Daftar Isi
Pernah kepikiran nggak sih, selama ini kita sibuk ngejar karier, impian, dan kehidupan sendiri, tapi tanpa sadar kita mulai melupakan orang tua? Mereka yang dulu selalu ada buat kita, makin tua, makin rapuh, dan mungkin… makin kesepian.
Jangan sampai kita baru sadar saat semuanya sudah terlambat! Artikel ini bakal bahas tentang pentingnya peduli ke orang tua selagi masih ada kesempatan. Yuk, simak cara-cara sederhana tapi berarti yang bisa kita lakukan buat menunjukkan kasih sayang ke mereka!
Jangan Sampai Menyesal!
Jejak yang Terlupakan
Langit mulai meredup saat Devara menginjakkan kaki di halaman rumah yang sudah lama ia tinggalkan. Angin sore membawa aroma tanah basah, bercampur dengan wangi kayu tua dari rumah yang berdiri di depannya. Pintu kayu itu masih sama seperti dulu, penuh goresan kecil yang dulu ia buat saat masih bocah. Hanya saja, kini warnanya semakin pudar dan engselnya terlihat berkarat.
Dengan ragu, Devara mengetuk pintu. Tidak ada jawaban. Ia mengetuk lagi, kali ini sedikit lebih keras. Dari dalam, terdengar langkah kaki yang lambat dan tertatih.
Pintu itu terbuka, memperlihatkan seorang pria tua dengan rambut penuh uban dan wajah yang jauh lebih tirus dari terakhir kali Devara melihatnya. Ayahnya, Rasyid.
“Deva?” suara pria itu terdengar serak, seolah tidak percaya dengan penglihatannya.
“Iya, Yah. Aku pulang.”
Sejenak, mereka hanya berdiri di ambang pintu, saling menatap dalam diam. Devara tidak tahu harus berkata apa. Bertahun-tahun ia sibuk dengan hidupnya sendiri, menunda untuk pulang, beralasan pekerjaan, beralasan kesibukan. Sekarang, melihat ayahnya berdiri di depannya dengan tubuh yang tampak jauh lebih ringkih, ada sesuatu yang mencubit perasaannya.
“Kamu masuk, Nak,” ujar Rasyid akhirnya, lalu perlahan berbalik menuju ruang tamu.
Devara melangkah masuk, menghirup aroma rumah yang begitu familiar tapi terasa asing di waktu yang sama. Perabotan di dalamnya masih sama—sofa tua dengan kain yang mulai robek di beberapa bagian, meja kayu yang sedikit miring karena satu kakinya patah, dan rak penuh buku usang yang pernah jadi tempat favoritnya dulu. Hanya saja, semuanya tampak lebih berdebu, lebih sunyi, lebih… sepi.
“Kapan kamu sampai?” tanya Rasyid sembari menurunkan tubuhnya perlahan ke sofa.
“Baru aja.”
“Kenapa nggak kasih kabar dulu?”
Devara mengangkat bahu, mencoba mencari alasan yang terdengar masuk akal. “Mendadak aja, Yah. Aku cuma… pengen pulang.”
Rasyid menatapnya lama, lalu mengangguk pelan. “Baguslah kalau gitu.”
Mereka kembali terdiam. Ada banyak hal yang ingin Devara tanyakan, tapi lidahnya terasa kelu. Matanya memperhatikan tangan ayahnya yang terlihat kurus dan penuh garis-garis usia. Dulu, tangan itu kuat—bisa menggendongnya, bisa mengangkat barang-barang berat, bisa membangun rumah ini dengan susah payah. Sekarang, tangan itu gemetar bahkan saat hanya memegang gelas teh.
“Kamu sehat, Yah?” akhirnya Devara membuka suara.
Rasyid tersenyum tipis. “Masih bisa jalan, masih bisa makan. Sehatlah.”
Jawaban itu tidak meyakinkannya.
“Kenapa rumah ini nggak diperbaiki? Atapnya kayaknya bocor, kan?” Devara menunjuk ke langit-langit yang berwarna kecokelatan karena rembesan air hujan.
