Jangan Pernah Lupakan Aku Lagi: Kisah Cinta yang Berjuang Melawan Lupa

Posted on

Kadang, cinta itu bukan tentang menemukan seseorang yang sempurna, tapi tentang bagaimana kita bisa terus ada, meskipun ingatan kita tentang satu sama lain mulai memudar. Gimana rasanya, ketika seseorang yang dulu begitu dekat denganmu, tiba-tiba lupa segala hal tentang kalian?

Itu yang dialami Arvid, yang masih berjuang untuk membuat Zara ingat siapa dirinya—dan kenangan manis yang pernah mereka buat bersama. Tapi di tengah semua itu, ada satu hal yang jelas: cinta nggak pernah benar-benar hilang, meskipun waktu dan ingatan mencoba untuk memisahkan mereka.

 

Jangan Pernah Lupakan Aku Lagi

Kenangan yang Hilang

Pagi itu, aku datang ke kafe kecil yang sudah biasa aku kunjungi. Kafe ini selalu terasa seperti tempat yang aman untuk melarikan diri dari segala hiruk-pikuk dunia luar. Dengan aroma kopi yang menyegarkan, suasana yang tenang, dan jendela yang menghadap langsung ke jalan kecil yang jarang dilalui orang, tempat ini selalu menyimpan kenangan indah. Tapi pagi itu, rasanya berbeda. Ada yang hilang, sesuatu yang sulit aku gambarkan.

Aku duduk di meja yang biasanya aku pilih, meja di pojok dekat jendela. Dari sini, aku bisa melihat dunia bergerak, bisa melihat orang-orang berlalu lalang tanpa peduli dengan siapa aku. Aku memesan secangkir kopi hangat, menunggu, meski aku tahu hari ini akan seperti hari-hari sebelumnya. Tanpa sadar, aku melihat ke arah pintu masuk kafe itu.

Dia datang. Zara, gadis yang dulu aku kenal lebih dari siapa pun, masuk dengan langkah santai, namun ada sesuatu yang berbeda pada ekspresinya. Mata cokelatnya yang dulu begitu cerah sekarang terlihat kosong, seperti dia sedang mencari sesuatu yang tidak bisa ditemukan. Zara duduk di kursi dekat jendela, tidak jauh dari tempat aku duduk, dan memesan secangkir kopi yang sama dengan yang aku pesan.

Aku memejamkan mata sejenak, berusaha menenangkan diri. Rasa sakit ini datang lagi—seperti jarum yang menusuk perlahan ke dalam dadaku. Bagaimana bisa dia duduk di sana, seperti seorang asing? Bukankah kita dulu selalu duduk bersama di tempat ini, menghabiskan waktu berjam-jam dengan obrolan ringan, tawa, dan perasaan yang saling mengerti tanpa perlu kata-kata?

Tidak ada yang tahu tentang kita. Tidak ada yang tahu bagaimana rasanya mencintai seseorang yang sekarang tidak lagi mengingat kita. Mungkin itu yang paling menyakitkan. Zara duduk dengan tenang, matanya terarah ke luar jendela, seolah dia memikirkan hal yang lebih besar daripada sekadar segelas kopi. Itu bukan Zara yang aku kenal. Zara yang dulu selalu ceria, penuh semangat, dan penuh dengan kehangatan. Apa yang terjadi padanya? Apa yang membuatnya menjadi seperti ini?

Aku tidak bisa menahannya lagi. Aku harus mendekat. Aku harus mencari tahu apa yang ada di benaknya, meskipun aku tahu, sejujurnya, aku takut dengan jawaban yang mungkin aku dapatkan. Tapi, aku tak bisa berdiam diri. Aku tidak bisa terus-menerus merasakan sakit ini tanpa melakukan apa-apa.

