Daftar Isi
Life’s full of surprises, right? But sometimes, those surprises are just the push we need to trust Allah’s plan more.
(Hidup itu penuh kejutan, kan? Tapi kadang, kejutan-kejutan itu adalah dorongan yang kita butuhkan untuk lebih mempercayai rencana Allah.)
Islamic Short Story
The Call to Seek Knowledge
(Panggilan untuk Mencari Ilmu)
Ali sat on the worn-out carpet of his small room, his fingers tracing the edges of an old book. The light from the small lamp illuminated his face, showing the tiredness in his eyes. He had been reading for hours, yet the question that had been haunting him for weeks remained unanswered: What am I truly seeking?
(Ali duduk di karpet usang di kamarnya yang kecil, jarinya menyentuh pinggiran buku tua. Cahaya dari lampu kecil menerangi wajahnya, memperlihatkan keletihan di matanya. Ia sudah membaca berjam-jam, namun pertanyaan yang sudah mengganggunya selama berminggu-minggu tetap tidak terjawab: Apa yang sebenarnya aku cari?)
He closed the book, his thoughts wandering to his childhood. He had always been told that knowledge was the key to everything. His parents, his teachers, and even the scholars he admired had always emphasized the importance of seeking knowledge. But now, sitting in his room, he felt like a puzzle with missing pieces, unable to connect the dots.
(Ia menutup buku itu, pikirannya melayang pada masa kecilnya. Ia selalu diberitahu bahwa ilmu adalah kunci dari segalanya. Orangtuanya, gurunya, dan bahkan para ulama yang ia kagumi selalu menekankan pentingnya mencari ilmu. Namun sekarang, duduk di kamarnya, ia merasa seperti teka-teki dengan potongan yang hilang, tidak bisa menghubungkan satu titik dengan titik lainnya.)
Just as he was about to stand up and take a walk to clear his mind, his phone buzzed. It was a message from his friend, Idris.
“Hey Ali, are you still awake? I’ve been thinking about something. Want to talk?”
(Saat ia hendak bangkit dan berjalan-jalan untuk menenangkan pikiran, ponselnya bergetar. Itu adalah pesan dari temannya, Idris.
“Hei Ali, masih bangun? Aku sudah mikirin sesuatu. Mau ngobrol?”)
Ali smiled and quickly replied, “Sure, what’s on your mind?”
(Ali tersenyum dan segera membalas, “Tentu, apa yang sedang kamu pikirkan?”)
A few minutes later, Idris called. “I’ve been reflecting on something, Ali. Do you ever wonder if we’re truly understanding the knowledge we seek? Or are we just filling our minds with information, hoping it will make us wiser?”
(Beberapa menit kemudian, Idris menelepon. “Aku sudah merenung tentang sesuatu, Ali. Apakah kamu pernah bertanya-tanya apakah kita benar-benar memahami ilmu yang kita cari? Atau apakah kita hanya mengisi pikiran kita dengan informasi, berharap itu akan membuat kita lebih bijaksana?”)
Ali thought about it for a moment. He had always been driven by the desire to learn, to gain more knowledge. But Idris’ question struck him deeply. Was he truly understanding the essence of what he was learning, or was he just gathering facts to impress others?
(Ali berpikir sejenak. Ia selalu didorong oleh keinginan untuk belajar, untuk memperoleh lebih banyak ilmu. Tapi pertanyaan Idris benar-benar menyentuh hatinya. Apakah ia benar-benar memahami inti dari apa yang dipelajarinya, atau hanya sekadar mengumpulkan fakta untuk mengesankan orang lain?)
“I’ve never really thought about it like that,” Ali admitted. “I’ve always been focused on the end result, you know? Getting good grades, impressing people with what I know. But maybe I need to rethink why I’m learning in the first place.”
(“Aku nggak pernah benar-benar memikirkannya seperti itu,” Ali mengakui. “Aku selalu fokus pada hasil akhirnya, tahu kan? Dapat nilai bagus, mengesankan orang dengan apa yang aku tahu. Tapi mungkin aku perlu memikirkan ulang kenapa aku belajar dari awal.”)
Idris paused for a moment, then said, “What if the true purpose of knowledge is not just about accumulating facts, but understanding the wisdom behind them? What if it’s about using that knowledge to better yourself and serve others, to grow closer to Allah?”
