Daftar Isi
Pernahkah Anda merasakan kehilangan yang mendalam namun menemukan kekuatan untuk bangkit dari cinta seorang ibu? Cerpen Ibu, Pelita di Malam Kelam: Kisah yang Menggetarkan Jiwa membawa Anda dalam perjalanan emosional Zafirah Lumaya bersama ibunya, Sariwati Purnama, yang menjadi sumber cahaya di tengah kesulitan hidup. Dengan narasi yang mendalam dan penuh detail, cerita ini mengajak pembaca merenung tentang pengorbanan ibu dan kekuatan harapan. Yuk, simak ulasan lengkapnya dan temukan inspirasi dari kisah menyentuh ini!
Ibu, Pelita di Malam Kelam
Cahaya di Ujung Kesunyian
Pagi itu, 10 Juni 2025, udara di kampung kecil Tanah Seruni terasa lembap, membawa aroma tanah basah setelah hujan semalaman. Kabut tipis masih menyelimuti hamparan sawah di kejauhan, menciptakan suasana yang damai namun juga melankolis. Aku, Zafirah Lumaya, duduk di ambang pintu rumah kayu kami yang sederhana, memandangi cangkir kopi hangat di tanganku. Uapnya naik perlahan, membentuk lingkaran kecil yang seolah mencoba membawa kembali kenangan tentang ibu, Sariwati Purnama, sosok yang telah menjadi pelita dalam hidupku selama dua puluh tahun terakhir.
Ibu adalah wanita yang penuh kehangatan, meski kehidupannya tak pernah mudah. Rambutnya yang hitam panjang kini bercampur uban, tanda perjuangan tak kenal lelah sebagai penjahit tunggal keluarga kami. Matanya yang cokelat lembut selalu menyimpan senyum, bahkan di hari-hari terberat, seperti saat ayah meninggalkan kami sepuluh tahun lalu tanpa jejak. Pagi ini, suaranya yang lembut terdengar dari dalam rumah, memanggilku untuk sarapan. “Zafirah, ayo makan! Nasi uduknya udah siap,” katanya, suaranya penuh kasih meski aku tahu tubuhnya lelah setelah begadang menjahit pesanan tetangga.
Aku berjalan masuk, menyapa ibu yang sedang mengaduk sambal di dapur kecil kami. Dinding kayu yang sudah usang dipenuhi noda hitam akibat asap kompor, dan meja makan tua di tengah ruangan berderit setiap kali disentuh. Di atas meja, ada piring berisi nasi uduk hangat, telur balado, dan irisan timun segar—menu sederhana yang selalu menjadi kebahagiaan kecil kami. Ibu tersenyum, menyodorkan piring padaku, tapi aku tak bisa tidak memperhatikan bagaimana tangannya sedikit gemetar saat memotong cabai. “Ibu, kamu capek banget, ya? Istirahat dulu aja,” kataku khawatir.
Dia menggeleng, rambutnya yang diikat sederhana bergoyang pelan. “Nggak apa-apa, Nak. Pesanan Bu Sumin harus selesai hari ini. Lagipula, ini buat biaya sekolahmu bulan depan,” jawabnya, suaranya penuh keteguhan. Aku tahu ibu selalu memprioritaskan pendidikanku, bahkan ketika kami harus berhemat untuk makan. Sejak ayah pergi, ibu menjadi segalanya—ibu, ayah, dan tulang punggung keluarga. Dia menjahit dari pagi hingga malam, kadang sampai matanya merah karena kurang tidur, hanya agar aku bisa melanjutkan impian menjadi guru.
Setelah sarapan, aku membantu ibu membersihkan meja, sambil mengobrol tentang hari-hariku di sekolah. Aku bercerita tentang ujian matematika yang membuatku pusing, dan ibu tertawa kecil, mengingatkan aku untuk belajar lebih giat. “Kamu harus jadi guru yang hebat, Zafirah. Biar ibu bisa bangga lihat kamu berdiri di depan kelas,” katanya, matanya berbinar. Aku tersenyum, tapi di dalam hati, aku merasa bersalah. Ibu telah berkorban begitu banyak, dan aku tak yakin apakah aku bisa membalasnya sepadan.
