Daftar Isi
Pernah gak sih ngerasa kalau dunia di luar sana lebih menarik daripada rumah sendiri? Punya impian gede, pengen sukses, pengen buktiin kalau bisa berdiri sendiri tanpa bantuan siapa pun?
Nah, cerita ini bakal bikin kamu sadar bahwa kadang yang kita cari di luar sana, justru udah ada di tempat yang kita tinggalkan. Sebuah kisah perjuangan, kelelahan, kebanggaan yang semu, sampai akhirnya… penyesalan yang datang terlambat. Siap buat terhanyut?
Jangan Lupa Pulang
Langkah Pertama Meninggalkan Rumah
Senja jatuh perlahan di atas desa kecil yang dikelilingi sawah hijau sejauh mata memandang. Angin sore berhembus, membawa aroma tanah yang lembap dan suara jangkrik yang mulai bernyanyi. Di beranda rumah kayu sederhana itu, seorang pemuda duduk dengan pandangan kosong ke jalan setapak yang membentang ke arah kota.
“Aku udah mutusin buat pergi,” suaranya terdengar mantap, tapi ada sedikit keraguan di sana.
Seorang wanita paruh baya berdiri di dekatnya, kedua tangannya sibuk melipat kain yang baru diangkat dari jemuran. Tatapannya tenang, namun ada bayangan khawatir yang sulit disembunyikan.
“Kamu yakin, Nak?” tanyanya pelan. “Di luar sana gak seindah yang kamu kira.”
Pemuda itu, yang tak lain adalah anak laki-lakinya, menoleh dengan sedikit gusar. “Aku udah besar, Bu. Aku gak bisa selamanya di sini, cuma berkutat di sawah, hidup gitu-gitu aja. Aku mau cari sesuatu yang lebih.”
Ibunya menghela napas, meletakkan kain lipatan terakhir di atas meja kayu tua. “Kamu pikir, kami di sini gak cukup? Kamu pikir, hidup sederhana itu gak ada artinya?”
“Bukan gitu, Bu.” Suaranya melembut. “Aku cuma… pengen tahu, di luar sana ada apa. Aku pengen coba hal baru.”
Dari dalam rumah, seorang pria tua keluar, membawa sebatang rokok yang belum dinyalakan. Wajahnya keras dan penuh kerut, matanya tajam menatap anak bungsunya.
“Jadi, kamu beneran mau ninggalin rumah ini?” suaranya berat, dalam, nyaris seperti gertakan.
Pemuda itu mengangguk, meskipun jantungnya berdebar.
Ayahnya menatapnya lama sebelum akhirnya menyalakan rokoknya. Asap tipis melayang ke udara. “Kalau udah pergi, jangan balik kalau cuma mau nyesel.”
“Pak—”
“Kamu pikir kota itu bakal nerima kamu dengan tangan terbuka?” lanjut ayahnya, suaranya tetap tenang, tapi dingin. “Di sini kamu punya rumah, sawah, keluarga. Di sana? Kamu cuma jadi orang asing.”
Hening. Angin semakin kencang, menggoyangkan daun-daun pisang di belakang rumah. Pemuda itu mengepalkan tangannya, mencoba menahan gejolak yang berkecamuk di dadanya.
“Aku harus pergi,” katanya lagi, lebih kepada dirinya sendiri.
Ibunya tak berkata apa-apa lagi. Ayahnya pun hanya mengembuskan asap rokok, lalu berbalik masuk ke rumah.
Malam itu, pemuda itu tak bisa tidur. Matanya menatap langit-langit rumah yang sudah menguning, mendengar suara katak dari kejauhan. Rumah ini sudah jadi tempatnya sejak kecil, tapi entah kenapa, rasanya seperti kurungan. Ia ingin melihat dunia yang lebih luas, membuktikan pada ayahnya bahwa ia bisa hidup dengan caranya sendiri.
Pagi-pagi sekali, saat embun masih menggantung di ujung-ujung daun, ia menyampirkan ranselnya di bahu. Ibunya sudah bangun, tapi hanya berdiri di pintu dapur, tak berkata apa-apa. Ayahnya bahkan tak tampak di mana pun.
“Aku pergi, Bu.”
Ibunya hanya mengangguk, matanya berkabut, tapi ia tetap tersenyum.
