Daftar Isi
Pernah nggak sih, kamu merasa seperti jadi pion dalam permainan cinta yang nggak ada habisnya? Itu yang aku rasain sekarang. Sebuah permainan yang kelihatannya penuh godaan, tapi sebenernya lebih banyak jebakan daripada yang kamu kira.
Kalau kamu pikir cinta itu gampang, coba deh masuk ke dunia yang penuh rahasia dan pilihan yang nggak pernah bisa balik. Ini bukan sekadar soal siapa yang paling suka, tapi siapa yang paling berani ngambil risiko. Jadi, siap nggak jadi bagian dari permainan yang satu ini?
Is It Love Game?
Taruhan Dimulai
Aku menatap layar ponsel, menunggu pesan dari Rael. Semalam dia mengirim pesan singkat yang membuatku berpikir berulang kali. Apakah kamu siap untuk taruhan terakhir? Pesan yang seolah menantang, sekaligus membuatku merasa terperangkap. Tidak ada satu pun kata yang bisa menggambarkan apa yang sedang terjadi. Tapi aku tahu, ini lebih dari sekadar permainan. Setidaknya, bagi Rael, permainan ini baru dimulai.
Sudah hampir satu minggu sejak kami bertemu. Satu minggu yang seharusnya hanya menjadi sebuah pertemuan biasa, tapi ternyata malah mengubah cara pandangku tentang banyak hal. Tentang cinta, tentang permainan, tentang segala sesuatu yang tak bisa aku kendalikan.
Aku melangkah keluar dari apartemenku dan menuju ke kafe kecil di sudut jalan. Pikiranku masih sibuk memutar pesan itu. Rael selalu punya cara untuk membuat aku merasa cemas dan sekaligus tertarik. Entah kenapa, meski aku tahu dia bukan tipe orang yang bisa dipercaya, aku terus saja mendekatinya.
Setibanya di kafe, aku duduk di meja yang sudah kami tentukan. Tidak lama, Rael muncul. Penampilannya tak pernah berubah. Kemeja hitamnya yang sedikit longgar, celana jeans yang pas di tubuhnya, dan sepatu boots hitam yang selalu terlihat baru. Dia berjalan mendekat dengan langkah tenang, seolah-olah dia tidak pernah terburu-buru.
“Ada apa? Kenapa ngirim pesan aneh kayak gitu?” tanyaku, setengah bercanda tapi tetap penasaran.
Rael duduk di seberangku, wajahnya datar. “Itu bukan pesan aneh, cuma sebuah pertanyaan.”
Aku menyandarkan punggungku pada kursi, mencoba mengontrol detak jantung yang mulai mempercepat. “Apa maksudmu?”
Dia menyandangkan tas di kursinya dan menatapku sejenak. “Kamu sudah terlalu dalam, kan? Kamu tahu ini bukan tentang cinta, kan?”
Aku diam. Selama ini, aku berpikir kalau mungkin ada sedikit perasaan, sedikit keinginan untuk lebih dekat, tapi dia membuang semua harapan itu dengan mudah. “Lalu apa yang sebenarnya kamu inginkan?”
Rael mengangkat satu alisnya. “Itu tergantung kamu. Kamu yang memilih, bukan aku.”
Aku menelan ludah, menyadari bahwa apapun yang aku katakan, dia akan selalu memegang kendali. Seperti yang selalu dia lakukan.
Aku meremas gelas kopi yang ada di depan, mencoba mencari keberanian. “Kamu pikir ini cuma permainan, kan?”
Rael tersenyum tipis, senyum yang tidak bisa aku baca. “Kenapa tidak? Semua orang bermain, mereka hanya tidak menyadarinya.”
Aku menatapnya tajam, mencoba mencari sesuatu di balik matanya yang tajam. “Kamu bilang kalau kita cuma bermain, tapi kenapa kamu terus mendekatkan aku ke dalam ini? Kenapa aku masih ada di sini?”
Rael menarik napas panjang, seakan-akan mencoba menyaring kata-katanya. “Karena kamu suka permainan ini. Bahkan, kamu mungkin lebih suka daripada yang kamu pikirkan.”
Aku terdiam, merasa seperti terpojok, dan dia tahu itu. Setiap kata yang dia ucapkan mengubah caraku melihatnya, caraku memandang semuanya.
