Daftar Isi
Jelajahi dunia emosi mendalam dan persahabatan remaja yang menyayat hati dalam Ikatan Sahabat SMP yang Hilang: Kisah Sedih Remaja, sebuah cerpen memikat yang mengisahkan perjalanan Zariel Kim di Haewon pada tahun 2024. Cerita ini mengungkap duka dan pengorbanan Zariel atas hilangnya sahabatnya, Elyndra Park, dengan bantuan misterius Torin Yoon. Cocok untuk penggemar drama Korea yang mencari kisah remaja emosional—jangan lewatkan petualangan hati yang mengharukan ini!
Ikatan Sahabat SMP yang Hilang
Hari-Hari di Bawah Pohon Sakura
Di sebuah kota kecil bernama Haewon pada tahun 2024, di mana jalan-jalan beraspal dipenuhi sepeda tua dan taman-taman kecil dipenuhi bunga sakura yang mekar setiap musim semi, sebuah ketenangan tersembunyi di balik kesibukan anak-anak sekolah yang berlarian menuju kelas. Kota ini dikenal dengan suasananya yang sederhana namun penuh kenangan, dengan sekolah menengah pertama yang berdiri megah di tengah perkampungan, dikelilingi oleh pepohonan hijau yang memberikan naungan di hari-hari panas. Di antara anak-anak kelas sembilan itu, ada seorang gadis bernama Zariel Kim, berusia lima belas tahun, rambut pendeknya yang cokelat pirang sering tergerai acak-acakan oleh angin, wajahnya yang bulat penuh semangat dengan mata hazel yang bersinar ceria. Namun, di balik keceriaannya, ada bayangan kecil yang mulai tumbuh sejak sahabatnya, Elyndra Park, menghilang dua bulan lalu tanpa jejak.
Zariel tinggal di sebuah rumah sederhana di pinggir Haewon, sebuah bangunan kayu dengan taman kecil yang dipenuhi bunga liar. Ruangannya dipenuhi barang-barang kecil yang mengingatkannya pada Elyndra—sebuah buku catatan berisi puisi yang diberikan temannya, sebuah gelang anyaman yang mereka buat bersama, dan sebuah foto polaroid yang menunjukkan mereka berdua tersenyum di bawah pohon sakura di taman sekolah. Rumah itu sering dipenuhi aroma teh herbal yang diseduh ibunya, namun aroma itu kini terasa hambar baginya, seolah kehilangan kehangatan sejak Elyndra pergi. Zariel pindah ke Haewon tiga tahun lalu bersama keluarganya, mencari kehidupan yang lebih tenang, tapi kini kota ini menjadi saksi dari kesepiannya yang semakin dalam.
Hari-hari Zariel di SMP Haewon biasanya dimulai dengan suara lonceng sekolah yang menggema di pagi hari, diikuti oleh langkah kakinya yang bergegas menuju kelas sembilan bersama Elyndra. Mereka duduk di bangku belakang, berbagi catatan pelajaran dan tawa kecil saat guru menjelaskan materi yang membosankan. Tapi kini, bangku itu kosong di sampingnya, meninggalkan ruang hampa yang membuat Zariel merasa seperti orang asing di kelasnya sendiri. Ia menghabiskan waktu istirahat di bawah pohon sakura, menatap daun-daun yang berguguran, tangannya memainkan gelang anyaman yang masih terselip di pergelangan tangannya. Di malam hari, ia duduk di meja belajarnya, menatap foto polaroid itu, hati dipenuhi kerinduan pada sahabat yang tak lagi ada.
Persahabatan mereka dimulai sejak kelas tujuh, di taman sekolah saat mereka secara tidak sengaja bertabrakan saat berlari mengejar bola. Elyndra, dengan rambut panjang hitamnya dan senyum lebar yang menular, langsung mengulurkan tangan untuk membantu Zariel berdiri. Sejak saat itu, mereka tak terpisahkan, berbagi rahasia di bawah pohon sakura, menggambar di buku catatan, dan bermimpi menjadi penulis terkenal. Elyndra selalu menjadi yang lebih berani, sementara Zariel menemukan keberanian dalam kehadiran temannya. Mereka tumbuh bersama, melewati ujian sekolah, persaingan kecil dengan teman lain, dan harapan untuk lulus dengan nilai terbaik. Tapi segalanya berubah ketika Elyndra tiba-tiba berhenti datang ke sekolah, meninggalkan Zariel dengan pertanyaan yang tak terjawab.
