Jangan Remehkan Pekerjaan Orang Lain: Pelajaran Berharga yang Akan Buka Matamu

Posted on

Hai, guys!! Pernah nggak sih kamu ngerasa lebih baik dari orang lain cuma gara-gara pekerjaan? Atau mungkin pernah mandang sebelah mata sama orang yang kerja kasar?

Hati-hati, gengsi yang kelewat tinggi bisa bikin kita lupa kalau semua rezeki itu datangnya dari Allah. Nah, cerita ini bakal nunjukin ke kamu kenapa setiap pekerjaan itu punya martabatnya sendiri. Siap-siap buka mata dan hati, ya!

Jangan Remehkan Pekerjaan Orang Lain

Jejak Angkuh di Pasar Tua

Pasar kota kecil itu ramai seperti biasa. Pedagang berteriak menawarkan dagangan, suara tawar-menawar terdengar di antara deretan lapak. Udara bercampur aroma rempah, ikan asin, dan asap dari gerobak gorengan. Di tengah hiruk-pikuk itu, Fariz berjalan dengan percaya diri. Langkahnya mantap, tangannya menggenggam ponsel mahal yang sesekali ia lirik, memastikan notifikasi dari grup teman-temannya tetap aktif.

Di ujung pasar, tak jauh dari deretan penjual sayur, seorang lelaki tua duduk di atas tikar lusuh dengan gerobak kecil berisi tumpukan keranjang bambu di sampingnya. Tangannya sibuk menganyam, jari-jarinya yang kasar bergerak cekatan merangkai bilah bambu menjadi pola yang rapi. Wajahnya tenang meski keringat membasahi dahinya. Beberapa orang berhenti untuk melihat dagangannya, beberapa membeli tanpa banyak bicara.

Fariz menghentikan langkah. Alisnya terangkat saat melihat pemandangan itu. Keranjang-keranjang anyaman? Di zaman seperti ini? Ia tertawa kecil. Bagi Fariz, pekerjaan seperti itu sudah ketinggalan zaman. Orang-orang lebih memilih kantong plastik atau tas modern daripada keranjang bambu yang ia anggap kuno dan tidak praktis.

Dengan langkah ringan, ia mendekati lapak itu dan menatap si penjual tua dengan senyum meremehkan.

“Pak, kenapa masih jualan ginian?” tanya Fariz, nada suaranya terdengar santai, tapi ada ejekan yang terselip. “Siapa sih yang masih butuh keranjang kayak gini? Nggak capek kerja begini tiap hari?”

Pak Umar, lelaki tua itu, menghentikan pekerjaannya sejenak. Ia mengangkat wajah, menatap pemuda di depannya dengan sorot mata yang tenang, sama sekali tidak tersinggung. Ia mengusap peluh di dahinya dengan ujung lengan bajunya, lalu tersenyum.

“Nak, kamu tahu nggak, dulu orang-orang juga bilang begitu waktu aku mulai jualan keranjang. Tapi nyatanya, sampai sekarang masih ada yang beli,” jawab Pak Umar santai.

Fariz terkekeh. “Tapi kan zaman udah maju, Pak. Orang-orang udah pakai tas modern, plastik, bahan sintetis. Keranjang bambu? Kayaknya nggak laku lagi.”

Pak Umar mengangguk pelan. Ia mengambil satu keranjang yang baru selesai dianyam, memeriksa anyamannya dengan seksama. “Memang, zaman berubah. Tapi yang namanya rezeki itu bukan dari zaman, Nak. Rezeki itu dari Allah. Ada aja orang yang masih butuh. Pedagang sayur, orang yang ke sawah, yang suka belanja banyak di pasar. Lagipula, kerja begini halal, nggak nyusahin orang lain.”

Fariz menghembuskan napas panjang, merasa si penjual tua tidak mengerti maksudnya. “Tapi Pak, kalau kerja kayak gini terus, gimana masa depan? Maksud aku, kalau Bapak kerja di tempat lain yang lebih bagus, lebih modern, mungkin bisa dapat lebih banyak.”

Pak Umar tertawa kecil. “Apa menurutmu kerja di perusahaan besar itu satu-satunya jalan buat hidup enak?”

Fariz mengangkat bahu. “Ya, setidaknya lebih menjamin lah, Pak. Daripada duduk di pinggir jalan, nganyam bambu tiap hari.”