Rasyid menghela napas pendek. “Nggak ada waktu, nggak ada tenaga juga. Lagian, masih bisa ditahan. Nggak perlu buru-buru.”
Jawaban itu membuat sesuatu dalam dada Devara mencubit lebih keras. Bertahun-tahun ayahnya tinggal di sini sendirian, melewati hujan, dingin, dan malam-malam panjang tanpa seorang pun yang menemaninya. Dan ia, anak satu-satunya, malah sibuk mengejar karier di kota, mengabaikan kenyataan bahwa pria yang dulu membesarkannya kini harus berjuang sendiri.
“Aku bantu nanti, Yah,” ujar Devara akhirnya.
Rasyid hanya tersenyum samar, seperti tidak ingin merepotkan.
Malam itu, mereka makan malam bersama untuk pertama kalinya setelah sekian tahun. Suara sendok yang beradu dengan piring terdengar jelas di antara mereka. Devara memperhatikan cara ayahnya menyuapkan nasi—lambat, hati-hati, dan sesekali berhenti untuk menarik napas.
“Kamu di kota sibuk banget, ya?” tanya Rasyid tiba-tiba.
Devara mengangguk sambil mengunyah makanannya. “Iya, kerjaan numpuk.”
“Hmm…” Rasyid mengangguk pelan. “Tapi kamu masih punya waktu buat pulang.”
Devara berhenti mengunyah. Ada sesuatu di balik kalimat itu yang membuat dadanya terasa berat.
“Iya, Yah,” jawabnya pelan. “Aku masih punya waktu buat pulang.”
Tapi dalam hati, ia bertanya-tanya: apakah ia sudah terlambat?
Rumah yang Tak Lagi Sama
Pagi di desa terasa lebih tenang dibandingkan hiruk-pikuk kota yang biasa Devara hadapi setiap hari. Angin semilir membawa aroma embun dan tanah basah, bercampur dengan suara burung-burung kecil yang berkicau di pohon jambu belakang rumah. Tapi bukannya menikmati ketenangan itu, Devara justru berdiri di depan rumah dengan dahi berkerut.
Rumah ini ternyata jauh lebih rapuh dari yang ia kira.
Saat ia melihat lebih dekat, dinding kayu rumah mulai berjamur di beberapa bagian, kusennya lapuk, dan atap bocor yang tadi malam sempat ia lihat kini terasa lebih nyata. Bahkan sumur di belakang rumah tampak tak terurus, lumut menempel di dinding batunya.
Devara menarik napas panjang. Bagaimana ayahnya bisa hidup dalam kondisi seperti ini?
Ia berbalik menuju dapur, mencari ayahnya. Di sana, ia menemukan Rasyid tengah duduk di kursi kayu, menyesap teh dengan tangan yang sedikit bergetar.
“Ayah udah makan?” tanya Devara sambil membuka lemari kayu tempat penyimpanan bahan makanan.
“Udah, tadi habis sepotong roti.”
Devara mengernyit. “Roti doang?”
“Udah cukup buat sarapan,” jawab Rasyid santai.
Tapi bagi Devara, itu tidak masuk akal. Ayahnya butuh makanan yang layak, bukan hanya sepotong roti basi yang ia temukan tadi di atas meja. Ia mengamati lemari makanan yang hampir kosong. Hanya ada beberapa bungkus mie instan, sebungkus beras yang tinggal sedikit, dan beberapa botol kecap serta saus yang mungkin sudah berbulan-bulan tidak dipakai.
“Kamu nggak pernah belanja, Yah?”
Rasyid tersenyum kecil. “Belanja, kok. Tapi ya secukupnya aja.”
Devara menghela napas panjang. Ia menarik kursi dan duduk di depan ayahnya. “Yah, kenapa nggak bilang kalau butuh sesuatu? Kalau ada yang kurang, aku bisa kirim uang dari kota.”