Aku berdiri, merapikan jaketku, dan berjalan pelan menuju meja Zara. Setiap langkah terasa lebih berat dari biasanya, seperti ada sesuatu yang mengikat kakiku. Aku tahu, saat aku duduk di depannya, semuanya tidak akan pernah sama. Aku tidak lagi menjadi Arvid yang dikenalnya. Aku menjadi orang asing, yang hanya dikenang dalam fragmen-fragmen yang terhapus dari ingatannya.

“Hai, Zara,” suaraku terdengar lebih lembut dari yang aku inginkan. Aku berusaha tersenyum, meskipun hatiku sedang menangis.

Zara menoleh, matanya menatapku dengan bingung. Ada sesuatu yang samar-samar muncul di sana, seperti dia sedang berusaha mengingat siapa aku. Sebuah kilatan kecil, namun cepat menghilang. Aku bisa melihatnya. Aku bisa melihatnya berjuang untuk mengenali aku, tetapi dia hanya terdiam. Dia mengangkat alisnya sedikit, ragu, sebelum akhirnya membuka mulut.

“Ada apa, Arvid?” suaranya terdengar datar, bahkan sedikit terkejut. “Kamu terlihat… berbeda.”

Aku menelan ludah, berusaha menahan perasaan yang datang begitu mendalam. Perasaan ini datang tanpa ampun, tanpa memberi ruang untuk aku bernafas. Perasaan yang sulit dijelaskan, seperti ada yang hancur dalam diriku. Aku duduk, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk menjawab.

“Kamu tidak ingat aku, ya?” aku bertanya pelan, suaraku bergetar, meskipun aku berusaha terlihat tenang.

Zara tampak terdiam, menatapku dengan lebih dalam. Matanya tidak bisa disembunyikan. Ada sesuatu di dalam sana—keraguan, kebingungan, dan mungkin sedikit penyesalan. Namun, dia tidak bisa menutupi kekosongan itu. Aku tahu dia tidak ingat siapa aku. Aku bisa melihatnya di matanya. Semua kenangan yang kami bagi, semua cerita yang kami buat bersama, semuanya hilang begitu saja.

“Aku… tidak ingat,” jawabnya, dan aku merasakan hatiku terhimpit. “Kenapa aku harus ingat kamu?”

Suaranya dingin, tidak ada kehangatan yang dulu ada. Aku bisa merasakan sakit yang mendalam di dalam dada, tetapi aku menahan semua itu. Aku tidak bisa menunjukkan betapa sakitnya rasanya. Dia tidak salah. Zara tidak tahu apa yang terjadi. Dia hanya… tidak ingat.

“Zara…” Aku menghela napas panjang, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang. “Kamu lupa kita, kan? Kamu lupa segala sesuatu tentang kita.”

Zara menggigit bibirnya, tampaknya merasa terjebak dalam perasaan bersalah yang mungkin tidak dia pahami. Ada jeda yang panjang antara kami, dan selama itu, aku hanya bisa menatap matanya yang kosong, mencoba mencari jejak kenangan yang mungkin masih ada di sana.

“Aku… maaf, Arvid,” katanya pelan, seperti bisikan. “Aku tidak tahu harus bagaimana.”

Aku merasakan rasa sakit itu semakin dalam. Dia mengingatkan aku pada seseorang yang telah hilang, dan tidak ada cara untuk mengembalikan semuanya seperti semula. Aku ingin berteriak, tetapi lidahku terasa kelu. Aku ingin memberitahunya bahwa aku masih di sini, bahwa aku masih mencintainya, tetapi aku tahu itu tidak akan membantu. Zara tidak ingat.

“Aku hanya ingin kamu tahu,” aku berbisik, hampir tidak bisa mendengar suaraku sendiri. “Aku akan selalu ada untuk kamu. Aku tidak akan pergi, Zara. Aku… tidak akan pergi.”

