Ikatan Hujan dan Janji yang Terpaksa: Akhir Bahagia di Tanah Seru

Posted on

Temukan keajaiban emosi dalam cerpen Ikatan Hujan dan Janji yang Terpaksa, sebuah kisah perjodohan terpaksa yang membawa pembaca ke dalam dunia Zarina Kaelani dan Kaelindra Vano di desa kecil Tanah Seru. Dengan alur yang penuh kesedihan, konflik batin, dan akhir yang menghangatkan hati, cerita ini menggambarkan perjuangan dua jiwa yang terjebak tradisi namun menemukan cinta sejati di tengah rintik hujan. Siapkah Anda menyelami perjalanan inspiratif ini yang mengajarkan keberanian untuk menciptakan cerita hidup sendiri?

Ikatan Hujan dan Janji yang Terpaksa

Bayang di Balik Hujan

Hujan turun deras di desa kecil bernama Tanah Seru, sebuah tempat di mana udara selalu harum oleh aroma tanah basah dan dedaunan basah yang bergoyang tertiup angin. Di ujung kampung, berdiri sebuah rumah kayu tua dengan atap genteng yang mulai retak, tempat tinggal Zarina Kaelani, seorang perempuan berusia 26 tahun dengan mata hijau tua yang jarang terlihat di wilayah itu. Rambutnya yang hitam legam selalu tergerai panjang, sering ia biarkan basah oleh hujan karena ia percaya air hujan membawa inspirasi untuk lukisan-lukisannya. Zarina adalah seorang pelukis yang karyanya dipajang di galeri lokal, meski penghasilannya tak cukup untuk membawanya keluar dari kemiskinan keluarganya.

Pagi itu, Zarina duduk di ambang jendela, menatap hujan yang membentuk genangan di halaman rumah. Di tangannya, ia memegang kuas dan kanvas kecil yang baru saja ia mulai lukis—sebuah pemandangan desa di bawah langit kelabu. Ia sedang mencoba menangkap emosi hujan, tapi pikirannya terusik oleh suara langkah kaki yang mendekat dari dalam rumah. Ibunya, Lirah, muncul di pintu dengan wajah penuh kekhawatiran yang tak asing bagi Zarina. “Zarina, kita perlu bicara,” katanya, suaranya tegas namun gemetar.

Zarina menurunkan kuasnya, menatap ibunya dengan curiga. “Ada apa lagi, Bu?” tanyanya, tahu bahwa percakapan seperti ini biasanya berujung pada topik yang ia hindari: perjodohan. Di Tanah Seru, tradisi mempertemukan anak-anak lajang dengan calon pasangan dipandang sebagai kewajiban keluarga, terutama bagi perempuan seusia Zarina yang dianggap “terlalu tua” untuk belum menikah.

Lirah menghela napas panjang, duduk di kursi bambu di samping Zarina. “Keluarga Pak Darma datang minggu depan. Anak mereka, Kaelindra Vano, baru pulang dari luar negeri. Orangnya baik, punya pekerjaan tetap, dan… cocok untukmu,” jelasnya, matanya penuh harap yang membuat Zarina merasa tercekik.

Zarina meletakkan kanvasnya dengan sedikit kasar, suara kayu yang bergesekan menggema di ruangan kecil itu. “Bu, aku sudah bilang aku nggak mau dijodohkan. Aku punya hidupku sendiri, lukisanku—” Ia berhenti, melihat ekspresi ibunya yang penuh keputusasaan. “Aku nggak kenal orang itu. Aku nggak mau dipaksa!”

Lirah menggenggam tangan Zarina, matanya berkaca-kaca. “Kamu sudah 26 tahun, Zarina. Di Tanah Seru, orang mulai berbicara. Aku cuma ingin kamu punya masa depan yang aman. Kaelindra ini berbeda. Dia punya pendidikan, punya visi. Aku yakin kamu bisa bahagia dengannya.”

Zarina menarik tangannya perlahan, hatinya bergetar antara marah dan iba. Ia memahami beban ibunya—sebagai janda tunggal yang mengurusnya sejak ayahnya meninggal sepuluh tahun lalu, Lirah selalu mengorbankan segalanya untuknya. Tapi gagasan menikahi seseorang yang tak ia pilih terasa seperti pengkhianatan terhadap dirinya sendiri. “Aku nggak mau aman kalau itu berarti kehilangan kebebasanku, Bu,” katanya pelan, lalu bangkit meninggalkan ruangan.

