Daftar Isi
Kamu pernah ngerasa cinta itu datangnya bukan di waktu yang kamu harapkan? Tapi, justru di waktu yang pas banget, setelah kamu berusaha sabar dan terus berdoa?
Nah, cerita ini bakal ngajarin kamu gimana sebuah hubungan yang dibangun dengan doa, kesabaran, dan keyakinan akhirnya bisa membawa dua hati ke jalan yang indah. Cerita tentang Zayna dan Fadhil, yang mungkin aja mirip sama perjalanan kamu—penuh dengan penantian, tapi berakhir manis banget. Cek, yuk!
Indah pada Waktunya
Menunggu dalam Doa
Sore itu terasa lebih tenang dari biasanya. Angin sepoi-sepoi menyusup masuk melalui jendela kecil di ruang tamu, membawa aroma tanah yang lembap setelah hujan. Zayna duduk di kursi kayu yang sudah usang, menatap adik-adiknya yang sedang belajar mengaji di pojok ruangan. Suasana rumah yang sederhana ini selalu memberikan ketenangan dalam hati. Sejak kecil, Zayna sudah terbiasa dengan rutinitas seperti ini—mengajar adik-adiknya, berdoa, dan memohon agar Allah selalu memberikan petunjuk dalam setiap langkah hidupnya.
Namun, hari itu ada yang berbeda. Di tengah keheningan, sebuah amplop putih tergeletak di atas meja kayu, seakan menunggu untuk dibuka. Zayna mengalihkan pandangannya ke amplop itu. Entah mengapa, hatinya sedikit berdebar. Ia tahu, siapa pun yang mengirim surat itu pasti memiliki maksud tertentu. Dengan hati-hati, Zayna membuka amplop tersebut. Ada sebuah surat di dalamnya, tertulis dengan rapi.
“Assalamu’alaikum, Zayna.
Aku Fadhil, anak dari sahabat ayahmu. Aku menulis surat ini dengan niat yang tulus, berharap kamu bisa membacanya dengan hati yang lapang. Aku ingin berbicara lebih lanjut denganmu tentang masa depan kita.”
Zayna terdiam sejenak, menatap surat itu. Fadhil. Nama itu sudah tidak asing bagi Zayna. Sejak kecil, ia sering bertemu dengan Fadhil dalam berbagai acara keagamaan di desa mereka. Fadhil, pemuda yang selalu terlihat tenang, sabar, dan penuh perhatian. Namun, perasaan Zayna tak pernah lebih dari sekadar teman biasa. Tidak ada rasa tertarik yang mengarah pada cinta. Tapi surat ini mengubah semuanya.
Ia menyadari bahwa ini adalah kesempatan untuk benar-benar merenung tentang apa yang sebenarnya diinginkan dalam hidupnya, terutama dalam soal hati. Zayna bukanlah gadis yang terburu-buru. Cinta baginya bukanlah sesuatu yang bisa datang dengan cepat, seperti angin yang lewat begitu saja. Ia tahu bahwa cinta yang hakiki adalah cinta yang tumbuh dalam kesabaran, dalam doa yang panjang.
“Kenapa surat ini harus datang sekarang?” pikir Zayna, sambil menatap langit yang mulai gelap. “Apa benar aku siap untuk itu?”
Ia memutuskan untuk membalas surat tersebut, namun tidak langsung. Zayna merasa perlu untuk lebih banyak berpikir, untuk lebih mendalami perasaannya. Malam itu, setelah mengaji dan berdoa, ia menulis balasan yang sederhana namun penuh makna.
“Assalamu’alaikum, Fadhil.
Terima kasih atas suratmu. Aku hargai niat baikmu, dan aku percaya bahwa setiap keputusan dalam hidup harus datang dari pertolongan Allah. Aku ingin agar kita bisa berbicara lebih lanjut, namun aku percaya bahwa apapun yang terjadi, segala sesuatu akan indah pada waktunya, jika itu memang yang terbaik.”