Zariel sering mengingat hari terakhir mereka bersama, sebuah sore di bulan Maret ketika sakura bermekar penuh. Mereka duduk di bawah pohon, membaca puisi yang ditulis Elyndra, dan berbagi mimpi tentang masa depan. Elyndra tampak sedikit berbeda hari itu, matanya penuh bayangan, tapi Zariel menganggap itu hanya kelelahan. Malam berikutnya, ibu Elyndra datang ke rumah Zariel, wajahnya pucat, dan memberitahu bahwa Elyndra telah pergi tanpa meninggalkan pesan. Sejak saat itu, Zariel merasa seperti kehilangan bagian dari dirinya, sebuah lubang yang tak bisa diisi oleh siapa pun.
Suatu sore di bulan April, ketika angin membawa aroma bunga liar, Zariel duduk sendirian di taman sekolah, menatap pohon sakura yang mulai layu. Hujan kecil turun, menciptakan genangan air di tanah, dan tiba-tiba seorang anak laki-laki dengan jaket lusuh muncul di dekatnya. Rambutnya yang hitam berantakan oleh angin, dan matanya yang gelap menatapnya dengan rasa ingin tahu yang aneh. Ia memperkenalkan diri sebagai Torin Yoon, seorang siswa kelas sembilan yang baru pindah ke Haewon dan tampak tersesat di lingkungan sekolah. Wajahnya penuh bekas luka kecil, tapi ada ketenangan dalam caranya berdiri yang membuat Zariel tak bisa menolak mengundangnya duduk bersamanya.
Torin duduk di rumput basah, tangannya yang kotor memegang sebuah buku tua yang tampak usang. Matanya sesekali melirik foto polaroid di tangan Zariel, seolah mengenali sesuatu. “Tempat ini penuh kenangan,” katanya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh suara hujan. Zariel mengangguk, hati bergetar oleh kata-kata yang terasa terlalu dekat dengan perasaannya. Torin memutuskan untuk tinggal sebentar di taman, dengan alasan ingin mencari ketenangan, dan meski Zariel ragu, ia merasa ada kelegaan dalam kehadiran anak laki-laki itu, sebuah perubahan dari kesepian yang selama ini menyelimutinya.
Hari-hari berikutnya membawa ritme baru ke kehidupan Zariel. Torin membantu mengambilkan buku-buku yang jatuh saat angin kencang, duduk bersamanya di kantin sekolah, dan bahkan menggambar sketsa pohon sakura di buku catatan Zariel. Ia tak banyak bertanya tentang Elyndra, tapi gerakannya yang pelan, seperti saat ia menyapu daun kering atau membukakan payung saat hujan, seolah membawa sedikit cahaya ke dalam kegelapan hatinya. Zariel mulai merasa nyaman dengan kehadiran Torin, meski ia tak pernah mengakuinya, bahkan pada dirinya sendiri.
Namun, di balik ketenangan yang muncul, ada bayangan yang semakin pekat. Setiap kali angin bertiup kencang, Zariel merasa ada suara samar di taman—langkah kaki yang terdengar seperti Elyndra, atau desau daun yang mirip dengan tawa temannya. Ia sering terbangun di malam hari, berkeringat dingin, membayangkan Elyndra berdiri di sudut kamarnya, wajahnya pucat dan matanya kosong. Dan Torin, dengan instingnya yang tajam, mulai memperhatikan hal-hal kecil—cara Zariel menatap foto polaroid, cara ia memegang gelang anyaman dengan tangan gemetar, dan cara ia selalu terdiam ketika angin membawa kenangan.
Pada suatu malam yang dingin, ketika lampu jalan tampak redup di balik tirai hujan, Zariel mendengar ketukan lembut di jendela kamarnya. Ia membukanya, berpikir itu hanya angin, tapi yang berdiri di luar adalah seorang gadis dengan jaket basah dan rambut hitam kusut. Di tangannya, ia memegang sebuah kotak kecil yang tampak tua, permukaannya penuh goresan. Gadis itu meletakkan kotak itu di ambang jendela dan berbicara dengan suara pelan, “Ini milik Elyndra. Aku menemukannya di dekat sungai.” Sebelum Zariel bisa bertanya lebih lanjut, gadis itu berbalik dan menghilang ke dalam hujan, meninggalkan Zariel dengan detak jantung yang kencang dan rasa takut yang tak bisa dijelaskan.
Zariel berdiri di jendela, memegang kotak itu yang terasa dingin di tangannya. Di dalamnya, ia tahu, ada sesuatu yang akan mengubah segalanya. Ia menatap ke arah taman sekolah yang basah di luar, dan untuk pertama kalinya dalam dua bulan, ia merasa takut—bukan hanya karena kehilangan Elyndra, tapi karena kenyataan bahwa kenangan itu mungkin akan menghancurkannya sepenuhnya.