Sore itu, aku memutuskan untuk menemani ibu ke pasar untuk membeli benang dan kain. Jalan setapak menuju pasar dipenuhi jejak lumpur, dan suara ayam berkokok dari kejauhan menjadi latar yang akrab. Ibu berjalan di sampingku, membawa keranjang rotan tua yang sudah lusuh. Di sepanjang jalan, dia menyapa tetangga dengan senyum ramah, meski aku tahu dia sedang menyembunyikan kelelahannya. Di pasar, ibu berhenti di kios Bu Marni, memilih benang warna-warni dengan hati-hati. “Ini buat baju anak Pak Rudi. Harus rapi, biar dia senang,” katanya sambil tersenyum pada Bu Marni.
Kembali ke rumah, aku membantu ibu menata bahan di meja jahitnya. Mesin jahit tua yang berdecit setiap kali digunakan terdengar seperti nyanyian rutin di rumah kami. Ibu mulai bekerja, jarum dan benang bergerak lincah di tangannya, tapi aku memperhatikan napasnya yang sedikit tersengal. “Ibu, istirahat dulu, ya? Aku takut kamu sakit,” kataku, menyentuh pundaknya lembut. Dia menggeleng, mengusap keringat di dahinya. “Nggak apa-apa, Nak. Ini cuma capek biasa. Lagipula, ibu harus selesai malam ini.”
Malam tiba, dan aku duduk di sudut ruangan, belajar sambil mendengarkan suara mesin jahit yang terus berjalan. Sekitar pukul sembilan, ibu tiba-tiba berhenti. Aku menoleh, dan melihatnya memegang dada, wajahnya pucat. “Ibu!” panggilku panik, berlari mendekat. Dia tersenyum lemah, mencoba menenangkanku. “Zafirah, ibu cuma pusing. Bantu ibu ke kasur, ya?” katanya, suaranya hampir hilang. Aku membantunya berjalan ke kamar kecil kami, meletakkannya di ranjang bambu yang sudah usang. Dia berbaring, napasnya terdengar berat, dan aku buru-buru mengambil segelas air.
Setelah minum, ibu tampak sedikit tenang, tapi matanya menatapku dengan ekspresi yang membuatku takut. “Zafirah, kalau suatu hari ibu nggak ada, kamu harus janji buat kuat, ya? Jangan menyerah sama mimpimu,” katanya pelan. Aku menggeleng kuat, air mataku jatuh. “Jangan bilang gitu, Ibu! Kamu akan baik-baik aja. Besok kita ke dokter, ya?” Ibu hanya tersenyum, mengelus rambutku seperti biasa, tapi ada kelembutan yang terasa seperti perpisahan.
Malam itu, aku tak bisa tidur. Aku duduk di samping ranjang ibu, memandangi wajahnya yang tampak tenang dalam tidur. Di luar, angin malam berbisik pelan, membawa aroma bunga melati dari kebun tetangga. Aku menggenggam tangannya yang hangat, merasakan setiap garis di kulitnya yang kasar akibat kerja keras. Ada firasat buruk yang menggelayuti dadaku, seolah malam ini adalah awal dari sesuatu yang tak bisa kulupasi. Cahaya lampu minyak yang redup di sudut kamar tampak seperti pelita kecil, menyala di tengah kelam yang perlahan menyelimuti hidupku.
Bayang Penyakit di Balik Senyuman
Pagi itu, Selasa, 10 Juni 2025, pukul 09:16 WIB, matahari mulai menembus kabut tipis di kampung Tanah Seruni, membawa sedikit kehangatan ke dalam rumah kayu sederhana kami. Aku, Zafirah Lumaya, terbangun dengan perasaan berat di dada, masih terngiang-ngiang oleh kejadian semalam ketika ibu, Sariwati Purnama, tiba-tiba memegang dada dan wajahnya pucat. Cahaya lembut dari lampu minyak yang kutinggalkan menyala semalaman masih menyisakan bayangan di dinding, seolah menjadi saksi bisik-bisik ketakutan yang menggelayuti pikiranku. Aku bergegas ke kamar ibu, hatiku berdebar, tapi aku menemukannya sudah duduk di ranjang bambu, mengenakan daster sederhana berwarna biru muda yang sudah agak memudar.
