Jatuh Cinta dengan Sepupu Sendiri: Kisah Cinta yang Tak Terduga dan Mengharukan

Posted on

Jadi gini, pernah nggak sih kamu ngerasa kayak jatuh cinta sama orang yang seharusnya nggak boleh kamu cinta? Ya, kayak sepupu sendiri. Awalnya sih, cuma bercanda, ketawa-ketawa aja, tapi tiba-tiba hati jadi ngerasa aneh.

Ya, namanya juga hidup, kadang perasaan datang tanpa bisa dikontrol. Cerita ini tentang Zafran dan Azra, dua sepupu yang tanpa sadar mulai jatuh cinta. Mungkin terdengar konyol, tapi siapa yang bisa menahan hati, kan?

 

Jatuh Cinta dengan Sepupu Sendiri

Canda yang Terlalu Serius

Zafran duduk di teras rumah besar itu, menikmati angin sore yang sejuk menyapu wajahnya. Rumah yang ramai dengan suara tawa keluarga besar itu sudah hampir tidak bisa diajak bicara—di luar, anak-anak berlarian mengejar bola, sementara di dalam rumah, orang tua mereka sibuk berbincang tentang hal-hal yang sama sekali tidak menarik baginya.

Zafran suka momen-momen seperti ini, momen di mana dia bisa sejenak melepaskan diri dari hiruk-pikuk keluarga yang tak ada habisnya. Semua sibuk dengan kegiatan mereka sendiri, dan dia bebas menikmati ketenangan.

Tapi tentu saja, ada satu orang yang tidak bisa diahindari. Azra, sepupunya yang baru tiba dari luar kota, muncul di hadapannya dengan senyum nakal yang sudah sangat dikenalnya. “Kamu lagi ngapain?” tanya Azra, sambil duduk di kursi sebelahnya.

Zafran mengangkat bahu, menatap secangkir teh di tangannya yang mulai mendingin. “Cuma menikmati suasana, kalau kamu nggak ganggu.”

Azra tertawa kecil, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. “Ganggu? Aku cuma mau ngajak ngobrol, Zaf. Kenapa sih kamu selalu pendiam gitu?”

Zafran menatapnya dari sudut mata. Azra, dengan rambut panjang yang selalu tergerai sempurna, kulit coklat yang seolah selalu bersinar, dan senyum yang tak pernah kehilangan pesonanya—dia sangat berbeda dengan Zafran yang lebih suka menghabiskan waktu sendirian.

“Aku nggak pendiam kok. Cuma nggak suka kalau ada yang ngerepotin,” jawab Zafran, berusaha tetap tenang meskipun dia tahu percakapan ini pasti berujung dengan sesuatu yang tidak menyenankan.

Azra menatapnya dengan penuh curiga. “Jangan bilang kamu nggak suka aku, Zaf. Kita kan sepupu, harusnya kita bisa ngobrol santai.”

Zafran memutar matanya. “Kamu selalu bicara kayak gitu. Seakan-akan aku nggak bisa hidup tanpa obrolan yang ngaco.”

“Apa kamu nggak mau nyobain sedikit bercanda? Sesekali?” Azra menyandarkan tangan di meja kayu teras. “Kamu tahu nggak, kalau kadang kamu itu terlalu serius? Hidup itu perlu dibumbui dengan canda, Zafran.”

Zafran menarik napas panjang. Tentu saja, Azra tidak akan berhenti mengganggunya. Dia tahu betul cara untuk menyadarkan orang bahwa mereka tidak terlalu serius dalam menjalani hidup—bahkan jika itu berarti menggoda orang lain dengan cara yang agak mengganggu.

Tapi, siapa yang bisa menghindar dari godaan Azra? Dengan tingkahnya yang konyol, dengan mata yang selalu berbinar-binar penuh tantangan, Azra memang selalu punya cara untuk menarik perhatian, tanpa harus berusaha keras.

“Kadang aku berpikir, mungkin hidup ini terlalu serius buat kamu. Sementara aku, ya, seperti biasa, cuma ngikutin alur aja.” Zafran berkata sambil mengangkat cangkir teh yang sudah hampir habis.

Azra tertawa kecil. “Jadi kamu pikir hidup ini cuma tentang ngikutin alur, ya? Ayo dong, coba keluar dari zona nyamanmu. Hidup itu nggak cuma soal jadi orang yang terlihat tenang dan biasa-biasa aja.”