Zayna menutup suratnya dengan doa. Dengan hati yang masih penuh pertanyaan, ia menyelipkan surat itu di dalam amplop dan menunggu waktu yang tepat untuk memberikannya kepada Fadhil.
Keesokan harinya, setelah shalat subuh, Zayna pergi ke masjid untuk mengajar anak-anak mengaji. Ketika ia sedang menunggu waktu untuk pulang, Fadhil muncul di depan masjid, tampak memegang sebuah tas kecil. Wajahnya yang tenang tampak lebih serius dari biasanya. Zayna merasa ada sesuatu yang berbeda, namun ia hanya bisa tersenyum samar.
“Assalamu’alaikum, Zayna,” sapanya dengan suara lembut.
“Waalaikumsalam, Fadhil. Ada yang bisa saya bantu?” jawab Zayna, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang.
Fadhil menatapnya sejenak sebelum akhirnya berbicara. “Aku ingin kita berbicara lebih lanjut. Aku harap kita bisa duduk bersama dan membicarakan ini, jika kamu tidak keberatan.”
Zayna mengangguk. Meskipun hatinya sedikit berdebar, ia berusaha untuk tetap tenang. “Tentu, ayo kita duduk di taman dekat sini.”
Mereka berdua berjalan ke taman yang tidak jauh dari masjid, sebuah taman kecil dengan pohon-pohon rindang yang sering digunakan warga desa untuk duduk dan berbincang. Suasana sore itu terasa begitu tenang, hanya terdengar suara langkah kaki mereka yang menyusuri jalan setapak. Setelah duduk di bangku taman, Fadhil memulai pembicaraan.
“Zayna,” katanya dengan suara pelan namun penuh keyakinan, “aku sudah lama berpikir tentang hal ini. Aku ingin memintamu untuk mempertimbangkan masa depan kita. Aku ingin kita menjalani hidup bersama, dengan ridha Allah, tentunya.”
Zayna menatapnya dalam-dalam, mencoba menangkap setiap kata yang keluar dari mulut Fadhil. Ada keikhlasan yang terpancar dari wajahnya, namun Zayna tahu bahwa perasaan itu tidak bisa datang dengan terburu-buru.
“Fadhil,” jawab Zayna setelah beberapa saat, “Aku menghargai niat baikmu. Tapi aku percaya, cinta yang benar adalah yang datang dengan penuh kesabaran. Aku ingin agar kita berjalan dengan doa, berharap Allah memberi petunjuk yang benar untuk hidup kita.”
Fadhil tersenyum. “Aku setuju. Kita bisa menunggu, Zayna. Aku tidak akan memaksa. Aku ingin kita menjalani ini dengan cara yang benar.”
Percakapan mereka berlanjut dengan penuh ketenangan. Zayna merasa lebih lega. Tidak ada tekanan, tidak ada janji-janji kosong. Hanya ada kesepakatan untuk menunggu waktu yang tepat, dengan sabar dan penuh doa.
Sebelum pulang, Fadhil berkata dengan tulus, “Aku akan menunggu jawabannya, Zayna. Dengan sabar, seperti yang kita bicarakan.”
Zayna tersenyum kecil. “Aku juga akan berdoa, Fadhil. Semoga Allah memberi kita petunjuk.”
Langit malam mulai gelap, dan angin bertiup lebih kencang. Namun, Zayna merasa ada kedamaian yang baru menyelimuti hatinya. Mungkin, cinta itu memang indah pada waktunya. Dan mungkin, waktu itu belum tiba. Tapi ia yakin, Allah akan selalu memberikan yang terbaik, jika mereka tetap berjalan di jalan yang benar.
Dengan langkah ringan, Zayna pulang ke rumah, meninggalkan taman yang tenang, dan hatinya yang penuh harap.