Malam itu, hujan semakin deras, dan Zarina duduk di loteng rumah, menatap foto ayahnya yang tersimpan dalam bingkai kayu sederhana. Ayahnya, seorang pengrajin perahu yang selalu mendorongnya untuk mengejar mimpinya, pernah berkata, “Lukisanmu adalah jiwamu, Zarina. Jangan biarkan siapa pun mencuri itu.” Kata-kata itu kini terasa seperti bisikan yang memintanya bertahan, tapi juga seperti beban yang menekannya.

Esok harinya, Zarina memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak tentang Kaelindra. Ia tak ingin menghadapi pertemuan itu tanpa amunisi, seperti prajurit yang mempersiapkan diri untuk perang. Ia berjalan ke pasar desa, tempat di mana desas-desus mengalir lebih cepat daripada air sungai di musim hujan. Di sana, ia bertemu dengan Tazkia, sahabatnya sejak kecil yang kini menjual kain tenun di lapak kecil.

“Taz, kamu tahu apa tentang Kaelindra Vano, anak Pak Darma?” tanya Zarina sambil membantu Tazkia melipat kain batik yang baru selesai dibuat.

Tazkia tersenyum kecil, tapi ada keraguan di matanya. “Dia baru pulang dari luar negeri, katanya dari Belanda. Bekerja di bidang teknik, tapi entah kenapa balik ke Tanah Seru. Orang bilang dia pendiam, tapi ada yang bilang dia membawa luka dari sana. Aku cuma dengar dia sering kelihatan di tepi sungai, mikirin sesuatu.”

“Luka apa?” Zarina mengerutkan kening, rasa ingin tahunya mulai membesar meski ia berusaha menahannya.

Tazkia mengangkat bahu. “Entah. Mungkin urusan kerja, mungkin hati. Kamu kenapa tanya? Jangan bilang…” Tazkia berhenti, matanya melebar. “Kamu dijodohkan sama dia?”

Zarina memalingkan wajah, wajahnya memerah. “Bukan aku yang mau. Ibu.”

Tazkia tertawa pelan, tapi ada simpati di suaranya. “Kamu tahu Tanah Seru, Rin. Tradisi ini kuat banget. Tapi kalau kamu nggak suka, kabur aja. Kamu kan pelukis hebat, cari jalan keluar buat hidupmu.”

Kata-kata Tazkia sederhana, tapi mengguncang Zarina. Kabur? Ke mana? Ia tak punya cukup uang, tak punya koneksi di luar desa. Tanah Seru adalah dunianya, meski kadang terasa seperti penjara.

Hari-hari berlalu dengan cepat, dan akhirnya hari kunjungan keluarga Darma tiba. Zarina mengenakan baju kurung warna cokelat tua, peninggalan ibunya, yang terasa kaku di tubuhnya. Ia berdiri di ruang tamu, jantungan berdegup kencang, saat pintu depan dibuka. Pak Darma, seorang pria paruh baya dengan wajah ramah, masuk bersama istri dan anak laki-lakinya—Kaelindra.

Kaelindra lebih tinggi dari yang Zarina bayangkan, dengan rambut hitam yang rapi dan mata cokelat tua yang tampak dalam. Ia mengenakan kemeja putih sederhana, tapi ada aura yang membuatnya berbeda dari pemuda Tanah Seru lainnya. Sikapnya tenang, hampir dingin, dan ia tak banyak bicara selama percakapan formal itu berlangsung.

“Zarina, ini Kaelindra,” kata Pak Darma, suaranya penuh kebanggaan. “Dia baru pulang dari Belanda, sekarang membantu aku mengelola usaha keluarga.”

Kaelindra mengangguk sopan, tapi matanya hanya sekilas bertemu dengan Zarina sebelum ia memalingkan wajah. Zarina merasa ada sesuatu yang disembunyikan di balik sikapnya itu, tapi ia tak punya cukup waktu untuk memikirkannya sebelum ibunya memulai percakapan lebih lanjut.

Malam itu, setelah keluarga Darma pulang, Zarina duduk di ambang jendela lagi, hujan kembali turun. Ia merasa seperti lukisan yang tak selesai—terjebak dalam garis-garis yang tak ia gambar sendiri. Tapi di antara rasa frustrasinya, ada sesuatu yang menggelitik di hatinya. Kaelindra, dengan segala misterinya, membuatnya penasaran. Dan itu, entah kenapa, membuatnya takut.

Ia mengambil kuas dan kanvas, lalu mulai melukis. Di atas kanvas, ia menggambar dua bayangan di bawah hujan—satu perempuan dengan rambut panjang, satu laki-laki dengan pandangan jauh. Ia tak tahu mengapa ia melukis itu, tapi tangannya seolah bergerak sendiri, seperti hujan yang membawa cerita yang belum ia pahami.