(Idris terdiam sejenak, lalu berkata, “Bagaimana kalau tujuan sejati dari ilmu bukan hanya mengumpulkan fakta, tapi memahami kebijaksanaan di baliknya? Bagaimana kalau itu tentang menggunakan ilmu itu untuk memperbaiki diri dan melayani orang lain, untuk semakin dekat dengan Allah?”)
Ali felt a sense of peace wash over him. It was as if Idris had spoken directly to the longing in his heart. This was what he had been searching for all along. He didn’t just want knowledge for the sake of knowledge, but for the purpose of growing spiritually and helping others.
(Ali merasa kedamaian menyelimuti hatinya. Seakan-akan Idris berbicara langsung kepada kerinduan dalam jiwanya. Inilah yang selama ini ia cari. Ia tidak hanya menginginkan ilmu demi ilmu, tetapi untuk tujuan tumbuh secara rohani dan membantu orang lain.)
“I think I get it now,” Ali replied, his voice calm yet filled with a newfound clarity. “The pursuit of knowledge isn’t just about filling my mind. It’s about understanding how to use it for good, for myself and for others.”
(“Aku rasa sekarang aku mengerti,” jawab Ali, suaranya tenang namun penuh dengan kejelasan baru. “Mengejar ilmu bukan hanya tentang mengisi pikiranku. Tapi tentang memahami bagaimana menggunakannya untuk kebaikan, untuk diriku dan orang lain.”)
The conversation continued for a while, and by the end of it, Ali felt lighter, as if a weight had been lifted from his heart. He realized that the true pursuit of knowledge wasn’t just academic—it was spiritual. It was a way to connect with Allah and use that connection to make the world a better place.
(Percakapan itu berlanjut beberapa saat, dan pada akhirnya, Ali merasa lebih ringan, seolah-olah beban telah terangkat dari hatinya. Ia menyadari bahwa mengejar ilmu sejati bukan hanya akademis—itu adalah rohani. Itu adalah cara untuk terhubung dengan Allah dan menggunakan hubungan itu untuk membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik.)
The Storms Within
(Badai di Dalam Diri)
The following days felt heavy for Ali. He couldn’t shake off the weight of Idris’ words. He found himself constantly reflecting on them, even during the quiet moments in between classes or while walking home. His mind, once filled with the chase for success and accolades, now seemed to focus more on the deeper purpose of his studies and his life. Yet, despite the clarity, something still troubled him.
(Beberapa hari berikutnya terasa berat bagi Ali. Ia tidak bisa menghilangkan beban dari kata-kata Idris. Ia terus-menerus merenunginya, bahkan di antara momen-momen sepi, saat di antara kelas atau saat berjalan pulang. Pikirannya, yang dulu dipenuhi dengan pengejaran kesuksesan dan penghargaan, kini lebih fokus pada tujuan yang lebih dalam dari studinya dan hidupnya. Namun, meskipun ada kejelasan, masih ada sesuatu yang mengganggunya.)
It wasn’t just about knowledge anymore. It was about the storms inside him—doubts, insecurities, fears—that seemed to grow louder the more he thought about his purpose. Ali had always prided himself on being a logical, grounded person, but now he couldn’t ignore the emotional turbulence that threatened to pull him in every direction.
(Bukan hanya soal ilmu lagi. Itu tentang badai dalam dirinya—keraguan, ketidakamanan, ketakutan—yang seolah semakin keras terdengar semakin banyak ia berpikir tentang tujuannya. Ali selalu membanggakan dirinya sebagai orang yang logis dan berpijak pada kenyataan, namun kini ia tak bisa mengabaikan gejolak emosional yang mengancam menariknya ke setiap arah.)
One evening, while walking home from the masjid after the Maghrib prayer, Ali decided to take a different route. He walked down a quiet alley lined with tall trees, their leaves rustling in the cool breeze. The night was peaceful, and the only sounds were the occasional chirp of a bird and the gentle rustling of the trees. Ali closed his eyes for a moment and took a deep breath, allowing the quiet to fill his senses.
(Suatu malam, setelah pulang dari masjid setelah salat Maghrib, Ali memutuskan untuk mengambil rute yang berbeda. Ia berjalan menyusuri gang sepi yang dipenuhi pohon-pohon tinggi, daunnya berdesir tertiup angin sejuk. Malam itu damai, dan satu-satunya suara adalah sesekali kicauan burung dan desiran lembut daun-daun pohon. Ali menutup matanya sejenak dan menarik napas dalam-dalam, membiarkan ketenangan mengisi inderanya.)
