adalah permohonan yang keluar dari lubuk hati yang terdalam, bukan hanya tentang dirinya, tetapi juga tentang orang-orang yang ia sayangi, termasuk Khalid.
Hari-hari berlalu tanpa adanya pertemuan yang terlalu intens antara Amira dan Khalid. Mereka hanya berkomunikasi lewat pesan singkat, saling berbagi kabar, dan kadang saling mengingatkan dalam kebaikan. Namun, Amira merasa perubahan dalam dirinya, yang sepertinya juga terjadi pada Khalid. Setiap pesan yang ia kirim selalu disertai dengan doa, dan meskipun mereka tidak langsung berbicara soal perasaan, Amira tahu bahwa keduanya sedang berada di jalur yang sama, mengharapkan petunjuk dari-Nya.
Pada suatu sore, setelah seharian sibuk dengan tugas-tugas kuliah, Amira menerima pesan dari Khalid. Tidak seperti biasanya, kali ini pesan itu terasa lebih serius.
Khalid: “Assalamualaikum, Amira. Aku ingin berbicara tentang sesuatu yang sudah lama terpendam di hatiku. Aku merasa kamu adalah sosok yang berbeda. Tapi aku juga sadar, kita hanya bisa menentukan langkah jika Allah yang mengizinkan. Aku ingin meminta izin, jika memang ini jalannya, aku ingin mengenalmu lebih dekat lagi, tentu saja dengan niat yang tulus.”
Amira menatap layar ponselnya sejenak. Ada perasaan haru yang menggelayuti dadanya. Tentu saja, ia merasa hal yang sama. Tetapi ia juga tahu bahwa dalam setiap langkah hidup, mereka harus sepenuhnya menyerahkan hati kepada Allah. Perasaan ini bukan semata-mata karena dia, tetapi lebih pada keyakinan bahwa Allah-lah yang menuntun mereka.
Dengan hati yang tenang, Amira membalas pesan itu.
Amira: “Waalaikumsalam, Khalid. Aku juga merasa ada sesuatu yang indah dari pertemuan kita. Tapi aku percaya, langkah kita harus selalu dilandasi niat yang benar. Aku bersyukur kalau Allah mempertemukan kita di jalan yang baik. Jika niat kita memang sama, aku hanya bisa berharap Allah yang akan mempermudah segala urusan kita. Aku pun ingin mengenalmu lebih jauh, tapi segala sesuatu harus dengan izin-Nya.”
Setelah mengirimkan pesan itu, Amira merasa lebih lega. Hatinya seolah diangkat beban berat yang selama ini ia pendam. Ia tahu, jika mereka benar-benar dipertemukan untuk satu tujuan yang baik, Allah akan membuka jalan itu dengan cara-Nya yang terbaik.
Keesokan harinya, Amira dan Khalid sepakat untuk bertemu di sebuah taman yang tenang, dekat dengan masjid tempat mereka biasa beribadah. Meskipun perasaan antara mereka berdua sudah cukup jelas, keduanya memilih untuk tetap menjaga adab dan menjaga segala sesuatunya dengan cara yang paling baik.
Amira duduk menunggu di sebuah bangku taman, menatap langit biru yang cerah. Dia merasa deg-degan, namun dalam hatinya ada ketenangan. Tidak lama setelah itu, Amira melihat Khalid berjalan mendekat, mengenakan pakaian santai namun tetap terlihat rapi dan sopan. Senyum lembut tersungging di wajahnya begitu melihat Amira.
“Kamu datang lebih cepat,” ucap Khalid, duduk di samping Amira, menjaga jarak yang sopan.
“Enggak kok, aku cuma menikmati udara pagi,” jawab Amira sambil tersenyum kecil.
“Amira, aku ingin sekali berbicara lebih dalam denganmu, tapi aku tidak ingin terburu-buru. Aku ingin agar kita benar-benar mengenal satu sama lain dengan cara yang benar, bukan hanya karena perasaan semata,” kata Khalid, suara lembut namun tegas.
Amira mengangguk, hatinya bergetar. “Aku juga merasa seperti itu. Kita harus benar-benar menjaga niat kita agar semuanya berjalan sesuai dengan apa yang Allah inginkan.”
Khalid menatapnya dengan serius. “Aku ingin kita bisa saling mendukung dalam kebaikan, Amira. Aku berdoa agar Allah memberi petunjuk kepada kita berdua. Aku yakin, jika kita berdua saling menjaga hati dan niat, tidak ada yang mustahil.”
