Daftar Isi
Kamu pasti sering denger kan, kalau skincare itu bisa bikin muka glowing, mulus, kinclong, dan segala macem janji manis lainnya? Tapi siapa sangka, ada juga lho efek sampingnya yang gak terduga.
Ini bukan cuma sekadar ceritanya orang yang alergi atau iritasi, tapi bener-bener cerita seram dan kocak tentang bahaya skincare yang bisa bikin kamu mikir dua kali sebelum nge-klik beli produk skincare lagi. Nah, kalau kamu penasaran gimana ceritanya, siap-siap deh ketawa.
Jangan Asal Pakai Skincare
KRIM AJAIB, NASIB TRAGIS
Di dalam kamar berukuran 3×3 meter yang penuh dengan botol, jar, dan tube beraneka warna, Palupi Syakuntala Dewi—alias Kuntul—sedang menggulir layar ponselnya dengan mata berbinar-binar. Tangannya yang sudah terlatih langsung berhenti di sebuah iklan mencolok bertuliskan:
“PEMUDAKAN INSTAN! WAJAH KENCANG DALAM 5 DETIK!”
Di bawahnya, ada foto seorang nenek yang dalam waktu lima detik berubah jadi gadis remaja. Hasilnya begitu mencengangkan, seakan hidupnya di-rewind ke masa puber dalam satu usapan krim ajaib.
“INI DIA!” seru Kuntul kegirangan.
Dia langsung klik beli sekarang tanpa pikir panjang. Harga krimnya? Cuma Rp29.999! Murah banget, kan? Ditambah lagi, ada bonus masker lumpur dari Gunung Kidul yang katanya bisa bikin wajah glowing seperti pantat bayi.
—Tiga hari kemudian—
Paket itu tiba di rumah. Bungkusnya berwarna ungu dengan tulisan emas, berusaha terlihat mewah padahal kertasnya tipis dan sudah agak lecek. Di bagian belakang ada keterangan kecil yang nyaris tak terlihat:
“Gunakan hati-hati. Efek samping tidak bisa dikembalikan.”
Tapi Kuntul mana peduli. Dia sudah kebal dengan segala bentuk peringatan.
Dengan semangat berkobar, ia berdiri di depan cermin, membuka tutup jar, dan mencium aromanya. Bau krimnya aneh, perpaduan antara durian busuk dan balsem nenek-nenek. Tapi demi kecantikan, apalah arti aroma tak sedap ini?
“Bismillah… cantik dalam lima detik!” gumamnya sambil mengoleskan krim itu ke wajahnya.
Satu detik…
Dua detik…
Tiga detik…
Empat detik…
LIMA DETIK!
“ARGHHHHHHH!!!!”
Kamar Kuntul mendadak berubah jadi studio film horor. Ia menjerit begitu melihat bayangannya di cermin. Kulitnya memang terlihat lebih halus, lebih kencang, lebih cerah, TAPI… TERLALU KENCANG!
Kelopak matanya tertarik ke atas, membuatnya terlihat seperti orang yang selalu terkejut. Alisnya naik sampai hampir menyentuh garis rambut. Bibirnya melengkung sendiri membentuk senyuman lebar seperti habis menang undian satu miliar. Bahkan, pipinya tertarik ke belakang sampai telinganya hampir sejajar dengan pelipis!
“YA ALLAH! INI APA?!”
Kuntul panik. Dia mencoba menggerakkan wajahnya, tapi tidak ada yang berubah. Senyumnya tetap seperti itu. Matanya tetap seperti itu. Wajahnya seperti kena efek Face Swap permanen yang tak bisa dikembalikan.
Ketakutan, Kuntul meraih ponselnya dan menghubungi sahabatnya, Rara.
“RAAA!!!” teriaknya begitu telepon tersambung.
“Apaan sih, Tum?”
“Kamu harus ke rumah sekarang juga!”
“Kenapa?”
“INI DARURAT!!!”
Rara, yang sedang makan bakso di warung depan, langsung bergegas ke rumah Kuntul. Lima menit kemudian, dia sampai di kamar sahabatnya itu dan langsung mematung.