He suddenly stopped. Something felt different. In the midst of his uncertainty and inner turmoil, a sense of peace enveloped him. It was as if the world had quieted, and for the first time in a long while, Ali felt a calm he hadn’t known he needed. He slowly opened his eyes and looked up at the sky. The stars were faintly visible, scattered across the vast, dark canvas above him.
(Tiba-tiba ia berhenti. Sesuatu terasa berbeda. Di tengah ketidakpastian dan pergolakan batinnya, rasa damai menyelimuti dirinya. Seakan-akan dunia menjadi tenang, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Ali merasakan ketenangan yang tak pernah ia ketahui ia butuhkan. Perlahan ia membuka matanya dan menatap langit. Bintang-bintang tampak samar, tersebar di kanvas gelap yang luas di atasnya.)
It was at that moment that Ali realized something profound. True peace didn’t come from answers or from understanding every detail of his life. It came from faith. From trusting in Allah’s plan, even when things didn’t make sense. The doubts, the storms, they were all part of the process. They weren’t obstacles, but lessons.
(Pada saat itu, Ali menyadari sesuatu yang mendalam. Kedamaian sejati tidak datang dari jawaban atau dari memahami setiap detail kehidupannya. Itu datang dari iman. Dari mempercayai rencana Allah, meskipun segala sesuatu tidak masuk akal. Keraguan, badai, semuanya adalah bagian dari proses. Mereka bukan hambatan, tetapi pelajaran.)
He smiled softly to himself and whispered, “Ya Allah, guide me.”
(Ia tersenyum kecil pada dirinya sendiri dan berbisik, “Ya Allah, tunjukkan aku jalan.”)
The next day, Ali met up with Idris at a small café near their university. They hadn’t spoken in person for a few days, and Ali was eager to share the clarity he had gained. As soon as Idris sat down, Ali spoke up.
(Keesokan harinya, Ali bertemu dengan Idris di sebuah kafe kecil dekat universitas mereka. Mereka belum berbicara langsung beberapa hari, dan Ali sangat ingin berbagi kejelasan yang telah ia dapatkan. Begitu Idris duduk, Ali langsung berbicara.)
“I think I understand now,” Ali said, his voice steady but filled with newfound conviction. “It’s not about having everything figured out. It’s about trusting the process and knowing that Allah has a plan for me. The peace I’ve been searching for, it’s always been here, within me.”
(“Aku rasa sekarang aku mengerti,” kata Ali, suaranya tenang namun penuh dengan keyakinan yang baru ditemukan. “Ini bukan tentang memikirkan semuanya. Ini tentang mempercayai proses dan mengetahui bahwa Allah memiliki rencana untukku. Kedamaian yang aku cari, itu sudah ada di sini, di dalam diriku.”)
Idris smiled, nodding in agreement. “Exactly, Ali. The storms will always be there, but they don’t define us. Our faith does. And as long as we trust in Allah, we’ll always find solace.”
(Idris tersenyum, mengangguk setuju. “Tepat sekali, Ali. Badai akan selalu ada, tapi itu tidak mendefinisikan kita. Iman kita yang mendefinisikan. Dan selama kita percaya kepada Allah, kita akan selalu menemukan ketenangan.”)
Ali felt a sense of warmth in his chest. For the first time in a long time, he felt truly at peace, ready to face whatever challenges came his way. The road ahead was still uncertain, but with faith in Allah, he knew he would be able to navigate through it all.
(Ali merasakan kehangatan di dadanya. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa benar-benar damai, siap menghadapi tantangan apapun yang datang. Jalan di depan masih penuh ketidakpastian, tapi dengan iman kepada Allah, ia tahu ia akan mampu melewatinya semua.)
The Silent Strength of Patience
(Kekuatan Diam dari Kesabaran)
As the days passed, Ali found himself more immersed in his studies and daily routine. The clarity he had gained in the quiet moments after his reflection on Allah’s plan had not left him. If anything, it only strengthened his resolve. Each challenge, no matter how small, was a test of patience, and Ali knew now that patience wasn’t just about waiting for things to improve—it was about embracing the present with faith, trusting that every moment had a purpose.
(Seiring berjalannya waktu, Ali semakin tenggelam dalam studinya dan rutinitas sehari-hari. Kejelasan yang ia peroleh di momen-momen sepi setelah merenungkan rencana Allah tidak pernah meninggalkannya. Justru, itu semakin memperkuat tekadnya. Setiap tantangan, sekecil apapun, adalah ujian kesabaran, dan Ali kini tahu bahwa kesabaran bukan hanya tentang menunggu agar segalanya membaik—melainkan tentang menerima saat ini dengan iman, mempercayai bahwa setiap momen memiliki tujuan.)