Zafran menatapnya dengan sedikit bingung. “Maksudnya?”

Azra menyandarkan tubuhnya lebih jauh ke belakang, seolah sedang merenung. “Maksudku, coba lihat sekelilingmu. Banyak yang bisa kamu coba, banyak yang bisa kamu nikmati kalau nggak selalu memikirkan segala sesuatu dengan terlalu serius. Aku nggak bilang kamu harus jadi orang yang beda, tapi kadang kita harus berani melakukan hal-hal yang gak biasa.”

Zafran tidak tahu harus menjawab apa. Kata-kata Azra membuatnya merasa sedikit terjepit. Selama ini dia sudah terlalu nyaman dengan rutinitasnya, terlalu terbiasa dengan cara hidup yang teratur dan tidak banyak perubahan. Tapi, entah kenapa, ada sesuatu yang mengusik di dalam hatinya. Sesuatu yang ingin dia ubah, tapi dia belum siap menghadapinya.

Azra, melihat Zafran yang terdiam, tersenyum nakal. “Aku tahu kok, kamu tuh bukan tipe orang yang suka ngomong banyak. Tapi kalau kita lebih banyak bercanda, kamu nggak bakal merasa kayak terjebak terus. Coba deh, sekali-sekali keluar dari zona nyaman itu.”

“Gampang buat kamu ngomongnya,” jawab Zafran, berusaha membela diri. “Kamu itu nggak pernah merasa terjebak sama hidup kamu, Azra.”

Azra memiringkan kepala. “Tapi aku juga merasa terjebak kok. Di balik semua canda ini, ada hal yang lebih serius yang harus kita hadapi. Cuma, ya, jangan terlalu dipikirin. Cobalah ikut alur aja.”

Zafran mengangkat alis, bingung. “Alur? Kamu ngomong apa sih?”

Azra tertawa lagi, semakin ceria. “Alur hidup. Kamu tahu kan, kalau kita nggak bisa terus-terusan hidup dengan cara kita aja. Kadang kita perlu sedikit gangguan untuk menyadarkan kita. Dan menurutku, kamu butuh gangguan itu.”

Zafran melirik Azra dengan ragu. “Gangguan? Apa kamu bercanda lagi?”

Azra menggelengkan kepala. “Mungkin iya, mungkin nggak. Kita lihat aja nanti.”

Beberapa saat kemudian, suara tawa riuh dari dalam rumah terdengar jelas di telinga Zafran. Azra menoleh ke dalam, kemudian kembali menatap Zafran dengan penuh teka-teki. “Yuk, ikut ke dalam. Semua orang udah pada nunggu.”

Zafran hanya mengangguk dan beranjak dari tempat duduknya. Namun, dalam hati, ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan. Perasaan yang datang begitu saja, seolah disisipkan di antara canda dan tawa itu. Hal yang sangat aneh untuk dirasakan terhadap sepupunya sendiri. Tapi, entah kenapa, Zafran merasa seolah-olah ada sesuatu yang berbeda kali ini—sesuatu yang tidak bisa dia hindari, meski ia berusaha keras untuk berpikir rasional.

Azra hanya tertawa kecil dan melangkah ke dalam rumah, meninggalkan Zafran yang masih terdiam, merenung.

 

Sepupu, Tanggung Jawab atau Godaan?

Hari berikutnya, matahari pagi menyinari halaman rumah besar itu dengan lembut. Suasana masih terasa hangat, meskipun malam sebelumnya penuh dengan tawa dan keramaian. Zafran terbangun lebih pagi dari biasanya, seperti ada yang mengganggunya dalam tidur semalam. Azra, sepupunya yang lebih sering mengganggu daripada berbicara serius, tetap menghantui pikirannya.

Zafran menatap langit biru di luar jendela kamar, seolah berusaha mencari jawaban atas perasaan aneh yang muncul semalam. Perasaan yang tidak bisa dijelaskan dengan logika. Perasaan yang entah bagaimana bersembunyi di balik candaan Azra, yang meski terdengar biasa, membuatnya merasa seperti ada sesuatu yang lebih.

Ketika Zafran keluar untuk mencari udara segar, dia melihat Azra duduk di ayunan taman, bermain-main dengan rambutnya yang panjang. Gadis itu terlihat begitu tenang, tapi Zafran tahu betul bahwa di balik sikap santainya, ada sesuatu yang lebih. Sesuatu yang tak pernah bisa dia tebak.

