Jangan Menilai Buku Dari Sampulnya: Cerita Tentang Memahami Lebih Dalam

Posted on

Kadang kita terlalu cepat menilai sesuatu hanya dari apa yang terlihat di luar, tanpa tahu cerita yang tersembunyi di baliknya. Sama halnya dengan orang, dengan kehidupan, atau bahkan dengan lukisan yang mungkin kita anggap biasa saja.

Tapi, siapa sangka, di balik setiap goresan, ada kisah yang jauh lebih dalam dari apa yang bisa kita pahami dalam sekejap. Cerpen ini bakal bikin kamu mikir dua kali sebelum ngambil kesimpulan tentang sesuatu. Jangan cuma lihat dari sampulnya, coba buka halaman-halamannya dulu.

 

Jangan Menilai Buku Dari Sampulnya

Kanvas Abu-Abu

Sore itu, angin berhembus pelan di antara gedung-gedung tua yang menampakkan usia mereka lewat dinding yang sedikit lapuk dan jendela yang terkadang berderit jika tersentuh angin. Kota ini tak pernah lepas dari hiruk-pikuknya. Di sini, seni bisa didapatkan hanya dengan menggelontorkan sejumlah uang yang tak sedikit, atau bisa juga ditemukan di tempat-tempat seperti ini, di sudut yang tersembunyi—di tempat yang tidak banyak orang perhatikan. Tempat yang tak terjamah oleh mata orang-orang yang terbiasa dengan kemewahan.

Aku memasuki ruang itu dengan langkah penuh keyakinan. Memasuki sebuah galeri seni yang konon disebut-sebut sebagai tempat berkumpulnya para seniman berbakat. Namun, ketika mataku mulai menelusuri ruangan, aku merasakan ada sesuatu yang aneh. Ada bau cat, benar, tapi ini bukan aroma yang biasanya aku temui di galeri seni besar. Ini bau yang lebih sederhana, lebih mentah. Aku tak bisa menyembunyikan rasa skeptis di wajahku.

Di sudut ruangan, seorang pemuda sedang duduk membungkuk, tampak begitu terfokus pada kanvas besar yang terletak di depannya. Pakaiannya kusam, dan wajahnya dipenuhi bercak-bercak cat. Ada sesuatu yang aneh tentang cara dia melukis, seolah setiap gerakan tangannya berbicara lebih banyak daripada kata-kata.

Aku tak bisa menahan rasa penasaran yang terus menyelimuti pikiranku. Dia bukan tipe seniman yang aku lihat di galeri-galeri terkenal. Mungkin, dia hanya seorang pelukis jalanan yang mencoba peruntungan.

“Lihat itu, kamu lihat?” suara wanita di sampingku menginterupsi pikiranku. Aku menoleh dan melihat seorang teman yang mengenakan gaun merah yang terlalu mencolok di sini. “Pakaian dia saja sudah terlihat seperti sisa barang dari pasar loak. Apa yang bisa dia buat?”

Aku menoleh lagi ke pemuda itu, menilai. Mungkin mereka benar. Dia terlihat seperti orang yang tidak akan pernah bisa menghasilkan karya yang berharga. Aku menekan perasaan itu, merasa sedikit risih dengan sikap mereka yang jelas-jelas menilai dari penampilan. Tapi, hei, aku juga tidak bisa menyangkal bahwa aku sedikit penasaran.

Aku pun memberanikan diri untuk mendekati pemuda itu. Langkah kakiku hampir tak terdengar, namun dia menyadari kehadiranku dan menoleh. Matanya sejenak bertemu mataku, lalu kembali ke kanvasnya. Tidak ada rasa gugup dalam dirinya, hanya ketenangan yang aneh.

“Permisi, apakah kamu menerima komisi untuk lukisan pribadi?” tanyaku dengan nada penuh rasa ingin tahu, walaupun sejujurnya aku tidak yakin dengan jawabannya.

Dia menatapku, agak terkejut, lalu mengangguk. “Tentu, apa yang ingin kamu saya lukis?”

Aku agak terkejut dengan jawabannya yang begitu lugas. “Aku ingin lukisan yang menggambarkan kekuatan,” ujarku, mencoba untuk tetap terdengar serius meski hatiku masih diliputi rasa skeptis. “Tapi bukan kekuatan yang biasa. Aku ingin sesuatu yang benar-benar berbeda.”