“Nak,” panggilnya saat pemuda itu sudah melangkah menuju jalan setapak.
Pemuda itu berhenti dan menoleh.
“Jangan lupa pulang,” kata ibunya lirih.
Ia menatap ibunya sejenak, lalu tersenyum samar. Tapi dalam hatinya, ia yakin ia tak akan kembali—setidaknya, bukan sebagai pemuda yang sama seperti hari ini.
Dengan langkah tegap, ia meninggalkan rumah, meninggalkan desa kecil yang selama ini membesarkannya, mengejar impiannya di tempat yang belum pernah ia tahu.
Dan seperti itu, perjalanan panjangnya dimulai.
Dunia yang Tidak Seindah Bayangan
Kota menyambutnya dengan kebisingan dan hiruk-pikuk yang jauh berbeda dari desa kecilnya. Udara di sini tidak memiliki aroma tanah basah atau semilir angin sawah yang menenangkan. Yang ada hanya asap kendaraan, derap kaki manusia yang berjalan cepat, dan suara klakson yang tak pernah berhenti.
Pemuda itu berdiri di pinggir jalan, ranselnya menggantung di bahu, menatap gedung-gedung tinggi yang menjulang seolah ingin menelan langit. Dadanya berdegup kencang—antara antusiasme dan sedikit kecemasan. Inilah dunia yang selama ini ia impikan.
Namun, tak butuh waktu lama baginya untuk menyadari bahwa impian dan kenyataan adalah dua hal yang sangat berbeda.
“Mau kerja apa?” suara kasar seorang pria separuh baya terdengar dari balik meja kasir toko kelontong.
“Apa aja, Pak. Saya kuat angkat barang.”
Pria itu menatapnya sebentar, mengamati pakaiannya yang lusuh dan rambutnya yang mulai berantakan setelah berhari-hari di jalan.
“Kamu kuat angkat beras lima puluh kilo?”
Pemuda itu menelan ludah. Lima puluh kilo bukan angka kecil. Tapi ia tak punya pilihan.
“Kuat, Pak,” jawabnya yakin.
Pria itu menghela napas, lalu menunjuk ke arah belakang toko. “Mulai sekarang, bantu angkut barang dari truk.”
Ia mengangguk cepat, merasa lega karena akhirnya mendapat pekerjaan. Tapi ia belum tahu—hari itu adalah awal dari kelelahan yang belum pernah ia bayangkan sebelumnya.
Beban yang ia angkat bukan hanya beras lima puluh kilo, tapi juga karung gula, minyak, dan aneka barang lainnya. Keringat mengalir dari pelipisnya, bajunya basah kuyup oleh tenaga yang terkuras. Tapi tak ada waktu untuk istirahat. Pria pemilik toko itu terus mengawasinya, memastikan ia bekerja secepat mungkin.
Malam harinya, setelah toko tutup, pemuda itu duduk di emperan, menggenggam selembar uang hasil keringatnya. Tidak banyak. Bahkan jauh dari cukup untuk hidup di kota yang seganas ini.
Ia menghela napas, menatap ke langit yang tak sehitam desa asalnya. Cahaya lampu jalan dan papan reklame menyembunyikan bintang-bintang. Ia merasa sendirian di antara keramaian.
Hari-hari berikutnya tidak lebih mudah.
Ia berpindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain—menjadi tukang cuci piring di rumah makan, pelayan warung kopi, hingga berjualan gorengan di pinggir jalan.
Ia mulai terbiasa dengan tatapan orang-orang yang menganggapnya remeh. Terbiasa dengan suara perutnya yang kosong karena uang yang ia dapat lebih sering digunakan untuk membayar tempat tinggal kecil yang hanya berupa kamar sempit dengan kasur tipis dan kipas angin rusak.
Suatu malam, hujan turun deras. Ia duduk di sudut sebuah halte, jaketnya basah, sepatunya dipenuhi lumpur. Perutnya melilit, tetapi warung-warung sudah tutup.
Seorang pria tua yang duduk di dekatnya menyalakan rokok dan melirik ke arahnya.
“Kamu orang baru di kota ini?” tanyanya sambil menghembuskan asap.
Pemuda itu hanya mengangguk.
“Udah mulai nyesel?”
Ia diam.