Pak Umar tersenyum lagi, senyum yang lebih dalam kali ini. “Nabi Dawud dulu juga makan dari hasil kerja tangannya sendiri, Nak. Beliau seorang raja, tapi tetap bekerja. Rasulullah juga berdagang sendiri sebelum diangkat jadi Nabi. Kenapa? Karena kerja halal itu bukan soal kaya atau miskin, tapi soal keberkahan. Kalau aku bisa makan dari hasil kerja tanganku sendiri, kenapa harus malu?”

Fariz terdiam. Kata-kata itu menancap di benaknya, tapi egonya masih menolak untuk menerima.

Pak Umar kembali menganyam, kali ini tangannya bergerak lebih pelan. “Kamu lulusan perguruan tinggi, kan?”

Fariz mengangguk. “Iya, Pak. Aku baru aja lulus.”

“Bagus,” kata Pak Umar. “Ilmu itu berkah. Tapi jangan sampai ilmu bikin kita sombong, Nak. Karena yang membuat manusia mulia itu bukan pekerjaannya, tapi ketakwaannya.”

Fariz menatapnya tanpa bicara. Dadanya terasa sedikit sesak, tapi ia tidak mau menunjukkan bahwa kata-kata lelaki tua itu mulai menggoyahkan pikirannya.

Dari kejauhan, suara adzan Ashar berkumandang, menggema di antara riuhnya pasar. Pak Umar meletakkan anyamannya, menutup gerobaknya dengan kain sederhana, lalu bangkit dengan tubuhnya yang sedikit bungkuk.

“Kalau kamu ada waktu, ayo sholat dulu,” ajaknya.

Fariz menatapnya sejenak. Di kepalanya, ia ingin menolak, ingin segera pergi dan melupakan obrolan barusan. Tapi entah kenapa, kakinya terasa berat untuk beranjak.

Angin sore bertiup pelan, membawa serta debu-debu kecil di sepanjang jalan pasar. Fariz tidak menyadari, tapi hari itu, sebuah pelajaran mulai mengendap dalam hatinya. Sebuah pelajaran yang akan terus berlanjut di bab berikutnya.

 

Suara Hikmah di Antara Anyaman

Fariz duduk di serambi masjid setelah sholat Ashar. Sajadah sudah dilipat rapi di sampingnya, tapi pikirannya masih mengembara. Ia tidak langsung pulang, meskipun biasanya setelah sholat, ia akan buru-buru kembali ke rumah atau nongkrong dengan teman-temannya. Ada sesuatu yang mengganjal di dadanya—sesuatu yang berasal dari percakapannya dengan Pak Umar di pasar tadi.

Di sisi lain serambi, Pak Umar duduk bersila dengan tenang. Wajahnya terlihat teduh, seolah tidak ada beban dalam hidupnya. Sementara Fariz masih berkutat dengan pikirannya, lelaki tua itu justru terlihat damai, seakan-akan pekerjaan menganyam bambu yang dianggap remeh oleh banyak orang sama sekali tidak mempengaruhi ketenangannya.

“Kenapa masih di sini, Nak?” tanya Pak Umar tiba-tiba, suaranya lembut tapi cukup jelas di telinga Fariz.

Fariz terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Nggak ada alasan tertentu, Pak. Cuma lagi pengen duduk aja.”

Pak Umar mengangguk. “Kalau begitu, duduklah dengan hati yang tenang. Jangan biarkan pikiranmu mengikatmu seperti tali bambu yang aku anyam tadi.”

Fariz menghela napas. “Pak,” katanya pelan, “tadi Bapak bilang kalau kerja halal itu soal keberkahan, bukan kaya atau miskin. Tapi… jujur aja, aku masih nggak ngerti.”

Pak Umar tersenyum, lalu meraih tongkat kayu yang tergeletak di sampingnya, menggenggamnya dengan santai. “Kamu tahu, Nak, ada seorang sahabat Nabi yang sangat kaya. Namanya Abdurrahman bin Auf. Tapi meskipun kaya, beliau tetap rendah hati dan tidak pernah sombong dengan hartanya.”

Fariz mengangguk pelan. Nama itu tidak asing baginya.

“Lalu ada seorang sahabat lain yang hidup sederhana, tapi sangat dekat dengan Rasulullah. Namanya Abu Hurairah. Beliau tidak memiliki banyak harta, tapi ilmu dan ketakwaannya membuatnya begitu mulia di sisi Allah.”