Dia tidak menjawab langsung. Hanya mengangguk, menatapku dengan tatapan penuh perhatian. Beberapa detik berlalu sebelum akhirnya dia kembali pada kanvasnya dan memulai pekerjaan yang entah apa. Aku berdiri beberapa langkah darinya, memperhatikan setiap gerakan tangannya yang perlahan mulai mencipta.

Di tempat seperti ini, aku sering menemukan orang-orang yang berbicara besar tentang karya seni, tentang bagaimana mereka memahami dunia lewat gambar dan warna. Mereka bicara tentang apa yang tampak, tentang bagaimana benda atau pemandangan bisa menjadi simbol bagi apa yang mereka rasakan. Tapi ada sesuatu tentang cara pemuda ini bekerja, seolah setiap sapuan kuasnya adalah pengungkapan dari sesuatu yang jauh lebih dalam. Sesuatu yang belum bisa aku pahami.

Waktu terasa berjalan cepat, dan aku hampir tidak menyadari bahwa sudah beberapa jam berlalu sejak aku pertama kali datang. Namun, seiring waktu, aku mulai merasakan kegelisahan. Ternyata, tidak hanya aku yang memperhatikan, banyak juga yang mulai berkerumun di sekeliling pemuda itu.

Vanessa, teman yang tadi ikut masuk bersamaku, menyeringai. “Apa kamu percaya ini? Lukisan ini sangat biasa, kan?” ujarnya pelan, seolah berbisik padaku. “Bahkan cat warnanya kelihatan seperti tidak sengaja.”

Aku hanya mengangkat bahu, mencoba untuk bersikap netral. Mungkin Vanessa benar. Mungkin memang ini bukan lukisan yang akan membuat dunia terkagum-kagum. Tetapi, entah kenapa, ada yang menarik dalam cara dia melukis. Ada sesuatu yang membuatku bertahan lebih lama daripada yang aku perkirakan.

Pada akhirnya, aku memutuskan untuk meninggalkan tempat itu, tetapi dengan rasa penasaran yang terus menggantung. Aku tahu aku ingin kembali. Mungkin bukan karena lukisan yang sudah dia buat, tapi karena ada sesuatu di dalam diri pemuda itu yang, tanpa aku sadari, mulai menarik hatiku. Sesuatu yang lebih dari sekadar cat dan kuas.

Namun, keesokan harinya, aku kembali lagi. Dan kali ini, bukan hanya untuk melihat hasil lukisan itu, tapi untuk menemukan jawaban atas rasa penasaran yang semakin membesar.

Lukisan yang aku pesan selesai dalam seminggu. Dan saat itu tiba, aku mendekati kanvas yang tertutup kain hitam. “Siap?” tanyanya sambil tersenyum tenang.

“Siap.” jawabku tanpa ragu.

Saat kain itu tersingkap, mataku langsung terbuka lebar, tak bisa menahan keterkejutan. Lukisan itu adalah gambaran seorang wanita berdiri di tengah kehancuran. Di sekelilingnya adalah reruntuhan yang seolah mencerminkan dunia yang porak-poranda. Namun, di tengah semua itu, ada tatapan yang begitu kuat. Wanita itu—aku—berdiri dengan tegak, memegang sebuah buku lusuh yang seakan menjadi sumber kekuatan di tengah segala kehancuran.

Aku terdiam. Tidak ada kata-kata yang keluar dari bibirku. Hanya ada perasaan yang sulit diungkapkan. Alvaro menunggu reaksiku dengan penuh ketenangan, tidak terburu-buru. Aku menatap lukisan itu, dan entah mengapa aku merasa terhubung dengannya. Lukisan ini tidak hanya menggambarkan kekuatan secara visual, tetapi juga kekuatan batin yang lebih dalam.

“Tentu saja ini tidak sesuai harapanmu?” tanyanya, suara Alvaro yang tenang itu membuatku tersentak. “Atau mungkin lebih dari yang kamu bayangkan?”

Aku hanya bisa mengangguk pelan. “Ini… luar biasa.”

 

Bisikan di Balik Lukisan

Hari-hari setelah lukisan itu selesai, aku kembali ke galeri itu, lebih sering dari yang aku kira. Ada rasa penasaran yang tak bisa kutepis, dan meskipun aku mencoba untuk meyakinkan diri bahwa itu hanya kebetulan, kenyataannya aku tidak bisa berhenti memikirkan Alvaro dan karyanya. Ada sesuatu dalam diri pemuda itu yang semakin menarikku, meskipun aku tahu aku seharusnya tidak terjebak terlalu dalam dalam perasaan ini.