“Ibu, kamu baik-baik aja?” tanyaku, suaraku bergetar sambil mendekat. Ibu menoleh, tersenyum lemah, tapi matanya yang cokelat lembut tampak redup. “Ibu baik-baik aja, Nak. Cuma pusing semalam. Mungkin kelelahan aja,” jawabnya, mencoba berdiri dengan tangan bertumpu pada dinding. Aku tak percaya begitu saja. Tangan gemetar dan napasnya yang tersengal semalam masih terngiang jelas di ingatanku. “Ibu, kita ke dokter hari ini. Aku takut kalau ini serius,” pintaku tegas, meski hatiku penuh keraguan.
Ibu menggeleng pelan, rambutnya yang diikat sederhana terlepas sedikit, menampakkan uban yang semakin banyak. “Zafirah, ibu nggak mau repot. Uangnya kan buat sekolahmu. Lagipula, ibu cuma butuh istirahat,” katanya, suaranya penuh kelembutan tapi juga keteguhan. Aku tak bisa membantah, tapi tekadku bulat. Aku mengambil tabungan kecilku yang kusimpan di toples kaca di sudut kamar—uang hasil jajan yang kurelakan—dan berkata, “Ibu, ini cukup buat ke dokter. Aku nggak mau ambil risiko.”
Setelah beberapa saat berdebat lembut, ibu akhirnya menyerah. Kami bersiap, dan aku membantu ibu mengenakan kain jarik sederhana yang biasa dia pakai ke luar rumah. Kami berjalan menuju klinik desa, jaraknya sekitar satu kilometer, melewati jalan setapak yang dipenuhi jejak lumpur dari hujan semalam. Suara burung berkicau di pepohonan menjadi latar yang kontras dengan kekhawatiranku. Ibu berjalan perlahan, tangannya memegang lengan saya untuk bertopang, dan aku bisa merasakan tubuhnya yang terasa lebih ringkih dari biasanya.
Klinik desa tampak sederhana, dengan dinding beton yang sudah retak dan kursi plastik yang sudah usang. Dokter desa, Pak Harun, menyambut kami dengan senyum ramah. Dia memeriksa ibu dengan stetoskop tua, mendengarkan detak jantung dan napasnya, lalu memintanya berbaring untuk pemeriksaan lebih lanjut. Aku berdiri di samping, memandangi ibu yang mencoba tersenyum untuk menenangkanku, tapi aku tahu ada ketakutan di matanya. Setelah beberapa menit, Pak Harun memanggilku ke sudut ruangan.
“Zafirah, dari pemeriksaan awal, ada suara tidak normal di paru-paru ibumu. Bisa jadi infeksi atau sesuatu yang lebih serius seperti gangguan jantung. Aku saranin kalian ke rumah sakit kota buat tes lengkap—röntgen dan tes darah. Jangan tunda, ya,” katanya serius, matanya menatapku dengan keprihatinan. Aku mengangguk, meski perutku terasa mual. Kata-kata “serius” terngiang di kepalaku, membawa bayang gelap yang tak ingin kuhadapi.
Kembali ke ibu, aku mencoba menyembunyikan kekhawatiranku. “Ibu, dokter bilang kita perlu ke rumah sakit kota. Aku punya cukup uang, kita berangkat sekarang, ya?” Ibu memandangku lama, lalu mengangguk pelan. “Kalau itu yang terbaik, kita pergi. Tapi jangan khawatir berlebihan, Nak,” katanya, meski suaranya terdengar lemah. Kami pulang untuk mengambil pakaian ganti dan sedikit uang tambahan dari tabungan ibu yang tersimpan di kotak kayu tua di bawah ranjang.