Zarina menatap lukisannya, lalu menulis di sudut kanvas dengan tangan gemetar:

Di bawah hujan, aku melihat bayangmu,
Seorang asing yang membawa tanya.
Apakah ini awal luka,
Atau janji yang terpaksa?

Ia meletakkan kuasnya, menatap hujan yang tak kunjung reda. Ia tahu, ini baru awal dari cerita yang tak ia inginkan, tapi entah kenapa, ia merasa ada sesuatu yang menunggunya di ujung jalan—entah luka atau harapan.

Pertemuan di Tepi Sungai

Hujan di Tanah Seru tak pernah benar-benar berhenti, hanya jeda singkat sebelum kembali mengguyur desa dengan irama yang terasa seperti detak jantung alam. Pagi itu, Zarina Kaelani berjalan menyusuri jalan setapak menuju tepi sungai, tempat ia sering mencari inspirasi untuk lukisannya. Ia mengenakan jaket hijau tua yang sedikit usang, peninggalan ayahnya, dan membawa kanvas kecil serta kotak cat air yang sudah lusuh. Di tangan kirinya, ia memegang payung sederhana berwarna biru yang sering bocor di sisi kiri, tapi itu tak menghentikannya menikmati hujan.

Sejak kunjungan keluarga Darma seminggu lalu, pikiran Zarina dipenuhi oleh bayangan Kaelindra Vano. Bukan karena ia tertarik—setidaknya, itulah yang ia yakinkan pada dirinya sendiri—tapi karena ada sesuatu dalam sikap pria itu yang terasa seperti misteri yang belum terpecahkan. Matanya yang menghindari kontak, gerakannya yang hati-hati, dan diamnya yang lebih berbicara daripada kata-kata—semua itu terus bergema di kepalanya. Zarina benci mengakui, tapi rasa ingin tahunya mulai menggerogoti dinding pertahanannya.

Di tepi sungai, Zarina mendirikan kanvas kecil di atas tripod sederhana yang ia bawa. Air sungai mengalir tenang, mencerminkan langit kelabu, dan ia mulai melukis—garis-garis lembut yang mencoba menangkap suasana hujan. Tapi pikirannya melayang ke cerita yang ia dengar dari Tazkia: Kaelindra sering terlihat di sini, sendirian, seolah mencari sesuatu yang hilang. Zarina bertanya-tanya apa yang membawa pria itu kembali ke Tanah Seru, meninggalkan kehidupan yang katanya penuh janji di luar negeri.

Saat ia tenggelam dalam lukisannya, suara langkah kaki di rerumputan basah mengalihkan perhatiannya. Zarina mendongak, dan jantungnya seolah berhenti sesaat. Kaelindra berdiri tak jauh dari situ, mengenakan jaket cokelat tua dan celana panjang hitam, rambutnya sedikit basah meski ia memegang payung. Ia tampak terkejut melihat Zarina, tapi cepat menutupinya dengan ekspresi netral. “Zarina?” panggilnya, suaranya rendah namun jelas.

Zarina buru-buru menunduk, berharap ia tak terlihat terlalu kaget. “Ya, aku… cuma lukis,” jawabnya, berusaha terdengar acuh. Ia melanjutkan goresan kuasnya, tapi tangannya sedikit gemetar. Kaelindra mendekat perlahan, berdiri di sampingnya tanpa mengganggu, matanya menatap kanvas dengan minat yang tak disangka.

“Ini bagus,” kata Kaelindra, suaranya hangat namun penuh cadangan. “Kamu menangkap hujan dengan cara yang… hidup.”

Zarina memandangnya sekilas, terkejut dengan pujian itu. “Terima kasih. Aku cuma coba,” balasnya, lalu menambahkan, “Kamu sering ke sini?”

Kaelindra mengangguk, matanya kembali menatap sungai. “Ya. Tempat ini… tenang. Membantu aku mikir.” Ia berhenti sejenak, lalu melirik Zarina. “Kamu juga suka tempat ini?”

“Kadang,” jawab Zarina, mencoba menyembunyikan rasa ingin tahunya. “Katanya kamu baru pulang dari luar negeri. Kenapa balik ke Tanah Seru?”

Pertanyaan itu membuat Kaelindra menegang. Ia menunduk, memainkan tepi payungnya dengan jari-jarinya. “Ada alasan,” katanya singkat, suaranya penuh beban. “Keluarga. Dan… aku butuh waktu.”