Pak Umar melanjutkan, “Dua orang ini berbeda secara materi, tapi sama-sama dimuliakan oleh Allah. Karena yang membuat manusia berharga bukan dari banyaknya harta atau rendahnya pekerjaan, tapi bagaimana ia menjalani hidupnya dengan iman dan rasa syukur.”

Fariz mulai memahami arah pembicaraan lelaki tua itu, tapi egonya masih sedikit bertahan. “Tapi, Pak… kalau bisa kerja yang lebih enak dan lebih menghasilkan, kenapa harus tetap bertahan di pekerjaan yang berat?”

Pak Umar tersenyum lagi. Ia mengetuk-ngetukkan tongkat kayunya ke lantai masjid dengan pelan, seolah sedang berpikir bagaimana menjawab pertanyaan itu.

“Nak, kamu pernah lihat burung pipit?” tanyanya tiba-tiba.

Fariz mengerutkan kening. “Pernah, Pak.”

“Burung pipit tidak punya lumbung seperti manusia. Tidak ada gaji bulanan, tidak ada rekening bank. Tapi setiap hari, Allah tetap memberinya makan. Pernah lihat burung pipit mati kelaparan di depan matamu?”

Fariz menggeleng.

“Itulah rezeki, Nak. Manusia diperintahkan untuk bekerja, bukan untuk bergantung pada hasil semata. Aku bekerja menganyam bambu bukan karena aku tidak bisa mencari pekerjaan lain, tapi karena ini yang Allah takdirkan untukku. Dan selama aku tidak mencuri, tidak menipu, dan tidak merugikan orang lain, maka pekerjaanku ini lebih baik daripada pekerjaan mewah yang penuh dengan dosa.”

Fariz terdiam lama. Ada sesuatu yang terasa menohok di dadanya.

Pak Umar melanjutkan, “Jangan salah paham, aku tidak bilang kalau semua orang harus kerja seperti aku. Setiap orang punya jalannya masing-masing. Ada yang jadi pedagang, ada yang jadi dokter, ada yang jadi pengusaha, ada yang jadi petani. Semua pekerjaan halal itu mulia, selama dilakukan dengan jujur dan ikhlas.”

Fariz menggigit bibirnya, merasa malu sendiri karena tadi siang ia begitu angkuh menghina pekerjaan lelaki tua ini. Ia menyadari sesuatu—Pak Umar bukan hanya seorang penganyam bambu, tapi juga seorang bijak yang memiliki ilmu dan pengalaman hidup yang lebih luas dari yang ia duga.

Pak Umar tersenyum tipis. “Kamu masih muda, Nak. Dunia ini luas. Jangan biarkan kesombongan menutup matamu dari hikmah yang bisa kamu pelajari.”

Angin sore berembus pelan, membawa suara azan dari masjid lain di kejauhan. Fariz menundukkan kepala, hatinya mulai diterangi oleh pelajaran baru. Tapi perjalanan batinnya belum selesai. Ia masih harus mencari jawaban yang lebih dalam, sesuatu yang mungkin baru akan ia temukan di hari-hari berikutnya.

 

Harga Sebuah Pekerjaan

Malam itu, Fariz tak bisa tidur. Kata-kata Pak Umar terus terngiang di kepalanya, bergema seperti suara yang sulit diabaikan. Ia berbaring menatap langit-langit kamarnya, sementara suara jangkrik dan hembusan angin dari jendela terbuka menjadi latar belakang keheningan malam.

Apa benar pekerjaannya sekarang ini hanya soal gengsi? Apa benar ia selama ini terlalu meremehkan pekerjaan-pekerjaan yang ia anggap “tidak berkelas”?

Ia menghela napas, lalu duduk di pinggir ranjang. Tangannya meraih ponsel, membuka media sosial, dan melihat unggahan teman-temannya—makan di restoran mahal, pamer barang-barang mewah, dan membanggakan pekerjaan mereka yang bergaji tinggi.

Fariz sendiri bekerja di sebuah toko pakaian milik sepupunya, pekerjaan yang ia anggap “lumayan” dibanding harus bekerja kasar. Ia masih merasa lebih baik daripada orang-orang seperti Pak Umar yang menganyam bambu di pinggir jalan. Tapi, kenapa sekarang hatinya jadi goyah?

Ia meremas rambutnya, frustrasi dengan pikirannya sendiri.

