Daftar Isi
Gimana rasanya kehilangan sesuatu yang paling berharga, tapi nggak bisa benar-benar pergi dari hidupmu? Itu yang dirasain Naya, yang harus menghadapin kenyataan bahwa doa ibunya, yang dulu selalu hadir seperti pelukan hangat, kini hilang entah ke mana.
Di tengah semua kesedihan itu, ada satu hal yang Naya pelajari: meskipun hidup nggak selalu adil, harapan nggak pernah benar-benar pergi, hanya butuh waktu buat ditemukan lagi. Cerpen ini bakal bawa kamu masuk ke dalam perjalanan Naya yang penuh rasa sakit, tapi juga pelajaran berharga soal kehilangan, harapan, dan bagaimana doa bisa kembali menyelamatkan jiwa yang terluka.
Ibu Doa yang Hilang
Kenangan yang Tersisa
Hujan turun dengan deras malam itu, memenuhi udara dengan aroma tanah basah yang kental. Suara gemericik hujan yang menyentuh genteng rumah terdengar begitu menenangkan, seolah dunia luar ikut mengerti betapa kosongnya perasaan Naya saat itu. Dia duduk di sudut ruang tamu, terdiam, memandang foto tua yang tergeletak di atas meja. Foto itu adalah satu-satunya yang masih ada, memuat gambar ibu yang tersenyum lebar. Naya ingat betul, senyum itu selalu bisa membuatnya merasa aman, apapun yang terjadi.
Naya meraih foto itu, mengelus lembut sudutnya, dan memejamkan mata sejenak. Rasanya seperti baru kemarin ibu menyapanya dengan lembut, mengajak bicara sambil memeluknya, memberitahunya betapa pentingnya doa, betapa doa ibu akan selalu melindunginya. Tapi kini, semua itu terasa seperti bayangan, semakin memudar. Setahun sudah sejak ibu pergi, meninggalkan semua tanya yang menggantung dalam pikiran Naya.
“Ibu…” kata Naya pelan, suara nyaris tertelan oleh gemuruh hujan yang semakin deras. “Kenapa harus seperti ini?”
Di luar jendela, langit yang gelap menambah kesan sunyi yang terasa semakin mendalam. Seperti langit pun tak tahu harus berkata apa. Naya kembali menatap foto ibu. Di dalam matanya yang redup, seolah ada ribuan pertanyaan yang ingin ia lontarkan. Namun yang bisa ia lakukan hanya diam.
Hatinya sesak. Tak ada lagi suara ibu yang membimbingnya, tak ada lagi sentuhan lembut yang menguatkan. Ibu yang dulu selalu ada dalam setiap doa yang diucapkan, yang selalu mengajarkan untuk tidak takut menghadapi apapun dengan keyakinan, kini seolah hilang begitu saja. Naya merasa kosong. Hanya keheningan yang memenuhi hatinya.
“Ibu, aku nggak tahu harus bagaimana lagi,” gumamnya, tangannya terjatuh di atas meja, menekan foto ibu. “Aku sudah berusaha. Berdoa seperti yang ibu ajarkan. Tapi kenapa doa itu nggak datang lagi?”
Hujan di luar semakin keras, suara derunya seperti menambah kesedihan yang menghimpit. Naya menutup mata, berusaha mengingat kembali setiap nasihat yang pernah diberikan ibu. Setiap malam sebelum tidur, ibu selalu duduk di sampingnya, mengajaknya berdoa bersama. Di setiap kata yang ibu ucapkan, ada ketenangan yang mengalir begitu dalam. Doa itu selalu menjadi pengingat bahwa apapun yang terjadi, mereka selalu punya harapan.
Tapi sekarang, doa itu terasa kosong. Rasanya seperti ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang penting. Ibu selalu mengatakan bahwa doa ibu tidak akan pernah hilang, bahwa ibu akan selalu ada di dalam setiap doa yang ia panjatkan. Tapi kenyataannya, doa itu tidak pernah datang kembali. Naya merasa seolah doa ibu lenyap bersamanya.