Zarina ingin bertanya lebih dalam, tapi ada sesuatu dalam nada Kaelindra yang membuatnya berhenti. Ia melanjutkan lukisannya, dan selama satu jam berikutnya, mereka duduk dalam keheningan yang anehnya tak canggung. Hanya suara hujan dan aliran sungai yang mengisi ruang, sementara Zarina menyelinap memandangi Kaelindra dari sudut matanya. Ia memperhatikan caranya duduk—tegak, tapi dengan bahu yang sedikit turun, seolah membawa beban yang tak terucap.

Saat hujan mulai deras, Zarina menyadari payungnya tak cukup melindungi kanvasnya. Ia menghela napas, bersiap untuk membungkus alatnya, tapi Kaelindra tiba-tiba menggeser posisinya, mengulurkan payungnya lebih lebar untuk melindungi Zarina dan lukisannya. “Ambil ini,” katanya, suaranya tegas. “Payungmu bocor.”

Zarina menolak secara refleks. “Nggak usah, aku baik-baik saja—”

“Kamu bakal basah kuyup,” potong Kaelindra, matanya menatapnya dengan ekspresi yang tak bisa dibantah. “Aku nggak keberatan.”

Mereka berbagi payung, berjalan perlahan menuju jalan setapak yang menuju desa. Awalnya, tak ada yang bicara. Zarina memeluk kanvasnya erat, mencoba mengabaikan kehadiran Kaelindra di sampingnya. Tapi keheningan itu terasa semakin berat, seperti awan yang siap pecah.

“Kenapa kamu nggak suka dijodohkan?” tanya Kaelindra tiba-tiba, suaranya lembut namun langsung.

Zarina terkejut, hampir tersandung. “Aku… aku nggak mau hidup yang udah ditentuin orang lain,” jawabnya, suaranya pelan. “Aku pengen lukisanku jadi ceritaku, bukan pernikahan yang dipaksa.”

Kaelindra mengangguk, seolah memahami. “Aku juga nggak suka dipaksa,” katanya. “Tapi kadang, kita nggak punya pilihan.”

Kata-kata itu membuat Zarina meliriknya, mencoba membaca ekspresinya. “Kamu terpaksa setuju sama ini?” tanyanya, hatinya mulai dipenuhi rasa ingin tahu yang lebih dalam.

Kaelindra tak langsung menjawab. Ia menatap hujan di depan, lalu menghela napas. “Aku balik karena keluarga butuh aku. Ayahku sakit, usaha keluarga ambruk. Tapi aku… aku juga lari dari sesuatu di luar negeri. Jadi, ya, aku terpaksa.”

Zarina terdiam, merasa ada koneksi aneh di antara mereka—dua orang yang terjebak dalam paksaan yang tak mereka inginkan. Mereka sampai di persimpangan menuju rumah Zarina, dan Kaelindra berhenti. “Sampai sini saja,” katanya, menyerahkan payungnya sepenuhnya. “Pegang ini. Aku punya cadangan di rumah.”

Zarina memandang payung itu, lalu Kaelindra, dengan perasaan bingung. “Kamu sendiri bagaimana?”

“Aku suka hujan,” jawab Kaelindra sederhana, lalu berbalik meninggalkannya di bawah guyuran air.

Malam itu, Zarina tak bisa tidur. Ia duduk di loteng, menatap payung Kaelindra yang kini bersandar di sudut ruangan. Pikirannya dipenuhi pertanyaan: mengapa Kaelindra begitu tertutup? Apa yang ia lari dari? Dan mengapa, di tengah rasa kesalnya, ia merasa ada benih harapan yang tumbuh di hatinya—sesuatu yang asing dan menakutkan?

Ia mengambil kanvas dan kuas, melanjutkan lukisan yang ia mulai di tepi sungai. Kali ini, ia menambahkan detail—dua bayangan di bawah payung, dengan hujan yang membingkai mereka. Di sudut kanvas, ia menulis:

Di tepi sungai, kau beri perlindungan,
Tapi hatimu menyimpan badai yang tak terucap.
Apakah ini awal dari ikatan,
Atau hanya hujan yang menipu?

Esok harinya, Zarina mendengar dari Tazkia bahwa Kaelindra sering terlihat di tepi sungai dengan buku catatan, menulis sesuatu yang tak pernah ia tunjukkan pada siapa pun. “Dia aneh, Rin,” kata Tazkia sambil menenun kain. “Orang bilang dia pernah punya seseorang di luar negeri, tapi ceritanya berakhir tragis. Mungkin itu kenapa dia balik.”