Pria itu tertawa kecil. “Kota ini gak ramah buat orang yang gak siap. Tapi kalau kamu mau bertahan, kamu harus belajar caranya.”
Pemuda itu menoleh. “Caranya?”
“Jangan cuma kerja keras. Kerja cerdas. Dunia ini bukan cuma soal seberapa kuat badanmu, tapi seberapa pintar kamu baca situasi.”
Kata-kata itu terus terngiang di kepalanya bahkan setelah pria tua itu pergi.
Ia mulai berpikir. Jika terus begini, ia akan selamanya berada di bawah—sekadar bertahan, tanpa benar-benar hidup. Ia harus mencari cara lain.
Tapi bagaimana?
Di tengah dinginnya malam, dengan perut kosong dan tubuh lelah, ia menyadari satu hal.
Impian yang dulu ia kejar dengan penuh semangat kini terasa semakin jauh.
Kesadaran yang Terlambat
Malam itu, di kamar sempit dengan dinding kusam dan bau lembap yang tak pernah hilang, pemuda itu duduk memeluk lututnya. Angin masuk melalui celah jendela yang retak, membawa suara kota yang tak pernah tidur. Lelah menjalar di setiap sendi tubuhnya, tapi pikirannya terus berputar.
Sudah berapa lama ia di sini? Tiga tahun? Lima tahun? Ia bahkan tak lagi menghitung. Kota yang dulu ia bayangkan sebagai gerbang menuju kehidupan yang lebih baik kini terasa seperti labirin tak berujung.
Ia memang bertahan. Dari tukang angkut, pelayan warung, hingga akhirnya bisa bekerja di sebuah bengkel kecil dengan upah lebih layak. Tapi tetap saja, setiap hari hanya tentang bekerja, makan seadanya, lalu tidur untuk mengulang siklus yang sama esok hari.
Di mana impiannya?
Suatu siang, saat ia sedang sibuk memperbaiki motor di bengkel, ponselnya yang sudah usang bergetar. Sebuah nomor tak dikenal muncul di layar. Awalnya ia ragu, tapi akhirnya ia mengangkatnya.
Suara dari seberang membuatnya terdiam.
“Kamu… ini anaknya Pak Rahman, kan?”
Jantungnya berdegup. Nama yang sudah lama tak ia dengar itu terasa begitu asing, sekaligus akrab.
“Iya,” jawabnya lirih.
Hening sejenak, lalu suara di telepon melanjutkan, “Ayahmu sakit. Sudah lama. Ib—” suara itu tertahan, lalu diikuti helaan napas berat. “Ibumu udah gak ada, Nak.”
Dunia tiba-tiba berhenti berputar.
Ia mencengkeram ponselnya erat, seolah-olah benda itu bisa membawanya kembali ke masa lalu—ke saat ia masih bisa melihat ibunya tersenyum di beranda rumah, memanggilnya untuk makan, mengingatkannya agar tidak lupa pulang.
Tapi semuanya sudah terlambat.
Ia tidak tahu apa yang diucapkan orang di seberang telepon setelah itu. Kepalanya penuh dengan bayangan wajah ibunya. Kenangan-kenangan kecil yang dulu terasa biasa saja kini menghantamnya tanpa ampun—tangan ibunya yang lembut saat membetulkan kerah bajunya, suara pelan saat berdoa untuknya, tatapan penuh harap saat ia berpamitan pergi.
Ia menutup telepon tanpa berkata apa-apa. Lalu, tanpa sadar, air mata yang selama ini ia tahan mengalir begitu saja.
Untuk pertama kalinya sejak meninggalkan rumah, ia merasa benar-benar hancur.
Malam itu, ia duduk di emperan bengkel, menatap langit kota yang kosong. Ia mencoba mengingat kapan terakhir kali ia berbicara dengan ibunya, tapi yang ia ingat justru saat-saat terakhir di rumah—saat ibunya berdiri di pintu, menatapnya dengan mata berkabut, lalu berkata:
“Jangan lupa pulang.”
Ia menertawakan dirinya sendiri. Pahit.
Apa yang sudah ia lakukan selama ini?
Apa yang sebenarnya ia cari?