“…Kuntul?”
“IYA, AKU!!!”
“YA ALLAH, KENAPA MUKA KAMU KAYAK ORANG KESURUPAN!!!”
Kuntul hanya bisa menggeleng dengan wajah yang tetap tersenyum. “Aku nggak tahu! Aku cuma pakai krim baru, terus… TERJADI BEGINI!!”
Rara makin panik. “Kamu ngaca, nggak?! Itu bibir ketarik sampe mau nyentuh telinga! Mukamu kayak ketawa, tapi serem!”
“YA EMANG MAKANYA AKU PANIK!!!”
Rara langsung mengintip kemasan produk itu. Matanya menyipit membaca tulisan kecil di belakang jar.
“Gunakan hati-hati. Efek samping tidak bisa dikembalikan… YA TUHAN, INI BAHAYA BANGET, KUNTUL!!!”
“Aku harus gimana?! Bilang aja, aku harus cuci pakai apa biar ini hilang? Air wudhu? Air zam-zam? Air cucian beras?”
Rara berpikir keras. “Kamu coba cuci pakai air dulu!”
Dengan kecepatan kilat, Kuntul lari ke kamar mandi dan menyiram wajahnya dengan air. Lalu, dia menggosok-gosok pakai sabun muka. Kemudian, dengan sikat gigi.
Tapi wajahnya tetap sama.
“TIDAAAAKKKKK!!!”
Kuntul mulai menangis, tapi sialnya, karena wajahnya sudah beku dalam mode senyum abadi, air matanya malah turun dengan ekspresi yang seperti menangis bahagia.
“Aku nggak bisa nangis beneran!!!” jeritnya.
Rara makin stres. “Kita ke dokter aja! Siapa tahu bisa diobatin!”
“Tapi gimana aku keluar rumah dengan muka kayak gini?! Orang-orang bakal ngira aku orang gila!”
Rara berpikir sebentar. “Aku punya ide.”
Lima menit kemudian, Kuntul keluar rumah dengan helm full-face yang menutupi wajahnya. Dengan langkah berat, ia dan Rara menuju klinik kecantikan, berharap ada keajaiban yang bisa menyelamatkan nasibnya.
Namun, siapa sangka, di klinik kecantikan, masalah baru justru menunggu mereka…
WAJAH KENCANG, HIDUP MELAYANG
Dengan helm full-face yang hampir menutupi seluruh kepanikan di wajahnya, Kuntul berjalan cepat menuju klinik kecantikan bersama Rara. Langkahnya tak stabil, sebagian karena ketakutan, sebagian lagi karena dia masih syok melihat bayangannya di cermin.
“RA, CEPETAN! GUE GAK KUAT HIDUP KAYAK GINI!” jerit Kuntul, suaranya teredam oleh helm.
“Udah, sabar! Kita udah di depan klinik nih.”
Begitu masuk, Kuntul langsung merasakan tatapan penuh curiga dari para pasien lain. Wajar sih, siapa juga yang masuk klinik kecantikan pakai helm?
Seorang resepsionis dengan wajah mulus bak porselen menyambut mereka. “Selamat siang, ada yang bisa dibantu?”
Rara maju selangkah. “Mbak, temen saya kena efek samping krim aneh, mukanya jadi ketarik nggak bisa balik! Bisa nggak dokter perbaiki?”
Resepsionis itu mengernyit. “Bisa lihat produknya?”
Kuntul buru-buru mengeluarkan jar ungu itu dari kantongnya. Si Mbak Resepsionis mengambilnya dan membaca dengan wajah serius, lalu mendadak menegang. “Mbak, ini produk ilegal.”
Kuntul mendengus. “Ya tau, makanya saya kesini!”
“Produk ini pernah kami teliti, dan katanya—”
BRAAAK!!!
Belum selesai resepsionis itu bicara, pintu klinik mendadak terbanting keras. Seorang perempuan masuk dengan wajah yang… OH TUHAN!
Mukanya sama persis seperti Kuntul!
Wajah super kencang dengan ekspresi senyum lebar yang tak bisa diubah. Matanya membelalak tanpa bisa berkedip. Dan yang lebih seram, dia masuk dengan mengenakan kerudung tapi tanpa ekspresi wajah yang berubah!