Perjalanan ke rumah sakit kota dimulai siang itu dengan angkot tua yang berderit setiap kali berbelok. Ibu duduk di sampingku, tangannya memegang kain jariknya erat, sementara aku memandangi pemandangan sawah yang perlahan berganti menjadi gedung-gedung beton. Di dalam hati, aku berdoa agar ibu baik-baik saja, mengingat semua pengorbanannya—malam-malam tanpa tidur menjahit, hari-hari berpuasa demi membelikanku buku, dan senyuman yang selalu dia tunjukkan meski hidup penuh tantangan.
Sesampainya di rumah sakit, kami langsung mendaftar di loket pendaftaran yang ramai. Aroma desinfektan menyengat hidungku, dan suara langkah kaki petugas terdengar seperti dentuman di kepalaku. Perawat membawa ibu ke ruang pemeriksaan, sementara aku menunggu di luar dengan tangan bergetar. Setelah hampir satu jam, dokter spesialis, Dr. Wulan, memanggilku. Dia wanita paruh baya dengan rambut pendek dan kacamata tipis, suaranya tenang tapi penuh bobot. “Zafirah, dari hasil awal, ada kemungkinan ibumu mengalami gagal jantung kongestif. Kami perlu röntgen dan tes darah untuk memastikan. Kondisinya cukup serius, jadi kami akan rawat inap dulu,” jelasnya.
Aku merasa dunia berputar. Gagal jantung? Kata-kata itu terdengar seperti vonis, dan air mataku tak bisa ditahan. Aku masuk ke ruangan ibu, yang kini berbaring di ranjang rumah sakit dengan infus di tangannya. “Ibu, dokter bilang kamu harus dirawat. Aku takut,” kataku, suaraku pecah. Ibu mengulur tangan, mengelus pipiku dengan lembut. “Zafirah, ibu nggak apa-apa. Yang penting, kamu tetap belajar. Ibu janji akan sembuh,” katanya, tapi senyuman itu tak bisa menyembunyikan ketakutan di matanya.
Malam itu, kami berada di ruang rawat inap sederhana dengan dua ranjang. Ibu tidur dengan bantuan oksigen, napasnya terdengar berat, sementara aku duduk di kursi plastik di sampingnya, menatap wajahnya yang tampak pucat. Cahaya lampu neon di atas kami redup, menciptakan bayangan di dinding yang terasa seperti cerminan ketidakpastian. Aku mengingat saat ibu mengajakku berjalan di sawah saat kecil, mengajarkanku nama-nama bunga liar, atau saat dia menjahit gaun pertamaku untuk upacara sekolah. Setiap kenangan itu menusuk hati, membuatku sadar betapa rapuhnya pelita yang selama ini menerangi hidupku.
Keesokan paginya, tes lanjutan dimulai. Aku menunggu di luar ruang röntgen, memandangi jam dinding yang bergerak lambat. Setiap suara pintu yang terbuka membuatku melompat, berharap kabar baik. Setelah dua jam, Dr. Wulan kembali dengan hasil. “Zafirah, hasil röntgen menunjukkan gagal jantung kongestif stadium awal, diperparah oleh infeksi paru. Kami akan beri obat dan terapi, tapi prognosisnya tergantung respons tubuhnya. Kamu harus siap untuk segala kemungkinan,” katanya, suaranya penuh simpati.
Aku kembali ke ibu, yang kini tampak lelah setelah tes. “Ibu, dokter bilang kamu harus kuat. Aku akan selalu di sini,” kataku, memegang tangannya erat. Ibu mengangguk, matanya berkaca-kaca. “Zafirah, ibu cuma minta satu hal. Kalau ibu nggak ada, lanjutkan mimpimu jadi guru. Itu cukup buat ibu,” bisiknya. Aku menangis, memeluknya meski infus membatasi gerakan. Malam itu, aku tidur di samping ranjangnya, terjaga oleh suara napasnya yang kadang terputus, dan firasat buruk semakin menguat di dadaku.