Cahaya di Antara Daun Kering
Hujan turun pelan di Haewon, membasahi jalanan dan membentuk cermin di trotoar yang mencerminkan lampu-lampu jalan yang berkelap-kelip. Zariel Kim duduk di lantai kamarnya, kotak tua yang diberikan gadis misterius itu terbuka di depannya, isi di dalamnya tersebar di karpet tipis. Udara di dalam ruangan terasa lembap, bercampur dengan aroma kertas lama dan bunga liar yang masuk melalui jendela terbuka. Di luar, angin bertiup lembut, membawa suara derit pohon sakura yang kini mulai kehilangan daunnya. Lampu meja belajarnya berkedip lemah, menciptakan bayang-bayang yang menari di dinding, seolah menggambarkan kenangan yang terus menghantuinya.
Kotak itu berisi benda-benda yang membuat jantung Zariel berdegup kencang—sebuah kalung sederhana dengan liontin berbentuk bintang, beberapa puisi yang ditulis tangan oleh Elyndra, dan sebuah buku harian kecil yang tertutup rapat dengan pita biru. Kertas-kertas itu terasa dingin dan sedikit lengket karena kelembapan, dan aroma tinta yang memudar memenuhi udara, membawa kembali ingatan tentang Elyndra yang sering menulis di taman sekolah. Zariel menatap isi kotak itu selama berjam-jam, tangannya bergetar setiap kali hendak menyentuh buku harian yang tampak seperti menyimpan rahasia terakhir temannya. Pikirannya melayang ke masa lalu, ke hari-hari ketika mereka duduk bersama di bawah pohon sakura, ketika tawa Elyndra masih terdengar jelas di telinganya.
Pagi itu, ketika matahari tersembunyi di balik awan tebal dan hujan mereda menjadi gerimis, Torin Yoon kembali dari perjalanan singkatnya ke perpustakaan sekolah. Ia membawa sebuah tas kain yang berisi buku-buku bekas dan sebuah kotak kardus kecil yang ia temukan di dekat taman. Wajahnya tampak lelah, tapi matanya yang gelap bersinar dengan rasa ingin tahu yang aneh. “Aku menemukan sesuatu yang mungkin membantumu,” katanya, meletakkan kotak itu di meja belajar di samping kotak milik Elyndra. Kotak itu terbuat dari kardus lusuh dengan gambar bunga sakura, dan di dalamnya terdapat sebuah surat yang ditulis dengan tangan rapi, bersama dengan foto polaroid baru yang sudah menguning di tepinya.
Zariel merasa napasnya terhenti sejenak. Surat itu ditulis oleh Elyndra, tinta hitamnya masih samar terbaca meski kertasnya basah. Ia mengambil surat itu dengan tangan yang gemetar, membukanya perlahan, dan menemukan kata-kata yang membuat dunianya bergetar. “Zariel, maafkan aku karena pergi,” tulisnya. Surat itu menceritakan tentang tekanan di rumahnya, tentang bagaimana Elyndra merasa terjebak dalam ekspektasi keluarganya, dan tentang keputusan terakhirnya untuk menghilang demi melindungi Zariel dari rasa bersalah yang ia pikul. Foto polaroid menunjukkan Elyndra berdiri di tepi sungai, rambut hitamnya berkibar oleh angin, dengan senyum tipis yang penuh duka.
Zariel merasa dadanya sesak. Ia ingat Elyndra, yang selalu tersenyum di taman, dan hari-hari ketika ia menunggu kabar dari temannya dengan harapan yang perlahan memudar. Surat itu mengungkap bahwa Elyndra tahu tentang kekhawatiran Zariel, tapi ia memilih untuk diam, tak ingin menyakitinya lebih dalam dengan kebenaran. Zariel menutup mata, mencoba menahan air mata yang mengalir, tapi hati kecilnya terus berbisik bahwa ini adalah akhir dari harapan yang tersisa.
Torin memperhatikan reaksi Zariel, tapi ia tak bertanya apa-apa. Ia hanya duduk di sudut kamar, membolak-balik buku-buku bekasnya dengan hati-hati, seolah memberikan ruang bagi Zariel untuk tenggelam dalam pikirannya. Namun, kehadiran Torin, meski diam, terasa seperti tekanan lembut yang mendorong Zariel untuk menghadapi kenyataan. Ia menatap buku harian Elyndra di tangannya, lalu ke kalung bintang di kotak. Ada hubungan antara keduanya, ia tahu itu, tapi ia belum siap untuk menghadapinya.