Setiap kali aku datang, aku selalu menemukan Alvaro duduk di tempat yang sama, menatap kanvas dengan fokus yang dalam, seolah dunia di sekelilingnya tidak ada artinya. Aku mulai memerhatikannya lebih seksama. Tidak hanya lukisan-lukisannya yang membuatku terpikat, tapi juga cara dia bekerja. Tidak ada kepalsuan dalam gerakannya, tidak ada keinginan untuk menunjukkan kehebatannya. Semua yang ada hanyalah keterhubungan antara dirinya dan kanvas, seolah dia bukan hanya melukis, tapi menceritakan sebuah kisah yang tak bisa dilihat oleh orang lain.

Hari itu, aku memutuskan untuk duduk di sebelahnya, memperhatikan dengan seksama. Tanpa berkata apa-apa, aku hanya menyaksikan bagaimana tangannya bergerak dengan penuh kepercayaan diri, menggoreskan kuasnya pada kanvas yang sudah setengah penuh. Tidak ada kata-kata, hanya suara kuas yang menyentuh kanvas dan detak jantungku yang terasa semakin cepat.

“Kenapa kamu terus datang?” akhirnya, dia bertanya dengan suara serak yang membuatku terkejut. Aku menoleh dan melihat matanya yang masih terfokus pada lukisannya, meski aku tahu dia tahu aku di sana.

Aku tersenyum kecil. “Aku penasaran,” jawabku singkat, meskipun aku tahu itu bukan alasan utamaku. Ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang membuatku ingin tahu lebih banyak tentang dia dan dunianya yang penuh warna ini. “Apa yang membuatmu melukis?”

Alvaro berhenti sejenak, meletakkan kuasnya, lalu menoleh padaku. Ada kesan samar di wajahnya, seperti dia sedang mencerna pertanyaanku. Setelah beberapa detik, dia berkata pelan, “Kadang, kita tidak bisa menghindar dari apa yang sudah ada di dalam diri kita. Lukisan ini… adalah cara saya berbicara. Cara saya memberi tahu dunia apa yang saya rasakan. Setiap goresan, setiap warna, itu adalah bagian dari cerita yang belum selesai.”

Aku memandangi lukisan yang sedang dia kerjakan. Kali ini, gambarannya lebih gelap, dengan latar belakang yang penuh dengan bayangan, namun ada satu titik terang yang menyinari sekelilingnya. “Jadi, kamu melukis bukan untuk orang lain? Bukan untuk dipamerkan?”

Dia menggelengkan kepala. “Terkadang orang melukis untuk diri mereka sendiri. Untuk berbicara, ketika kata-kata tak bisa mengungkapkan apa-apa. Itu yang aku lakukan.”

Ada perasaan yang sulit untuk dijelaskan yang mulai muncul di dalam hatiku. Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi aku merasa seperti aku bisa memahami apa yang dia maksud. Ada kesendirian dalam cara dia melukis, sebuah cara untuk berbicara tanpa perlu berbicara.

Aku mulai merasakan bahwa Alvaro bukan hanya seorang pelukis jalanan dengan pakaian kusam. Dia adalah seseorang yang memiliki dunia dan kisahnya sendiri, yang ingin dia sampaikan kepada orang lain, meskipun tak banyak yang mau mendengarkan.

Beberapa hari kemudian, aku datang lagi. Dan kali ini, dia tidak lagi bekerja sendirian. Di sudut ruangan, sebuah kelompok kecil orang mulai berkumpul, menonton dan berbicara tentang karya-karya yang dia buat. Beberapa dari mereka tampak terkesan, namun ada juga yang tampak tidak mengerti, seperti yang aku rasakan sebelumnya.

Aku merasa sedikit janggal, seperti aku menjadi bagian dari keramaian yang tidak seharusnya aku ikuti. Ada beberapa orang yang mulai berkomentar tentang gaya lukisannya yang terlalu “berantakan”, atau tentang warna-warna yang terlalu “terlalu”. Namun, yang membuatku lebih tertarik adalah cara Alvaro tetap tenang meski komentar-komentar itu datang dari berbagai arah. Matanya tetap fokus pada karyanya, seolah suara-suara di sekelilingnya hanyalah angin yang berlalu begitu saja.