Ia berjanji akan pulang setelah sukses, setelah membuktikan sesuatu. Tapi apa yang sebenarnya perlu ia buktikan? Bahwa ia bisa bertahan di kota? Bahwa ia bisa hidup sendiri?
Tapi untuk apa semua itu, kalau pada akhirnya orang-orang yang ia tinggalkan tak lagi ada untuk menyambutnya pulang?
Rasanya seperti menelan batu besar—penuh penyesalan, tapi tak bisa diubah.
Dua hari kemudian, ia memutuskan untuk pulang.
Bukan sebagai pemuda yang penuh semangat seperti saat ia berangkat, bukan pula sebagai seseorang yang telah meraih kesuksesan. Ia pulang sebagai seseorang yang lelah, yang kalah oleh waktu, yang akhirnya sadar bahwa rumah bukan sekadar tempat, tapi orang-orang yang mengisinya.
Ia hanya berharap, masih ada yang menunggunya di sana.
Dalam Perjalanan Pulang
Kereta melaju pelan, membelah hamparan sawah yang dulu terasa membosankan, tapi kini justru memenuhi dadanya dengan kerinduan. Angin dari jendela membawa aroma tanah basah yang hampir ia lupakan. Pemandangan desa, yang dulu ia tinggalkan dengan penuh keyakinan, kini seolah menyambutnya dengan keheningan yang memilukan.
Tak ada yang menjemputnya di stasiun kecil itu. Tak ada lagi ibunya yang menunggu di depan rumah dengan senyum hangatnya. Tak ada lagi ayah yang menatapnya dengan mata tajam penuh wibawa. Hanya dirinya sendiri, dengan langkah yang terasa lebih berat dibanding saat pertama kali pergi.
Jalan setapak yang dulu ia lewati setiap hari masih sama, hanya saja kini lebih sepi. Pepohonan di pinggir jalan masih berdiri kokoh, tapi tak ada lagi suara anak-anak berlari sambil tertawa seperti dulu. Desa ini terasa lebih tua, lebih sunyi. Atau mungkin, justru dirinya yang telah berubah?
Saat ia tiba di depan rumahnya, hatinya mencelos.
Rumah itu masih berdiri, tapi terlihat lebih lusuh dan sepi. Cat kayu yang mulai pudar, halaman yang tak lagi terawat. Pintu berderit pelan saat ia mendorongnya. Ruangan dalam masih sama, hanya lebih berdebu dan terasa dingin.
Ia berjalan pelan ke ruang tengah, matanya menyapu setiap sudut, mencari sesuatu—atau seseorang. Tapi yang ia temukan hanyalah sehelai kain yang terlipat rapi di meja, dengan aroma samar yang mengingatkannya pada ibunya.
Ia duduk di kursi kayu yang dulu sering diduduki ayahnya. Di sana, ia melihat selembar foto tua yang sudah mulai menguning. Foto dirinya, saat masih kecil, berdiri di antara ayah dan ibunya.
Tangannya gemetar saat mengangkat foto itu.
“Telat ya, Bu?” suaranya lirih, hampir berbisik.
Tak ada jawaban, tak ada tangan lembut yang menyentuh bahunya. Hanya sunyi yang menyelimuti rumah itu, membiarkannya tenggelam dalam lautan penyesalan.
Seandainya saja ia pulang lebih cepat.
Seandainya saja ia tak terlalu sibuk mengejar sesuatu yang bahkan kini terasa tak berarti.
Tapi waktu tak bisa diputar ulang. Yang tersisa hanyalah rumah kosong, kenangan yang menyesakkan, dan sebuah pelajaran berharga yang harus ia terima.
Bahwa dalam perjalanan hidup, ada hal-hal yang bisa dicari, tapi ada juga yang tak akan pernah bisa kembali.
Dan rumah, bukan sekadar tempat untuk kembali—tapi tempat yang seharusnya tidak pernah ia tinggalkan.
Hidup itu tentang perjalanan, tapi jangan sampai lupa tujuan akhirnya. Kadang kita terlalu sibuk ngejar sesuatu yang kita anggap penting, padahal yang paling berharga ada di belakang, menunggu kita pulang. Jangan sampai sadar setelah semuanya terlambat. Karena pada akhirnya, gak ada tempat yang lebih hangat dari rumah. Jadi, kalau lagi merasa tersesat… jangan lupa pulang.