“ASTAGAAAA! ITU APA?!” Kuntul reflek mundur, kaget setengah mati.
Perempuan itu mendekat dengan langkah gemetar. “S-saya juga… kena krim itu…” katanya dengan suara parau. “Saya udah coba ke lima dokter, tapi gak ada yang bisa balikin muka saya! Saya udah seminggu hidup kayak gini!!!”
Kuntul langsung lemas. “YA ALLAH, SEMINGGU?! GUE GAK BISA HIDUP KAYAK GINI SEMINGGUAN!!!”
Rara menepuk bahu sahabatnya. “Tenang, kita masih bisa cari solusi. Kita harus ketemu dokter sekarang juga!”
Dokter kecantikan bernama Dokter Gisel akhirnya menerima mereka di ruang konsultasi. Begitu melihat wajah Kuntul, sang dokter langsung refleks mundur seperti melihat setan.
“MASYAALLAH! Krim ini lagi?! Kenapa masih ada yang jual?!”
“Dok, plis, tolong perbaiki muka saya!” ratap Kuntul sambil nekat membuka helmnya.
Dokter Gisel mendekat, mengamati wajah Kuntul dengan senter. “Aduh, ini parah banget. Krim ini mengandung zat yang bisa menghentikan elastisitas kulit secara permanen. Makanya wajah kalian ketarik gini, dan nggak bisa balik.”
“GAK BISA BALIK?!”
“Secara alami… gak bisa.”
Kuntul hampir pingsan.
“Tapi ada satu cara,” lanjut dokter itu, memberikan harapan.
“APA ITU, DOK?!”
“Kalian harus mendapatkan serum penetral yang cuma dibuat oleh satu orang di dunia ini.”
Kuntul menatapnya dengan penuh harapan. “Siapa, Dok?!”
Dokter Gisel menarik napas panjang. “Namanya… Mbah Surip.”
Suasana langsung hening.
“…Mbah siapa?” tanya Rara.
“Mbah Surip. Beliau seorang dukun kecantikan yang tinggal di desa terpencil. Hanya dia yang bisa membuat serum untuk membalikkan efek krim ini.”
Kuntul dan Rara saling pandang.
“Kita ke sana sekarang,” kata Kuntul dengan penuh tekad.
“Tapi… desa Mbah Surip itu jauh. Kalian harus masuk ke dalam hutan, melewati jembatan tua, dan katanya di sana ada… makhluk-makhluk misterius.”
Kuntul menelan ludah. “Gue gak peduli. Gue lebih takut hidup dengan muka kayak gini daripada ketemu kuntilanak!”
Dengan penuh semangat, Kuntul dan Rara meninggalkan klinik kecantikan, bersiap memulai perjalanan menuju tempat Mbah Surip. Mereka tidak tahu bahwa perjalanan itu… jauh lebih menyeramkan dari yang mereka bayangkan.
TEROR SENYUM ABADI!
Malam mulai turun ketika Kuntul dan Rara tiba di desa tempat Mbah Surip tinggal. Hanya ada deretan rumah-rumah tua, cahaya lampu minyak yang berkelap-kelip, serta suara jangkrik yang membuat suasana semakin mencekam.
“Aku mulai ngerasa ini bukan ide yang bagus,” bisik Rara, menoleh ke kanan-kiri.
“Tapi ini satu-satunya harapan kita! Aku gak mau hidup selamanya dengan muka begini, Ra!”
Kuntul melangkah mantap menuju rumah paling ujung yang dipenuhi tanaman merambat dan papan kayu bertuliskan:
“MB. SURIP – SPESIALIS PERAWATAN ALAM GAIB & NYATA”
Rara bergidik. “Kenapa ada kata ‘alam gaib’-nya?”
Kuntul tidak menggubris dan langsung mengetuk pintu. “Permisi! Mbah Surip ada?”
Pintu berderit terbuka.
Seorang lelaki tua bertelanjang dada dengan rambut gondrong yang dikepang dua muncul, matanya kecil tapi sorotnya tajam.