Amira menundukkan kepala, memanjatkan doa dalam hati. “Ya Allah, jika dia adalah bagian dari takdirku, dekatkanlah kami. Jika bukan, jauhkanlah kami dengan cara yang Engkau ridhoi.”
“Amira, aku ingin mengenalmu lebih dekat, bukan hanya dalam perasaan, tapi dalam kebaikan. Aku ingin kita bisa tumbuh bersama dalam iman, saling mengingatkan dalam kebaikan, dan bersama-sama menuju Ridha-Mu,” kata Khalid, tatapannya penuh harapan.
Amira tersenyum lembut. “Aku setuju, Khalid. Apapun yang terjadi nanti, kita hanya bisa berharap pada-Nya. Yang terbaik adalah yang Allah pilihkan untuk kita.”
Mereka duduk bersama dalam diam, menikmati ketenangan taman itu. Amira merasa begitu ringan, hatinya begitu damai. Ia tahu bahwa keputusan yang ia buat untuk menyerahkan semuanya pada Allah adalah langkah yang paling benar. Tidak ada keraguan lagi. Amira yakin, apapun yang akan terjadi, semuanya sudah ditentukan dengan cara terbaik oleh-Nya.
Setelah beberapa saat, mereka berdua bangkit dari tempat duduk mereka. Amira menatap Khalid dengan senyuman tulus.
“Terima kasih, Khalid. Semoga kita bisa berjalan di jalan yang benar. Semoga Allah mempermudah segala urusan kita.”
Khalid mengangguk, senyumnya tak kalah tulus. “Aamiin. Semoga Allah selalu memimpin kita.”
Dan di sinilah perjalanan mereka dimulai. Sebuah perjalanan yang penuh doa dan harapan, dimulai dengan niat yang tulus karena Allah. Amira tahu, walaupun langkah mereka masih panjang, mereka akan menjalani semuanya dengan keyakinan dan penuh ketenangan dalam hati.
Menyatu dalam Doa
Waktu terus berjalan, dan kehidupan Amira dan Khalid semakin dipenuhi dengan berbagai langkah kecil menuju kebaikan. Mereka tak lagi berbicara tentang perasaan secara terbuka, namun keduanya tahu bahwa setiap kata yang keluar dari mulut mereka adalah doa untuk satu sama lain. Doa yang terus mengalir tanpa henti, mengiringi setiap tindakan yang mereka lakukan, setiap niat yang mereka susun, dan setiap mimpi yang mereka bangun bersama.
Hari itu, di tengah rutinitas yang semakin padat, Amira duduk di dalam ruang belajar, buku-buku di depannya tak mampu menarik perhatian. Pikiran dan hatinya kembali pada Khalid, sosok yang kini tak hanya menjadi teman berbicara, tetapi juga menjadi pendamping dalam perjalanan spiritualnya.
Keduanya sepakat untuk tidak terburu-buru. Amira menyadari bahwa cinta yang paling indah adalah cinta yang dibangun dengan doa, bukan hanya dengan perasaan. Seperti yang selalu mereka ucapkan, mereka tak ingin satu langkah pun diambil tanpa izin Allah. Semua yang mereka lakukan, dari saling menyemangati, mengingatkan dalam kebaikan, hingga merencanakan masa depan, selalu dimulai dengan doa.
“Ya Allah, jika dia adalah yang terbaik untukku, jadikanlah dia bagian dari hidupku, dan jika bukan, jauhkanlah kami dengan cara yang terbaik menurut-Mu,” Amira berdoa dalam hatinya, menundukkan kepala setelah menunaikan shalat.
Sementara itu, Khalid juga dalam pergulatan yang sama. Setiap kali ia merasa mulai ragu, ia akan mengingatkan dirinya bahwa ini semua adalah perjalanan yang dipandu oleh Allah. Ia juga tak ingin langkahnya didorong oleh nafsu atau keinginan semata. Segalanya hanya ingin ia lakukan demi Allah.
Suatu sore yang tenang, mereka kembali bertemu di taman yang sama. Kali ini, tanpa banyak kata, mereka duduk bersama dengan hati yang penuh ketenangan. Amira merasakan ketulusan yang begitu mendalam dalam diri Khalid, seperti yang ia harapkan. Namun, ada satu hal yang berbeda sekarang—perasaan mereka sudah jauh melampaui apa yang bisa diungkapkan dengan kata-kata.