Hari-hari berikutnya berlalu dengan ketegangan yang tak terucapkan. Zariel mulai merasa bahwa kehadiran Torin bukanlah kebetulan. Ada sesuatu dalam caranya bergerak, dalam cara ia menatap surat Elyndra, yang membuat Zariel curiga bahwa anak laki-laki ini tahu lebih banyak daripada yang ia katakan. Pada suatu sore, ketika mereka duduk di taman sekolah sambil menikmati teh panas di tengah hujan yang reda, Torin tiba-tiba berkata, “Kenangan itu bisa menjadi penjara, Zariel.” Zariel menatapnya tajam, merasa seperti ditelanjangi. Ia ingin marah, ingin mengusir Torin dari taman, tapi ada sesuatu dalam nada suara Torin yang membuatnya tak bisa berbohong. “Kadang kita harus melepaskan,” jawabnya dingin, lalu bangkit dan berjalan kembali ke kelas, meninggalkan Torin sendirian di bawah pohon sakura.
Malam itu, Zariel akhirnya memberanikan diri untuk membuka buku harian Elyndra. Di dalamnya, ia menemukan catatan-catatan yang ditulis dengan tangan gemetar, penuh dengan puisi dan sketsa wajah Zariel. Satu halaman terakhir berisi puisi pendek yang ditulis dengan tinta yang sudah luntur: “Di angin ini aku pergi, meninggalkan bayang untukmu. Maafkan aku, sahabat.” Zariel merasa dadanya sesak, seolah ada tangan tak terlihat yang mencengkeram hatinya. Ia ingin lari, ingin meninggalkan Haewon dan semua kenangan yang tersimpan di kota ini, tapi ia tahu ia tak bisa. Kota itu, persahabatannya, adalah bagian dari dirinya, dan ia harus menghadapi apa yang telah lama ia hindari.
Pagi berikutnya, Torin menemukan Zariel duduk di meja belajarnya, dikelilingi oleh surat, buku harian, dan kalung dari kotak itu. Ia tak bertanya apa-apa, hanya duduk di sampingnya dan menawarkan segelas teh. Tapi di matanya, Zariel melihat sesuatu yang membuatnya takut—sebuah pengertian yang terlalu dalam, seolah Torin tahu lebih banyak tentang Elyndra daripada yang ia katakan. “Kau pernah kehilangan seseorang yang dekat?” tanya Zariel tiba-tiba, suaranya serak karena menangis semalaman. Torin menatapnya lama, lalu mengangguk perlahan. “Aku pernah,” katanya. “Dan aku tahu betapa sakitnya itu.”
Hari itu, untuk pertama kalinya, Zariel mulai berbicara tentang masa lalunya—tentang Elyndra, tentang harapan yang ia pendam, dan tentang luka yang membuatnya tinggal di Haewon. Torin mendengarkan dengan penuh perhatian, tapi ada sesuatu dalam ekspresinya yang membuat Zariel merasa bahwa anak laki-laki ini bukan hanya siswa pindahan. Ada hubungan antara Torin dan kenangan Elyndra yang ia temukan di kotak dan buku harian, dan Zariel tahu bahwa kebenaran itu akan segera terungkap, entah ia siap atau tidak.
Haewon, yang selama ini menjadi tempat pelariannya, kini terasa seperti panggung bagi sebuah cerita yang belum selesai. Setiap tetes hujan yang ia dengar, setiap bayangan Elyndra yang ia lihat di taman, membawanya lebih dekat ke sebuah kebenaran yang mungkin akan menghancurkannya. Dan di tengah semua itu, ada Torin, anak laki-laki yang datang sebagai orang asing, tapi kini menjadi bagian dari cerita yang tak pernah Zariel bayangkan akan ia jalani lagi.
Bayang di Balik Hutan Kecil
Langit Haewon pada pagi hari di pertengahan musim gugur 2024 tampak lebih kelabu dari biasanya, diselimuti lapisan awan tebal yang seolah menahan napas. Hujan yang turun sejak semalam meninggalkan jejak basah di jalan setapak menuju hutan kecil di tepi kota, tempat Zariel Kim sering bersembunyi untuk merenung. Udara dingin menyelinap melalui celah-celah mantelnya yang tipis, membawa aroma tanah lembap dan daun kering yang berguguran. Zariel duduk di bawah pohon tua dengan akar yang menonjol dari tanah, tangannya memegang buku harian Elyndra yang usang, sementara sebuah kotak kayu kecil yang ditemukan di kotak misterius terbuka di sampingnya. Setiap halaman buku harian terasa seperti membuka luka lama, membawa kembali kenangan tentang tawa temannya, tentang janji yang pernah ia genggam, dan tentang keheningan yang kini mengisi ruang kosong di hatinya. Di sudut kotak, sebuah replika miniatur rumah kayu—hadiah yang pernah dibuat Elyndra untuknya—tergeletak, seolah menyimpan emosi yang tak pernah ia ungkapkan.