“Kalian yang kena krim laknat itu, ya?” tanyanya tanpa basa-basi.
Kuntul mengangguk cepat.
Mbah Surip menghela napas. “Masuk.”
Mereka berdua masuk ke dalam rumah yang penuh dengan toples-toples berisi cairan warna-warni, rempah-rempah kering, dan beberapa benda yang bentuknya lebih baik tidak dipikirkan.
“Efek krim itu sudah parah,” kata Mbah Surip sambil mengamati wajah Kuntul dengan kaca pembesar. “Kalau nggak segera diobati, efeknya akan permanen.”
Kuntul makin panik. “MB… BAGAIMANA CARA NGOBATINNYA?!”
Mbah Surip mengambil toples berisi cairan hijau pekat, lalu menuangkannya ke dalam mangkuk tanah liat. “Ini serum penetralnya. Tapi…”
“Tapi apa, Mbah?” tanya Rara, mulai curiga.
Mbah Surip menatap mereka dengan serius. “Serum ini cuma bisa bekerja kalau kalian melewati ritual pelepasan aura senyum abadi.”
Kuntul mengerutkan dahi. “Ritual apaan tuh?”
Mbah Surip tersenyum tipis. “Kalian harus melakukan tarian senyum abadi di tengah hutan, di bawah bulan purnama.”
Kuntul dan Rara saling pandang.
“Gue salah denger gak sih?” bisik Rara.
“Kamu gak salah denger,” jawab Kuntul dengan mata kosong.
Tapi mereka tidak punya pilihan. Jadi, lima belas menit kemudian, mereka sudah berdiri di tengah hutan, di bawah remang-remang bulan purnama, bersiap melakukan tarian senyum abadi.
“Kalau kalian gagal, wajah kalian akan tetap seperti itu selamanya,” kata Mbah Surip mengingatkan.
Kuntul menghela napas panjang. “Oke, ayo kita lakukan.”
Mereka mulai bergerak mengikuti irama musik gamelan yang diputar dari radio butut Mbah Surip.
Kaki melangkah ke kiri… tangan melayang ke atas… kepala menoleh kanan…
Tapi masalahnya adalah—karena wajah Kuntul dan perempuan yang mereka temui di klinik tidak bisa berubah ekspresi, mereka tampak seperti robot yang menari dengan wajah tersenyum ngeri.
Dan itu…
MENGUNDANG MAKHLUK GAIB!
Dari balik pepohonan, terdengar suara cekikikan. Suara menyeramkan yang semakin lama semakin dekat.
Rara berhenti menari dan menoleh ke Kuntul. “Aku barusan denger suara aneh gak sih?”
Belum sempat Kuntul menjawab, angin kencang berhembus!
Daun-daun berterbangan. Lampu minyak yang dibawa Mbah Surip tiba-tiba padam.
Dan dari dalam kegelapan, muncul sosok-sosok putih berambut panjang dengan wajah…
SAMA PERSIS DENGAN WAJAH KUNTUL!
Mereka semua memiliki senyum kaku yang menyeramkan, mata melotot tak berkedip, dan ekspresi yang tak bisa berubah!
MEREKA ADALAH ARWAH-ARWAH KORBAN KRIM ILEGAL DI MASA LALU!
“AAAAAAA!!!” Kuntul dan Rara langsung panik.
“JANGAN BERHENTI MENARI!” teriak Mbah Surip. “MEREKA HANYA AKAN PERGI KALAU KALIAN SELESAIKAN RITUALNYA!!!”
Dengan setengah mati ketakutan, Kuntul dan Rara kembali menggerakkan tubuh mereka dalam tarian yang semakin kaku, sambil dikelilingi oleh arwah-arwah berwajah senyum abadi itu.
Beberapa dari mereka mulai mendekat… tangan mereka terulur… semakin dekat…
“SELESAIKAN TARIANNYA!”
Dengan kecepatan kilat, Kuntul dan Rara menyelesaikan gerakan terakhir: lompat satu kali sambil menoleh ke bulan purnama.
BLARRRRR!!!