Bayang Penyakit yang Menebal
Pagi itu, tepat pukul 09:18 WIB, Selasa, 10 Juni 2025, sinar matahari pagi menyelinap melalui celah jendela ruang rawat inap Rumah Sakit Umum Daerah, menerangi wajah pucat ibu, Sariwati Purnama, yang masih terbaring lemah di ranjang putih. Aku, Zafirah Lumaya, duduk di kursi plastik samping ranjang, tanganku erat memegang tangan ibu yang terasa dingin meski udara dalam ruangan cukup hangat. Suara mesin monitor jantung berderit pelan, menciptakan ritme yang kontras dengan ketenangan semu di wajah ibu. Di luar, suara klakson kendaraan dan langkah kaki petugas terdengar samar, seolah dunia terus berputar sementara kami terjebak dalam waktu yang membeku.
Ibu terbangun perlahan, matanya yang cokelat lembut menatapku dengan senyum tipis. “Zafirah, kamu nggak tidur lagi, ya? Kasihan anak ibu,” katanya, suaranya serak namun penuh kasih. Aku menggeleng, menyeka air mata yang tak sengaja jatuh. “Ibu, aku baik-baik aja. Yang penting kamu sembuh,” balasku, berusaha tegar meski hatiku hancur mendengar diagnosis gagal jantung kongestif dan infeksi paru dari Dr. Wulan semalam. Ibu mengelus tanganku, tapi gerakannya lemah, seolah energi dalam tubuhnya mulai terkuras.
Hari itu, perawatan intensif dimulai. Perawat membawa tabung oksigen tambahan, dan aku belajar cara memasangkannya dengan hati-hati, tanganku gemetar setiap kali menyentuh wajah ibu. Dr. Wulan datang pagi itu, membawa hasil tes darah terbaru. “Zafirah, kondisi ibumu stabil untuk sementara, tapi infeksi parunya cukup parah. Kami akan tambah antibiotik dan terapi jantung. Namun, kamu harus siap—stadium awal ini bisa berkembang cepat jika tidak terkendali,” jelasnya, suaranya datar namun penuh empati. Aku mengangguk, meski pikiran ku terasa kosong. Kata-kata “bisa berkembang cepat” terngiang, membawa bayang gelap yang semakin menebal.
Sepanjang hari, aku tak meninggalkan sisi ibu. Aku membawakan makanan sederhana—bubur ayam dari kantin rumah sakit—dan memberinya dengan sendok kecil, karena tangannya terlalu lemah untuk memegang. Ibu makan sedikit, lalu tersenyum, berkata, “Enak, Nak. Kamu jago masak sekarang.” Aku tertawa kecil, tapi di dalam hati, aku menangis. Aku ingat saat ibu mengajarkanku memasak nasi uduk di dapur rumah, tangannya yang lincah membimbingku mengulek cabai, dan tawa kecilnya saat aku salah memotong timun. Kenangan itu terasa seperti pisau yang menusuk, mengingatkanku betapa rapuhnya pelita yang selama ini menerangi hidupku.
Sore hari, aku memutuskan untuk menelepon Pak Harun, dokter desa, memintanya memberi tahu tetangga dekat kami, Bu Sumin dan Pak Rudi. Tak lama, keduanya datang membawa keranjang buah—pisang dan jeruk—serta doa untuk ibu. Bu Sumin, dengan wajah penuh kerutan dan mata sayu, memelukku erat. “Zafirah, ibumu orang baik. Kami doain dia kuat,” katanya, suaranya bergetar. Pak Rudi, yang biasa memesan pakaian pada ibu, menambahkan, “Sariwati selalu bantu kami. Semoga dia sembuh.” Kehadiran mereka membawa sedikit kehangatan, tapi juga memperdalam rasa bersalahku—aku merasa tak cukup melindungi ibu dari kelelahan yang kini menggerogoti kesehatannya.