Torin Yoon, anak laki-laki yang kini menjadi bagian tak terpisahkan dari hari-hari Zariel, sedang mengumpulkan daun kering di dekat hutan dengan gerakan pelan. Tangan-tangannya yang penuh bekas luka bergerak dengan konsentrasi, tapi pikiran Zariel tak sepenuhnya ada di sana. Ia terus memikirkan kata-kata Torin malam sebelumnya, ketika ia mengaku pernah mendengar cerita tentang Haewon dan persahabatan yang hilang. Ada sesuatu dalam nada suaranya, dalam cara ia menatap buku harian Elyndra, yang membuat Zariel yakin bahwa Torin bukan sekadar siswa pindahan. Ia menyimpan rahasia, dan Zariel merasa bahwa rahasia itu entah bagaimana terhubung dengan kotak kayu, buku hariannya, dan persahabatan yang tak pernah kembali.
Hari itu, Zariel memutuskan untuk menghadapi Torin. Ia menunggu hingga anak laki-laki itu selesai mengumpulkan daun, lalu mengajaknya duduk di akar pohon tua yang lebar. Hujan kecil di luar menciptakan suara rintik yang lembut, seolah mengiringi bayang-bayang yang terbentuk dari cahaya matahari yang redup. Zariel meletakkan buku harian di atas rumput, di samping kotak kayu yang masih mengeluarkan aroma tanah. “Torin,” katanya, suaranya tegas namun gemetar, “aku perlu tahu siapa kau sebenarnya. Dan apa yang kau tahu tentang Elyndra.”
Torin menatapnya lama, matanya yang gelap seolah menimbang-nimbang sesuatu. Ia menghela napas dalam-dalam, lalu mengeluarkan sebuah buku saku dari jaketnya, kulitnya sudah mengelupas dan penuh noda tinta. “Aku bukan hanya siswa pindahan, Zariel,” katanya pelan. “Aku seorang penjaga jejak, dan aku datang ke sini karena cerita tentang persahabatan yang terputus di Haewon. Tentang Elyndra Park.”
Zariel merasa jantungnya berdegup kencang. Ia ingin marah, ingin mengusir Torin karena telah menyusup ke hidupnya dengan motif tersembunyi, tapi ada bagian dari dirinya yang merasa lega—lega karena akhirnya ada seseorang yang mungkin bisa membantu memahami perasaannya. Torin membuka buku itu, menunjukkan catatan-catatan tentang Haewon, termasuk nama-nama yang ia kenali—Elyndra sebagai gadis penuh mimpi, dan Zariel yang sering terlihat bersamanya. Menurut cerita yang ia kumpulkan, setiap persahabatan di Haewon ditakdirkan untuk diuji oleh waktu, dan kepergian Elyndra adalah bagian dari nasib yang tak bisa dihindari.
Zariel mendengarkan dengan napas tertahan, setiap kata Torin seperti membuka luka lama yang ia coba kubur. Ia teringat Elyndra, yang selalu tersenyum di foto polaroid, dan hari-hari ketika ia menunggu kabar dari temannya dengan harapan yang perlahan memudar. Dalam buku harian, ia membaca tentang perasaannya yang tumbuh seiring waktu, tentang bayangan Elyndra yang ia anggap sebagai tanda kebahagiaan, dan tentang replika rumah kayu yang ia temukan di kotak. Zariel tak pernah tahu detail tentang keputusan Elyndra, tapi suratnya menyebutkan bahwa ia tahu tentang kekhawatiran Zariel, namun memilih untuk pergi demi menjaga persahabatan mereka dari luka yang lebih dalam.
Malam itu, setelah pertemuan mereka, Zariel dan Torin duduk di bawah pohon tua, ditemani suara angin yang bertiup pelan melalui daun-daun kering. Zariel memutuskan untuk menceritakan kisahnya kepada Torin—kisah yang selama ini ia simpan rapat-rapat. Ia menceritakan tentang masa SMP-nya di Haewon, tentang Elyndra yang selalu ada di sisinya, tentang hari-hari penuh harapan sebelum ia menyadari bahwa persahabatannya tak akan pernah utuh lagi. Ia menceritakan tentang sore terakhir mereka di taman, tentang rasa sakit yang mengisi hidupnya sejak saat itu.
Torin mendengarkan tanpa menyela, tapi matanya penuh dengan empati yang tulus. Ketika Zariel selesai bercerita, ia mengeluarkan sebuah sketsa dari buku sakunya. Sketsa itu menunjukkan seorang gadis dengan rambut hitam panjang, duduk di tepi sungai dengan ekspresi penuh harapan namun juga sedih. “Ini dia,” kata Torin pelan. “Elyndra.” Zariel merasa dunia di sekitarnya berputar. Sketsa itu digambar di tepi sungai yang sering mereka kunjungi, dengan latar belakang air yang mengalir pelan.