Aku memutuskan untuk mendekat. Di depan lukisannya yang hampir selesai, aku berhenti sejenak. “Kamu tak terganggu dengan semua ini?” tanyaku, menunjuk ke kerumunan yang mulai berisik.

Dia hanya tersenyum tipis, ekspresinya tak berubah. “Mereka hanya melihat apa yang mereka ingin lihat. Aku sudah lama belajar untuk tidak terlalu peduli dengan pendapat orang lain.”

Ada kedamaian dalam jawaban itu, tapi juga ada kesendirian yang mendalam. Mungkin itu adalah alasan dia melukis. Mungkin itu adalah cara dia mengatasi segala hal yang tak bisa dia ungkapkan dengan kata-kata.

Aku merasa terhubung lebih dalam dengannya, meskipun kami belum benar-benar berbicara banyak. Mungkin, hanya dengan hadir di sana, aku bisa sedikit mengerti apa yang ada dalam hatinya.

“Alvaro,” aku mulai, suara kutekan agar tidak terlalu terdengar gugup. “Aku ingin tahu lebih banyak. Tentang kamu, tentang lukisan ini, tentang semua yang ada di baliknya.”

Dia menoleh padaku, matanya yang cerah seolah melihat sesuatu yang lebih dalam. “Mungkin, kamu perlu melihatnya lebih dekat.”

Aku tidak tahu apa yang dia maksud, tetapi kata-katanya tetap menggangguku sepanjang malam. Apakah ada lebih dari apa yang tampak di permukaan? Apakah aku benar-benar memahami lukisan-lukisan itu, atau hanya sekadar melihat apa yang ada di luar sana?

Aku tak sabar untuk menemukan jawabannya.

 

Di Balik Goresan

Keesokan harinya, aku kembali ke galeri itu dengan perasaan yang campur aduk. Aku tak tahu mengapa aku merasa seperti ada yang berubah dalam diriku, setelah percakapan kemarin. Alvaro, dengan cara dia yang tenang dan penuh misteri, membuatku semakin penasaran. Aku tidak bisa berhenti memikirkan tentang lukisan-lukisan itu dan tentang dia.

Saat aku tiba, aku melihat dia sedang duduk di depan kanvas besar. Matanya tampak sangat fokus, seperti ada dunia yang hanya dia yang mengerti, sementara yang lainnya hanyalah bayangan. Aku ragu untuk mendekat. Rasanya ada jarak yang semakin lebar antara aku dan apa yang coba dia sampaikan. Tapi, kali ini aku merasa harus mencoba lebih jauh, untuk benar-benar memahami.

Tanpa berkata apa-apa, aku mendekat dan duduk di kursi dekatnya, masih tak berani mengganggu alur pikirannya. Alvaro tidak menoleh, tetapi aku bisa merasakan kehadiranku disadari, seperti selalu. Waktu seolah berhenti, hanya ada suara kuas yang berinteraksi dengan kanvas dan aku, yang duduk di sebelahnya, mencoba mengerti setiap detail dalam lukisannya.

Setelah beberapa lama, dia akhirnya berhenti. Dia menatap lukisannya sejenak, lalu perlahan menoleh ke arahku. “Aku tahu, kamu ingin bertanya lebih banyak.”

Aku tersenyum kecut. “Ya, aku hanya… penasaran dengan setiap goresan. Apa yang kamu coba sampaikan dengan semua ini?”

Dia menarik napas dalam-dalam, kemudian berkata dengan pelan, “Ini adalah kisah yang belum selesai. Seperti kita… masih banyak yang tidak kita pahami, bukan?”

Aku terdiam, merasa sedikit tersentuh dengan jawabannya. Sepertinya, aku semakin menyadari bahwa dia bukan hanya seorang pelukis. Alvaro adalah seseorang yang menyimpan banyak cerita dalam dirinya, yang hanya bisa dia ungkapkan melalui cara yang paling pribadi—lukisan.

“Apa maksudmu?” tanyaku akhirnya, meskipun aku tahu, aku sudah tahu jawabannya. Hanya saja, aku ingin mendengarnya dari mulutnya langsung.

“Melihat bukan berarti memahami,” katanya, seolah-olah melanjutkan pemikirannya sendiri. “Kita sering kali melihat sesuatu hanya dari apa yang tampak di permukaan. Tapi ada lapisan-lapisan yang lebih dalam, yang hanya bisa kita rasakan, bukan hanya dilihat. Seperti buku, kadang orang menilai dari sampulnya, tanpa tahu cerita di dalamnya.”