“Jadi, apa yang harus aku lakukan? Kalau ini memang permainan, apa yang aku dapat?” tanyaku, suara mulai terdengar serius.
Rael menatapku lebih dalam, seolah sedang mengukur pikiranku. “Kamu akan mendapatkan apa yang kamu inginkan… atau kehilangan semuanya. Itu tergantung pada seberapa jauh kamu mau bermain.”
Aku mendengus pelan. “Kamu menganggap aku idiot, ya?”
Rael hanya tersenyum. “Tergantung pada definisi idiotmu. Tapi kalau kamu terus bertanya seperti itu, aku rasa kamu akan segera tahu jawabannya.”
Aku merasa marah, tapi juga tertantang. Dia tahu cara bermain dengan kata-kata, dan lebih dari itu, dia tahu bagaimana membuatku merasa seolah-olah aku adalah satu-satunya yang tidak tahu aturan.
Tapi saat itu, aku tahu satu hal yang pasti: aku tidak akan mundur. Aku sudah terlalu dalam. Dan Rael, dengan semua pesonanya, membuatku tidak bisa berhenti melangkah lebih jauh. Mungkin aku sudah terjebak dalam permainan ini, tanpa bisa kembali.
Rael berdiri, mengambil jaketnya, dan menatapku sekali lagi sebelum berkata, “Kamu akan tahu apa yang aku maksud, tapi itu tidak akan mudah. Ini bukan permainan untuk orang lemah.”
Aku menyaksikan dia berjalan pergi, langkahnya teratur, tapi aku tahu dia tidak akan pernah benar-benar meninggalkanku. Tidak sekarang. Tidak sampai permainan ini selesai.
Aku duduk di sana, merenung, berusaha memahami kata-katanya. Sebuah taruhan baru saja dimulai, dan aku tidak tahu apakah aku bisa keluar hidup-hidup dari ini.
Tapi aku tahu satu hal. Permainan ini jauh lebih berbahaya daripada yang bisa aku bayangkan.
Peraturan yang Tidak Pernah Tertulis
Setelah pertemuan tadi, rasanya aku semakin terperangkap. Rasanya, apapun yang aku lakukan, Rael selalu ada, mengamati, dan menguji. Kami sudah melewati tahap percakapan biasa, dan entah kenapa, aku merasa semakin dekat, meski jelas-jelas aku ingin menjauh. Tapi dia terlalu cerdik, tahu betul bagaimana membuatku berpikir, bertanya, dan meragukan diriku sendiri.
Aku menatap langit malam, bulan tampak penuh dan terang, namun tak bisa memberikan ketenangan. Aku merasa gelisah, seolah ada sesuatu yang tak beres, sesuatu yang gelap menanti. Pikiranku kembali teralihkan pada Rael, pada pesan itu yang masih menggantung. Siap untuk taruhan terakhir?
Aku tahu, setiap kata yang dia ucapkan, setiap pertemuan yang kami lakukan, adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar. Rael tidak pernah terbuka. Setiap pertemuan dengannya seperti langkah-langkah dalam sebuah labirin—semakin aku mendekati jawaban, semakin aku merasa tersesat.
Beberapa hari setelah itu, aku kembali menerima pesan darinya.
“Jangan datang ke sini kalau kamu belum siap untuk aturan yang sebenarnya.”
Aku memijat pelipisku, merasa kesal dengan caranya yang seolah-olah mengendalikan setiap langkahku. Tapi di satu sisi, aku tahu dia hanya ingin melihat seberapa jauh aku bisa bertahan. Dan aku, entah kenapa, malah semakin tertarik untuk melanjutkan permainan ini.
Kafe tempat kami biasa bertemu sudah tak asing lagi. Begitu aku melangkah masuk, Rael sudah duduk di meja kami, menatapku dengan ekspresi yang sulit diartikan. Matanya gelap, tajam, seakan-akan dia sedang menunggu aku membuka kartu pertama.
“Kamu sudah siap?” tanyanya begitu aku duduk di hadapannya.
Aku menghela napas. “Untuk apa? Apa yang sebenarnya kamu inginkan dariku?”
Rael menyandarkan punggungnya pada kursi, tidak terburu-buru menjawab. “Aku tidak ingin apa-apa darimu, kalau kamu tidak siap untuk bermain.”