Kata-kata Tazkia membuat Zarina terdiam. Seseorang? Hati Zarina tiba-tiba terasa sesak, meski ia tak tahu mengapa. Ia mencoba mengabaikan perasaan itu, tapi setiap kali ia melewati sungai dalam perjalanan ke pasar, ia tak bisa menahan diri untuk melirik, berharap—dan takut—melihat sosok Kaelindra di sana.

Hujan terus turun di Tanah Seru, dan Zarina tahu, pertemuan di tepi sungai itu hanyalah awal dari sesuatu yang lebih besar—sesuatu yang mungkin akan mengubah lukisan hidupnya, entah menjadi karya indah atau kanvas yang retak.

Bayangan di Balik Kanvas

Hujan di Tanah Seru terus mengalir, menciptakan ritme yang kini terasa seperti irama hati Zarina Kaelani. Pagi itu, ia berjalan menyusuri jalan setapak menuju pasar desa, payung biru milik Kaelindra di tangan kirinya, sementara tangan kanannya memegang kanvas kecil yang baru saja ia selesaikan—lukisan dua bayangan di bawah hujan yang terasa semakin hidup setiap kali ia menatapnya. Sejak pertemuan di tepi sungai dua minggu lalu, Zarina merasa ada perubahan dalam dirinya. Ia masih menolak gagasan perjodohan, tapi kehadiran Kaelindra, meski penuh keheningan, meninggalkan jejak yang tak bisa ia hapus.

Di pasar, suasana ramai dengan suara pedagang menawarkan sayuran segar dan aroma rempah yang terbawa angin. Zarina berhenti di lapak Tazkia, sahabatnya, yang sedang sibuk menggulung kain tenun berwarna-warni. Tazkia melirik payung di tangan Zarina dan tersenyum penuh makna. “Itu bukan payungmu, kan?” tanyanya dengan nada menggoda.

Zarina memalingkan muka, wajahnya memerah. “Cuma pinjam,” jawabnya cepat, berharap Tazkia tak akan menggali lebih dalam. Tapi Tazkia, dengan sifatnya yang penasaran, tak mudah menyerah.

“Pinjam dari siapa, hm? Kaelindra?” Tazkia menaikkan alis, tangannya berhenti menggulung kain. “Kalian ketemu lagi? Ceritain dong, Rin. Jangan bikin aku penasaran.”

Zarina menghela napas, tahu tak ada gunanya menghindar. Ia menceritakan pertemuan di tepi sungai, tentang payung yang kini jadi pengingat aneh akan Kaelindra, dan tentang perasaan campur aduk yang ia rasakan. Tazkia mendengarkan dengan serius, tapi matanya berkilat penuh antusiasme. “Dia pasti tertarik sama kamu,” katanya tiba-tiba, membuat Zarina tersedak.

“Tertarik? Dia bahkan hampir nggak bicara, Taz. Orang seperti dia nggak mungkin—” Zarina berhenti, suaranya melemah. Hatinya berkata lain, dan itu membuatnya gelisah.

Tazkia mengangkat bahu. “Kamu nggak tahu apa yang ada di hati orang, Rin. Tapi aku dengar dari Pak Jaya di pasar, Kaelindra sering terlihat di tepi sungai dengan buku catatan, nulis sesuatu yang rahasia. Katanya dia pernah punya seseorang di luar negeri, tapi ceritanya berakhir buruk. Mungkin itu kenapa dia balik.”

Kata-kata Tazkia menggema di pikiran Zarina sepanjang hari. Seseorang? Hati Zarina terasa sesak, meski ia tak mengerti mengapa. Ia mencoba mengabaikan perasaan itu, tapi rasa ingin tahunya lebih kuat. Ia memutuskan untuk kembali ke tepi sungai, kali ini dengan niat mencari Kaelindra dan memahami lebih dalam, meski ia tahu itu mungkin membukakan luka yang tak ia siap hadapi.

Sore itu, setelah hujan mereda menjadi gerimis, Zarina berjalan menuju tepi sungai dengan hati-hati. Udara dingin menyelinap melalui jaketnya, tapi ia tak peduli. Di kejauhan, ia melihat sosok Kaelindra duduk di bawah pohon besar, buku catatan terbuka di pangkuannya dan pena di tangannya. Ia tampak tenggelam dalam pikirannya, rambutnya basah oleh gerimis yang tak ia hindari. Zarina ragu sejenak, tapi akhirnya melangkah mendekat.

“Kaelindra?” panggilnya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh suara air sungai.

Kaelindra mendongak, terkejut, lalu cepat menutup buku catatannya. “Zarina? Apa yang kamu lakukan di sini?” tanyanya, suaranya penuh kewaspadaan.