Azra melihatnya, matanya menyipit sedikit, lalu dia tersenyum lebar. “Akhirnya keluar juga, Zafran. Aku kira kamu bakal bertahan jadi anak rumahan terus.”

Zafran mendekat dengan langkah santai, meskipun hatinya mulai berdebar lebih cepat. “Aku cuma nggak suka ribut-ribut. Kamu tahu sendiri kan?”

Azra mencondongkan tubuhnya ke depan, matanya tajam mengamati Zafran. “Tapi tadi malam kamu diam aja, Zaf. Nggak kayak biasanya. Ada apa, nih? Jangan bilang kamu mulai pusing mikirin hal yang nggak perlu.”

Zafran mengalihkan pandangan ke arah lain, menghindari tatapan Azra yang seolah bisa menembus pertahanan dirinya. “Nggak, cuma… ya, cuma nggak nyaman aja.”

Azra tertawa, namun kali ini ada sesuatu yang berbeda dalam suaranya. Tidak semenyenangkan biasanya. “Zafran, kamu itu lebih rumit dari yang aku kira. Kenapa sih nggak bisa sekadar santai? Kalo kamu nggak mau ngikutin alur hidupku, yaudah, jangan dipikirin.”

Zafran terdiam sejenak. Sesuatu dalam dirinya seolah mulai terguncang. Mungkin Azra benar. Mungkin dia memang terlalu serius dalam menjalani hidup. Tapi, di sisi lain, ada bagian dari dirinya yang tidak bisa begitu saja mengabaikan perasaan aneh yang tumbuh—perasaan yang tidak bisa dia sebutkan, bahkan dalam candaan mereka sekalipun.

“Apa kamu pernah berpikir kalau kadang ada sesuatu yang lebih dari sekadar canda, Azra?” Zafran akhirnya mengajukan pertanyaan itu, meski terdengar seperti sebuah pengakuan yang tidak seharusnya dia katakan.

Azra terdiam. Matanya menatap Zafran dengan ekspresi yang tidak biasa. Untuk pertama kalinya, dia tampak serius. “Apa maksud kamu?”

Zafran merasa tubuhnya kaku. “Maksudku, mungkin kita nggak bisa cuma terus-terusan bercanda kayak gini. Kita udah dewasa, Azra. Kadang kita harus mikirin lebih jauh daripada sekadar lelucon.”

Azra menggigit bibir bawahnya, sepertinya berpikir sejenak. Kemudian, dengan tenang, dia berkata, “Kamu masih aja berpikir seperti itu? Zafran, kita memang sepupu, tapi kadang kita nggak bisa membatasi diri untuk terus berpura-pura. Aku juga bisa merasa canggung dengan kita berdua, kalau kamu terus bertindak seperti ini.”

Zafran merasa seolah dunia berhenti sejenak. Azra baru saja mengungkapkan sesuatu yang lebih dalam dari yang dia duga. Kata-kata itu mengusik pikiran Zafran lebih dalam daripada sekadar candaan. Apakah Azra merasa hal yang sama? Atau ini hanya cara dia untuk melontarkan kalimat canggung agar Zafran berhenti berpikir terlalu banyak?

Azra kembali menggerakkan ayunan itu dengan ringan, seolah tidak ada yang penting. Namun, Zafran bisa merasakan sesuatu yang tak terucapkan di antara mereka. Sesuatu yang lebih dari sekadar ikatan sepupu.

“Gimana kalau kita lupakan semua yang udah terjadi dan mulai dari awal? Nggak usah terlalu dipikirin, Zaf. Hidup itu untuk dinikmati, bukan untuk dikuasai,” ujar Azra dengan senyum yang sulit dibaca.

Zafran menatapnya, berusaha mengatur kata-kata dalam kepalanya. “Azra…”

Namun, sebelum dia bisa melanjutkan kalimatnya, Azra berdiri dari ayunan dan mulai berjalan menjauh. “Ayo, Zaf. Semua orang di dalam pasti udah nunggu kita. Jangan terlalu dipikirin.”

Zafran hanya bisa menatap punggung Azra yang semakin menjauh. Dia merasa seolah ada benang merah yang menghubungkan mereka, meskipun itu terasa aneh dan canggung. Namun, di satu sisi, ada ketidakpastian yang menggantung di udara. Perasaan yang tidak bisa dijelaskan begitu saja.