Zara menatapku dengan tatapan yang lebih dalam, seolah mencoba menilai apakah kata-kataku ada benarnya. Namun, seberapapun aku ingin dia mengingat, aku tahu itu akan memakan waktu. Aku hanya bisa berharap dia akan kembali, sedikit demi sedikit, seperti aliran sungai yang perlahan meresap ke dalam tanah yang kering.

Aku duduk di sana, menunggu, berharap, dengan perasaan yang campur aduk. Hari itu berakhir dengan lebih banyak tanya daripada jawaban. Aku meninggalkan kafe dengan perasaan yang berat, tetapi aku tahu, entah bagaimana, aku harus tetap menunggu.

Karena aku takkan pernah bisa melupakan Zara. Dan aku hanya berharap, suatu hari nanti, dia juga tidak akan melupakan aku.

 

Kehampaan di Mata Zara

Hari-hari berlalu dengan lambat, seperti awan yang menggantung di langit tanpa bergerak. Aku kembali ke kafe itu hampir setiap hari, berharap menemukan Zara di sana. Tapi yang kutemui justru jarak antara kami yang semakin jauh. Di setiap pertemuan, dia tampak lebih asing, lebih jauh. Seperti ada dinding tak terlihat yang semakin menebal di antara kami.

Aku tidak pernah benar-benar tahu bagaimana melanjutkan semuanya. Zara tidak ingat apapun tentang kami, dan aku mulai merasa seperti hantu dalam hidupnya. Hantu yang terus mengingatkan dia tentang sesuatu yang dia sendiri tidak ingin ingat. Tapi aku tetap bertahan, tetap datang, meskipun hati ini terasa semakin terkoyak. Apa lagi yang bisa kulakukan selain menunggu? Menunggu sampai ingatannya kembali, atau menunggu sampai aku bisa menjadi kenangan yang terlalu sulit untuk dilupakan?

Pagi itu, aku kembali ke tempat yang sama. Zara sudah ada di sana, duduk di kursi yang selalu dia pilih, memandangi secangkir kopi yang sudah dingin. Ada yang berbeda dari cara dia memegang cangkir itu—seperti dia hanya sekadar menunggu, tetapi tidak benar-benar menikmatinya. Aku menghela napas panjang dan berjalan mendekat. Dia masih mengenakan gaun simpel yang selalu dia pakai dulu—warna abu-abu muda, lembut, dengan motif bunga kecil di bagian ujung lengan. Itu pakaian yang pernah aku pilihkan untuknya. Tapi sekarang, entah kenapa, pakaian itu tidak lagi membawa kehangatan yang sama.

“Zara,” panggilku pelan, duduk di kursi depan meja yang dia duduki.

Zara menoleh perlahan, matanya yang kosong menatapku tanpa ekspresi. Untuk sesaat, aku merasa seperti sedang berbicara dengan bayangan. Tidak ada kilau di matanya, tidak ada tanda-tanda kenangan yang berkumpul di sana.

“Hai,” jawabnya singkat, suaranya datar seperti biasa. “Kamu mau duduk?”

Aku mengangguk dan duduk di depannya, berusaha menahan rasa sakit yang mulai kembali merayap ke dalam dada. Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Tapi aku tahu, aku harus berbicara. Setidaknya, aku harus berusaha membuka sedikit pintu di hatinya yang tertutup rapat.

“Zara,” aku mulai dengan hati-hati, “kamu… masih ingat saat kita pertama kali bertemu?”

Dia menatapku sebentar, tampak ragu, seolah berusaha mencari jejak kenangan yang hilang. “Aku… tidak tahu,” katanya akhirnya, menggeleng pelan. “Aku merasa seperti aku kenal kamu, tapi aku tidak tahu bagaimana.”

Aku merasa perasaan sesak di dadaku semakin kuat. Semua kenangan yang pernah ada, semua tawa kita, semua kebahagiaan yang pernah kita bagi, semuanya kini tinggal sebagai bayangan. Dia tidak bisa mengingatnya, dan aku… aku tidak tahu bagaimana bisa hidup dengan kenyataan itu.