“Aku… cuma mau balikin ini,” kata Zarina, mengangkat payung di tangannya. Itu alasan yang lemah, ia tahu, tapi ia tak punya alasan lain. “Dan mungkin ngobrol sedikit.”

Kaelindra mengangguk, menyimpan buku catatannya sebelum mengundang Zarina duduk di sampingnya. Mereka duduk dalam keheningan selama beberapa saat, hanya suara gerimis dan aliran sungai yang mengisi ruang. Zarina memperhatikan buku catatan itu—kulitnya usang, dengan sudut yang sedikit sobek, seolah menyimpan cerita yang dalam. “Kamu suka nulis?” tanyanya, mencoba memulai percakapan.

Kaelindra mengangguk, matanya menatap sungai. “Ya. Dulu aku tulis desain teknis di Belanda. Sekarang… cuma catatan pribadi.”

“Ini bagus,” kata Zarina, jari-jarinya hampir menyentuh buku itu sebelum ia menariknya kembali. “Kenapa nggak lanjutin di luar negeri? Kamu pasti punya bakat besar.”

Pertanyaan itu membuat Kaelindra menegang. Ia menatap Zarina, lalu menghela napas panjang. “Aku punya, tapi aku kehilangan semuanya. Pekerjaan, mimpi, dan… seseorang. Aku balik karena aku nggak bisa nerusin.”

Zarina terdiam, merasa ada koneksi aneh dengan cerita Kaelindra. “Siapa dia?” tanyanya pelan, hatinya berdetak kencang.

Kaelindra menunduk, tangannya menggenggam buku itu erat. “Namanya Elysa. Kami sama-sama insinyur, punya rencana buat bikin proyek besar. Tapi dia… dia nggak tahan dengan tekanan keluargaku yang terus minta aku pulang. Dia pergi, dan aku nggak bisa ngejar. Aku balik ke Tanah Seru karena aku nggak tahu harus ke mana.”

Kata-kata itu seperti menusuk hati Zarina. Ia tak tahu mengapa cerita itu terasa begitu dekat, tapi ia merasakan luka yang sama seperti saat ia melawan perjodohan. “Jadi kamu menyerah?” tanyanya, suaranya lembut namun menantang. “Kamu biarin masa lalu nentuin hidupmu?”

Kaelindra menatapnya, matanya penuh pertahanan. “Kamu nggak ngerti, Zarina. Kadang menyerah itu satu-satunya cara buat selamat.”

Zarina menggelengkan kepala, kemarahan kecil menyala di dadanya. “Itu bukan selamat, Kaelindra. Itu cuma sembunyi. Aku tahu rasanya terjebak—aku juga nggak mau perjodohan ini! Tapi aku nggak mau hidup cuma buat orang lain. Aku pengen lukisanku punya makna.”

Kata-katanya menggema di tepi sungai, lebih keras dari yang ia maksud. Kaelindra terdiam, matanya menatap Zarina dengan ekspresi yang sulit dibaca—campuran antara terkejut dan sesuatu yang lebih dalam. “Kamu bener,” katanya akhirnya, suaranya pelan. “Aku sembunyi. Tapi kamu juga, Zarina. Kamu sembunyi di balik kanvasmu, di warna-warna yang cuma kamu pahami.”

Zarina tersentak, merasa seperti ditampar. Ia ingin membantah, tapi kata-kata Kaelindra terlalu jujur. Ia memang sering melukis untuk melarikan diri, untuk menyembunyikan ketakutannya akan masa depan yang tak ia kendalikan. Keheningan kembali menyelimuti mereka, tapi kali ini terasa seperti dua jiwa yang mulai saling memahami.

“Aku takut,” akui Zarina, suaranya nyaris tak terdengar di tengah gerimis. “Aku takut kalau aku nerima ini, aku bakal kehilangan jiwaku. Tapi aku juga takut… kalau aku tolak, aku bakal nyesel.”

Kaelindra memandangnya, dan untuk pertama kalinya, matanya tak menghindar. “Aku juga takut,” katanya. “Tapi mungkin… kita bisa takut bareng.”

Kata-kata itu terdengar sederhana, tapi terasa seperti jembatan yang menghubungkan mereka. Zarina tersenyum kecil, air mata menggenang di matanya. “Itu tawaran teraneh yang pernah aku denger,” candanya, tapi suaranya penuh kehangatan.

Kaelindra tertawa pelan, suara yang jarang Zarina dengar, tapi terasa seperti sinar di tengah hujan. “Mungkin aku perlu latihan,” katanya, lalu mengulurkan tangan. “Ayo, kita coba temuin jalan bareng.”