Aku terdiam, perasaan itu datang lagi—perasaan terjebak. Tidak ada yang mengakuinya, tapi kami berdua tahu ini lebih dari sekadar pertemuan biasa. Ini tentang pengujian, tentang kekuatan yang bersembunyi di balik kata-kata dan sikap.
“Lalu, apa peraturannya?” tanyaku, mencoba tetap tenang meski rasa penasaran semakin menggebu.
Rael tersenyum tipis, senyum yang kali ini tidak mengandung tawa. “Tidak ada peraturan yang tertulis. Kamu hanya perlu mengikuti instingmu. Kadang-kadang, kita harus siap kehilangan sesuatu untuk mendapatkan yang lebih besar.”
Aku menatapnya tajam, merasa seolah-olah kata-katanya memancing reaksi yang tidak aku harapkan. “Kamu bilang tidak ada peraturan, tapi kenapa kamu masih membuat semuanya terasa seperti taruhan?”
Rael mengangkat bahunya, dengan ekspresi yang tidak berubah. “Karena hidup itu sendiri adalah taruhan. Apa yang kamu anggap sebagai peraturan hanya ilusi yang kita ciptakan agar merasa aman. Sebenarnya, kita semua hanya berjalan di atas tali tipis.”
Aku merasa bingung, sekaligus tertantang. Entah kenapa, semakin aku mendengarkan dia, semakin aku merasa bahwa permainan ini adalah jalan satu-satunya untuk menemukan jawabannya. Tapi aku juga tahu, semakin aku terlibat, semakin besar risiko yang akan aku hadapi.
Aku membuka mulut untuk berkata sesuatu, tapi Rael sudah lebih dulu berbicara. “Jangan khawatir, kita tidak akan langsung melangkah terlalu jauh. Aku hanya ingin melihat sejauh mana kamu akan bertahan.”
Kata-kata itu seperti cambuk yang memacu aku untuk melanjutkan. Mungkin ini bukan tentang cinta, bukan juga tentang permainan biasa. Ini tentang menguji batas. Batas diriku, dan batas antara kami berdua.
Aku berdiri, berbalik untuk meninggalkan kafe itu, tapi langkahku terhenti. Rael tiba-tiba bangkit dan mendekat. “Kamu tahu,” katanya, suara rendah, hampir berbisik, “kamu sudah jauh lebih dalam daripada yang kamu kira. Dan tidak ada jalan keluar, hanya ada pilihan untuk bertahan atau menyerah.”
Aku menatapnya, merasakan tekanan yang berat di dadaku. “Aku tidak akan menyerah.”
Rael tersenyum lebih lebar kali ini, seolah mengapresiasi jawabanku. “Itulah yang aku suka. Tapi ingat, ini bukan hanya permainan. Ini tentang menguasai atau dikuasai. Dan kamu harus memutuskan di pihak mana kamu akan berdiri.”
Aku melangkah pergi, namun kata-kata Rael tetap menghantui pikiranku. Seolah-olah, dia sudah menempatkan aku dalam posisi yang tidak bisa aku ubah. Begitu aku keluar dari kafe itu, dunia terasa berbeda. Tidak ada lagi jalan mundur. Rael sudah menunjukkan wajahnya yang sesungguhnya—dan aku sudah terlalu jauh untuk kembali.
Tapi entah kenapa, rasa takut itu justru menguatkan keinginanku untuk terus maju. Rael tahu cara memainkan permainan ini, dan aku… aku tidak akan membiarkan dia menang begitu saja.
Jatuh Tanpa Kendali
Aku sudah mulai terbiasa dengan permainan ini. Rael selalu tahu apa yang aku butuhkan, bahkan sebelum aku menyadarinya. Setiap pertemuan, setiap kata yang dia ucapkan, semuanya terasa seperti puzzle yang harus aku pecahkan. Tapi semakin aku mencoba untuk memahaminya, semakin aku merasa semakin jauh dari jawaban.
Hari itu, aku menerima pesan darinya. “Waktu bermain semakin sempit. Pertandingan berikutnya dimulai malam ini. Kamu akan tahu apa yang harus dilakukan.”