It was a Friday evening when the next challenge came. Ali had received an unexpected assignment that required him to write a research paper on a topic he was unfamiliar with. The deadline was tight, and Ali knew it would require all of his focus and effort. For a moment, he felt the familiar rush of anxiety bubbling up inside him. Old habits, those of panic and stress, crept back into his mind.
(Suatu malam Jumat, tantangan berikutnya datang. Ali menerima tugas mendadak yang mengharuskannya menulis makalah penelitian tentang topik yang tidak ia kenal. Tenggat waktu yang sempit membuat Ali tahu bahwa itu akan membutuhkan seluruh fokus dan usaha dari dirinya. Sebentar, ia merasakan kembali kecemasan yang familiar muncul dalam dirinya. Kebiasaan lama, yang penuh kepanikan dan stres, merayap kembali ke pikirannya.)
But then, as if by instinct, he closed his eyes and took a deep breath. He remembered the lesson from his conversation with Idris—the key to overcoming anxiety wasn’t in rushing or forcing himself to act faster. It was in patience. It was in trusting that with effort and time, things would fall into place.
(Namun kemudian, seolah-olah berdasarkan insting, ia menutup matanya dan menarik napas dalam-dalam. Ia ingat pelajaran dari percakapannya dengan Idris—kunci untuk mengatasi kecemasan bukanlah dengan terburu-buru atau memaksa dirinya untuk bertindak lebih cepat. Itu ada dalam kesabaran. Itu ada dalam mempercayai bahwa dengan usaha dan waktu, semuanya akan berjalan dengan baik.)
Ali stood up, feeling the weight of the moment, and walked over to the window. The view from his apartment was always calming—he could see the faint glow of streetlights in the distance, and the sky was slowly darkening as the evening crept in. He took another deep breath, letting the quiet of the night calm his racing thoughts.
(Ali berdiri, merasakan beratnya momen itu, dan berjalan ke jendela. Pemandangan dari apartemennya selalu menenangkan—ia bisa melihat cahaya lampu jalan yang samar di kejauhan, dan langit perlahan mulai gelap saat malam mulai datang. Ia menarik napas dalam lagi, membiarkan ketenangan malam menenangkan pikirannya yang berlalu-lalang.)
His mind wasn’t completely still, but he knew the importance of pausing—of taking time to let the pressure subside before diving into the work. He reminded himself of the power of patience, of the strength it took to be still when the world around him was in chaos.
(Pikirannya tidak sepenuhnya tenang, namun ia tahu betul pentingnya berhenti sejenak—memberikan waktu untuk meredakan tekanan sebelum terjun ke dalam pekerjaan. Ia mengingatkan dirinya tentang kekuatan kesabaran, tentang kekuatan yang diperlukan untuk tetap diam saat dunia di sekitarnya berada dalam kekacauan.)
A few hours later, Ali was at his desk, surrounded by books and papers. He had made good progress, and the anxiety he had felt earlier was replaced with a calm, focused determination. As he wrote, his thoughts flowed more easily, and he found that the research wasn’t as difficult as he had initially believed. The work was still challenging, but it no longer felt like a burden. His patience had turned the task into a journey—a journey of learning and growth.
(Beberapa jam kemudian, Ali sudah duduk di mejanya, dikelilingi oleh buku dan kertas. Ia telah membuat kemajuan yang baik, dan kecemasan yang dirasakannya sebelumnya telah digantikan dengan ketenangan dan tekad yang terfokus. Saat menulis, pikirannya mengalir lebih lancar, dan ia merasa bahwa penelitian itu tidak sesulit yang ia kira pada awalnya. Pekerjaan itu masih menantang, tetapi tidak lagi terasa seperti beban. Kesabarannya telah mengubah tugas itu menjadi sebuah perjalanan—perjalanan belajar dan berkembang.)
The next day, Ali sat down with Idris again. They met in the same café, and this time, Ali had something new to share. He felt lighter, more at peace, as if he had learned to let go of the constant pressure he had put on himself.
(Keesokan harinya, Ali duduk lagi dengan Idris. Mereka bertemu di kafe yang sama, dan kali ini, Ali memiliki sesuatu yang baru untuk dibagikan. Ia merasa lebih ringan, lebih damai, seolah-olah ia telah belajar untuk melepaskan tekanan konstan yang selama ini ia berikan pada dirinya sendiri.)