Keikhlasan dalam Setiap Langkah
Minggu-minggu berlalu begitu saja, dan Zayna merasa hari-harinya semakin dipenuhi dengan doa. Setiap kali ia menatap langit malam, ia selalu berharap agar Allah memberikan petunjuk yang jelas tentang langkah berikutnya dalam hidupnya, terutama soal Fadhil. Meskipun ia merasa tidak ada yang berubah, hatinya tetap yakin bahwa segala sesuatu akan menjadi lebih jelas seiring berjalannya waktu. Ia belajar untuk tidak terburu-buru, untuk menerima setiap hal dengan lapang dada.
Zayna melanjutkan rutinitas sehari-harinya—mengajar anak-anak mengaji, membantu ibunya di rumah, dan menyelesaikan tugas-tugas lainnya. Namun, dalam setiap kesempatan itu, ia selalu memikirkan Fadhil. Tidak secara langsung, tapi ia merasakan ada ketenangan yang datang dari pemikiran tentang pemuda itu. Fadhil bukan hanya seorang teman lama, tetapi juga seseorang yang sepertinya benar-benar menghargai keikhlasan dan kesabaran.
Suatu hari, saat Zayna tengah berada di pasar untuk membeli beberapa bahan makanan, ia melihat Fadhil di kejauhan. Fadhil tampak sedang berbincang dengan beberapa orang warga, senyum khasnya yang menenangkan terukir di wajahnya. Zayna merasa ragu untuk mendekat, tetapi akhirnya ia memutuskan untuk menyapanya.
“Assalamu’alaikum, Fadhil,” sapa Zayna dengan suara yang lebih lembut dari biasanya.
Fadhil menoleh dan tersenyum, senyum yang penuh kehangatan. “Waalaikumsalam, Zayna. Apa kabar?”
“Alhamdulillah, baik. Kamu sendiri?” Zayna bertanya sambil tersenyum kecil.
“Alhamdulillah, baik juga,” jawab Fadhil. “Lagi belanja ya?”
“Ya, beberapa kebutuhan rumah,” jawab Zayna.
Fadhil mengangguk, lalu melihat sekilas ke barang yang dibeli Zayna. “Mau aku bantu?”
Zayna tertawa kecil. “Tak perlu, aku sudah biasa. Terima kasih ya, Fadhil.”
Mereka berdiri sejenak dalam diam, kemudian Fadhil memecah keheningan dengan suara lembutnya. “Zayna, aku ingin melanjutkan percakapan kita yang kemarin. Tentang masa depan.”
Zayna mengangguk. “Ya, aku juga berpikir tentang itu.”
Fadhil tersenyum. “Aku ingin mengajakmu untuk lebih serius dalam membicarakan ini. Aku ingin melamar kamu, Zayna. Tapi aku ingin semuanya dilakukan dengan cara yang benar. Aku ingin kita berjalan bersama dengan doa dan keyakinan.”
Zayna terdiam sejenak. Hatinya mulai berdebar, tetapi ia tahu ini bukan saatnya untuk terburu-buru. “Fadhil, aku sangat menghargai niat baikmu. Tapi seperti yang aku katakan, aku ingin semuanya berjalan dengan penuh pertimbangan. Aku ingin kita menunggu, agar semuanya indah pada waktunya.”
Fadhil menatapnya dengan penuh pengertian. “Aku mengerti, Zayna. Aku akan menunggu, seperti yang kita bicarakan. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa niatku tulus. Aku ingin mendampingimu, dalam suka dan duka.”
Zayna tersenyum dan mengangguk. “Aku juga berharap begitu. Semoga Allah memberi kita petunjuk.”
Setelah beberapa saat, mereka berpisah dengan janji untuk terus menjaga komunikasi, tetapi tidak terburu-buru. Fadhil, dengan sabarnya, menerima keputusan Zayna. Zayna merasa lega. Meskipun belum ada kepastian, hatinya yakin bahwa mereka akan menjalani semuanya dengan keikhlasan dan kesabaran. Keputusan untuk tidak terburu-buru ternyata menjadi keputusan yang tepat.
