Daftar Isi
Pernahkah Anda merasakan cinta yang tumbuh di tengah hujan yang romantis? Dalam cerpen Jatuh Cinta di Bawah Hujan: Pengalaman Pribadi yang Menyentuh Jiwa, Anda akan diajak mengikuti perjalanan emosional Tavindra Wisesa, seorang barista, yang menemukan cinta sejati bersama Zharika Lumintang di kota Yogyakarta. Kisah ini penuh dengan kehangatan, kesedihan, dan harapan yang akan membuat hati Anda terenyuh. Siap untuk terhanyut dalam alur cinta yang indah ini?
Jatuh Cinta di Bawah Hujan
Pertemuan di Balik Payung
Pagi itu, 5 Juni 2025, hujan turun dengan lembut di kota Yogyakarta, menciptakan ritme yang lembut di atap-atap genteng dan jalanan beraspal yang basah. Aku, Tavindra Wisesa, seorang barista berusia 27 tahun yang bekerja di sebuah kafe kecil bernama Kopi Senja, berdiri di depan pintu kafe dengan payung hitam tua di tanganku. Aroma kopi yang khas bercampur dengan bau tanah basah, menciptakan suasana yang hangat namun sedikit melankolis. Aku baru saja selesai menyapu lantai kafe setelah pagi yang sibuk, dan rencanaku adalah berjalan pulang ke kost-an di seberang jalan, tapi hujan ini membuatku ragu. Di tanganku, aku memegang cangkir kopi sisa yang masih hangat, sisa dari pesanan pelanggan terakhir yang tak jadi diambil.
Aku melangkah keluar, membuka payung, dan mulai berjalan perlahan menyusuri trotoar yang licin. Hujan tidak terlalu deras, tapi cukup untuk membuat pakaianku sedikit basah di bagian lengan. Di kejauhan, aku mendengar suara klakson motor dan langkah kaki orang-orang yang tergesa-gesa mencari tempat berteduh. Tapi di tengah keramaian itu, mataku tertarik pada sebuah sosok yang berdiri di bawah pohon beringin besar di seberang jalan—seorang perempuan dengan rambut cokelat panjang yang basah oleh hujan, mengenakan jaket denim dan celana jeans, tanpa payung. Ia tampak bingung, memegang ponsel di tangannya, mungkin mencari arah atau menunggu seseorang.
Aku tak tahu mengapa, tapi ada dorongan aneh di hatiku untuk mendekatinya. Mungkin karena aku merasa iba, atau mungkin karena ada sesuatu dalam ekspresinya—campuran antara ketidakpastian dan ketenangan—yang menarik perhatianku. Aku menyeberang jalan dengan hati-hati, menghindari genangan air, dan mendekatinya dengan langkah pelan. “Maaf, kamu baik-baik saja?” tanyaku, suaraku sedikit terdengar di atas suara hujan. Ia menoleh, matanya yang hazel menatapku dengan kejutan, lalu ia tersenyum kecil—senyum yang membuat jantungku bergetar tanpa alasan jelas.
“Iya, terima kasih,” jawabnya, suaranya lembut namun tegas. “Aku cuma… tersesat. Aku baru pindah ke sini dan tak tahu jalan pulang.” Aku memperhatikan pakaiannya yang basah, dan tanpa berpikir panjang, aku menggeser payungku agar melindunginya juga. “Aku Tavindra, kerja di kafe di seberang,” kataku, mencoba tersenyum ramah. “Kamu mau ke mana? Mungkin aku bisa bantu.” Ia mengangguk, terlihat lega. “Aku Zharika Lumintang, biasa dipanggil Rika. Aku mencari Jalan Prawirotaman, katanya ada kost-an di sana.”