Mungkin, hanya waktu yang bisa memberi tahu jawabannya.

 

Ketegangan yang Menggantung

Pagi setelah pertemuan dengan Azra terasa sangat sunyi bagi Zafran. Rumah besar itu tidak lagi sekedar tempat tinggal; seolah-olah setiap sudutnya menyimpan kenangan yang membuatnya gelisah. Ketika dia masuk ke ruang makan, suasana agak lebih ceria daripada biasanya. Orangtua dan beberapa kerabat lainnya sudah berkumpul, menikmati sarapan yang tampak lezat. Namun, Zafran tidak bisa menikmati makanan yang terhidang di hadapannya. Pikiran dan perasaan yang membingungkan lebih kuat menarik perhatiannya.

Azra sudah duduk di meja, mengenakan gaun putih sederhana yang justru semakin menonjolkan kecantikannya. Dia tertawa dengan lancar bersama sepupu-sepupu lain, tapi Zafran bisa merasakan jarak yang aneh di antara mereka. Seperti ada sesuatu yang belum selesai di udara—sesuatu yang tidak bisa diungkapkan begitu saja.

“Eh, Zafran! Kok diem aja? Ada masalah?” tanya Azra tanpa menoleh sedikit pun, tapi Zafran bisa merasakan tatapan tajamnya yang tertuju padanya. Itu bukan sekadar pertanyaan biasa. Ada ketegangan yang lebih dalam.

Zafran menghela napas pelan, menatap piringnya. “Nggak ada kok, cuma nggak nafsu makan,” jawabnya seadanya, berusaha menghindari percakapan lebih jauh.

Namun Azra tampaknya nggak mudah ditipu. “Yaelah, Zaf. Jangan munafik deh. Semua orang bisa lihat kalau kamu mikir banget tentang sesuatu. Lagian, nggak mungkin kamu nggak tahu, aku nggak bisa berhenti mikirin apa yang tadi kamu bilang.”

Zafran merasa tubuhnya kaku. Kata-kata Azra itu seperti menggulung perasaan yang tadi malam sempat dia coba abaikan. “Apa sih yang kamu maksud?” tanya Zafran dengan nada yang sedikit lebih tinggi, entah kenapa dia merasa semakin kesal dan bingung sekaligus.

Azra menyandarkan tubuhnya di kursi, menatap Zafran dengan mata yang tidak bisa Zafran pahami. “Kamu tahu kan, Zaf. Kita itu bukan cuma sepupu. Kita tumbuh bareng, sering ketawa bareng, dan kadang candaannya juga bisa nyentuh hati. Tapi, kadang aku mikir… apa kita berdua nggak kebawa perasaan yang lebih dari itu?”

Zafran merasa hatinya berdebar lebih cepat. Apa yang sebenarnya dia rasakan? Dia ingin mengabaikan apa yang baru saja Azra katakan, tapi kata-kata itu justru semakin mengganggu pikirannya. Zafran bisa merasakan bahwa Azra juga merasa kebingungan, hanya saja gadis itu lebih pandai menyembunyikan perasaannya dengan berbaur dalam canda.

“Apa kita salah, Zaf?” Azra menambahkan, kali ini dengan suara yang lebih lembut, hampir seperti sebuah pengakuan. “Apa yang kita rasakan ini… harus dipikirkan serius?”

Zafran menatap wajah Azra dengan bingung. Dulu, segala hal terasa begitu sederhana. Mereka berdua selalu bisa tertawa bersama, menghabiskan waktu tanpa beban. Tapi kini, semuanya terasa berbeda. Perasaan yang mulai muncul antara mereka bukan sekadar masalah candaan. Ini lebih dalam, lebih rumit dari yang dia duga.

“Aku nggak tahu, Azra,” kata Zafran akhirnya, dengan suara yang pelan namun penuh kebingungan. “Mungkin kita nggak seharusnya mikir kayak gini. Kita kan cuma sepupu.”

Azra tertawa kecil, tapi tawa itu lebih terdengar seperti cemoohan pada dirinya sendiri. “Sepupu… kata itu terdengar sangat sederhana, ya? Tapi kamu tahu, Zaf, kadang ikatan darah itu lebih dari sekadar sepupu. Bisa lebih kuat. Bisa lebih rumit. Dan mungkin kita memang harus berpikir tentang itu.”