Malam itu, Zayna kembali ke rumah dengan hati yang tenang. Ia duduk di kursi favoritnya, menghadap jendela yang terbuka, dan memandangi langit yang gelap dengan gemerlap bintang. Ia menyadari bahwa dalam setiap langkah hidupnya, ia harus selalu mengedepankan keikhlasan dan ketulusan. Cinta yang tulus memang tidak datang dengan cepat, tetapi datangnya pasti jika itu adalah yang terbaik.
Setelah menunaikan shalat isya, Zayna duduk di depan meja belajarnya, menulis surat balasan untuk Fadhil. Ia ingin memberi jawaban yang lebih jelas, meski tidak terburu-buru. Dengan hati yang penuh doa, ia menulis.
“Assalamu’alaikum, Fadhil.
Aku menghargai setiap niat baikmu. Allah adalah yang paling tahu tentang hati kita, dan aku percaya, jika kita melangkah dengan sabar dan doa, segala sesuatu akan indah pada waktunya. Aku ingin kita menjalani ini dengan cara yang benar, dengan penuh keyakinan. Aku juga ingin kamu tahu, aku berdoa agar Allah memberkati setiap langkah kita.”
Zayna menghela napas panjang setelah menulis surat itu. Ia merasa lebih lega, seakan beban berat yang ia rasakan beberapa waktu lalu telah berkurang. Tidak ada yang terburu-buru, dan itu adalah hal yang membuatnya tenang. Ia tahu, Fadhil adalah seseorang yang memahami hal itu.
Hari-hari berikutnya berlalu dengan damai. Zayna dan Fadhil tetap menjaga komunikasi, berbicara tentang banyak hal, namun tetap dalam batas yang sopan dan menjaga hati masing-masing. Zayna merasa bahwa langkah mereka semakin jelas. Ia tidak merasa tertekan, dan itu adalah hal yang sangat penting baginya.
Dengan kesabaran yang terus tumbuh, Zayna yakin bahwa waktu yang tepat akan datang. Seperti yang telah ia yakini sejak awal, semuanya akan indah pada waktunya. Cinta yang datang dengan sabar, dengan doa, dan dengan keikhlasan, akan selalu membawa kedamaian.
Menyambut Takdir dengan Keyakinan
Minggu pagi yang cerah, Zayna berdiri di dekat jendela rumahnya, menatap sinar matahari yang masuk melalui celah-celah daun di luar. Udara pagi yang segar terasa menenangkan. Hari itu adalah hari yang sudah dijanjikan oleh Fadhil untuk datang ke rumahnya. Zayna merasa hati dan pikirannya penuh dengan berbagai perasaan, namun satu hal yang paling dominan: ketenangan. Ia merasa siap untuk melangkah lebih jauh, tapi dengan satu syarat—kejelasan. Tidak ada ruang untuk keraguan, tidak ada lagi tempat untuk kebingungannya. Ia harus yakin.
Zayna menyiapkan rumah dengan rapi, memastikan segalanya berjalan dengan baik. Ibu dan ayahnya sedang sibuk di luar, sehingga hanya Zayna yang akan menyambut kedatangan Fadhil. Beberapa kali ia menatap jam, menunggu waktu yang semakin dekat. Meskipun ia sudah sering berbincang dengan Fadhil dalam beberapa minggu terakhir, pertemuan ini terasa sedikit lebih penting. Seolah-olah, ada keputusan besar yang harus diambil.
Ketika pintu depan terbuka, Zayna melihat sosok Fadhil berdiri dengan senyum lebar, mengenakan pakaian yang rapi namun sederhana. Wajahnya terlihat begitu serius, tetapi tatapan matanya tetap hangat dan penuh keyakinan. Fadhil melangkah masuk dengan membawa sebuah bingkisan kecil di tangannya, sebagai tanda penghargaan dan rasa terima kasih atas kesempatan untuk berbicara lebih lanjut.