Aku mengenal Jalan Prawirotaman dengan baik, hanya beberapa blok dari kafe tempatku bekerja. “Itu dekat dari sini,” kataku, lalu menawarkan, “Aku bisa anter kamu kalau kamu tidak keberatan berbagi payung.” Rika tersenyum lagi, dan senyum itu seolah menghangatkan udara dingin di sekitarku. “Terima kasih, Tavindra. Aku sangat berterima kasih,” katanya, lalu kami mulai berjalan bersama di bawah payung hitam tua itu.
Sepanjang perjalanan, kami berbincang perlahan, suara hujan menjadi latar belakang percakapan kami. Rika bercerita bahwa ia baru saja pindah dari Bandung untuk bekerja sebagai ilustrator lepas, mengikuti mimpinya untuk hidup mandiri. “Aku selalu suka menggambar sejak kecil,” katanya, matanya berbinar saat ia berbicara. “Tapi keluargaku tidak setuju. Mereka ingin aku jadi dokter. Jadi, aku pergi dari rumah, mencoba membuktikan bahwa aku bisa.” Ada kesedihan samar di suaranya, tapi juga tekad yang kuat, dan aku merasa kagum padanya.
Aku bercerita tentang diriku, tentang bagaimana aku menjadi barista setelah meninggalkan kuliah teknik karena aku lebih suka aroma kopi daripada rumus-rumus matematika. “Aku suka mendengarkan cerita pelanggan di kafe,” kataku, menatap jalan di depan. “Itu seperti… cara aku belajar tentang hidup.” Rika tertawa kecil, suaranya seperti lonceng kecil yang bergetar di tengah hujan, dan aku merasa ada kehangatan yang aneh di dadaku. Kami berjalan pelan, berbagi payung yang kadang terasa terlalu kecil untuk kami berdua, tapi aku tak keberatan—bahkan, aku menikmati kedekatan itu.
Saat kami sampai di Jalan Prawirotaman, Rika menunjuk sebuah kost-an sederhana dengan pintu kayu tua dan taman kecil di depannya. “Ini dia,” katanya, tersenyum padaku. “Terima kasih banyak, Tavindra. Aku tak tahu apa yang akan kulakukan tanpa kamu tadi.” Aku mengangguk, merasa sedikit kehilangan karena perjalanan kami harus berakhir. “Sama-sama, Rika. Kalau kamu butuh bantuan lagi, atau… cuma mau ngopi, datang aja ke Kopi Senja. Aku sering di sana,” kataku, berusaha menyembunyikan kegugupanku.
Rika mengangguk, lalu mengeluarkan sebuah kartu nama kecil dari tasnya, memberikannya padaku. “Ini nomorku. Mungkin kita bisa ketemu lagi,” katanya, wajahnya sedikit memerah. Aku mengambil kartu itu, merasakan detak jantungku yang semakin kencang. “Tentu, Rika. Aku tunggu kamu,” balasku, lalu ia melambai sambil berlari kecil menuju pintu kost-an, menghilang di balik pintu kayu itu. Aku berdiri di bawah hujan yang mulai reda, menatap kartu di tanganku dengan nama “Zharika Lumintang” dan nomor teleponnya tercetak rapi. Hujan terus turun perlahan, tapi di dalam diriku, ada sesuatu yang mulai tumbuh—sebuah perasaan yang aku tahu akan membawaku pada perjalanan emosional yang tak pernah kusangka sebelumnya.
Aku berjalan pulang dengan payung di tangan, pikiranku penuh dengan bayangan Rika—senyumnya, matanya, dan cara ia berbicara tentang mimpinya. Malam itu, di kamar kost-an yang sederhana, aku duduk di tepi ranjang dengan cangkir kopi hangat, menatap kartu nama itu berulang-ulang. Aku tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi satu hal yang pasti: pertemuan di bawah hujan itu telah menanamkan benih cinta di hatiku, benih yang aku tahu akan tumbuh dengan cara yang indah sekaligus menyakitkan.