“Tapi aku ingin kamu tahu,” lanjutku, berusaha untuk tidak terdengar putus asa, “aku akan terus ada. Meskipun kamu tidak ingat siapa aku, aku tetap akan ada di sini. Aku tidak akan pergi, Zara.”

Zara menatapku lebih lama, seperti menganalisis kata-kataku. Aku bisa merasakan keraguan dalam tatapannya. Mungkin dia merasa terjebak, mungkin dia merasa bersalah. Tapi di sisi lain, aku tahu dia juga merasa bingung. Dia tidak tahu apa yang terjadi, dia tidak tahu kenapa aku begitu terikat padanya, dan itu sangat sulit untuk dijelaskan.

“Aku bingung,” katanya akhirnya, suaranya lebih lembut dari biasanya. “Aku merasa seperti ada sesuatu yang hilang, tapi aku tidak tahu apa itu. Aku… merasa terjebak dalam kepingan kenangan yang tidak bisa aku rangkai.”

Aku terdiam sejenak, mencoba mencari kata-kata yang tepat. Bagaimana aku bisa membuatnya mengerti, jika bahkan dia sendiri tidak tahu apa yang terjadi? Rasa cemburu, sakit, dan rindu ini menyatu menjadi sebuah perasaan yang sulit untuk dijelaskan. Setiap kali aku melihat Zara, aku merasa ada sesuatu yang hilang dariku juga—sesuatu yang dulu sangat berarti. Dan aku takut, jika dia tidak ingat, mungkin aku akan kehilangan segalanya.

“Aku mengerti, Zara,” jawabku dengan suara rendah. “Aku tahu ini sulit. Tapi aku akan tetap di sini, meskipun mungkin kita tidak bisa kembali ke apa yang dulu.”

Zara terdiam, matanya menatap ke luar jendela, mengamati hujan yang turun dengan deras. Sesekali, aku melihat dia mengusap matanya dengan lembut, mencoba menyembunyikan perasaan yang mungkin dia sendiri tidak bisa pahami. Aku ingin memeluknya, menghapus rasa sakitnya, tetapi aku tahu itu tidak akan mudah. Zara tidak ingat apa yang kita punya, dan aku harus belajar menerima kenyataan itu.

Namun, di balik semua kebingungannya, ada satu hal yang jelas—Zara tidak pernah benar-benar menginginkan aku pergi. Aku bisa merasakannya. Meskipun dia tidak mengingat, ada ikatan yang tidak bisa diputuskan begitu saja. Ada sesuatu di antara kami yang masih ada, meskipun tidak tampak di permukaan.

“Arvid,” katanya setelah beberapa lama, suaranya lebih lembut. “Aku tidak tahu bagaimana melanjutkan semuanya. Tapi… aku ingin mencoba.”

Aku menatapnya, terkejut dengan kata-katanya. Ada harapan dalam suaranya, meskipun samar. Mungkin, hanya mungkin, ada jalan untuk kami kembali, meskipun aku tahu itu tidak akan mudah. Tetapi saat dia berkata itu, aku merasa sedikit ringan. Mungkin kenangan itu belum sepenuhnya hilang. Mungkin ada cara untuk membangkitkan kembali ingatannya, meskipun perlahan.

“Terima kasih, Zara,” aku berkata, sedikit lega. “Aku akan sabar. Aku janji.”

Kami duduk bersama dalam diam, saling mengamati hujan yang terus turun di luar jendela. Meskipun aku tahu, perjalanan ini akan panjang dan penuh dengan kesakitan, aku tetap berharap. Karena, aku tidak akan pernah bisa melupakan Zara. Dan aku berharap, suatu hari nanti, dia juga tidak akan melupakan aku.