Malam tiba, dan kondisi ibu mulai menurun. Napasnya terdengar semakin berat, dan monitor jantung menunjukkan ritme yang tak stabil. Aku panik, memanggil perawat yang langsung bergegas membawa alat bantu pernapasan. Dr. Wulan datang lagi, wajahnya tegang. “Zafirah, kami akan pindahkan ibumu ke ICU. Denyut jantungnya melemah, dan kita perlu tindakan darurat. Kamu bisa ikut, tapi harus tenang,” katanya. Aku mengangguk, mengikuti perawat yang mendorong ranjang ibu menuju ruangan intensif. Di dalam ICU, suasana dingin dengan lampu neon yang terang menyilaukan, dan suara mesin medis menggantikan keheningan.
Ibu terbaring di ranjang ICU, wajahnya tersembunyi sebagian oleh masker oksigen. Aku duduk di samping, memegang tangannya yang kini terasa seperti es, mengingat saat ibu menggenggam tanganku saat aku takut gelap di masa kecil. “Ibu, aku di sini. Kamu harus kuat, ya?” bisikku, suaraku pecah. Ibu membuka mata pelan, menatapku dengan ekspresi penuh cinta. “Zafirah, ibu sayang kamu. Kalau ibu nggak ada, jangan menyerah. Jadi guru, seperti yang kamu impikan,” katanya, suaranya hampir tak terdengar di balik masker. Aku menangis, memeluk tangannya erat, berjanji dalam hati untuk memenuhi permintaannya.
Hari-hari di ICU terasa seperti mimpi buruk yang tak berujung. Pagi hari, aku menyaksikan ibu berjuang bernapas, sementara dokter dan perawat sibuk mengatur dosis obat. Sore hari, aku membaca surat dari teman sekolahku untuk menghibur ibu, tapi dia hanya tersenyum lemah, tak lagi mampu menjawab. Malam-malam, aku tidur di kursi kecil di sudut ruangan, terjaga oleh suara alarm mesin yang kadang berbunyi, menandakan perubahan kecil dalam kondisi ibu. Aku sering mengingat saat ibu menjahit gaun pertamaku, atau saat dia bernyanyi lagu daerah untuk menidurkan aku, dan setiap kenangan itu membuatku semakin takut kehilangannya.
Tiga hari berlalu, dan kondisi ibu semakin kritis. Dr. Wulan memanggilku ke ruang konsul pagi itu. “Zafirah, jantung ibumu semakin lemah. Infeksi parunya tak lagi terkendali, dan kami sudah melakukan yang terbaik. Kamu harus siap untuk perpisahan,” katanya, suaranya penuh penyesalan. Aku runtuh, menangis tersedu di bahunya. Aku kembali ke ICU, memandangi ibu yang kini terlihat seperti bayangan dari dirinya yang dulu. “Ibu, aku janji akan jadi guru. Tapi jangan pergi, tolong,” kataku, suaraku hilang dalam isak.
Malam itu, sekitar pukul 11:30 WIB, alarm mesin berbunyi panjang. Perawat dan dokter bergegas masuk, tapi aku tahu, saat itu adalah akhir. Ibu membuka mata untuk terakhir kalinya, menatapku dengan senyum damai. “Zafirah… ibu bangga… padamu,” bisiknya, sebelum matanya perlahan menutup. Jeritan kesedihan keluar dari mulutku, memenuhi ruangan dingin itu. Aku memeluk tubuhnya yang tak lagi bergerak, menangis hingga tak ada air mata lagi. Cahaya bulan yang menyelinap melalui jendela tampak redup, seolah ikut berduka atas kepergian pelita yang telah padam dalam hidupku.
Perawat membawa keranda sederhana, dan aku menutup matanya dengan tangan gemetar, mengucap doa untuk kepergiannya. Di dalam hati, aku merasa kehilangan yang tak bisa diucapkan, tapi juga janji yang harus kutepati. Ibu, pelita di malam kelamku, telah pergi, meninggalkan aku dalam gelap yang kini harus kujalani dengan kekuatan darinya.