Aroma Kopi dan Pertemuan Kedua
Hari berikutnya, 6 Juni 2025, udara di Yogyakarta terasa lebih sejuk setelah hujan semalam, membawa aroma tanah basah dan bunga jalanan yang bercampur dengan aroma kopi yang selalu menggantung di sekitar Kopi Senja. Aku, Tavindra Wisesa, berdiri di balik meja kasir kafe, mengaduk secangkir latte untuk pelanggan pertama pagi itu. Jam menunjukkan pukul 08.30 WIB, dan matahari baru mulai menembus awan tipis, menciptakan cahaya lembut yang menyelinap melalui jendela kayu besar kafe. Pikiranku masih dipenuhi oleh Zharika Lumintang—Rika—dan pertemuan tak terduga kami di bawah hujan kemarin. Kartu nama kecil yang ia berikan masih terselip di saku depan apron kerjaku, dan setiap kali jari-jariku menyentuhnya tanpa sengaja, jantungku berdegup lebih kencang.
Kafe itu sepi di pagi hari, hanya ada dua pelanggan yang duduk di sudut sambil membaca buku. Aku memanfaatkan waktu luang untuk membersihkan mesin kopi, tapi pikiranku terus melayang ke Rika—senyumnya yang hangat, matanya yang hazel, dan cara ia berbicara tentang mimpinya menjadi ilustrator. Aku bertanya-tanya apakah ia akan benar-benar datang seperti yang ia janjikan, atau apakah itu hanya ucapan sopan santun. Aku mencoba mengalihkan pikiran dengan mengatur ulang cangkir-cangkir di rak, tapi setiap kali bel pintu kafe berdering, harapanku melonjak, hanya untuk kecewa saat itu bukan dia.
Sekitar pukul 10.15 WIB, bel pintu berdering lagi, dan kali ini aku menoleh dengan hati-hati, berusaha tak terlalu berharap. Tapi di ambang pintu, berdiri Rika, mengenakan jaket denim yang sama seperti kemarin, ditambah syal merah muda yang kontras dengan rambut cokelatnya yang sedikit berantakan akibat angin. Matanya mencari-cari di dalam kafe, dan saat ia melihatku, senyum kecil muncul di wajahnya, membuatku merasa seperti dunia berhenti sejenak. “Pagi, Tavindra,” sapanya, suaranya lembut tapi penuh kehangatan saat ia mendekati meja kasir.
“Pagi, Rika,” balasku, berusaha menyembunyikan kegugupanku dengan senyum lebar. “Kamu datang. Aku… senang melihatmu.” Ia tertawa kecil, suara tawanya seperti lonceng yang membuyarkan kekacauan di pikiranku. “Aku janji kan? Aku ingin mencoba kopi di sini, dan… mungkin ngobrol lagi sama kamu,” katanya, matanya berbinar dengan cara yang membuatku merasa tersipu. Aku mengangguk cepat, menawarkan kursi di dekat jendela. “Silakan duduk. Aku buatkan kopi spesial buat kamu. Gratis, sebagai ucapan terima kasih karena kemarin,” kataku, berusaha terdengar santai meski jantungku berdegup kencang.
Aku kembali ke balik meja, memulai proses membuat kopi dengan hati-hati—espresso shot yang kuhidangkan dengan susu hangat dan sedikit kayu manis, resep favoritku yang jarang kubagikan. Sambil menyiapkan, aku melirik Rika yang duduk di dekat jendela, menatap hujan gerimis yang mulai turun lagi di luar. Ia mengeluarkan sebuah sketsa buku dari tasnya, mulai menggambar dengan pensil, dan aku tak bisa menahan diri untuk tak terpana melihatnya—cara ia memegang pensil, gerakan tangannya yang anggun, dan ekspresi fokus di wajahnya.