Rasyid menatapnya dengan mata teduh. “Bukan tentang uang, Nak. Ayah masih bisa hidup dengan apa yang ada. Nggak usah dipikirin.”
“Tapi ini bukan cuma soal cukup atau nggak cukup, Yah.” Devara mengusap wajahnya frustasi. “Aku nggak nyangka rumah ini udah kayak gini. Makan seadanya, rumah rusak, ayah tinggal sendirian tanpa ada yang bantuin. Kenapa nggak ngomong dari dulu?”
Rasyid diam. Ia menyesap tehnya lagi sebelum akhirnya berkata, “Kamu sibuk, Deva. Ayah nggak mau ganggu.”
Devara tercekat.
Ia tahu ayahnya bukan tipe orang yang suka mengeluh. Sejak dulu, pria itu selalu berusaha terlihat kuat, bahkan ketika hidup sedang tidak berpihak padanya. Tapi kali ini, Devara bisa melihat sesuatu di balik matanya—kelelahan, kesepian, dan sisa-sisa kebanggaan yang entah kenapa masih bertahan.
Devara meraih tangan ayahnya yang penuh keriput itu. “Ayah, aku anakmu. Harusnya aku yang datang, aku yang lihat keadaan ayah, bukan ayah yang harus menunggu aku peduli.”
Rasyid tersenyum tipis. “Kamu udah pulang sekarang. Itu aja udah cukup buat ayah.”
Tapi bagi Devara, itu tidak cukup.
Hari itu, ia memutuskan untuk mulai memperbaiki rumah. Ia mengangkat tangga ke sudut-sudut atap yang bocor, mencoba menambalnya sebisanya. Ia membersihkan sumur, membuang lumut-lumut yang menempel di dindingnya. Ia juga pergi ke pasar desa untuk membeli bahan makanan, memastikan bahwa ayahnya tidak hanya makan roti basi untuk sarapan.
Saat ia sibuk menata barang belanjaannya di dapur, Rasyid berdiri di ambang pintu, memperhatikannya.
“Kamu nggak harus lakuin ini semua, Deva.”
Devara menoleh sebentar, lalu kembali merapikan barang belanjaannya. “Harus, Yah.”
Rasyid tertawa kecil, menggeleng pelan. “Dari dulu kamu keras kepala.”
Devara ikut tersenyum. “Dari dulu ayah juga keras kepala, nggak mau ngaku kalau butuh bantuan.”
Rasyid tidak membantah. Ia hanya berdiri di sana, melihat putranya yang kini sibuk mengisi kembali kehidupan di rumah yang dulu hampir ia lupakan.
Hari itu, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, rumah itu terasa lebih hidup.
Kesempatan yang Tersisa
Malam itu, langit terlihat lebih gelap dari biasanya. Bintang-bintang yang biasanya bertaburan kini hanya tersisa beberapa, seakan ikut meredup bersama perasaan Devara. Ia duduk di teras rumah, menatap pohon jambu di halaman yang dulu sering ia panjat saat kecil. Rantingnya kini lebih jarang berbuah, sama seperti rumah ini—yang perlahan kehilangan kehidupan.
Di dalam, Rasyid sudah tidur sejak tadi. Setidaknya itu yang Devara pikirkan sampai ia mendengar suara batuk tertahan dari kamar ayahnya.
Devara langsung berdiri. Ia mengetuk pintu pelan sebelum membukanya.
“Ayah?”
Rasyid tengah duduk di pinggir ranjang, tubuhnya sedikit membungkuk, tangannya menekan dada seperti menahan sesuatu. Napasnya pendek-pendek, wajahnya tampak pucat dalam cahaya temaram.
“Ayah kenapa?” Devara segera mendekat.
“Nggak apa-apa,” Rasyid berusaha tersenyum, tapi Devara tidak bodoh.
“Yah, jangan bohong,” suaranya sedikit bergetar. “Dari tadi aku dengar ayah batuk terus.”
Rasyid hanya diam, lalu dengan pelan, ia berbaring kembali. “Cuma masuk angin. Nggak usah khawatir.”