 

Langkah Kecil Menuju Kenangan yang Hilang

Pagi-pagi sekali, aku sudah berdiri di depan pintu rumah Zara. Hujan yang kemarin masih tersisa di udara, meninggalkan aroma tanah yang basah dan segar. Aku tidak tahu apakah ini ide yang bagus, datang begitu saja ke rumahnya, tetapi ada sesuatu dalam diriku yang memaksa untuk mengambil langkah ini. Mungkin, harapanku terlalu besar. Mungkin aku terlalu naif untuk percaya bahwa Zara akan kembali seperti yang dulu. Namun, satu hal yang pasti: aku tidak bisa lagi menunggu dengan hanya duduk diam.

Aku mengetuk pintu dengan tangan sedikit gemetar. Tidak ada suara di dalam. Aku mengulang ketukan, lebih keras kali ini. Sekejap, pintu terbuka, dan wajah Zara muncul di ambang pintu. Rambutnya yang sedikit basah karena hujan tergerai di bahunya. Matanya menatapku kosong, seolah mempertanyakan kehadiranku.

“Arvid?” suaranya terdengar terkejut, tetapi tidak ada tanda-tanda kebingungannya. “Kenapa datang pagi-pagi gini?”

Aku menatap matanya, berusaha menahan detak jantung yang semakin cepat. “Aku… hanya ingin berbicara. Kalau kamu tidak keberatan,” jawabku dengan nada rendah.

Zara terdiam sejenak, seolah mempertimbangkan sesuatu. Lalu, akhirnya dia membuka pintu sedikit lebih lebar dan memberi isyarat untuk masuk. Aku masuk ke ruang tamunya yang biasa, yang terasa lebih sepi dari sebelumnya. Semua perabotan ada di tempat yang sama, tetapi ada kekosongan di sana—sebuah keheningan yang tidak bisa dijelaskan.

Aku duduk di sofa seperti biasanya, menunggu Zara duduk di hadapanku. Dia duduk, menatapku dengan pandangan yang lebih dalam, seolah mencari-cari jawaban di antara kata-kataku.

“Kamu kelihatan beda,” aku mulai, mencoba membuka percakapan. “Ada sesuatu yang berubah dari kamu, Zara.”

Zara menghela napas panjang, matanya terfokus pada cangkir kopi di meja kecil di depannya. “Aku juga merasa seperti itu,” katanya pelan. “Seperti ada banyak hal yang hilang, dan aku tidak bisa menemukan bagian-bagian itu.”

Sakitnya terasa lagi. Mendengar kata-kata itu keluar dari mulutnya membuat aku ingin menangis. Dia merasa kehilangan banyak hal, dan aku tahu salah satu yang hilang adalah aku. Dulu, aku adalah bagian dari hidupnya yang tak terpisahkan. Tapi sekarang? Aku hanya orang asing di matanya.

“Aku tahu ini berat,” lanjutku, berusaha menahan emosi yang hampir meledak. “Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku di sini, Zara. Aku tidak akan menyerah, tidak peduli berapa lama waktu yang dibutuhkan.”

Zara menatapku lebih dalam kali ini, seperti dia mencoba mencerna apa yang aku katakan. “Tapi aku tidak ingat apa-apa,” jawabnya dengan suara serak, “Aku tidak tahu bagaimana melanjutkan ini, bagaimana bisa… memulai dari sini.”

Aku merasakan dadaku sesak. Setiap kata yang dia ucapkan seperti menamparku. Aku tahu betapa sulitnya baginya untuk menghadapi ini. Kalau saja aku bisa menghapus kebingungannya, jika saja aku bisa membuat dia ingat segalanya, aku akan melakukannya dengan rela. Tapi kenyataan ini—kenyataan bahwa aku hanya bisa menunggu dan berjuang tanpa jaminan—sungguh menyakitkan.

“Aku tidak ingin memaksakanmu, Zara,” kataku dengan suara yang lebih lembut, berusaha untuk tetap tenang meskipun hatiku terasa hancur. “Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku di sini, selalu ada untukmu. Aku percaya kamu bisa menemukan jalanmu, dan aku ingin menjadi bagian dari itu.”