Setelah beberapa menit, aku membawa cangkir kopi ke mejanya, meletakkannya dengan lembut di depannya. “Ini latte kayu manis, spesial buat kamu,” kataku, tersenyum. Rika mengangkat pandangannya, matanya berbinar saat ia mencium aroma kopi. “Terima kasih, Tavindra. Ini terlihat enak,” katanya, lalu mengambil tegukan kecil. Ekspresinya berubah menjadi kagum, dan ia mengangguk dengan antusias. “Ini luar biasa! Kamu benar-benar jago bikin kopi,” pujinya, membuatku tersenyum malu.
Kami mulai berbincang lagi, dan percakapan kami mengalir lebih mudah dari kemarin. Rika bercerita tentang sketsa yang sedang ia kerjakan—ilustrasi untuk sebuah buku anak tentang petualangan di hutan—dan ia menunjukkan beberapa gambar yang sudah selesai, penuh dengan detail yang memukau. Aku kagum pada bakatnya, dan aku tak bisa menahan diri untuk memuji, “Kamu benar-benar berbakat, Rika. Aku yakin kamu akan sukses.” Ia tersenyum, tapi ada sedikit kesedihan di matanya. “Terima kasih, Tavindra. Tapi kadang aku takut… takut kalau semua ini sia-sia. Keluargaku masih tak mendukung, dan aku merasa sendirian di sini.”
Aku menatapnya, merasakan empati yang mendalam. Aku bercerita tentang diriku, tentang bagaimana aku meninggalkan kuliah dan menghadapi kekecewaan keluargaku, tentang bagaimana kafe ini menjadi tempat pelarianku. “Aku mengerti rasanya sendirian,” kataku, suaraku pelan. “Tapi kadang, kita harus percaya pada diri sendiri, meski orang lain tidak.” Rika menatapku dengan mata penuh pengertian, dan untuk sesaat, kami hanya saling diam, terhubung oleh pengalaman yang serupa.
Hujan di luar mulai reda, digantikan oleh sinar matahari sore yang lembut. Kami menghabiskan waktu berjam-jam di kafe, berbagi cerita tentang masa kecil, mimpimu, dan ketakutan. Rika bahkan mengajakku melihat sketsa lain di bukunya, dan aku tak bisa menahan diri untuk tak terpana pada setiap goresan pensilnya. Di satu momen, ia menggambar sketsa kecil dariku di balik meja kasir, dan aku tertawa, merasa tersanjung. “Ini untuk kenang-kenangan,” katanya, tersenyum malu.
Saat hari mulai gelap, Rika bersiap pulang, tapi sebelum ia pergi, ia menatapku dengan ekspresi yang berbeda—campuran antara kelembutan dan keraguan. “Tavindra, aku… senang bertemu kamu,” katanya, suaranya hampir berbisik. “Boleh aku datang lagi besok?” Aku mengangguk cepat, merasa jantungku bergetar. “Tentu, Rika. Aku tunggu kamu,” balasku. Ia melambai, lalu berjalan keluar kafe, sosoknya perlahan menghilang di bawah lampu jalan yang menyala.
Malam itu, di kamar kost-an, aku duduk di meja kecil dengan cangkir kopi di tangan, menatap sketsa kecil yang diberikan Rika. Gambarku di balik meja kasir terlihat sederhana tapi penuh kehangatan, dan di sudut kertas, ia menulis dengan tulisan tangan yang rapi: “Untuk Tavindra, yang membuat kopiku lebih manis.” Aku tersenyum, merasa ada sesuatu yang tumbuh di hatiku—cinta yang perlahan muncul di balik aroma kopi dan hujan, cinta yang aku tahu akan membawaiku pada perjalanan penuh emosi yang tak terlupakan.
Hujan yang Mendekatkan
Langit Yogyakarta pada tanggal 7 Juni 2025 kembali diselimuti awan kelabu, menjanjikan hujan yang sepertinya tak pernah benar-benar pergi dari kota ini. Aku, Tavindra Wisesa, tiba di Kopi Senja lebih awal dari biasanya, sekitar pukul 07.30 WIB, dengan perasaan yang bercampur antara kegembiraan dan kegugupan. Aroma kopi yang kuseduh pagi itu terasa lebih harum dari biasanya, atau mungkin itu hanya perasaanku karena aku tak sabar menunggu kedatangan Zharika Lumintang—Rika. Setelah pertemuan kedua kami kemarin, aku merasa ada ikatan yang semakin kuat di antara kami, seperti hujan yang perlahan meresap ke dalam tanah, membawa kehidupan baru ke hatiku.