“Assalamu’alaikum,” kata Fadhil sambil meletakkan bingkisan itu di atas meja kecil di ruang tamu.
“Waalaikumsalam,” jawab Zayna, mengangguk dengan lembut.
Mereka duduk berhadapan di ruang tamu yang nyaman, dengan teh manis yang telah Zayna siapkan. Meskipun suasana terasa santai, keduanya tahu bahwa percakapan kali ini berbeda. Ada sesuatu yang lebih serius yang menanti untuk dibicarakan.
Fadhil membuka percakapan. “Zayna, aku ingin berbicara lebih jelas tentang niatku. Seperti yang aku katakan, aku ingin menempuh jalan yang benar. Aku sudah menyiapkan semuanya, dan aku ingin kamu tahu bahwa aku berkomitmen untuk serius.”
Zayna menatap Fadhil, mencerna kata-kata yang baru saja diucapkan. Ada sesuatu dalam diri Fadhil yang mengingatkannya pada keikhlasan. Ia tahu bahwa keputusan ini tidak bisa dibuat dengan tergesa-gesa, tetapi ia juga tahu bahwa Fadhil sudah siap untuk menempuh jalan yang benar.
“Aku mengerti, Fadhil,” jawab Zayna dengan suara lembut. “Aku juga ingin semuanya berjalan dengan baik. Aku tidak ingin ada keraguan, karena itu hanya akan membuat semuanya terasa berat. Tapi aku juga tidak ingin terburu-buru. Aku percaya pada proses ini, pada doa kita, pada takdir yang sudah Allah tentukan.”
Fadhil mengangguk, menatap Zayna dengan penuh pengertian. “Aku menghargai kesabaranmu, Zayna. Aku ingin kita berdua berjalan dalam takdir yang sama. Aku percaya bahwa jika kita ikhlas, Allah akan memberikan kita jalan yang terbaik.”
Zayna merasakan sebuah rasa damai yang dalam saat mendengar kata-kata itu. Keikhlasan, sabar, dan doa—tiga hal ini terasa begitu kuat dalam hatinya. “Aku juga ingin itu, Fadhil. Aku ingin kita menunggu dengan sabar, karena aku percaya bahwa jika kita saling percaya dan saling mendukung, semuanya akan indah pada waktunya.”
Suasana menjadi hening beberapa saat, keduanya saling merenung. Zayna merasa tidak perlu lagi ada kata-kata untuk mengungkapkan perasaannya. Hatinya sudah merasa yakin, dan ia tahu bahwa Fadhil juga merasakannya. Cinta yang datang dengan sabar akan menjadi cinta yang abadi.
Fadhil memecah keheningan dengan senyum yang tulus. “Aku akan menunggu, Zayna. Aku akan terus berdoa untuk kita. Dan jika Allah mengizinkan, aku akan datang lagi ke rumahmu, meminta izin untuk melangkah lebih jauh.”
Zayna tersenyum dengan lembut, hatinya terasa tenang. “Aku juga akan berdoa untuk kita, Fadhil. Semoga Allah memberikan yang terbaik untuk kita berdua.”
Mereka menghabiskan waktu berbincang tentang banyak hal, tetapi dalam setiap kata yang diucapkan, terasa ada kebersamaan yang semakin kuat. Tidak ada lagi perasaan ragu atau cemas dalam diri Zayna. Ia tahu bahwa Fadhil adalah seseorang yang tulus dan penuh niat baik. Namun, ia juga tahu bahwa langkah ini membutuhkan waktu dan keteguhan hati.
Setelah beberapa jam, Fadhil berpamitan. Sebelum meninggalkan rumah, ia menatap Zayna dengan tatapan yang penuh arti. “Aku akan selalu ada untukmu, Zayna. Dengan doa, dengan harapan, dan dengan segala yang terbaik.”