“I did it, Idris,” Ali said with a small smile. “The assignment—it wasn’t as bad as I thought. I focused on the process, not the pressure. And it felt… different. I didn’t rush, I didn’t force myself, and I think that’s why I was able to get through it.”
(“Aku melakukannya, Idris,” kata Ali dengan senyum kecil. “Tugas itu—tidak sebagaimana yang aku kira. Aku fokus pada prosesnya, bukan pada tekanannya. Dan rasanya… berbeda. Aku tidak terburu-buru, aku tidak memaksakan diriku, dan aku rasa itu mengapa aku bisa melewatinya.”)
Idris nodded with a knowing smile. “That’s exactly it, Ali. Patience is a silent strength. It doesn’t shout, but it carries you through. When you stop rushing, you allow yourself to experience the journey fully.”
(Idris mengangguk dengan senyum yang penuh pengertian. “Itu memang benar, Ali. Kesabaran adalah kekuatan diam. Ia tidak berteriak, tetapi ia membawa kamu melewatinya. Ketika kamu berhenti terburu-buru, kamu memberi dirimu kesempatan untuk benar-benar merasakan perjalanan itu.”)
Ali nodded thoughtfully. He could see now that his journey wasn’t about perfect results. It was about the steps, the lessons, and the way he allowed Allah to guide him through it all. He was learning to trust not only in his ability but in the wisdom of divine timing.
(Ali mengangguk penuh pemikiran. Ia kini bisa melihat bahwa perjalanannya bukan tentang hasil yang sempurna. Itu tentang langkah-langkahnya, pelajaran-pelajarannya, dan bagaimana ia membiarkan Allah membimbingnya melewati semuanya. Ia sedang belajar untuk mempercayai tidak hanya kemampuan dirinya, tetapi juga kebijaksanaan dari waktu yang ditentukan-Nya.)
The Final Test of Trust
(Ujian Terakhir dari Kepercayaan)
The days that followed felt lighter, almost as if the weight of the world had lessened for Ali. With each passing moment, he found himself growing more content with his journey. The anxiety that once haunted him had gradually been replaced by a deep sense of inner peace. He had completed his assignment successfully, but more importantly, he had discovered something far greater than just academic accomplishment. He had learned the art of trusting Allah’s plan.
(Hari-hari yang berlalu terasa lebih ringan, seolah-olah beban dunia mulai berkurang bagi Ali. Dengan setiap momen yang berlalu, ia merasa dirinya semakin puas dengan perjalanan yang ia jalani. Kecemasan yang dulu menghantuinya perlahan digantikan dengan rasa damai yang dalam. Ia telah menyelesaikan tugasnya dengan sukses, tetapi yang lebih penting lagi, ia telah menemukan sesuatu yang jauh lebih besar dari sekedar pencapaian akademik. Ia telah mempelajari seni mempercayai rencana Allah.)
One evening, as Ali sat on the edge of his bed, reflecting on his progress, he received an unexpected call from Idris.
(Suatu malam, saat Ali duduk di tepi ranjangnya, merenung tentang kemajuan yang telah ia capai, ia menerima telepon tak terduga dari Idris.)
“Ali, I’ve been thinking about you,” Idris’s voice came through the phone, filled with a strange sense of urgency. “I know you’ve been doing well, but there’s something I need to tell you.”
(“Ali, aku sudah memikirkanmu,” suara Idris terdengar melalui telepon, penuh dengan rasa urgensi yang aneh. “Aku tahu kamu sudah melakukan dengan baik, tetapi ada sesuatu yang perlu aku katakan padamu.”)
Ali’s heart skipped a beat. There was something in Idris’s tone that immediately caught his attention.
(Jantung Ali berdegup kencang. Ada sesuatu dalam nada suara Idris yang langsung menarik perhatiannya.)
“What is it, Idris?” Ali asked, his voice steady but laced with curiosity.
(“Ada apa, Idris?” tanya Ali, suaranya tenang namun penuh rasa penasaran.)
Idris took a deep breath before speaking. “There’s a scholarship opportunity that has opened up. It’s competitive, and the deadline is soon. But I want you to apply, Ali. I know it’s a risk, but I also know that you have what it takes. The timing is perfect for you.”