Kafe masih sepi saat aku membuka pintu, hanya ada suara mesin kopi yang berdengung pelan dan alunan musik jazz lembut dari speaker kecil di sudut ruangan. Aku menyapu lantai, menyeka meja, dan menata ulang cangkir-cangkir di rak, tapi pikiranku terus melayang ke Rika—sketsa kecil yang ia buat dariku, senyumnya yang hangat, dan kata-katanya yang terasa tulus. Aku memeriksa saku apronku, memastikan kartu namanya masih ada di sana, dan aku tersenyum kecil saat melihat tulisannya yang rapi: “Zharika Lumintang, Ilustrator.” Aku tak sabar untuk melihatnya lagi, mendengar ceritanya, dan mungkin belajar lebih banyak tentang dunia yang ia gambarkan melalui goresan pensilnya.
Sekitar pukul 09.45 WIB, bel pintu kafe berdering, dan aku menoleh dengan cepat, harapanku melonjak. Benar saja, Rika berdiri di ambang pintu, mengenakan sweater abu-abu tua yang sedikit kebesaran dan celana jeans, rambut cokelatnya yang panjang dibiarkan tergerai dengan sedikit basah karena gerimis di luar. Ia membawa tas selempang kecil dan sebuah payung berwarna merah yang meneteskan air di lantai. “Pagi, Tavindra,” sapanya, tersenyum lebar saat ia mendekati meja kasir. “Pagi, Rika,” balasku, merasa wajahku memanas karena senyumnya. “Kamu datang lagi. Aku… senang sekali.”
Ia tertawa kecil, suaranya seperti musik di telingaku. “Aku suka kopi buatanmu,” katanya, lalu menambahkan dengan nada bercanda, “dan… mungkin juga orang yang membuatnya.” Aku tersenyum malu, berusaha menyembunyikan kegugupanku dengan mengambil cangkir. “Aku buatkan latte kayu manis lagi, ya? Atau kamu mau coba yang lain?” tanyaku. “Latte kayu manis aja,” jawabnya, lalu duduk di kursi dekat jendela yang sama seperti kemarin, tempat yang kini terasa seperti “tempat kami.”
Aku menyiapkan kopi dengan penuh perhatian, mencoba menenangkan debaran jantungku yang tak kunjung reda. Selesai membuat kopi, aku membawanya ke mejanya, lalu duduk di depannya, memanfaatkan kafe yang masih sepi untuk mengobrol lebih lama. “Kamu sedang mengerjakan apa hari ini?” tanyaku, menunjuk sketsa buku yang ia bawa. Rika membuka bukunya, menunjukkan beberapa gambar baru yang ia kerjakan semalam—ilustrasi tentang seorang anak kecil yang bermain di tepi sungai dengan kelinci kecil. “Aku suka menggambar pemandangan yang tenang,” katanya, matanya berbinar. “Itu… membantu aku melupakan kesepian.”
Aku mendengarkan dengan penuh perhatian, merasakan ada kesedihan yang tersembunyi di balik kata-katanya. Aku bercerita tentang hari-hariku di kafe, tentang pelanggan yang sering menceritakan kisah hidup mereka, dan tentang bagaimana aku belajar menghargai hal-hal kecil dari pekerjaanku. “Aku suka melihat orang-orang tersenyum setelah minum kopi buatanku,” kataku, menatap cangkir di tangannya. “Itu seperti… aku bisa memberikan sedikit kebahagiaan.” Rika menatapku dengan mata yang penuh kelembutan, lalu berkata, “Kamu orang yang baik, Tavindra. Aku bisa merasakannya.”