Zara terdiam, matanya menatapku seakan mencoba mencari ketulusan dalam kata-kataku. Setelah beberapa saat, dia mengangguk perlahan, meskipun aku tidak bisa membaca apa yang ada di pikirannya. Mungkin dia masih bingung, atau mungkin hatinya juga merasa terbelah antara mencoba melupakan dan berusaha mengingat.

“Aku ingin mencoba,” akhirnya dia berkata pelan, seperti suara angin yang hampir tak terdengar. “Aku ingin mencoba untuk mengingat, untuk mengenalmu lagi, Arvid.”

Aku hampir tidak bisa mempercayainya. Kata-katanya terdengar seperti doa yang terpanjat di malam yang sepi. “Terima kasih,” aku mengucapkan itu dengan tulus, meskipun perasaanku bercampur aduk. “Itu sudah lebih dari cukup.”

Kami duduk diam, terbungkus dalam keheningan yang penuh makna. Entah kenapa, meskipun kami tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, ada harapan yang tumbuh dalam hati kami. Aku tahu bahwa perjalanan kami baru saja dimulai, dan mungkin jalan ini penuh dengan lika-liku. Tapi aku juga tahu, tidak ada hal yang lebih indah selain mencoba lagi. Mencoba untuk kembali kepada kenangan yang hilang, meskipun dengan langkah yang kecil.

“Aku akan berusaha,” Zara melanjutkan, suara lebih yakin. “Aku ingin tahu siapa kamu. Aku ingin tahu kenapa kamu penting bagiku.”

Kalimat itu membuat hatiku berdebar lebih keras. Inilah saatnya. Aku harus menunjukkan siapa aku, siapa kami. Tapi aku juga tahu, itu tidak bisa terjadi dalam semalam. Butuh waktu. Yang terpenting, aku masih ada. Aku akan tetap berjuang, meskipun perjalanan ini bisa saja lebih panjang dan lebih sulit dari yang aku bayangkan.

“Dan aku akan tetap menunggumu,” kataku, menatap Zara dengan penuh keyakinan. “Aku janji, Zara. Jangan pernah lupakan aku lagi.”

 

Memori yang Kembali Bersemi

Minggu demi minggu berlalu, dan setiap hari menjadi perjuangan tersendiri. Kami masih berdua, duduk bersama di ruang yang sama, berbicara tentang hal-hal yang sudah lama terlupakan. Zara berusaha sebaik mungkin untuk mengingat, tetapi terkadang dia merasa seperti berjalan dalam kabut, tak tahu arah yang harus diambil. Meski begitu, ada perubahan kecil yang terasa—bukan hanya dalam dirinya, tetapi juga dalam diriku. Kami menemukan banyak hal baru satu sama lain, dan meskipun kenangan lama belum sepenuhnya kembali, ada kedekatan yang mulai tumbuh.

Hari itu, setelah beberapa waktu yang terasa begitu lambat, Zara mengundangku untuk pergi keluar. Kami berjalan menyusuri taman, di mana daun-daun mulai menguning, memberi tanda bahwa musim baru segera datang. Zara menggenggam tanganku, dan entah kenapa, rasanya seperti ini adalah kali pertama kami benar-benar merasa dekat.

“Arvid,” Zara memulai, suaranya rendah namun jelas. “Aku merasa seperti ada sesuatu yang mulai kembali. Kenangan-kenangan kecil, meskipun tak sepenuhnya jelas, tapi aku bisa merasakannya. Aku bisa merasakan… kita pernah berjalan di jalan ini bersama.”

Aku menatapnya dengan mata yang sedikit basah. Ini adalah momen yang sudah lama kutunggu. Aku tahu ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar. “Aku tahu,” jawabku, suaraku hampir pecah. “Aku bisa merasakannya juga.”