Zafran ingin menghindar. Ingin lari dari percakapan ini. Tapi sesuatu dalam dirinya justru membuatnya tertarik untuk mendengarkan lebih jauh. Dia tak bisa berhenti berpikir bahwa mungkin, hanya mungkin, Azra benar.

“Zaf, aku nggak tahu apa yang terjadi, tapi jangan terus-terusan menutup mata. Kadang kita harus berani lihat kenyataan yang ada.” Azra menatap Zafran dengan serius, meski ada keraguan yang masih tersisa di wajahnya.

Zafran mendesah. “Aku nggak tahu harus gimana, Azra. Aku takut kalau kita beneran mikirin ini lebih jauh, malah bikin semuanya jadi aneh.”

Tiba-tiba, Azra berdiri dan berjalan menuju jendela besar yang menghadap ke taman belakang rumah. “Zafran, hidup itu aneh. Kadang kita nggak pernah tahu apa yang akan terjadi kalau kita nggak berani mengambil langkah.”

Dia berhenti sejenak dan menoleh ke Zafran, matanya menatap dalam. “Aku nggak mau terus-terusan jadi orang yang ada di sisi kamu tanpa tahu apa sebenarnya yang kita rasakan.”

Zafran merasa hatinya terhimpit. Ada rasa cemas yang membelai pikirannya, tapi dia juga tahu, Azra tidak salah. Ini bukan tentang sekedar canda atau perasaan masa kecil. Mungkin inilah yang sebenarnya harus mereka hadapi.

“Gimana kalau kita beri waktu? Biarkan semuanya berjalan dan lihat ke mana perasaan ini akan membawa kita?” ujar Zafran, berusaha mengendalikan perasaannya yang semakin kacau.

Azra tersenyum tipis. “Waktu memang akan menunjukkan segalanya, Zaf. Tapi ingat, kadang kita harus berani mengambil langkah pertama, meskipun kita nggak tahu apa yang akan terjadi.”

Zafran menatapnya dengan penuh pertanyaan. Mungkin Azra benar. Mungkin inilah saatnya untuk tidak hanya duduk dan menunggu, tetapi untuk mulai bergerak. Apa pun yang terjadi, hidup ini tak akan pernah sama lagi setelah hari ini.

 

Langkah yang Mengubah Segalanya

Hari itu, Zafran merasa seolah-olah dunia berputar lebih cepat dari biasanya. Setelah percakapan yang menggantung dengan Azra, rasa cemas dan ketegangan tidak kunjung mereda. Setiap kali dia mencoba untuk menenangkan pikirannya, bayangan senyum Azra selalu muncul, dan entah kenapa, itu malah semakin menguatkan perasaan yang sudah mengganggu sejak semalam.

Zafran berjalan pelan menuju halaman belakang rumah, tempat dia sering meluangkan waktu sendiri untuk berpikir. Hari itu sepi, tidak ada satu pun orang yang mengganggu, hanya suara burung yang berkicau dan angin yang berbisik pelan. Saat itu, Zafran merasa seperti ingin berlari sejauh mungkin, meninggalkan kerumitan perasaan yang mulai menyesakkan dadanya.

Tiba-tiba, di kejauhan, Zafran melihat Azra sedang duduk di bangku taman dengan punggung yang sedikit membungkuk. Gadis itu tampak terlarut dalam pikirannya sendiri. Zafran merasa jantungnya berdetak lebih cepat, seperti menarik napas dalam-dalam sebelum menyelam ke dalam lautan yang dalam dan tak bisa diprediksi.

Tanpa ragu, Zafran melangkah mendekat, dan begitu Azra menyadari kehadirannya, dia mengangkat kepala dan menatap Zafran dengan mata yang penuh arti.

“Zafran,” katanya lembut, seperti memanggil, bukan hanya menyapa. “Ada apa?”

Zafran menelan ludah. Mungkin ini saatnya. Saatnya untuk menghentikan kebingungan ini, untuk mengatakan sesuatu yang selama ini mengganggu pikirannya, meskipun terasa seperti melangkah ke jurang yang tidak diketahui.

“Aku… aku nggak bisa terus begini, Azra,” kata Zafran, suaranya lebih berat dari yang dia harapkan. “Aku nggak bisa hanya mikirin ini tanpa tahu jawabannya. Aku nggak bisa terus ngelihat kamu cuma sebagai sepupu, Azra.”