Hari itu, kami menghabiskan waktu lebih lama dari kemarin. Rika menggambar di sketsa bukunya, sesekali menunjukkan hasilnya kepadaku, dan aku tak henti-hentinya kagum pada bakatnya. Aku bahkan berani meminta ia menggambar sesuatu untuk kafe—sebuah ilustrasi kecil untuk ditempel di papan menu. “Aku mau gambar cangkir kopi dengan hujan di latar belakang,” katanya, tersenyum. “Karena… itu mengingatkanku pada hari kita bertemu.” Aku tersenyum, merasa ada kehangatan yang tak bisa kugambarkan di dadaku.
Tiba-tiba, hujan di luar menjadi lebih deras, petir menyambar di kejauhan, dan lampu kafe berkedip beberapa kali sebelum akhirnya mati. “Wah, mati lampu,” kataku, berdiri untuk memeriksa stopkontak. Rika terlihat sedikit panik, tangannya menggenggam pensil lebih erat. “Aku… takut petir,” katanya, suaranya gemetar. Aku kembali ke mejanya, mencoba menenangkannya. “Tidak apa-apa, Rika. Aku di sini,” kataku, lalu mengambil lilin kecil dari laci meja kasir, menyalakannya, dan meletakkannya di meja kami. Cahaya lilin yang lembut menerangi wajahnya, dan untuk pertama kalinya, aku benar-benar memperhatikan detailnya—bulu matanya yang panjang, freckles kecil di pipinya, dan matanya yang hazel yang tampak lebih indah di bawah cahaya redup.
Kami duduk dalam diam beberapa saat, hanya mendengarkan suara hujan dan petir yang bergemuruh di luar. Rika akhirnya berbicara, suaranya pelan. “Aku selalu takut petir sejak kecil,” katanya, menatap lilin. “Waktu aku kecil, rumahku pernah kebakaran gara-gara petir. Aku hampir… tidak selamat.” Aku terdiam, merasakan empati yang mendalam. Aku meraih tangannya dengan lembut, mencoba memberikan sedikit kehangatan. “Kamu aman sekarang, Rika,” kataku, suaraku penuh perhatian. “Aku tidak akan biarkan apa-apa terjadi padamu.”
Ia menatapku, matanya berkaca-kaca, lalu tersenyum kecil. “Terima kasih, Tavindra,” bisiknya, tangannya membalas genggamanku. Kami duduk seperti itu, tangan saling bertaut, hingga lampu menyala lagi sekitar setengah jam kemudian. Hujan mulai reda, tapi kami tak buru-buru untuk berpisah. Rika menyelesaikan sketsa cangkir kopi dengan hujan, lalu memberikannya kepadaku. “Untuk Kopi Senja… dan untuk kamu,” katanya, wajahnya sedikit memerah.
Sore itu, saat ia bersiap pulang, aku mengantarkannya hingga ke pintu kafe, meminjamkan payungku meski ia sudah membawa payung sendiri. “Besok aku datang lagi, ya,” katanya, tersenyum. “Aku tunggu, Rika,” balasku, dan menatapnya hingga sosoknya menghilang di balik tikungan jalan. Malam itu, di kamar kost-an, aku menempelkan sketsa cangkir kopi itu di dinding, menatapnya sambil tersenyum. Aku tahu bahwa perasaan ini—cinta—telah tumbuh lebih dalam, seperti hujan yang meresap ke tanah, dan aku tak sabar menunggu hujan berikutnya yang akan membawa kami lebih dekat.