Torin menjelaskan bahwa ia menemukan sketsa itu di antara barang-barang tua yang ia beli dari pedagang loak. Sketsa itu disertai dengan sebuah catatan yang ditulis oleh Elyndra, yang berbunyi: “Zariel, maafkan aku karena meninggalkanmu. Aku tak kuat menjalani ini.” Zariel tak bisa menahan air matanya. Ia merasa campuran antara kemarahan, kesedihan, dan kerinduan yang begitu kuat hingga dadanya terasa sesak. Ia ingin bertanya pada Torin bagaimana ia bisa menemukan semua ini, tapi kata-kata tak mau keluar dari mulutnya.
Hari-hari berikutnya di Haewon dipenuhi dengan pencarian jawaban. Zariel dan Torin mulai menjelajahi tepi sungai, mencari petunjuk yang mungkin ditinggalkan oleh Elyndra atau kenangan-kenangan yang tersembunyi. Mereka menemukan sebuah batu besar yang tersembunyi di balik semak-semak lebat, di mana ukiran kecil berbentuk bintang tampak terpahat di permukaannya. Zariel merasa bulu kuduknya berdiri. Ia tahu, tanpa perlu dikatakan, bahwa tempat ini adalah pusat dari persahabatan yang hilang yang mengikatnya.
Malam itu, ketika mereka kembali ke hutan, Zariel menemukan sebuah catatan lain di dalam buku harian, yang selama ini ia lewatkan. Catatan itu berbunyi: “Persahabatan ini bukan hanya tentang tawa, tapi tentang pengorbanan. Seseorang harus melepaskan jiwa untuk memutusnya, dan harga itu adalah kebahagiaan.” Zariel merasa jantungnya berhenti. Ia menatap Torin, yang sedang membaca catatan-catatan sendiri di sudut hutan, dan tiba-tiba ia menyadari sesuatu yang membuatnya takut. Torin bukan hanya penjaga jejak yang kebetulan datang ke Haewon. Ia memiliki hubungan dengan Elyndra, dengan persahabatan ini, dan mungkin dengan dirinya.
Hujan kembali turun malam itu, dan suara tetesan air di daun terdengar lebih keras. Zariel duduk di bawah pohon tua, dikelilingi oleh buku harian, sketsa, dan replika rumah kayu dari kotak itu. Ia merasa seperti sedang menyusun sebuah teka-teki raksasa, tapi setiap potongan yang ia temukan hanya membuat gambar itu semakin gelap. Torin, yang duduk di sampingnya, akhirnya berkata, “Aku tahu kau terluka, Zariel. Tapi kita harus menghadapi ini bersama. Aku bukan hanya di sini untuk mengingat. Aku di sini karena aku berjanji pada seseorang untuk menemukan kedamaian.”
Kata-kata itu seperti angin yang menyapu hati Zariel. Ia ingin bertanya siapa “seseorang” itu, tapi ia sudah tahu jawabannya. Elyndra. Nama itu seperti mantra yang terus bergema di kepalanya, membawa kembali kenangan tentang hari-hari ketika mereka bermain di tepi sungai, mendengarkan suara air. Tapi kenangan itu juga membawa rasa sakit yang tak tertahankan, rasa sakit yang membuatnya tinggal di Haewon, berharap bisa melupakan segalanya.
Pagi berikutnya, Zariel dan Torin kembali ke batu besar di tepi sungai, membawa buku harian dan replika rumah kayu. Di batu itu, mereka menemukan petunjuk terakhir dalam buku itu—sebuah puisi yang harus diucapkan di depan batu, dengan replika sebagai pengikat. Tapi puisi itu hanya akan berhasil jika seseorang menyerahkan sesuatu yang paling ia cintai. Zariel tahu apa yang harus ia korbankan: persahabatan yang ia miliki untuk Elyndra, emosi yang selama ini ia pegang erat-erat, yang telah menjadi bagian dari dirinya.
Namun, sebelum mereka bisa membaca lebih lanjut, mereka mendengar suara langkah di semak-semak. Seseorang mendekat, dan suara itu terasa familiar namun menakutkan. Zariel merasa jantungnya berdegup kencang. Ia menoleh ke Torin, yang wajahnya tiba-tiba pucat. “Kita tidak sendirian,” katanya pelan, dan di matanya, Zariel melihat ketakutan yang sama yang ia rasakan. Tepi sungai, yang selama ini menjadi tempat pelariannya, kini terasa seperti jebakan yang menutup di sekitarnya.