Aku tidak tahu apakah aku merasa takut atau justru tertarik. Apa yang dia maksud dengan “pertandingan berikutnya”? Apa lagi yang dia rencanakan? Semua ini semakin membingungkan, tapi aku tidak bisa menahan diri untuk tidak ikut terlibat. Rael selalu berhasil membuatku terikat, terhanyut dalam jaringannya yang begitu rapi.
Aku berjalan menuju tempat yang sudah dia tentukan. Kali ini bukan kafe yang biasa, tapi sebuah klub malam yang gelap dan penuh sesak. Musik bass yang bergetar di dinding membuat pernapasanku lebih cepat. Semua orang terlihat tenggelam dalam hiruk pikuk, tidak peduli dengan dunia di luar sana. Tapi aku tahu, Rael tidak akan pernah membawa aku ke tempat yang sembarangan. Setiap tempat, setiap pertemuan, pasti ada tujuan tertentu.
Begitu aku masuk, aku melihatnya di tengah keramaian. Rael berdiri di atas panggung kecil, dikelilingi oleh beberapa orang, matanya tajam dan penuh perhitungan. Aku merasa seperti buruan, dan dia adalah pemburu yang tidak akan membiarkan aku lolos. Semua orang di sekitar kami terlihat seperti bagian dari permainan yang lebih besar, dan aku mulai menyadari bahwa ini lebih dari sekadar taruhan.
Dia melambaikan tangan, memanggilku untuk mendekat. Aku merasa cemas, tapi tidak bisa mundur. Aku melangkah ke arahnya, berusaha menahan getaran yang ada di tubuhku.
“Ini dimulai,” Rael berkata, suaranya rendah, hampir tak terdengar di atas kebisingan musik.
Aku memandangnya, bertanya-tanya apa yang sebenarnya dia rencanakan. “Apa yang dimulai?” tanyaku, merasa kebingungan, tapi juga tidak bisa menghindar.
Rael hanya tersenyum dan mengangkat gelas di tangannya. “Permainan ini. Kamu baru saja masuk ke dalam babak baru. Kamu harus membuat pilihan yang sulit sekarang.”
Aku merasa gelisah. “Pilihan apa?”
Dia menatapku dengan tatapan yang tidak bisa aku baca. “Di depanmu ada dua pintu. Pilih satu, dan kamu akan tahu apa yang ada di dalam. Tapi ingat, kamu tidak bisa kembali setelah memilih.”
Aku melihat sekeliling, dan di ujung ruangan ada dua pintu besar. Di antara kerumunan orang yang sibuk menari dan bersenang-senang, pintu itu tampak sepi dan tidak ada yang memperhatikannya. Hanya ada aku, Rael, dan dua pilihan yang menantiku.
Aku menelan ludah, perasaan takut mulai menyelimuti. Rael melihat reaksi aku dengan mata yang tajam, seolah-olah dia sedang menilai seberapa kuat aku bertahan dalam permainan ini.
“Kamu pikir, kamu bisa memilih tanpa konsekuensi?” kata Rael, nada suaranya sedikit lebih tajam. “Semua pilihan ini punya harga. Dan harga itu bukan sesuatu yang bisa kamu bayar dengan mudah.”
Aku menatap kedua pintu itu, merasa seperti ada tekanan yang luar biasa. Salah satu pintu mungkin akan membawaku ke jalan yang lebih terang, tapi yang satunya bisa saja mengarah ke kegelapan yang lebih dalam.
Aku tahu aku tidak bisa mundur. Aku sudah terlalu terlibat dalam permainan ini. Jadi, tanpa berpikir panjang, aku mengambil langkah pertama menuju pintu yang terletak di sebelah kanan.
Rael mengangkat alis, seolah tidak terkejut dengan pilihanku. “Menarik,” katanya, sebelum melangkah ke samping, memberikan ruang untukku. “Setiap langkahmu akan membawa konsekuensi, ingat itu.”
Aku menoleh ke belakang, sejenak ragu, tapi Rael sudah menghilang di balik kerumunan. Aku tidak tahu apakah itu berarti aku memilih dengan benar atau salah. Tapi tidak ada waktu untuk menyesali pilihan yang sudah aku buat. Aku sudah di sini, dan aku harus terus maju.