Pelita yang Kembali Menyala
Pagi itu, tepat pukul 09:20 WIB, Selasa, 10 Juni 2025, langit Tanah Seruni tampak kelabu, seolah ikut meratapi kepergian ibu, Sariwati Purnama, yang telah meninggalku di ruang ICU Rumah Sakit Umum Daerah tadi malam. Aku, Zafirah Lumaya, berdiri di depan rumah kayu sederhana kami, memandangi ambang pintu tempat kami biasa duduk bersama, menikmati kopi dan cerita. Angin pagi bertiup pelan, membawa aroma tanah basah dan bunga melati dari kebun tetangga, namun kini aroma itu terasa kosong tanpa tawa ibu. Di tanganku, aku memegang jurnal kecil milik ibu yang kuselamatkan dari meja jahitnya—bukti kehidupan yang penuh pengorbanan.
Proses pemakaman dimulai siang itu. Tetangga dan kerabat berkumpul di halaman rumah, membawa karangan bunga sederhana dari daun pisang dan mawar liar. Bu Sumin, dengan mata sembab, memelukku erat. “Zafirah, ibumu adalah malaikat buat kami. Dia selalu bantu tanpa pamrih,” katanya, suaranya bergetar. Pak Rudi membawa kain kafan putih, mengingatkan aku akan pesanan terakhir ibu untuknya—baju yang tak sempat diselesaikan. Upacara diadakan sederhana di pemakaman desa, di bawah pohon jati tua yang menjadi saksi pertumbuhanku. Saat tanah ditutup di atas makam ibu, aku melemparkan segenggam tanah, mengingat saat ibu mengajarkanku menanam bibit cabai di kebun belakang. “Tanah ini hidup, Zafirah. Jagalah,” katanya dulu. Kini, tanah itu mengambilnya kembali, dan aku tak bisa berbuat apa-apa selain menangis dalam hati.
Kembali ke rumah, suasana terasa hampa. Dapur yang dulu dipenuhi aroma nasi uduk dan sambal ibu kini hanya menyisakan dingin. Aku duduk di meja jahitnya, menatap mesin tua yang berhenti selamanya, dan membuka jurnal ibu. Tulisannya rapi, penuh emosi. “15 Maret 2020: Zafirah dapat nilai bagus hari ini. Aku bangga, tapi aku takut tak bisa lihat dia jadi guru.” Lalu, “9 Juni 2025: Aku lemah, tapi aku tenang. Zafirah, lanjutkan mimpimu. Ibu selalu ada.” Air mataku jatuh di atas kertas, membasahi tinta yang memudar. Jurnal itu seperti surat terakhir, dan aku memeluknya erat, seolah ibu masih bersamaku.
Hari-hari berikutnya, aku tenggelam dalam kesedihan, tapi tekad ibu menjadi pecut bagiku. Aku memutuskan untuk melanjutkan sekolah dan impian menjadi guru, seperti yang dia harapkan. Setiap pagi, aku pergi ke kebun belakang, menyiram tanaman yang ibu rawat—cabai, tomat, dan bunga melati—dan berbicara padanya. “Ibu, aku akan kuat. Aku janji,” kataku pelan, menatap langit yang mulai cerah. Angin yang bertiup seolah membalas, membawa ketenangan ke dalam jiwaku.
Suatu hari, Bu Sumin datang membawa sekeranjang sayuran. “Zafirah, kamu mirip ibumu—kuat dan penuh harapan. Dia pasti bangga,” katanya, matanya penuh kekaguman. Aku tersenyum, merasa dukungan itu seperti pelukan dari ibu. Bu Sumin lalu bercerita tentang bagaimana ibu sering membantu warga desa—menjahit gratis untuk anak yatim, berbagi hasil panen, atau sekadar mendengarkan keluh kesah. Aku tak tahu semua itu, dan cerita itu membukakan mataku pada warisan ibu yang lebih besar dari sekadar cinta kepadaku.