Naya meletakkan foto ibu di atas meja, berdiri dan berjalan perlahan menuju jendela. Dia menatap keluar, melihat hujan yang tak kunjung berhenti, seakan langit juga sedang menangisi kehilangan yang ia rasakan. Beberapa kali, Naya mencoba memejamkan mata, berdoa, seperti yang ibu ajarkan. Namun tidak ada suara, tidak ada jawaban.
“Ibu, di mana kamu? Kenapa kamu nggak ada lagi?” tanya Naya, matanya terbuka lebar, menatap langit yang penuh dengan awan gelap.
Hati Naya terasa berat. Ia merasa terjebak dalam kesedihan yang tak ada habisnya. Ketika ibu meninggal, dunia seolah berhenti. Seolah segala sesuatu yang dulunya penuh dengan harapan kini terhenti begitu saja. Ibu adalah doa yang nyata, harapan yang tampak, pelindung yang selalu ada. Tapi sekarang, Naya merasa kehilangan pegangan, merasa seolah doa itu telah menghilang bersamanya.
Malam itu, Naya tidak bisa tidur. Hatinya gelisah, pikirannya berputar-putar, mencari jawaban yang tak bisa ia temukan. Beberapa kali ia mencoba kembali memanjatkan doa, tapi hanya ada keheningan yang datang. Tidak ada suara ibu, tidak ada jawaban.
Sejenak, ia teringat pada saat terakhir kali ibu membisikkan kata-kata itu di telinganya. Saat itu, Naya masih kecil, dan ibu mengelus rambutnya dengan lembut. “Apapun yang terjadi, Naya, doa ibu tak akan pernah hilang. Ibu akan selalu ada dalam doamu. Jangan pernah lupa untuk berdoa.”
Namun kini, kata-kata itu terasa seperti janji kosong. Ibu tidak ada lagi untuk mengingatkan, untuk menenangkan. Hanya ada hampa yang mengisi kekosongan itu.
Naya menarik napas panjang dan menatap foto ibu di meja. “Aku… aku nggak tahu bagaimana melanjutkan hidup tanpa kamu, Bu,” bisiknya. “Tapi aku harus berusaha.”
Hujan masih turun dengan deras, dan Naya merasa tak ada yang bisa menghalangi rasa kehilangan itu. Namun, di dalam hatinya, ada sebuah harapan kecil yang mulai tumbuh, meskipun ia sendiri tak tahu apakah itu doa yang masih hidup atau hanya sebuah bayangan.
Dengan langkah perlahan, Naya kembali ke kursinya, duduk dan menatap keluar jendela. Langit yang gelap masih menggantung di atasnya, namun ada sedikit cahaya yang memancar di antara awan—sebuah tanda bahwa meskipun gelap, harapan masih ada, menunggu untuk ditemukan kembali.
Keheningan Doa
Hari-hari berlalu tanpa banyak perubahan. Naya merasa seperti terperangkap dalam labirin perasaan yang tak pernah menemukan ujungnya. Setiap pagi ia bangun, menyapih rambut yang sudah semakin panjang, merapikan diri, dan mencoba melangkah dengan kaki yang terasa sangat berat. Namun meski begitu, rasanya ada yang hilang di dalam setiap langkahnya. Langit tak lagi biru, senyuman orang-orang tak lagi berarti, dan dunia seperti berhenti berputar setelah ibu pergi.
Naya mulai memperhatikan bagaimana orang-orang di sekitarnya seperti melanjutkan hidup mereka dengan biasa, tanpa beban yang ia rasakan. Teman-temannya berbicara tentang rencana masa depan mereka, tentang cita-cita dan kebahagiaan yang mereka idamkan, tetapi semuanya terdengar jauh dan tak terjangkau. Ia merasa tak ada yang mengerti apa yang sedang ia alami.