Begitu aku melewati pintu, dunia terasa berbeda. Gelap, sunyi, dan menakutkan. Tempat itu bukan seperti yang aku bayangkan—tidak ada orang, tidak ada musik, hanya ada ruangan kosong dengan sebuah meja panjang di tengahnya. Di atas meja itu, ada dua kotak besar yang terkunci. Rael muncul di belakangku, matanya berkilat-kilat dalam kegelapan.
“Selamat datang di babak baru,” katanya, suaranya menggema di ruang sepi itu. “Sekarang, kamu harus memilih lagi. Ini adalah permainan terakhir. Pilih satu kotak, dan kamu akan tahu apa yang ada di dalam. Tapi ingat, kamu tidak akan pernah bisa mengubah pilihanmu setelah ini.”
Aku melihat kotak-kotak itu, masing-masing terlihat identik, tetapi aku tahu, di balik itu semua, ada rahasia yang lebih dalam. Tidak ada jalan mundur, tidak ada cara untuk melarikan diri. Aku sudah terjebak dalam permainan ini, dan semakin dalam aku terlibat, semakin sulit rasanya untuk keluar.
Rael berdiri di sampingku, mengamatiku. “Kamu merasa takut, kan? Tapi ini hanya permulaan. Kalau kamu ingin bertahan, kamu harus siap kehilangan lebih banyak lagi.”
Aku menatapnya, merasa seperti daging yang digantung di atas api. Semua ini terasa begitu nyata, begitu mencekam, dan aku tidak tahu seberapa lama lagi aku bisa bertahan. Tapi satu hal yang pasti—aku tidak akan membiarkan Rael menang begitu saja. Aku akan melawan, apa pun yang terjadi.
Terjebak Dalam Pilihan
Aku menatap kedua kotak yang terletak di atas meja dengan perasaan yang bercampur aduk. Semua yang sudah terjadi, semua kata-kata Rael, semua permainan yang kami jalani, akhirnya membawaku ke titik ini. Aku tidak bisa berpikir jernih lagi. Waktu seakan berhenti, dan setiap detik terasa seperti beban yang semakin berat.
Rael berdiri di belakangku, mengamati, menunggu, seolah menikmati setiap ketegangan yang ada di udara. “Kamu tahu,” katanya dengan suara yang lebih lembut dari sebelumnya, “Setiap pilihan akan mempengaruhi lebih dari sekadar hidupmu. Ini lebih dari sekadar permainan. Ini tentang siapa yang kamu pilih untuk menjadi.”
Aku menggigit bibir, berusaha mengendalikan diri. Aku tidak bisa membiarkan kata-katanya meruntuhkan keteguhanku. Dia tahu betul bagaimana memainkan pikiranku, menggiringku pada keraguan yang tak pernah habis. Tapi saat itu, aku sadar—ini bukan tentang siapa yang benar atau salah. Ini tentang siapa yang paling siap menerima konsekuensinya.
Aku melangkah maju, mataku tetap terfokus pada kedua kotak itu. Kotak pertama terlihat lebih besar, lebih berat, seolah menyimpan sesuatu yang lebih besar di dalamnya. Sedangkan kotak kedua lebih kecil, dengan desain yang lebih sederhana, tetapi entah mengapa, aku merasa kotak itu menyimpan sesuatu yang lebih berbahaya.
“Pilih,” Rael menginstruksikan, suaranya mengalun dalam kegelapan yang semakin mencekam.
Aku bisa merasakan jantungku berdegup cepat. Perasaan takut itu datang lagi, tapi aku sudah terlalu dalam terjebak dalam permainan ini. Tidak ada ruang untuk mundur. Tidak ada pilihan selain melangkah maju.
Dengan satu tarikan napas dalam, aku membuka kotak yang lebih kecil. Semua terasa lambat, setiap gerakan terasa seperti beban yang semakin berat di pundakku. Begitu tutup kotak itu terbuka, sesuatu yang aneh muncul. Sebuah kunci kecil, dengan ukiran yang sangat halus, diletakkan begitu saja di dalam kotak itu. Aku mengambil kunci itu dengan tangan gemetar, merasakan sesuatu yang tidak aku mengerti.
Rael tersenyum, ekspresinya penuh arti. “Kunci itu tidak hanya mengunci sesuatu, tapi juga membuka. Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan dengan kunci itu, kan?”