“Amira,” Khalid memulai, suaranya lembut namun penuh keyakinan. “Aku ingin kita terus berada dalam jalan yang benar, dan aku ingin menjalani ini bersama kamu, tapi bukan hanya untuk kita, bukan hanya untuk kita berdua. Aku ingin agar apapun yang terjadi nanti, kita tetap berada dalam naungan Allah. Aku ingin kita saling berdoa, saling mendukung dalam kebaikan, dan saling menjaga iman.”
Amira menatapnya dengan penuh kepercayaan. “Aku juga ingin itu, Khalid. Aku ingin kita bisa berjalan di jalan yang benar, dan jika memang ini adalah jalan yang Allah takdirkan, aku akan bersyukur. Tapi jika bukan, aku percaya Allah punya yang terbaik untuk kita.”
Khalid mengangguk, senyumnya tulus, namun matanya mengandung tekad yang kuat. “Kita akan saling berdoa, Amira. Doa kita adalah yang akan membimbing langkah kita. Kita akan meminta petunjuk-Nya dalam segala hal. Kita akan saling menjaga hati, dan jika memang Allah mengizinkan, kita akan tumbuh bersama.”
Amira merasa hatinya begitu ringan. Kata-kata Khalid menguatkan keyakinannya bahwa segala sesuatu yang baik akan datang dengan izin Allah. Mereka tak lagi bergantung pada perasaan semata. Mereka telah belajar bahwa cinta yang paling tulus adalah yang disandarkan pada-Nya, dan bahwa setiap langkah yang mereka ambil adalah bagian dari takdir-Nya yang sempurna.
“Kalau Allah mengizinkan kita bersama, kita akan bersama dalam kebaikan, Khalid. Dan aku siap untuk itu, siap menjalani semuanya bersama kamu, di jalan yang Allah ridhoi,” ujar Amira, suara yang penuh harapan dan keikhlasan.
Khalid tersenyum, menyambut kata-kata Amira dengan penuh kebahagiaan. “Aku percaya pada doa kita, Amira. Aku percaya kita akan selalu diberikan yang terbaik oleh Allah, apapun yang terjadi nanti.”
Mereka duduk dalam diam, menikmati kebersamaan yang tidak dibangun atas dasar keinginan pribadi, tetapi atas dasar pengabdian kepada Allah. Mereka tahu bahwa perjalanan ini bukanlah tentang seberapa cepat mereka sampai pada tujuan, tetapi tentang seberapa kuat mereka menjaga niat mereka untuk selalu berada di jalan yang benar.
Ketika langit mulai beranjak senja, Amira dan Khalid berpisah dengan sebuah janji yang tak diucapkan, namun terpatri kuat dalam hati mereka—bahwa apapun yang terjadi, mereka akan terus berjalan bersama, menjaga hati dan menjaga niat, selalu mengingat bahwa segala sesuatu yang baik hanya datang dengan izin Allah.
Setiap doa yang mereka panjatkan kini adalah doa untuk masa depan yang cerah, masa depan yang penuh dengan cinta, bukan hanya antara keduanya, tetapi juga cinta kepada Allah yang Maha Pengasih. Mereka percaya bahwa jika Allah mengizinkan, masa depan mereka akan menjadi sebuah cerita indah yang dimulai dengan doa, dijaga dengan iman, dan disempurnakan dengan cinta yang tulus, karena semuanya dimulai dengan niat yang benar, yaitu karena Allah.
Dan dalam setiap doa yang mereka panjatkan, mereka yakin—cinta yang mereka rasakan, cinta yang tumbuh karena Allah, adalah cinta yang akan membawa mereka pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Jadi, kadang cinta yang paling indah itu bukan yang datang tiba-tiba atau yang dibangun dari perasaan semata. Cinta yang sejati itu yang dibangun dengan doa, sabar, dan kepercayaan penuh pada Allah.
Mungkin perjalanan kita tidak selalu mulus, tapi selama kita memegang teguh iman dan selalu mengingat-Nya, insya Allah, semua akan indah pada waktunya. Karena di akhir semua doa dan harapan, hanya Allah yang tahu apa yang terbaik untuk kita. Semoga kita selalu diberi kekuatan untuk mencintai karena-Nya, dan semoga cinta itu membawa kita pada kebahagiaan yang hakiki.