Tapi Devara tahu ini bukan sekadar masuk angin.
Tanpa banyak bicara, ia mengambil jaketnya dan segera meraih kunci motor. “Aku antar ayah ke dokter.”
Rasyid mengangkat tangannya, memberi isyarat untuk berhenti. “Nggak perlu. Ini cuma capek biasa.”
“Yah, aku nggak bisa diem aja.”
“Deva,” suara Rasyid melemah, tapi tetap tegas. “Ayah udah tua. Badan lelah itu biasa. Kamu nggak perlu heboh gini.”
Devara mengepalkan tangannya. “Tapi aku baru sadar kalau ayah lelah setelah sekian lama. Dan aku nggak mau telat lagi.”
Keduanya terdiam.
Akhirnya, setelah beberapa saat, Rasyid menghela napas. “Besok aja kalau mau ke dokter. Sekarang udah malam.”
Devara menatapnya ragu. Tapi ia tahu betul bagaimana keras kepalanya ayahnya, dan memaksa sekarang hanya akan membuatnya makin menutup diri.
“Baik,” katanya akhirnya. “Tapi besok pagi kita ke dokter, dan ayah nggak boleh nolak.”
Rasyid tersenyum tipis, lalu memejamkan matanya.
Malam itu, Devara tidur dengan kegelisahan yang menggantung di pikirannya.
Keesokan harinya, Devara membangunkan ayahnya lebih awal dan mengajaknya ke puskesmas terdekat. Meski awalnya sedikit enggan, akhirnya Rasyid menurut setelah melihat kesungguhan di mata anaknya.
Dokter yang menangani mereka adalah pria paruh baya dengan kacamata tebal yang tampak sudah sering menangani pasien seusia ayahnya. Setelah memeriksa dengan teliti, dokter itu menghela napas pelan.
“Pak Rasyid, sepertinya tubuh Bapak mengalami kelelahan yang cukup berat. Ada gejala anemia, tekanan darah juga rendah. Bapak harus lebih banyak istirahat dan makan makanan bergizi.”
Devara menatap ayahnya, merasa dadanya mencengkeram kuat.
“Jadi ayah nggak apa-apa, kan, Dok?” tanyanya, meskipun hatinya sudah tahu jawabannya.
Dokter tersenyum kecil. “Saat ini masih dalam tahap bisa ditangani. Tapi kalau dibiarkan terus, tubuhnya bisa semakin lemah. Apalagi kalau makannya nggak teratur dan terus bekerja sendiri.”
Devara mengangguk cepat. “Baik, Dok. Aku bakal pastikan ayah istirahat cukup.”
Di sebelahnya, Rasyid hanya mendengarkan tanpa banyak bicara.
Sepanjang perjalanan pulang, Devara masih merasakan kegelisahan yang tak kunjung hilang. Ia melirik ayahnya yang duduk di belakang motor, tubuhnya yang dulu terlihat kokoh kini hanya sisa bayangan dari masa lalu.
Saat mereka tiba di rumah, Devara langsung membimbing ayahnya masuk dan mempersiapkan makanan bergizi yang baru ia beli dari pasar. Ia memastikan ayahnya makan lebih banyak, beristirahat lebih cukup, dan tidak lagi memaksakan diri.
Namun, ada satu hal yang tidak bisa ia hentikan—kekhawatiran di dadanya bahwa waktu yang tersisa untuk bersama ayahnya mungkin tidak sebanyak yang ia kira.
Dan ia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu lagi.
Cinta yang Tak Ingin Terlambat
Beberapa minggu setelah pemeriksaan di puskesmas, perubahan kecil mulai terjadi di rumah itu.
Kini, meja makan tidak lagi sepi. Setiap pagi, Devara memastikan ayahnya sarapan dengan makanan yang layak, bukan hanya sepotong roti basi atau teh pahit tanpa gula. Rumah yang dulu tampak kusam kini mulai terlihat lebih hidup, dengan cat dinding yang baru dan atap yang tidak lagi bocor.