Tiba-tiba, cahaya terang menyelimuti mereka. Arwah-arwah itu menjerit sebelum akhirnya menghilang satu per satu, seperti asap yang ditiup angin.
Hutan kembali sunyi.
Mbah Surip berjalan mendekat dengan tenang. “Bagus. Kalian berhasil.”
Kuntul dan Rara jatuh terduduk, napas terengah-engah.
“SEKARANG KITA BISA PAKE SERUMNYA, KAN?!” jerit Kuntul dengan frustrasi.
Mbah Surip mengangguk. “Mari kita kembali ke rumahku.”
Mereka bertiga beranjak dari hutan, meninggalkan sisa-sisa ritual tadi. Tapi, sebelum benar-benar pergi, Kuntul melirik ke arah pepohonan di belakangnya.
Dan di sana… di kejauhan…
Terlihat satu sosok terakhir yang masih berdiri dengan wajah tersenyum lebar.
Dan sosok itu…
TIDAK MENGHILANG BERSAMA ARWAH YANG LAIN.
SENYUM TERAKHIR DI PELIPIS DUNIA!
Kuntul, Rara, dan Mbah Surip akhirnya tiba kembali di rumah kayu tua itu. Rasa lelah membuat tubuh mereka nyaris roboh, tapi bayangan wajah seram para arwah tadi masih melekat jelas di kepala.
“Aku gak akan pake skincare abal-abal lagi seumur hidup,” gumam Kuntul dengan suara parau.
Rara menimpali, “Aku sih gak akan pake skincare sama sekali…”
Mbah Surip mengambil serum hijau pekat dari meja, lalu mengaduknya dengan tongkat kecil dari kayu. “Kalian harus oleskan ini ke wajah, tapi hati-hati.”
Kuntul menyambar botol serum seperti mendapat air di tengah gurun. “Gimana cara makenya, Mbah?”
“Satu tetes cukup. Kalau kebanyakan…” Mbah Surip menggantung kalimatnya sambil melirik tajam.
Kuntul dan Rara saling pandang.
“Kalau kebanyakan kenapa, Mbah?” tanya Rara, mulai curiga.
Mbah Surip menurunkan nada suaranya, nyaris berbisik. “Kalau terlalu banyak… kulit kalian bisa mengelupas sampai tulang.”
GUBRAK!
“MAAF, APA?!” teriak Kuntul, hampir menjatuhkan botol serum di tangannya.
Mbah Surip mengangkat bahu santai. “Namanya juga obat spiritual, ada efek samping.”
Mereka menelan ludah. Dengan tangan gemetar, Kuntul membuka botol serum dan meneteskan satu tetes kecil ke wajahnya. Rara mengikuti, meskipun matanya penuh kekhawatiran.
Begitu cairan itu menyentuh kulit mereka…
PLUP!
Seakan ada sensasi dingin yang menjalar pelan, lalu—
PLAK!
Kulit wajah mereka mulai terasa normal kembali!
“ASTAGA! AKU BISA MERASAKAN KULITKU LAGI!” Kuntul memegang pipinya dengan ekspresi bahagia bercampur haru. “GAK ADA LAGI SENYUM MENGERIKAN!”
Rara juga menepuk-nepuk wajahnya, memastikan semuanya benar-benar kembali seperti semula.
Mbah Surip mengangguk puas. “Bagus. Sekarang wajah kalian sudah sembuh.”
Kuntul tersenyum lebar—senyum normal, bukan senyum iblis yang tadi!
“Tapi…” Mbah Surip tiba-tiba menatap mereka dengan sorot serius. “Masih ada satu hal yang harus kalian lakukan.”
Rara menegang. “Apa lagi, Mbah?”
Mbah Surip menunjuk ke arah hutan. “Kalian harus memastikan tidak ada korban lain yang mengalami nasib seperti kalian.”
Seketika, bulu kuduk mereka berdiri. Bayangan sosok terakhir yang mereka lihat di hutan tadi kembali muncul di kepala mereka.
“Tapi, Mbah… arwah-arwah itu sudah menghilang, kan?” suara Kuntul bergetar.
Mbah Surip menatap mereka tajam. “Semua arwah sudah hilang… kecuali satu.”