Zarina memandang tangan itu, lalu menggenggamnya. Tangan Kaelindra hangat, meski sedikit kasar karena pekerjaan. Malam itu, di rumahnya, ia melukis lagi, menambahkan detail—dua tangan yang bertaut di bawah hujan, dengan warna harapan yang mulai muncul di kanvasnya.

Esok harinya, Lirah memberi kabar bahwa keluarga Darma mengundang mereka untuk makan malam minggu depan—langkah berikutnya dalam perjodohan. Zarina merasa dadanya sesak, tapi di saat yang sama, ia tak bisa menyangkal bahwa ia ingin tahu lebih banyak tentang Kaelindra. Ada bayangan di balik kanvasnya, dan Zarina tahu, ia ingin menjelajahinya, meski itu berarti menghadapi ketakutannya sendiri.

Hujan terus turun di Tanah Seru, dan Zarina merasa seperti berdiri di ambang pintu—antara menutup lukisannya atau membukanya untuk cerita baru.

Hujan yang Menyatu

Hujan di Tanah Seru terasa lebih lembut pagi itu, seolah menyapa dengan nada yang berbeda, saat Zarina Kaelani berdiri di depan cermin kecil di kamarnya, mengenakan baju kurung ungu tua yang dipilih Lirah untuk acara makan malam di rumah keluarga Darma. Rambutnya disisir rapi dan dibiarkan tergerai, beberapa helai sengaja dibiarkan longgar untuk mencerminkan dirinya yang tak sepenuhnya tunduk pada tradisi. Kanvasnya tergeletak di sudut ruangan, penuh dengan lukisan terbaru—dua tangan bertaut di bawah hujan, simbol harapan yang ia mulai pahami. Hari ini, 25 Juni 2025, adalah hari yang menentukan, dan hatinya bercampur antara ketakutan dan antisipasi.

Perjalanan menuju rumah keluarga Darma terasa seperti perjalanan menuju takdir. Zarina berjalan di samping Lirah, memegang payung biru milik Kaelindra yang kini menjadi bagian dari ceritanya. Ia tak yakin apa yang diharapkannya—apakah ia akan melawan perjodohan ini hingga akhir, atau membiarkan hati yang mulai terbuka membawanya ke arah baru. Di dalam dirinya, ada perang batin yang tak pernah reda, tapi ada juga suara kecil yang berbisik tentang kemungkinan.

Rumah keluarga Darma tampak hangat dengan lampu minyak yang menyala di halaman, dikelilingi pohon kelapa dan aroma makanan khas Tanah Seru: ikan bakar, sayur lodeh, dan sambal terasi yang menggoda. Pak Darma dan Bu Sari menyambut mereka dengan senyum lebar, tapi mata Zarina langsung tertuju pada Kaelindra, yang berdiri di sudut ruangan mengenakan kemeja putih yang rapi, rambutnya sedikit basah oleh gerimis yang ia lewati. Matanya bertemu dengan Zarina sekilas, lalu kembali memalingkan wajah, tapi ada kelembutan yang tak ia sembunyikan sepenuhnya.

Makan malam berlangsung dengan percakapan ringan tentang panen terakhir dan cuaca yang tak menentu. Zarina berusaha mendengarkan, tapi pikirannya melayang ke pertemuan di tepi sungai. Kata-kata Kaelindra tentang Elysa, luka yang ia bawa, dan tawaran untuk “takut bareng”—semua itu seperti cat yang perlahan membentuk lukisan baru dalam hidupnya. Ia ingin bertanya lebih banyak, tapi di meja makan ini, dengan tatapan penuh harap dari Lirah dan Bu Sari, ia merasa seperti terkurung.

Setelah makan, Bu Sari mengusulkan agar Zarina dan Kaelindra “berbincang sebentar” di beranda belakang, sebuah langkah tradisional untuk menguji kecocokan calon pasangan. Zarina merasa jantungnya berdegup kencang, tapi ia mengangguk, mengikuti Kaelindra yang berjalan pelan menuju beranda. Di luar, hujan turun pelan, menciptakan tirai tipis yang membingkai mereka. Mereka duduk di bangku bambu, ditemani suara rintik yang menenangkan.

“Jadi, ini saatnya kita dipaksa buat akur,” kata Zarina, mencoba memecah keheningan dengan nada ringan, meski suaranya sedikit gemetar.

Kaelindra tersenyum tipis, matanya menatap hujan. “Kamu masih nggak suka ini, ya?” tanyanya, suaranya lembut namun penuh makna.