Yang paling penting, Rasyid tidak lagi sendirian.
Meski awalnya sulit menerima kenyataan bahwa tubuhnya tidak lagi sekuat dulu, perlahan-lahan pria tua itu mulai membiarkan Devara merawatnya. Ia tidak lagi menolak saat anaknya mengajaknya ke dokter, tidak lagi berkeras untuk bekerja sendirian, dan bahkan mulai tersenyum lebih sering.
Namun, di balik semua itu, ada satu hal yang terus mengganjal di benak Devara.
“Ayah,” katanya suatu sore saat mereka duduk di teras rumah, menikmati udara yang sejuk setelah hujan reda. “Aku mau ngomong sesuatu.”
Rasyid menyesap tehnya pelan. “Apa?”
Devara menggenggam tangannya sendiri, mencoba meredakan kegelisahan yang tiba-tiba muncul. “Aku udah ambil cuti lumayan lama buat tinggal di sini. Tapi…” Ia berhenti sejenak, ragu. “Tapi aku nggak mau cuti ini jadi sementara, Yah.”
Rasyid mengangkat alisnya, menoleh ke arah anaknya. “Maksud kamu?”
Devara menarik napas panjang sebelum akhirnya mengatakannya, “Aku mau tinggal di sini lebih lama. Mungkin selamanya.”
Rasyid terdiam. Matanya menatap lurus ke depan, tidak segera merespons.
Devara melanjutkan, “Aku bisa kerja dari sini. Sekarang udah banyak pekerjaan yang bisa dilakukan online. Aku nggak harus selalu di kota, dan jujur, aku juga udah capek dengan kehidupan di sana.”
“Tapi, Deva,” suara Rasyid terdengar lembut, “aku nggak mau kamu ninggalin hidupmu cuma buat ngurusin ayah.”
Devara menggeleng cepat. “Ini bukan soal ninggalin hidupku, Yah. Justru selama ini aku yang ninggalin ayah. Aku baru sadar betapa egoisnya aku. Aku terlalu sibuk sama diriku sendiri sampai lupa kalau ayah di sini sendirian.”
Rasyid masih diam. Tangannya yang mulai berkeriput menggenggam cangkir teh dengan erat, seolah ada banyak hal yang ingin ia katakan tapi tertahan di tenggorokannya.
Devara menatap ayahnya penuh harap. “Aku nggak mau nyesel, Yah. Aku nggak mau nanti tiba-tiba nyari ayah tapi yang tersisa cuma rumah kosong. Aku nggak mau terlambat lagi.”
Sejenak, hanya ada suara angin yang bertiup pelan, membawa aroma tanah yang masih basah setelah hujan.
Lalu, Rasyid menghela napas panjang dan tersenyum. “Kamu beneran keras kepala.”
Devara tertawa kecil. “Aku anak ayah, kan?”
Rasyid menatap anaknya lama, lalu mengangguk. Matanya yang semula penuh keraguan kini melembut, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ada ketenangan dalam ekspresinya.
“Baiklah,” katanya akhirnya. “Kalau itu yang kamu mau.”
Devara mengangguk mantap.
Hari itu, keputusan itu diambil—bukan karena rasa kasihan, bukan karena rasa bersalah, tapi karena cinta yang tidak ingin terlambat lagi.
Dan untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, rumah itu benar-benar terasa seperti rumah.
Nggak ada yang tahu berapa lama waktu yang kita punya bareng orang tua. Jangan tunggu sampai semuanya terlambat baru nyesel dan berharap bisa kembali ke masa lalu. Mulai sekarang, luangkan waktu, dengarkan cerita mereka, dan tunjukkan kalau kita benar-benar peduli.
Nggak perlu hal besar, cukup perhatian kecil yang tulus udah bisa bikin mereka bahagia. Ingat, rumah bukan cuma soal bangunan, tapi tentang kehangatan dan kebersamaan. Jadi, sebelum semuanya jadi kenangan, pastikan kita udah ngelakuin yang terbaik buat mereka.