Aku mengangguk pelan, menyadari makna dalam kata-katanya. Seperti selama ini, aku juga sering menilai orang atau sesuatu hanya berdasarkan apa yang tampak. Aku teringat pada diri sendiri, yang selalu berpura-pura tahu segalanya, menghakimi tanpa benar-benar mengerti. Mungkin, ini saatnya aku berhenti menghakimi dan mulai melihat dengan mata hati, seperti yang Alvaro lakukan.

“Apakah kamu pernah merasa terjebak dalam cerita yang tak bisa kamu ungkapkan?” tanyaku, penasaran. “Dalam dirimu sendiri, yang tak bisa dimengerti orang lain?”

Alvaro menatapku lama, seolah-olah mengukur apakah aku benar-benar ingin mendengar jawabannya. “Pernah,” katanya akhirnya, suara yang lebih dalam dari biasanya. “Kadang, kita berjuang untuk memberi tahu dunia siapa kita sebenarnya. Tapi tidak semua orang ingin tahu, atau bahkan peduli untuk mendengarnya.”

Aku terdiam, merasa ada sebuah kesamaan antara kami, meskipun latar belakang kami sangat berbeda. Dia seorang pelukis jalanan dengan kisahnya yang terpendam, sementara aku… aku adalah seorang yang terbiasa berada di dunia yang penuh dengan penilaian dan ekspektasi. Namun, entah mengapa, aku merasa terhubung dengannya lebih dari yang aku kira.

“Kenapa kamu tidak pernah mau berbicara lebih banyak tentang dirimu?” tanyaku dengan suara lebih pelan, mencoba mencari tahu lebih banyak.

Dia menundukkan kepalanya, sejenak menggosok tengkuknya, kemudian berkata, “Karena kata-kata tidak selalu cukup. Aku lebih memilih berbicara dengan apa yang aku lukis. Itu lebih jujur. Dan lebih bebas.”

Aku merasa tersentuh oleh jawabannya. Seperti ada pintu yang terbuka dalam dirinya, mengundangku untuk masuk lebih dalam, untuk melihat dunia yang lebih besar dari apa yang aku bisa pahami.

Hari itu, aku kembali dengan perasaan yang berbeda. Tidak hanya sekadar mengagumi karyanya, aku mulai memahami maksud dari setiap goresan yang dia buat. Aku mulai merasakan bahwa ada sebuah perjalanan dalam setiap lukisan, perjalanan yang dia jalani, yang belum banyak orang tahu.

Keinginanku untuk lebih memahami Alvaro, bukan hanya sebagai pelukis, tetapi juga sebagai manusia yang penuh dengan cerita yang terpendam, semakin kuat. Aku tahu, ini bukan hanya tentang lukisan, ini tentang memahami sebuah jiwa, yang tersembunyi di balik semua karya dan ekspresi.

Ketika aku berjalan keluar dari galeri itu, aku merasa seolah dunia di luar sana menjadi sedikit lebih mudah dipahami. Seperti sebuah buku yang telah dibuka, halaman demi halaman, yang sebelumnya terlihat penuh dengan misteri, kini mulai mengungkapkan kisah yang lebih dalam.

Dan aku tahu, ini baru permulaan.

 

Halaman Terakhir

Waktu berlalu begitu cepat. Hari-hari di galeri kini terasa seperti sebuah rutinitas baru yang kutunggu-tunggu. Setiap kali aku datang, aku semakin mengenal Alvaro—tidak hanya dari lukisannya, tetapi juga dari cara dia berbicara, caranya menghadapi dunia yang kadang terasa terlalu keras untuk dipahami. Setiap goresan kuas yang dia buat seolah mengungkapkan lebih banyak dari sekadar warna dan bentuk; ada sebuah cerita di sana, kisah yang lebih dalam, yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang mau melihat lebih dari sekadar permukaan.

Malam itu, aku duduk di sudut galeri, menatap lukisan terbesar yang pernah dia buat. Lukisan itu tampak hampir selesai, tetapi ada sesuatu yang terasa belum lengkap. Aku tidak tahu apakah itu tentang lukisannya atau tentang diriku sendiri. Aku merasa seperti ada sebuah babak baru yang sedang dimulai, dan aku tak ingin kehilangan satu momen pun.