Hujan yang Membawa Penutup
Pagi hari ini, 11 Juni 2025, pukul 11:21 WIB, langit Yogyakarta kembali diselimuti awan tebal, menandakan bahwa hujan akan segera turun. Aku, Tavindra Wisesa, berdiri di balik meja kasir Kopi Senja, menatap jendela besar yang memantulkan bayangan awan kelabu. Aroma kopi yang kuhidangkan pagi ini terasa lebih pekat, seolah mencerminkan perasaanku yang bercampur aduk. Sejak pertemuan kedua dan ketiga dengan Zharika Lumintang—Rika—perasaanku padanya telah tumbuh menjadi cinta yang tak bisa kusangkal. Setiap hari, aku menantikan kehadirannya, setiap senyumnya menjadi cahaya di hari-hariku, tapi ada ketakutan samar yang mulai menggelitik hatiku—ketakutan bahwa cinta ini mungkin tak akan bertahan.
Hari ini terasa berbeda. Setelah kejadian mati lampu dan tangan kami yang saling bertaut di bawah cahaya lilin kemarin, aku merasa ada sesuatu yang akan berubah. Aku memeriksa ponselku, berharap ada pesan darinya, tapi layar hanya menunjukkan waktu dan notifikasi biasa. Aku mencoba mengalihkan pikiran dengan menyapu lantai dan menyapa pelanggan pertama yang datang, tapi pikiranku terus melayang ke Rika—sketsa cangkir kopi yang ia berikan, matanya yang hazel di bawah cahaya lilin, dan cara ia menggenggam tanganku saat petir mengguncang langit.
Sekitar pukul 12.30 WIB, bel pintu kafe berdering, dan aku menoleh dengan harapan yang membuncah. Rika berdiri di ambang pintu, mengenakan mantel hijau tua dan sepatu bot pendek yang sedikit basah oleh genangan air di luar. Rambut cokelatnya yang panjang terikat rapi dengan pita kuning, dan matanya tampak redup, seolah membawa beban yang tak ia ceritakan. “Pagi, Tavindra,” sapanya, suaranya lembut tapi terdengar lelah. “Pagi, Rika,” balasku, berusaha tersenyum meski ada firasat buruk di hatiku. “Kamu baik-baik saja? Kamu terlihat… capek.”
Ia mengangguk kecil, lalu duduk di kursi dekat jendela, tempat yang kini menjadi milik kami. “Aku baik-baik saja,” katanya, tapi nada suaranya tak meyakinkanku. Aku membuatkan latte kayu manis seperti biasa, menambahkan sedikit ekstra kayu manis karena aku tahu itu favoritnya, lalu membawanya ke mejanya. Aku duduk di depannya, menatapnya dengan penuh perhatian. “Ada apa, Rika?” tanyaku, suaraku penuh kekhawatiran. Ia menunduk, jari-jarinya memainkan ujung mantelnya, lalu akhirnya berbicara dengan suara yang bergetar. “Tavindra… aku harus memberitahu sesuatu.”
Jantungku berdegup kencang, dan aku merasa udara di kafe menjadi lebih berat. “Apa itu?” tanyaku, mencoba menjaga suaraku tetap tenang. Rika mengangkat pandangannya, matanya berkaca-kaca. “Keluargaku… mereka datang kemarin. Mereka ingin aku kembali ke Bandung. Mereka bilang kalau aku terus jadi ilustrator lepas, aku tidak akan punya masa depan yang jelas. Ibu menangis, dan aku… aku tak tahu harus bagaimana.” Air matanya mulai jatuh, dan aku merasa dadaku sesak, seperti ada yang mencengkeram jantungku.
Aku meraih tangannya dengan lembut, mencoba memberikan kehangatan. “Rika, kamu tidak harus melakukan apa yang mereka mau kalau itu bukan yang kamu inginkan,” kataku, suaraku penuh perasaan. “Kamu punya bakat luar biasa, dan aku… aku percaya padamu.” Ia menggeleng, air matanya mengalir lebih deras. “Tapi aku satu-satunya anak mereka, Tavindra. Aku tak bisa membuat mereka sedih lagi. Aku sudah membuat mereka kecewa dengan pergi dari rumah. Aku harus pulang besok.”