Zayna membalas senyumnya. “Terima kasih, Fadhil. Semoga kita diberi kekuatan untuk menjalani ini dengan penuh kesabaran.”
Saat pintu tertutup, Zayna merasa perasaan yang menghangatkan di dalam hatinya. Ia menatap langit melalui jendela, merasa bahwa setiap langkah yang diambilnya adalah bagian dari takdir yang indah. Tidak ada yang perlu terburu-buru, karena semuanya sudah diatur dengan sempurna oleh Yang Maha Kuasa.
Zayna tahu, bahwa cinta yang penuh dengan sabar dan ketulusan adalah cinta yang akan diberkahi. Dan dengan keyakinan itu, ia menantikan hari-hari mendatang dengan penuh harapan dan doa.
Akhir yang Ditulis dengan Doa
Beberapa bulan berlalu sejak percakapan di ruang tamu rumah Zayna. Kehidupan berjalan seperti biasa, tapi ada sesuatu yang terasa berbeda. Zayna menjalani hari-harinya dengan lebih damai, seolah keyakinan yang tertanam dalam hatinya memberikan energi baru. Ia sibuk dengan pekerjaan, mengurus orang tuanya, dan meluangkan waktu untuk memperbaiki dirinya. Dalam doanya, Fadhil selalu hadir, meski tidak ada janji apa pun yang dipegangnya selain keyakinan bahwa takdir Allah adalah yang terbaik.
Fadhil juga tak pernah absen memberikan kabar. Pesan-pesan singkat yang dikirimnya selalu penuh dengan semangat dan dukungan. Ia tidak pernah memaksa atau terburu-buru, selalu memastikan bahwa Zayna tahu bahwa ia bersedia menunggu, sebanyak apa pun waktu yang diperlukan.
Namun, satu pesan dari Fadhil suatu sore membuat Zayna tertegun.
“Zayna, besok aku ingin datang ke rumah. Ada sesuatu yang penting ingin aku sampaikan.”
Jantung Zayna berdetak lebih cepat. Ia bertanya-tanya, apa yang akan dikatakan Fadhil? Apakah ini tentang rencana untuk melangkah lebih jauh, atau ada sesuatu yang lain? Zayna segera mengalihkan pikirannya. Ia tak ingin terlalu banyak menebak, lebih baik ia serahkan semuanya pada Allah.
Keesokan harinya, Fadhil datang dengan membawa serta orang tuanya. Kehadirannya kali ini terasa lebih resmi. Ayah Zayna mempersilakan mereka masuk, dan suasana rumah yang biasanya tenang mendadak terasa lebih hidup. Fadhil duduk di ruang tamu bersama ayah dan ibu Zayna, sementara Zayna tetap di dapur, menyiapkan hidangan sederhana sambil mencoba menenangkan dirinya.
Ketika akhirnya Fadhil berbicara, suaranya terdengar mantap namun lembut. “Pak, Bu, saya ke sini untuk menyampaikan niat saya. Saya ingin melamar Zayna, dengan izin dan restu dari Bapak dan Ibu.”
Kata-kata itu sederhana, tapi cukup untuk membuat hati Zayna bergetar di tempatnya berdiri. Ia tidak menyangka momen ini akan datang secepat ini, meski di sisi lain, ia tahu bahwa Fadhil adalah seseorang yang tulus dan bersungguh-sungguh sejak awal.
Ayah Zayna terdiam sejenak sebelum akhirnya menanggapi. “Fadhil, kami menghargai niat baikmu. Zayna adalah anak perempuan kami satu-satunya, dan sebagai orang tua, kami hanya menginginkan yang terbaik untuknya. Tapi tentu saja, keputusan ini adalah hak Zayna. Jika dia siap dan setuju, kami juga akan mendukung.”