Akhir di Tengah Aliran
Hujan turun deras di Haewon, membasahi tepi sungai dan hutan kecil dengan air yang membentuk arus kecil di tanah. Zariel dan Torin berdiri di depan batu besar, memegang buku harian dan replika rumah kayu. Cahaya matahari yang redup berkedip-kedip melalui celah awan, menciptakan bayang-bayang yang menari di permukaan air, seolah jiwa-jiwa dari masa lalu sedang mengintip mereka. Suara langkah yang mereka dengar semakin mendekat, diiringi oleh bisikan yang kini terdengar jelas, penuh dengan kesedihan yang tak terucap. Zariel merasa bulu kuduknya berdiri, tapi ia tahu bahwa lari bukan lagi pilihan. Ia harus menghadapi apa pun yang ada di sungai, apa pun yang telah memburu hatinya selama dua bulan.
Ketika mereka menoleh, mereka melihat sosok yang berdiri di antara semak-semak. Itu adalah gadis dengan rambut hitam panjang yang basah oleh hujan, wajahnya pucat namun familiar—Elyndra. Matanya yang kosong memandang Zariel, dan senyum tipis muncul di bibirnya, penuh dengan duka yang tak bisa diucapkan. “Kau sudah menemukannya, bukan?” kata sosok itu, suaranya lembut namun penuh otoritas. “Buku itu, rumah itu. Kau tahu apa yang harus kau lakukan, Zariel.”
Zariel ingin bertanya siapa sosok itu, tapi sebelum ia bisa membuka mulut, Torin melangkah maju. “Elyndra,” katanya, suaranya tegas namun penuh emosi. “Kau tak seharusnya ada di sini.” Zariel merasa dunia di sekitarnya berputar. Elyndra, sahabat yang ia rindukan, yang konon hilang dari Haewon, kini berdiri di depannya, hidup namun berbeda. Tapi ada sesuatu yang salah dengan sosok ini. Auranya terasa hampa, seolah ia adalah bagian dari aliran sungai itu sendiri, bagian dari persahabatan yang tak terbalas yang mengikat Zariel.
Elyndra tersenyum tipis, namun senyumnya tak mencapai matanya. “Aku di sini untuk memastikan bayang ini berhenti menghantui, Torin. Dan kau tahu apa yang diperlukan untuk itu.” Zariel menatap Torin, mencari jawaban di wajahnya, tapi anak laki-laki itu hanya menunduk, tangannya mengepal erat. “Apa yang kalian bicarakan?” tanya Zariel, suaranya gemetar. “Apa yang harus kulakukan?”
Elyndra menjelaskan bahwa persahabatan mereka hanya bisa diputus dengan pengorbanan—seseorang harus menyerahkan sesuatu yang paling berharga baginya, sesuatu yang ia cintai lebih dari hidupnya sendiri. Bagi Elyndra, itu adalah mimpinya untuk menjadi penulis, yang ia lepaskan demi menjaga Zariel dari luka yang lebih dalam. Dan kini, giliran Zariel untuk memilih. Replika rumah kayu yang ia pegang adalah kunci untuk menyelesaikan ritual, tapi harga yang harus dibayar adalah sesuatu yang akan menghancurkan hatinya.
Zariel merasa dadanya sesak. Ia teringat Elyndra, teringat hari-hari ketika mereka duduk di tepi sungai, teringat senyumnya yang hangat di foto polaroid. Ia tahu, tanpa perlu dikatakan, bahwa pengorbanan itu berhubungan dengan persahabatan yang ia miliki—persahabatan yang pernah ia rasakan untuk Elyndra, yang telah menjadi bagian dari dirinya.
Malam itu, di tengah hujan yang tak kunjung reda, Zariel dan Torin kembali ke hutan kecil. Mereka duduk di lantai, dikelilingi oleh buku harian, sketsa, dan puisi dari kotak itu. Torin akhirnya menceritakan kebenaran yang selama ini ia sembunyikan. Ia adalah sepupu jauh Elyndra, bagian dari keluarga besar Park, yang datang ke Haewon untuk memenuhi janji Elyndra—janji untuk memutus ikatan persahabatan yang telah menghancurkan hatinya. Elyndra, menurut Torin, tahu tentang rasa bersalah Zariel sebelum ia menghilang, tapi ia memilih pergi, dan kematian mimpinya untuk Zariel adalah upaya terakhir untuk menyelamatkannya.
Zariel merasa air matanya mengalir tanpa henti. Ia tak pernah tahu bahwa ia memiliki hubungan dengan keluarga Elyndra, tak pernah tahu bahwa Elyndra telah mengorbankan mimpinya untuknya. Torin memegang tangannya, matanya penuh dengan kesedihan yang sama yang ia rasakan. “Aku datang ke sini untuk menemukan jawaban, Zariel,” katanya. “Tapi aku juga datang untuk melindungimu. Aku tahu harga yang harus dibayar, dan aku siap membayarnya.”