Zara berhenti sejenak, menatap langit yang sedikit mendung. “Kenapa kamu tidak pernah menyerah?” tanya Zara, suaranya penuh dengan kebingungannya. “Kenapa kamu tetap ada, padahal aku sudah berubah begitu banyak?”

Aku tersenyum, sedikit malu, namun tulus. “Karena aku tahu siapa kamu, Zara. Aku tahu siapa kamu sebelum semuanya terjadi. Aku tahu betapa kuatnya kamu, betapa kita sudah melalui banyak hal bersama. Aku tidak bisa melepaskanmu begitu saja.”

Kami melangkah lebih jauh, dan aku bisa merasakan ketegangan yang mulai melepuh antara kami. Tidak ada lagi rasa sakit yang menggerogoti hatiku, hanya ada harapan yang mulai menyatu dengan kenyataan. Zara mungkin belum sepenuhnya mengingat semuanya, tapi aku bisa merasakannya—dia mulai membuka hatinya. Dia mulai mengingat bagian-bagian kecil tentang kami, dan itu cukup untukku.

Di bawah pohon yang besar, tempat di mana kami sering duduk dulu, Zara berhenti dan menatapku. “Aku ingin tahu, Arvid,” katanya dengan lembut, “apakah kamu masih ingin kita bersama? Walaupun aku belum bisa sepenuhnya mengingat siapa aku sebelumnya.”

Aku mengambil tangannya, menggenggamnya erat. “Aku tidak peduli dengan siapa kamu dulu, Zara. Aku hanya peduli dengan siapa kamu sekarang. Dan aku ingin berjuang bersama-sama untuk menemukan kenangan kita lagi, meskipun itu mungkin tidak mudah. Aku ingin kita berjalan bersama, apa pun yang terjadi.”

Zara terdiam beberapa saat, matanya berbinar. Lalu dia tersenyum, sebuah senyum yang tidak hanya terlihat di bibirnya, tetapi juga di matanya—seperti cahaya yang perlahan merangkak kembali ke dalam hidupnya. “Aku ingin itu juga, Arvid,” jawabnya dengan tulus. “Aku ingin kita berjuang bersama.”

Aku merasa seperti langit yang mendung mulai cerah, dan di tengah kebingunganku, ada ketenangan yang luar biasa. Tidak ada jaminan bahwa semuanya akan berjalan mulus. Tidak ada kepastian bahwa Zara akan kembali sepenuhnya. Namun satu hal yang pasti: kami berdua memilih untuk berjalan bersama, mencari kenangan yang hilang, dan menciptakan yang baru.

Kami berdiri di sana, berdampingan, membiarkan angin berhembus lembut di sekitar kami. Aku menundukkan kepalaku.

“Kamu janji, ya? Jangan pernah lupakan aku lagi” ucapku dengan nada sedikit pelan namun jelas.

Zara menatapku dengan penuh keyakinan dan mengangguk kecil. “Aku janji, Arvid. Tidak peduli berapa lama waktu yang dibutuhkan, aku tidak akan pernah lupakan kamu.”

Dan di bawah pohon yang penuh kenangan, kami mulai melangkah maju—tidak lagi terikat oleh masa lalu yang hilang, tetapi dengan harapan yang ada di depan mata. Karena di dunia yang penuh dengan ketidakpastian ini, ada satu hal yang aku yakin: cinta yang kuat tidak akan pernah terlupakan.

 

Dan meskipun perjalanan mereka masih panjang, satu hal yang pasti—cinta sejati nggak akan pernah mudah dilupakan. Terkadang, kenangan yang hilang justru menjadi alasan untuk kita berjuang lebih keras, untuk menciptakan kembali yang sudah pernah ada. Karena pada akhirnya, cinta yang tulus nggak akan pernah benar-benar pergi. Dan siapa tahu, mungkin hari-hari yang akan datang justru membawa mereka lebih dekat dari sebelumnya.

Leave a Reply