Kata-kata itu seperti petir yang menyambar di hatiku. “Besok?” ulangku, suaraku hampir tak terdengar. “Tapi… kita baru saja mulai. Aku… aku cinta kamu, Rika.” Pengakuanku keluar tanpa kusadari, dan aku merasa wajahku memanas, tapi aku tak menyesal. Rika menatapku, matanya penuh kejutan dan kesedihan. “Aku juga cinta kamu, Tavindra,” bisiknya, tangannya menggenggam tanganku lebih erat. “Tapi aku tak tahu bagaimana cara menjaga cinta ini kalau aku pergi.”
Kami duduk dalam diam, tangan saling bertaut, mendengarkan hujan yang mulai turun deras di luar. Aku ingin memohon padanya untuk tinggal, tapi aku tahu aku tak bisa egois. Aku teringat bagaimana aku merasa bersalah setelah kehilangan adikku, dan aku tak ingin Rika merasakan hal yang sama dengan keluarganya. “Kalau kamu harus pergi,” kataku akhirnya, suaraku bergetar, “aku akan menunggu. Kapan pun kamu kembali, aku akan di sini.” Rika menangis, lalu memelukku erat, dan aku membalas pelukannya, merasakan kehangatan tubuhnya yang gemetar.
Hari itu, kami menghabiskan waktu terakhir kami bersama di kafe. Rika menggambar sketsa terakhir—gambar kami berdua di bawah payung, dengan hujan sebagai latar belakang—dan memberikannya kepadaku sebagai kenang-kenangan. Aku mengambil foto kami bersama dengan kamera kecil yang kubawa, ingin mengabadikan momen ini meski penuh dengan air mata. Sore itu, saat hujan reda, aku mengantarkannya ke kost-an untuk terakhir kalinya, memegang payungku di atas kepalanya. Di depan pintu kost-an, ia menatapku dengan mata penuh cinta dan kesedihan. “Terima kasih, Tavindra. Kamu membuatku merasa dicintai,” katanya, lalu mencium pipiku dengan lembut sebelum berlari masuk.
Aku berdiri di bawah payung, menatap pintu tertutup, air mataku bercampur dengan tetesan hujan yang tersisa. Malam itu, di kamar kost-an, aku menempelkan sketsa kami di dinding, menatapnya sambil menangis diam-diam. Aku tahu aku kehilangan dia untuk saat ini, tapi aku juga tahu bahwa cinta ini—meski menyakitkan—adalah hujan pertama yang membawa kehidupan baru ke hatiku.
Tiga bulan berlalu, dan tanggal 11 September 2025, saat aku sedang menyeduh kopi di kafe, bel pintu berdering. Aku menoleh, dan di ambang pintu berdiri Rika, mengenakan jaket denim yang sama, tersenyum lebar dengan matanya yang berbinar. “Tavindra,” sapanya, suaranya penuh kehangatan. “Aku kembali.” Aku terdiam, lalu berlari menghampirinya, memeluknya erat. Hujan kembali turun di luar, tapi kali ini, aku tahu arus cinta ini telah membawanya pulang, membawa penutup yang indah untuk kisah kami.
Jatuh Cinta di Bawah Hujan bukan hanya sekadar cerita cinta, melainkan sebuah perjalanan emosional yang mengajarkan kita tentang kesabaran, pengorbanan, dan kekuatan cinta sejati yang mampu bertahan melawan jarak dan waktu. Kisah Tavindra dan Rika menginspirasi kita untuk percaya bahwa cinta yang tulus selalu menemukan jalan pulang. Jangan lewatkan untuk membaca ulang cerita ini dan rasakan keajaiban cinta di bawah hujan!
Terima kasih telah menyusuri kisah cinta yang mengharukan ini bersama kami! Semoga cerita Tavindra dan Rika membawa inspirasi dan kehangatan di hati Anda. Jangan lupa bagikan pengalaman Anda di kolom komentar, dan sampai jumpa di cerita menarik berikutnya!