Azra terdiam, seakan kata-kata Zafran baru saja menumbuknya keras. Dia menatap Zafran, tak bergerak, seakan mencoba mencerna apa yang baru saja dia dengar. Beberapa detik berlalu dalam keheningan yang penuh makna.

“Apa maksud kamu, Zaf?” Azra akhirnya bertanya dengan nada hati-hati.

Zafran berdiri lebih dekat lagi, matanya tidak bisa lepas dari Azra. “Aku nggak tahu sejak kapan perasaan ini mulai muncul, tapi yang aku tahu, ini bukan cuma sekedar canda lagi, Azra. Aku nggak bisa lagi pura-pura nggak merasa apa-apa.”

Azra tampaknya mulai mengerti, meskipun wajahnya tetap menunjukkan kebingungan yang dalam. “Zafran…” Suaranya nyaris berbisik, dan Zafran bisa melihat keraguan yang bercampur aduk dalam matanya. “Tapi kita sepupu, Zaf. Ini… ini nggak mudah.”

Zafran menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk tetap tenang meskipun hatinya berdebar tak terkendali. “Aku tahu. Aku tahu ini nggak mudah. Tapi kadang, kita harus lebih dari sekadar kata-kata, Azra. Kadang kita harus mengambil langkah meski itu membuat kita takut. Kalau aku nggak ngungkapin ini sekarang, aku nggak akan pernah tahu apa yang akan terjadi.”

Azra menatapnya lama, matanya berbinar sedikit. Dia berdiri pelan dan berjalan mendekat. Ketika hanya tinggal beberapa langkah di antara mereka, dia menatap Zafran dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. “Kamu serius, kan?” tanya Azra, suaranya lebih lembut daripada sebelumnya.

Zafran hanya mengangguk, dan hatinya mulai merasa lebih ringan. Azra menyentuh lengan Zafran dengan lembut, seolah menguji kenyataan dari perasaannya sendiri. “Aku nggak tahu harus bilang apa, Zaf. Tapi aku… aku nggak bisa pura-pura nggak merasa apa-apa juga.”

Zafran bisa merasakan angin sepoi-sepoi yang berhembus, namun ada kehangatan yang baru, yang lebih dalam. “Jadi, ini beneran, Azra?” tanya Zafran dengan suara yang hampir tak terdengar, berharap untuk mendapatkan jawaban yang bisa menghilangkan ketegangan yang membelit dirinya.

Azra menatapnya dalam-dalam, dan senyum kecil muncul di bibirnya. “Iya, Zaf. Kita mungkin harus coba hal baru, nggak hanya terus-terusan jadi sepupu yang biasa-biasa aja. Mungkin ini waktunya untuk kita berani lebih jauh.”

Zafran tidak bisa menahan senyum. Untuk pertama kalinya sejak percakapan tadi malam, dia merasa lega. Perasaan yang selama ini membuatnya gelisah, akhirnya menemukan titik terang. Mereka bukan hanya sepupu lagi. Mereka lebih dari itu, dan keduanya tahu bahwa ini bukanlah jalan yang mudah. Namun, mereka siap untuk melangkah bersama, melawan segala keraguan yang ada.

Azra menggenggam tangan Zafran dengan lembut. “Aku nggak tahu apa yang akan terjadi ke depan, Zaf, tapi yang jelas, aku nggak mau lagi lari dari perasaan ini.”

Zafran tersenyum lebih lebar, dan tanpa kata-kata lagi, mereka berdiri berdua di bawah langit yang kini mulai menunjukkan warna senja yang lembut. Mereka tahu bahwa apapun yang akan terjadi, ini adalah langkah pertama mereka untuk menjalani hidup dengan cara yang baru. Berani menghadapi perasaan yang mungkin dianggap aneh, tapi ternyata sangat nyata.

Mereka berdua tidak lagi hanya sekadar sepupu. Mereka adalah sesuatu yang lebih, dan mereka siap untuk menjalani perjalanan itu bersama, tanpa ragu.

 

Jadi, begitulah cerita Zafran dan Azra, sepupu yang akhirnya berani mengungkapkan perasaan mereka meskipun semua orang bilang itu aneh. Kadang, cinta memang datang dari tempat yang nggak terduga, dan nggak selalu harus mengikuti aturan.

Jadi, kalau kamu pernah ngerasain hal yang sama, jangan takut buat jujur sama diri sendiri. Siapa tahu, cinta itu udah lama ada di depan mata, tinggal menunggu waktu untuk terungkap.

Leave a Reply