“Apa kamu suka?” balas Zarina, alisnya terangkat. “Kamu nggak kelihatan orang yang gampang nurut.”

Kaelindra menghela napas, tangannya bermain dengan tepi kemejanya. “Aku nggak suka dipaksa,” akunya. “Tapi aku balik ke Tanah Seru karena ayahku butuh aku. Usaha keluarga hancur, dan aku nggak bisa ninggalin dia sendirian. Tapi aku juga… aku lari dari kegagalan di luar negeri.”

Zarina memandangnya, mencoba memahami. “Kegagalan itu Elysa, kan?” tanyanya pelan, hatinya bersiap untuk jawaban yang mungkin menyakitkan.

Kaelindra menunduk, matanya berkaca-kaca. “Ya. Elysa pergi karena aku nggak bisa bagi waktuku antara dia dan keluarga. Aku pikir aku bisa punya semuanya, tapi aku salah. Setelah dia pergi, aku nggak tahu harus ke mana lagi. Aku balik, tapi aku takut buat coba lagi.”

Kata-kata itu menusuk hati Zarina, tapi juga membukakan pintu pemahaman. “Jadi kamu sembunyi di sini, seperti aku sembunyi di lukisanku,” katanya, suaranya lembut. “Kita sama-sama takut, tapi aku nggak mau hidup cuma buat lari.”

Kaelindra menatapnya, matanya penuh kejutan. “Kamu bener. Aku sembunyi. Tapi aku lihat kamu—lukisanmu, caramu bertahan. Itu bikin aku mikir… mungkin aku bisa coba lagi.”

Zarina tersenyum kecil, air mata menggenang. “Tapi kita dipaksa, Kaelindra. Bagaimana kita bisa bahagia kalau ini semua cuma paksaan?”

Kaelindra berpikir sejenak, lalu mengulurkan tangan. “Mungkin kita ubah paksaan ini jadi pilihan. Aku nggak janji sempurna, tapi aku janji coba bareng kamu. Nggak buat keluarga, tapi buat kita.”

Zarina memandang tangan itu, jantungnya berdegup kencang. Ia menggenggamnya, merasa hangatnya tangan Kaelindra yang kasar namun penuh harapan. “Kalau gagal, aku bakal lukis kegagalan kita,” katanya, tersenyum tipis.

Kaelindra tertawa, suara yang hangat dan tulus. “Deal. Tapi aku harap kita lukis kemenangan.”

Malam itu, setelah pulang, Zarina duduk di ambang jendela, menatap hujan yang perlahan reda. Ia mengambil kanvas dan melukis lagi—dua sosok berdiri di bawah hujan, tangan bertaut, dengan warna cerah yang mulai mendominasi. Di sudut, ia menulis:

Hujan membawa kita ke ujung takut,
Tapi tanganmu jadi kanvas harapanku.
Kita melangkah, terpaksa namun bebas,
Menyatu di rintik yang menyembuhkan.

Beberapa bulan kemudian, Zarina dan Kaelindra memulai perjalanan mereka sendiri. Mereka menunda pernikahan, memilih membangun usaha kecil bersama—galeri seni yang menggabungkan lukisan Zarina dan desain teknis Kaelindra. Kaelindra kembali menggambar proyek-proyek kecil, sementara Zarina menerbitkan buku lukisannya, dengan satu karya didedikasikan untuk “pria yang membawa hujan ke hidupku.” Mereka belajar saling memahami, mengubah paksaan menjadi cinta yang tumbuh perlahan, di bawah langit Tanah Seru yang selalu basah, tapi kini penuh harapan.

Ikatan Hujan dan Janji yang Terpaksa adalah lebih dari sekadar cerita perjodohan—ini adalah perjalanan transformasi dari paksaan menjadi cinta yang tulus, diwarnai oleh keberanian dan harapan. Dengan ending yang memikat, cerpen ini mengajarkan bahwa bahkan dalam tekanan tradisi, cinta dapat lahir dari pemahaman dan usaha bersama, meninggalkan pesan abadi di hati pembaca. Jangan lewatkan kesempatan untuk terhanyut dalam kisah ini yang akan menginspirasi Anda di setiap rintik hujan!

Terima kasih telah menjelajahi keindahan Ikatan Hujan dan Janji yang Terpaksa bersama kami! Semoga cerita ini membawa inspirasi dalam hidup Anda. Sampai jumpa di petualangan membaca berikutnya, dan jangan lupa bagikan artikel ini jika Anda terpesona oleh hujan Tanah Seru!

Leave a Reply