Alvaro mendekat, membawa secangkir teh panas. “Kamu datang lagi,” katanya dengan senyum tipis.

Aku mengangguk pelan. “Aku rasa aku sudah tahu jawabannya,” ujarku, menatapnya dengan penuh arti.

Dia hanya menatapku dengan tatapan yang dalam, seolah menunggu aku melanjutkan kalimatku.

“Kenapa kamu melukis?” tanyaku lagi, meskipun aku tahu jawabannya tidak akan berubah. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda dalam diriku—sebuah dorongan untuk benar-benar mengerti apa yang ada dalam hatinya. “Apa yang kamu coba sampaikan dengan semua ini?”

Alvaro tersenyum, tapi kali ini ada kesan lebih tenang, lebih damai dalam dirinya. “Aku melukis untuk mengingatkan diriku sendiri bahwa ada lebih banyak hal di dunia ini daripada apa yang terlihat di luar. Bahwa kita semua adalah buku yang lebih kompleks daripada apa yang ada di sampulnya.”

Aku terdiam, merenung. Kata-katanya seolah mengalir begitu dalam, membekas di setiap sudut pikiranku. Aku mengingat kembali semua penilaian yang pernah ku buat tentang banyak hal—tentang orang lain, tentang hidupku, tentang dunia yang kadang begitu cepat untuk dihakimi. Dan kini, aku mulai menyadari bahwa, seperti buku, kita semua punya cerita yang lebih besar, lebih kompleks, yang tak bisa dipahami hanya dari apa yang tampak di permukaan.

“Aku rasa… aku mengerti sekarang,” kataku pelan, merasa ada sebuah titik terang yang muncul di dalam hatiku. “Jadi, kita semua hanya perlu melihat lebih dalam, bukan?”

“Benar,” jawabnya, matanya bersinar, seolah menemukan sebuah kedamaian yang sama denganku. “Jangan pernah menilai sebuah cerita hanya dari sampulnya, karena di baliknya ada banyak kisah yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Bahkan kita pun tidak selalu tahu cerita kita sendiri.”

Aku tersenyum, merasa seperti ada sebuah bab baru dalam hidupku yang sedang terbuka. Hari-hari yang penuh dengan penilaian dan keraguan mulai terasa seperti masa lalu. Alvaro, dengan lukisan-lukisannya, telah mengajarkanku untuk melihat lebih dalam, untuk merasakan, bukan hanya sekadar menilai.

Sore itu, aku duduk bersama Alvaro di galeri, keduanya terdiam menikmati keheningan yang penuh makna. Tidak ada kata-kata yang lebih penting dari apa yang sudah disampaikan, dari segala yang sudah terungkap melalui lukisan dan percakapan yang sederhana.

Aku mulai menyadari bahwa dalam hidup, kita sering terjebak oleh pandangan pertama—baik itu tentang orang, situasi, atau bahkan tentang diri kita sendiri. Kita terlalu cepat menghakimi, terlalu cepat melihat sesuatu hanya dari apa yang tampak. Tetapi, seperti halnya sebuah buku yang tidak bisa dinilai dari sampulnya, begitu juga dengan hidup. Setiap orang, setiap momen, memiliki lapisan-lapisan yang tak terlihat, kisah-kisah yang tersembunyi menunggu untuk ditemukan.

Malam itu, di galeri yang sudah semakin sepi, aku tahu satu hal—aku tidak hanya datang untuk melihat lukisan-lukisan itu. Aku datang untuk melihat lebih dalam ke dalam diri Alvaro, untuk memahami bahwa setiap orang memiliki cerita yang layak untuk didengar, untuk dihargai. Dan aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak lagi menghakimi hanya berdasarkan apa yang tampak.

Karena akhirnya, aku tahu: di balik setiap buku, di balik setiap wajah, ada cerita yang lebih besar daripada yang bisa kita bayangkan.

 

Jadi, mulai sekarang, sebelum kamu menilai sesuatu—atau seseorang—dari apa yang tampak di permukaan, coba deh lihat lebih dalam. Semua punya cerita yang nggak selalu bisa dilihat begitu saja.

Mungkin, kamu akan menemukan sesuatu yang lebih berharga dan lebih menarik daripada yang kamu kira. Jangan buru-buru menilai, karena siapa tahu, cerita yang sebenarnya baru dimulai setelah kamu membuka lembaran pertama.

Leave a Reply