DUAAR!!!
Tiba-tiba, pintu rumah terbuka dengan keras!
Angin malam menerobos masuk, meniup lampu minyak hingga nyaris padam.
Dan di ambang pintu…
BERDIRI SOSOK ITU!
Tubuhnya putih pucat. Rambut panjangnya menjuntai kusut. Matanya kosong. Dan di wajahnya…
Masih ada senyum kaku yang tidak berubah.
Rara berbisik pelan, hampir tidak terdengar. “Astaga… dia… dia yang tadi…”
Mbah Surip segera bergerak, mengambil segenggam garam dan melemparkannya ke lantai. “Kalian, mundur!”
Tapi…
Sosok itu tidak bergerak. Ia hanya menatap mereka dengan senyum kaku itu.
Kuntul merasa tubuhnya kaku. Ada sesuatu yang salah.
Kemudian… sosok itu mengangkat tangannya.
Dan…
Dia menunjuk ke arah Kuntul.
“A-aku?” Kuntul tergagap, jantungnya berpacu cepat.
Sosok itu mengangguk… lalu membuka mulutnya.
Tapi suara yang keluar bukan suara manusia. Itu seperti suara angin berbisik, bercampur gemuruh halus.
“Wajahku… sudah seperti ini… selamanya… Kenapa kalian bisa kembali… tapi aku tidak?”
“KENAPA?!”
Ruangan tiba-tiba bergetar. Jendela-jendela terbanting tertutup sendiri. Lampu minyak berkedip, hampir mati.
Kuntul memegang dada, napasnya tersengal. “Mbah… kita harus ngapain?!”
Mbah Surip bergerak cepat, mengambil satu botol kecil dari laci. “Ada satu cara terakhir…”
Ia menyodorkan botol itu ke Kuntul. “Ambil ini.”
“Apa ini?” tanya Kuntul dengan suara panik.
“Krim pengusir arwah kosmetik.”
“APAAN ITU?!”
“Gak ada waktu buat jelasin! OLESIN KE DIA, SEKARANG!”
Tanpa berpikir panjang, Kuntul membuka botol itu dan melemparkan isinya ke wajah sosok itu!
BLAAARRR!!!
Sosok itu menjerit. Wajahnya mulai memudar… tubuhnya perlahan menghilang menjadi butiran cahaya putih…
Sebelum menghilang sepenuhnya, ia berbisik pelan…
“Terima kasih… Aku… akhirnya bebas…”
Lalu, sosok itu menghilang.
Sunyi.
Hening.
Tidak ada suara, hanya napas mereka yang terengah-engah.
Kuntul dan Rara saling pandang dengan wajah penuh kengerian bercampur lega.
Mbah Surip menghela napas panjang. “Akhirnya… semuanya benar-benar selesai.”
Mereka bertiga duduk di lantai, menatap langit-langit dengan kosong.
Kuntul kemudian bergumam, “…aku… aku kayaknya bakal berhenti pake skincare dulu untuk sementara.”
Rara mengangguk cepat. “Gak usah sementara, aku kayaknya selamanya aja.”
Mbah Surip terkekeh. “Nah, yang penting kalian sudah paham… Bahwa skincare itu gak bisa sembarangan.”
Kuntul dan Rara hanya bisa tertawa pahit.
SEJAK MALAM ITU, KUNTUL DAN RARA BERJANJI…
MEREKA AKAN SELALU CEK BPOM SEBELUM BELI SKINCARE.
DAN JIKA ADA SKINCARE YANG DIKLAIM “EFEK INSTAN”…
MEREKA AKAN KABUR SECEPAT MUNGKIN.
Jadi, udah pada paham kan? Kalau skincare itu emang bisa bikin glowing, tapi kalau salah pilih bisa jadi malah bikin hidupmu kayak main di film horor. Jangan sampe jadi korban skincare yang ternyata lebih serem dari yang kamu kira. Jadi, inget, sebelum beli, jangan lupa cek dulu apa udah ada BPOM-nya! Siapa tau, daripada dapet muka glowing, malah dapet senyum iblis.