Semua mata tertuju pada Zayna yang baru saja masuk membawa nampan teh. Ia meletakkannya dengan tangan yang sedikit gemetar, lalu duduk di samping ibunya.
“Zayna,” ujar ayahnya, “ini keputusanmu. Kami tidak akan memaksa.”
Zayna mengangkat wajah, menatap Fadhil yang duduk dengan tenang, menunggu jawaban. Dalam hatinya, ia tahu bahwa ini adalah bagian dari doa-doanya yang terjawab. Fadhil bukan hanya seseorang yang ia kenal sebagai teman, tetapi seseorang yang mampu memberikan rasa aman, yang selalu sabar, dan paling penting, yang memahami bahwa cinta sejati dimulai dari keikhlasan untuk menerima dan berjuang bersama.
“Aku…” Zayna menarik napas panjang, lalu tersenyum lembut. “Aku setuju, Ayah.”
Fadhil tersenyum, dan dalam pandangan matanya, Zayna melihat ketulusan yang tak pernah berubah sejak awal. Orang tua mereka pun terlihat lega dan bahagia. Setelah berbincang lebih lanjut tentang rencana ke depan, kedua keluarga menyepakati tanggal untuk akad nikah.
Hari pernikahan mereka tiba dengan segala keindahannya. Zayna mengenakan gaun sederhana berwarna putih gading yang dipadukan dengan hijab satin. Wajahnya terlihat tenang, meski di balik ketenangan itu ada perasaan haru yang tak terbendung. Di sisi lain, Fadhil tampak gagah dengan jas hitamnya. Kedua keluarga dan teman-teman dekat hadir untuk menyaksikan hari bahagia mereka.
Saat Fadhil mengucapkan ijab kabul dengan lantang dan tegas, Zayna meneteskan air mata. Bukan karena kesedihan, melainkan karena kebahagiaan yang begitu mendalam. Ia tahu, perjalanan ini adalah bukti dari doa, kesabaran, dan keyakinannya pada rencana Allah.
Setelah acara selesai, Fadhil mendekati Zayna yang duduk di sudut ruangan, dikelilingi oleh sahabat-sahabatnya. Ia mengulurkan tangannya, dan Zayna menyambutnya dengan senyuman kecil.
“Terima kasih sudah percaya padaku,” ujar Fadhil lirih, hanya bisa didengar oleh Zayna.
Zayna mengangguk, suaranya terdengar bergetar saat menjawab. “Terima kasih juga, Fadhil, karena selalu sabar menunggu.”
Hari itu bukan hanya tentang pernikahan mereka, tetapi juga tentang sebuah perjalanan panjang yang akhirnya mencapai tujuan. Sebuah kisah cinta yang dibangun dengan doa, kesabaran, dan kepercayaan. Zayna dan Fadhil tahu bahwa kehidupan setelah ini tidak akan selalu mulus, tetapi mereka percaya bahwa dengan bersama-sama dan tetap mengandalkan Allah, mereka bisa menghadapi segalanya.
Di ujung senja, Zayna menatap langit yang berwarna jingga keemasan. Ia tersenyum, bersyukur atas setiap momen dalam hidupnya yang telah membawa ia ke titik ini. Ia dan Fadhil berjalan pulang bersama, melangkah ke masa depan dengan keyakinan bahwa cinta yang sejati memang indah pada waktunya.
Dan akhirnya, seperti yang selalu dibilang, cinta yang sejati memang indah pada waktunya. Zayna dan Fadhil membuktikan bahwa kesabaran, doa, dan keyakinan bisa membawa mereka ke kebahagiaan yang selama ini mereka impikan.
Siapa bilang cinta harus datang dengan cara yang instan? Terkadang, cinta yang ditunggu dengan tulus justru yang paling berharga. Semoga cerita ini bisa jadi pengingat, bahwa dengan sabar dan penuh kepercayaan, semua akan indah pada waktunya.