Keesokan paginya, Fariz memutuskan untuk kembali ke pasar. Bukan untuk mencari Pak Umar, tapi untuk melihat keadaan dari sudut pandang yang berbeda.

Langkahnya membawa dia ke gang-gang kecil di belakang pasar, tempat para pekerja kasar sibuk mengangkut barang, memotong daging, dan membersihkan sisa-sisa sampah dari aktivitas dagang pagi itu.

Ia melihat seorang pria tua mengangkat karung beras yang terlihat lebih besar dari tubuhnya. Tangannya bergetar, wajahnya berkeringat, tapi ia tetap bekerja tanpa mengeluh.

Di sebelahnya, seorang wanita paruh baya dengan celemek penuh noda tengah merapikan ikan-ikan segar di atas es, tangannya cekatan meski jelas terlihat lelah.

Fariz memandang mereka satu per satu. Seumur hidupnya, ia tidak pernah benar-benar memperhatikan orang-orang ini. Baginya, mereka hanyalah bagian dari latar belakang kehidupan—ada, tapi tidak penting.

Sekarang, ia melihat mereka dengan cara yang berbeda.

Mereka bekerja keras. Mereka berusaha untuk bertahan hidup dengan cara yang halal. Dan yang paling penting, mereka tidak mengeluh meskipun pekerjaan mereka berat dan mungkin tidak pernah dihargai oleh orang-orang seperti Fariz.

Seketika, rasa bersalah muncul dalam dirinya.

“Fariz?”

Suara itu membuatnya tersentak. Ia menoleh dan mendapati Pak Umar berdiri di dekatnya, membawa tumpukan anyaman bambu di tangannya.

“Apa yang kamu lakukan di sini, Nak?” tanya Pak Umar dengan senyum ramah.

Fariz menggaruk tengkuknya, merasa canggung. “Cuma… liat-liat, Pak.”

Pak Umar mengangguk, lalu mengamati wajah Fariz sejenak sebelum berkata, “Kamu sudah mulai melihat dunia dengan cara yang berbeda, ya?”

Fariz menghela napas, lalu mengangguk. “Aku… aku nggak pernah sadar kalau selama ini aku terlalu ngeremehin orang, Pak.”

Pak Umar tersenyum tipis, lalu duduk di bangku kayu di dekatnya. “Nak, ada satu hal yang harus kamu pahami. Setiap pekerjaan yang halal itu memiliki harga. Tapi harganya bukan cuma di mata manusia, melainkan di mata Allah.”

Fariz menatap Pak Umar, menunggu penjelasan lebih lanjut.

“Di dunia ini, ada orang yang dihormati karena jabatannya. Ada yang dihargai karena kekayaannya. Tapi, yang benar-benar berharga di sisi Allah adalah mereka yang bekerja dengan jujur, tidak menipu, dan tidak mengambil hak orang lain,” lanjut Pak Umar.

Fariz menunduk, merenungi kata-kata itu.

Pak Umar melanjutkan, “Kamu tahu, Rasulullah pernah bersabda, ‘Seseorang yang mencari nafkah untuk keluarganya adalah pejuang di jalan Allah.’ Artinya, meskipun pekerjaan seseorang terlihat kecil di mata manusia, selama dia bekerja dengan niat yang benar, maka ia seperti seorang pejuang.”

Fariz terdiam. Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa harga sebuah pekerjaan tidak bisa diukur dengan uang atau gengsi, melainkan dengan ketulusan dan kejujuran orang yang melakukannya.

Ia mengangkat kepalanya, menatap Pak Umar dengan mata penuh tekad. “Pak, aku mau belajar dari Bapak. Aku mau tahu bagaimana rasanya kerja tanpa peduli gengsi.”

Pak Umar tertawa kecil, lalu menepuk bahu Fariz. “Bagus, Nak. Kalau begitu, mulai besok, datanglah ke tempatku. Aku akan ajari kamu cara menganyam bambu.”

Fariz tersenyum. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia tidak peduli apa yang orang lain pikirkan tentangnya. Yang ia tahu, ia ingin memahami dunia dengan cara yang lebih baik.

 

Pekerjaan yang Bermartabat

Keesokan paginya, Fariz tiba di tempat Pak Umar lebih awal dari yang dijanjikan. Udara pagi masih segar, pasar baru mulai ramai, dan matahari belum sepenuhnya naik. Ia melihat Pak Umar sudah duduk di bawah pohon rindang, jemarinya cekatan menganyam bilah-bilah bambu menjadi keranjang yang kokoh.