Kata-kata itu seperti pisau yang menikam hati Zariel. Ia tahu bahwa Torin bersedia mengorbankan dirinya untuk memutus ikatan, tapi ia tak bisa membiarkan itu terjadi. Ia telah kehilangan terlalu banyak—harapan, persahabatan, dan kini, mungkin, kedamaian. Ia memutuskan bahwa ia sendiri yang akan menyelesaikan ritual itu, apa pun harganya.
Pagi berikutnya, ketika matahari akhirnya muncul di antara awan, Zariel dan Torin kembali ke batu besar di tepi sungai. Mereka membawa buku harian, replika rumah kayu, dan tekad yang tak tergoyahkan. Di batu itu, mereka menemukan petunjuk terakhir dalam buku itu—sebuah puisi yang harus diucapkan di depan batu, dengan replika sebagai pengikat. Tapi puisi itu hanya akan berhasil jika seseorang menyerahkan sesuatu yang paling ia cintai. Zariel tahu apa yang harus ia korbankan: persahabatan yang ia miliki untuk Elyndra, emosi yang selama ini ia pegang erat-erat, yang telah menjadi bagian dari dirinya.
Dengan tangan gemetar, Zariel berdiri di depan batu, memegang replika itu. Ia mengucapkan puisi yang ditulis dalam buku harian, setiap kata terasa seperti mengoyak jiwanya. Ia teringat wajah Elyndra, senyumnya di foto polaroid, suara tawanya. Ketika kata terakhir puisi itu diucapkan, replika di tangannya bersinar terang, dan hujan di sekitarnya berhenti sejenak, menciptakan keheningan yang menyelimuti sungai. Cahaya itu meredup, dan Zariel merasa sesuatu telah berubah. Replika itu kini tenggelam ke dalam aliran sungai di dekat batu, dan hujan kembali turun, seolah ikatan itu telah terputus.
Tapi ada harga yang harus dibayar. Zariel merasa kenangan tentang Elyndra mulai memudar, seperti tinta yang terhapus perlahan dari buku harian. Ia masih ingat bahwa ia pernah memiliki sahabat, tapi wajahnya, suaranya, semua detail itu hilang, seolah tak pernah ada. Ia jatuh berlutut di tepi sungai, menangis tanpa suara, sementara air hujan membasahi tubuhnya. Torin memegang tangannya, matanya penuh dengan air mata. “Kau melakukannya, Zariel,” katanya pelan. “Ikatan itu sudah berakhir.” Tapi Zariel tahu bahwa kemenangan ini datang dengan harga yang terlalu mahal. Ia telah kehilangan persahabatan yang menjadi alasan hidupnya, dan di dalam hatinya, ia merasa kosong.
Hari-hari berikutnya di Haewon terasa seperti mimpi buruk yang tak berakhir. Hujan tetap turun, tapi tawa Elyndra tak lagi terdengar. Zariel duduk di meja belajarnya, menatap buku harian yang kini kosong, tanpa kata-kata yang menyertainya. Pada suatu malam, ketika hujan turun lagi, Zariel berjalan menuju tepi sungai, membawa buku harian yang telah kosong. Ia berdiri di depan batu besar, menatap aliran air yang mencerminkan wajahnya yang pucat, dan merasa bahwa hidupnya telah berakhir bersama persahabatan yang hilang. Dengan langkah perlahan, ia meletakkan buku harian di batu dan berjalan menjauh, membiarkan hujan menyelimuti dirinya sepenuhnya. Sungai itu kembali tenggelam dalam keheningan, menyimpan bayang sahabat dalam kenangan yang abadi.
Haewon berdiri diam di belakangnya, lampu-lampu jalan berkedip redup, dan batu besar di tepi sungai tetap menjadi saksi bisu dari akhir tragis Zariel Kim, di mana persahabatan dan pengorbanan berakhir dalam duka yang tak pernah sirna.
Ikatan Sahabat SMP yang Hilang: Kisah Sedih Remaja menghadirkan kisah persahabatan remaja yang penuh pengorbanan dan kesedihan, meninggalkan kesan mendalam yang tak terlupakan. Dengan alur yang emosional dan akhir yang tragis, cerpen ini mengajak Anda merenung tentang kekuatan ikatan sahabat dan harga yang harus dibayar. Segera temukan kisah Zariel dan rasakan sentuhan duka yang abadi dalam narasi ini!
Terima kasih telah menyelami ulasan Ikatan Sahabat SMP yang Hilang: Kisah Sedih Remaja. Semoga kisah remaja ini membawa Anda pada perenungan mendalam dan emosi yang tulus. Kami menantikan kehadiran Anda kembali untuk petualangan literatur berikutnya—silakan bagikan kesan Anda dengan kami!