Dengan tekad baru, aku kembali ke sekolah menengah atas di kota terdekat, mengambil jurusan pendidikan. Aku bekerja paruh waktu di toko buku untuk membiayai hidup, sering begadang belajar di bawah lampu minyak seperti dulu bersama ibu. Setiap kali lelah, aku membuka jurnal ibu, membaca kata-katanya yang memberi kekuatan. “Zafirah, kamu adalah pelita ibu. Jangan padam,” tulisnya, dan itu menjadi mantra bagiku.
Tiga tahun berlalu, dan aku lulus SMA dengan nilai terbaik. Saat menerima ijazah, aku membayangkan ibu berdiri di tengah kerumunan, tersenyum bangga seperti dulu. Aku melanjutkan ke perguruan tinggi dengan beasiswa, mengambil jurusan pendidikan dasar, dan berjanji untuk kembali ke Tanah Seruni sebagai guru. Di kampus, aku aktif mengajar anak-anak desa melalui program sukarela, membawa buku dan alat tulis sederhana, mengenang saat ibu mengajakku belajar di bawah pohon jati.
Pada tahun 2028, aku kembali ke desa dengan gelar sarjana di tangan. Aku mendirikan sekolah kecil di halaman rumah, yang kubenamakan “Sekolah Pelita Sari” untuk menghormati ibu. Dengan bantuan Bu Sumin, Pak Rudi, dan warga, kami membangun ruang kelas sederhana dari bambu dan kayu bekas. Aku mengajar anak-anak desa, mengenalkan mereka pada huruf dan angka, serta cerita-cerita inspiratif—termasuk tentang ibu yang menjadi pelitaku.
Hari peresmian sekolah diadakan di bawah pohon jati tua tempat pemakaman ibu. Aku berdiri di depan anak-anak dan warga, memotong pita kain warna-warni yang kubuat sendiri, dan sorak sorai menggema. Di sudut lapangan, aku menanam bunga melati—bunga favorit ibu—sebagai simbol harapan. “Ibu, ini untukmu. Terima kasih sudah jadi pelitaku,” bisikku, menaburkan tanah di sekitar bibit. Angin bertiup kencang, seolah menyetujui janjiku.
Malam itu, aku duduk di teras rumah, menatap langit penuh bintang. Di tanganku, aku memegang jurnal ibu dan foto keluarga—ibu tersenyum lebar memelukku yang masih kecil. Angin malam membawa aroma bunga melati dari kebun, sama seperti saat ibu masih ada. Aku merasa dia dekat, tersenyum dari balik bintang-bintang, menyaksiku melangkah maju. Luka kehilangan masih ada, tapi kini aku tahu, pelita ibu tak pernah benar-benar padam—ia hidup dalam setiap langkahku, dalam setiap anak yang aku ajar, dan dalam hati yang kini penuh harapan.
Dengan sekolah kecil itu, aku berjanji untuk melanjutkan warisan ibu, bukan hanya pendidikan, tapi juga kebaikan dan ketahanan yang dia ajarkan. Tanah Seruni akan menjadi saksi perjalanan hidupku, dan ibu akan selalu menjadi pelita yang memandu di malam kelam, selamanya.
Cerpen Ibu, Pelita di Malam Kelam: Kisah yang Menggetarkan Jiwa bukan hanya menggambarkan kehilangan, tetapi juga kekuatan cinta seorang ibu yang menginspirasi Zafirah untuk mewujudkan mimpinya menjadi guru. Dari kebun sederhana hingga sekolah kecil yang didirikannya, cerita ini mengajarkan kita untuk menghargai pengorbanan ibu dan menjalani hidup dengan harapan. Jangan lewatkan kesempatan untuk membaca karya ini dan rasakan sentuhan emosional yang membekas di hati!
Terima kasih telah menyimak ulasan tentang Ibu, Pelita di Malam Kelam: Kisah yang Menggetarkan Jiwa! Semoga cerita ini membawa inspirasi dan kehangatan dalam hidup Anda. Sampai jumpa di artikel menarik lainnya, dan jangan lupa bagikan kisah pribadi Anda tentang ibu di kolom komentar!