Fariz menelan ludah. Ia, yang terbiasa bekerja di ruangan ber-AC dengan pakaian rapi, kini akan duduk di atas tanah, menyentuh bambu, dan bekerja dengan tangan sendiri.

“Sudah siap, Nak?” tanya Pak Umar sambil tersenyum.

Fariz mengangguk, lalu duduk di sebelahnya. Pak Umar menyerahkan beberapa potong bilah bambu. “Pertama, kamu harus belajar merasakan teksturnya. Bambu ini keras, tapi kalau kamu tahu cara menanganinya, dia akan lentur.”

Fariz mengambil sepotong bambu dan mencoba membengkokkannya. Ia berpikir itu mudah—tapi begitu mencoba, bambunya patah di tangannya.

Pak Umar tertawa kecil. “Tenang, Nak. Segala sesuatu butuh kesabaran. Sama seperti hidup, pekerjaan ini juga ada ilmunya.”

Fariz tersenyum kikuk, lalu mulai memperhatikan gerakan tangan Pak Umar. Perlahan, ia meniru, meskipun hasil anyamannya masih jauh dari rapi. Tapi anehnya, ia tidak merasa malu. Untuk pertama kalinya, ia menikmati bekerja tanpa memikirkan gengsi.

Hari-hari berlalu, dan Fariz semakin terbiasa dengan pekerjaannya. Tangan yang dulu halus kini mulai terbiasa dengan goresan dan serat bambu yang tajam. Badannya yang dulu hanya mengenal kursi empuk kini lebih banyak duduk di tanah, bekerja dengan tangannya sendiri.

Suatu siang, seorang pria berjas mahal berjalan melewati lapak Pak Umar. Ia menatap Fariz dengan heran. “Fariz? Ini kamu?”

Fariz menoleh dan mendapati pria itu adalah Reza, salah satu teman lamanya di kampus.

Reza tertawa kecil. “Seriusan, Riz? Kamu kerja di sini? Bukannya dulu kamu bilang kerja kasar itu nggak ada masa depan?”

Fariz tersenyum, tidak tersinggung sedikit pun. “Dulu aku memang mikir begitu. Tapi sekarang, aku sadar kalau kerja halal, apapun bentuknya, punya martabat yang sama.”

Reza masih terlihat tidak percaya. “Tapi kenapa? Bukannya kamu bisa cari kerja yang lebih… layak?”

“Loh, emang kerja ini nggak layak?” tanya Fariz santai. Ia menepuk-nepuk keranjang anyaman yang baru saja ia selesaikan. “Ini buatanku sendiri. Dari nol, dari bilah-bilah bambu yang tadinya nggak ada nilainya, sekarang bisa dijual dan bermanfaat buat orang lain. Emang apa yang salah?”

Reza terdiam. Ia tidak bisa membalas.

Pak Umar yang sejak tadi memperhatikan tersenyum bijak. “Nak, jangan pernah menilai pekerjaan seseorang hanya dari luarnya. Rasulullah sendiri adalah seorang pedagang dan penggembala sebelum menjadi pemimpin besar. Beliau tidak malu bekerja. Lalu, kenapa kita harus malu?”

Reza menatap Fariz sekali lagi, lalu tersenyum kecil. “Mungkin aku yang salah paham selama ini.”

Fariz mengangguk. “Aku juga dulu salah paham. Tapi sekarang, aku belajar untuk lebih menghargai kerja keras orang lain.”

Hari itu, Fariz merasa lebih ringan. Ia tidak lagi peduli dengan pandangan orang lain. Ia tidak butuh pengakuan, tidak butuh pujian. Yang ia butuhkan hanyalah keyakinan bahwa pekerjaan yang ia lakukan halal, bermanfaat, dan diridhoi Allah.

Dan bagi Fariz, itu sudah lebih dari cukup.

 

Nah, jadi masih mau ngehina pekerjaan orang lain? Semua kerja keras itu ada nilainya, asal halal dan berkah. Jangan sampai gara-gara gengsi, kita malah meremehkan sesuatu yang sebenarnya berharga. Hidup tuh nggak cuma soal kelihatan keren, tapi soal gimana kita bersyukur dan menghargai setiap usaha. So, mulai sekarang, stop meremehkan dan mulai menghargai, deal?

Leave a Reply