Aku menatap kunci itu, rasa bingung dan ketakutan semakin mendalam. “Apa ini, Rael? Apa yang kamu inginkan dariku?”
Rael menggelengkan kepalanya pelan, seolah menganggapku tidak mengerti. “Aku tidak ingin apa-apa darimu. Aku hanya ingin melihat sejauh mana kamu akan bertahan. Ini adalah ujianmu, ujian sejauh mana kamu bisa mengatasi ketakutanmu.”
Aku menatapnya, merasa marah sekaligus bingung. “Ujian? Apa aku hanya menjadi bagian dari eksperimenmu?”
Rael tidak menjawab. Dia hanya memandangku dengan tatapan yang sulit dimengerti. Wajahnya yang biasanya penuh perhitungan sekarang terasa kosong, seolah dia tidak peduli dengan apa yang terjadi padaku. Hanya ada dirinya dan permainan yang terus berlanjut.
Aku tahu, kunci ini bukan hanya untuk membuka pintu yang terlihat. Kunci ini membuka sesuatu yang lebih dalam—sesuatu yang mungkin tidak akan pernah bisa aku kembalikan setelah aku memutuskannya.
Rael melangkah maju, semakin dekat, seolah ingin memastikan bahwa aku melakukan apa yang dia inginkan. “Kalau kamu memilih untuk membuka pintu itu, kamu akan tahu apa yang sebenarnya kamu cari.”
Aku menelan ludah, merasa ada bagian dari diriku yang mulai hancur. Pilihan ini bukan hanya tentang aku dan Rael. Ini tentang siapa aku sebenarnya. Dan aku sudah terlalu jauh untuk berhenti.
Dengan tangan yang gemetar, aku mengambil kunci itu dan berjalan menuju pintu yang ada di ujung ruangan. Setiap langkah terasa lebih berat dari yang sebelumnya. Setiap detik seolah memperlambat waktu. Aku tahu, begitu pintu itu terbuka, aku tidak akan pernah kembali menjadi orang yang sama.
Aku memasukkan kunci itu ke dalam lubang kunci, berputar perlahan, dan mendengar suara “klik” yang membuat dadaku semakin sesak. Pintu itu terbuka, dan aku melangkah masuk.
Di dalam, hanya ada satu meja besar, dengan sebuah kotak hitam terletak di atasnya. Begitu aku mendekat, pintu itu tiba-tiba tertutup dengan sendirinya, meninggalkan aku terjebak di dalam ruangan yang hanya bisa diisi oleh suara detak jantungku sendiri.
Rael muncul di belakangku, mengunci pintu dengan satu gerakan cepat. “Kamu sudah memilih, dan sekarang kamu akan menghadapi apa yang ada di dalam.”
Aku melihat kotak hitam itu, tahu betul apa yang akan terjadi. Rael menginginkan lebih dari sekadar permainan. Dia menginginkan pengendalian. Aku merasa terperangkap di dalamnya, seolah tidak ada jalan keluar.
Aku membuka kotak itu dengan hati-hati, dan di dalamnya ada sebuah surat kecil dengan tulisan tangan yang sangat rapi.
“Selamat datang di tahap terakhir. Pilihanmu adalah bukti dari dirimu yang sebenarnya. Tidak ada yang lebih baik atau lebih buruk. Hanya ada kebenaran yang kamu temui sendiri.”
Aku menggenggam surat itu, merasa seperti ada bagian dari diriku yang hancur dalam proses ini. Rael tidak hanya bermain dengan perasaanku—dia bermain dengan aku, dengan siapa aku sebenarnya. Aku sudah terperangkap dalam permainan yang lebih besar dari yang aku bayangkan.
Dan aku, entah kenapa, merasa seperti sudah terlalu jauh untuk kembali.
Dan begitulah, aku terjebak dalam permainan yang aku sendiri nggak tahu bakal berakhir di mana. Semua pilihan yang aku buat, setiap langkah yang aku ambil, hanya semakin menguburku dalam labirin tak berujung ini.
Rael sudah memberi aku kunci, tapi siapa yang sebenarnya mengendalikan siapa? Mungkin, dalam dunia ini, kita semua hanya pion—berputar dalam lingkaran permainan yang nggak pernah ada akhir. Tapi satu hal yang aku tahu pasti: aku nggak akan pernah sama lagi setelah ini.