(Idris menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara. “Ada kesempatan beasiswa yang terbuka. Ini sangat kompetitif, dan tenggat waktunya sudah dekat. Tetapi aku ingin kamu mendaftar, Ali. Aku tahu ini berisiko, tetapi aku juga tahu bahwa kamu punya kemampuan yang diperlukan. Waktu ini sangat tepat untukmu.”)
Ali was silent for a moment. He hadn’t expected this. A scholarship could open doors to opportunities he hadn’t dared to imagine before. But it also meant stepping out of his comfort zone, putting himself up against other bright and capable students. The fear of failure loomed, but he quickly realized it was another test of his patience, of his trust.
(Ali terdiam sejenak. Ia tidak mengharapkan ini. Beasiswa bisa membuka pintu peluang yang belum pernah ia bayangkan sebelumnya. Tetapi itu juga berarti keluar dari zona nyaman, bersaing dengan mahasiswa-mahasiswa cerdas dan mampu lainnya. Ketakutan akan kegagalan mengintai, tetapi ia segera menyadari bahwa ini adalah ujian lain dari kesabaran, dari kepercayaannya.)
“I’m not sure, Idris,” Ali replied, his mind racing. “I’m scared that I won’t make it. What if I fail?”
(“Aku tidak yakin, Idris,” jawab Ali, pikirannya berputar. “Aku takut jika aku gagal. Bagaimana jika aku gagal?”)
Idris’s voice was calm, a steady presence in the midst of Ali’s doubt. “It’s okay to be scared, Ali. Fear is natural. But remember, you won’t know until you try. And if you trust in Allah, you’ll find peace in the process, regardless of the outcome.”
(Suara Idris terdengar tenang, sebuah kehadiran yang kokoh di tengah keraguan Ali. “Tak apa merasa takut, Ali. Takut itu wajar. Tapi ingat, kamu tidak akan tahu sebelum mencobanya. Dan jika kamu mempercayai Allah, kamu akan menemukan kedamaian dalam prosesnya, apapun hasilnya.”)
Ali exhaled deeply, feeling the weight of his decision. He had come so far—had trusted Allah through the small moments, had learned the power of patience, and now, faced with another challenge, he knew it was his time to step forward with faith.
(Ali menghela napas dalam-dalam, merasakan beban dari keputusannya. Ia sudah sejauh ini—mempercayai Allah melalui setiap momen kecil, belajar tentang kekuatan kesabaran, dan kini, dihadapkan dengan tantangan lain, ia tahu bahwa ini adalah waktunya untuk melangkah maju dengan iman.)
“I’ll do it,” Ali said quietly, a firm resolve settling in his chest. “I’ll apply for the scholarship. I’ll trust Allah, and I’ll trust myself.”
(“Aku akan melakukannya,” kata Ali pelan, tekad yang kuat menyelubungi dadanya. “Aku akan mendaftar untuk beasiswa itu. Aku akan mempercayai Allah, dan aku akan mempercayai diriku sendiri.”)
With that, Ali set his mind to work. The next few days were a whirlwind of application forms, essays, and late-night research. But with each step, he felt a sense of peace, knowing that he was doing his best and trusting that whatever happened, it was part of Allah’s plan for him.
(Dengan itu, Ali mulai bekerja keras. Beberapa hari ke depan adalah pusaran formulir aplikasi, esai, dan riset larut malam. Tetapi dengan setiap langkah, ia merasakan kedamaian, mengetahui bahwa ia sedang melakukan yang terbaik dan mempercayai bahwa apapun yang terjadi, itu adalah bagian dari rencana Allah untuknya.)
As the deadline approached, Ali submitted his application. He didn’t know what the outcome would be, but he knew that the real reward was in the journey—the lessons, the growth, and the peace that came with trusting in Allah’s will.
(Saat tenggat waktu semakin dekat, Ali mengirimkan aplikasinya. Ia tidak tahu apa hasilnya nanti, tetapi ia tahu bahwa hadiah sesungguhnya ada dalam perjalanan itu—pelajaran-pelajaran, pertumbuhan, dan kedamaian yang datang dengan mempercayai kehendak Allah.)
So, here’s the thing—trusting in Allah’s plan isn’t always easy, but it’s always worth it. Just remember, no matter where life takes you, peace comes from knowing He’s got it all under control.
(Jadi, begini—mempercayai rencana Allah memang nggak selalu mudah, tapi selalu layak untuk dijalani. Ingat, apapun yang terjadi dalam hidup, kedamaian datang dari mengetahui bahwa Dia mengendalikan segalanya.)