Di rumah, keheningan selalu mengisi setiap sudut. Tak ada lagi suara ibu yang biasa mengisi ruang dengan tawa lembutnya, tak ada lagi aroma masakan yang memenuhi rumah. Bahkan suara langkah kaki ibu yang dulu selalu terdengar seperti melodi di pagi hari kini hanya menjadi kenangan yang semakin kabur. Naya mencoba untuk tetap berusaha, untuk mencari sesuatu yang bisa mengisi kekosongan itu, tapi doa yang dulu selalu menjadi penuntun kini hanya terasa seperti sebuah kebisuan.
Pada suatu sore yang mendung, Naya memutuskan untuk pergi ke taman kota, berharap bisa menemukan sedikit ketenangan. Di bawah pohon besar yang rindang, ia duduk sendiri, membiarkan angin sore mengusap wajahnya. Sesekali, ia menatap langit yang kelabu, mencari jawaban yang tak kunjung datang.
Tiba-tiba, telepon genggam di sakunya berdering. Naya mengangkatnya tanpa berpikir panjang. Di ujung sana, suara teman lamanya, Dara, terdengar riang, mencoba mencairkan suasana.
“Naya, kamu lagi apa? Kamu kelihatan nggak enak belakangan ini. Ayo dong kita ketemu, aku udah lama nggak lihat kamu.”
Naya menarik napas panjang, mencoba tersenyum meski perasaannya terasa serba salah. “Aku… cuma pengen sendiri dulu, Dara. Terima kasih, ya. Mungkin nanti kalau aku udah siap.”
“Yaudah, kalau kamu butuh teman, aku selalu ada, Naya,” suara Dara terdengar tulus. “Jangan terlalu lama, ya. Kita semua khawatir, kamu nggak bisa terus begini.”
Naya hanya diam sejenak, menatap pemandangan di depan mata. Kata-kata Dara mengingatkannya pada kenyataan bahwa dunia tidak bisa berhenti hanya karena ia sedang terluka. Tetapi entah kenapa, rasa sakit di dalam dadanya tetap menggerogoti, tidak bisa hilang.
Setelah percakapan itu berakhir, Naya kembali terbenam dalam pikirannya. Ia teringat saat-saat ibu mengajarkannya untuk selalu kuat, untuk tetap percaya bahwa apapun yang terjadi, doa adalah kekuatan yang tidak akan pernah hilang. Tapi kini, ia merasakan sebaliknya. Doa itu, doa yang ibu katakan selalu ada, kini terasa seperti sesuatu yang terputus, seperti tidak ada lagi benang yang menghubungkan dirinya dengan apa yang telah hilang.
Malam datang lebih cepat dari yang Naya duga. Hujan mulai turun lagi, menambah kesedihan yang sudah mengendap dalam hatinya. Kali ini, Naya tidak pergi ke makam ibu seperti yang biasa ia lakukan. Ia merasa tak punya cukup kekuatan untuk melangkah lagi ke sana. Sebaliknya, ia duduk di sudut kamarnya, memandang foto ibu yang masih ada di meja. Foto yang kini semakin pudar, seolah turut merasakan apa yang ada di dalam hatinya.
“Ibu…,” Naya mulai berbicara, suaranya terdengar begitu kecil, seakan takut doa yang akan ia ucapkan akan hilang lagi. “Aku coba berdoa, Bu. Aku benar-benar coba, tapi kenapa aku nggak bisa merasakannya lagi?”
Kali ini, ia mencoba menenangkan dirinya. Namun rasa kehilangan itu kembali datang seperti ombak besar yang tak bisa ia hindari. Ia merasakan kekosongan yang begitu dalam, seolah ada jurang di dalam dirinya yang tak pernah bisa terisi.
Tiba-tiba, sesaat sebelum tidur, Naya teringat sesuatu. Ada sebuah kenangan yang muncul begitu saja, sebuah ingatan yang membuat hatinya sedikit lebih ringan. Dulu, ibu pernah bilang padanya, “Kadang, doa itu bukan tentang apa yang kita ucapkan, Naya. Tapi tentang apa yang kita rasakan. Kalau hatimu tulus, doa itu akan sampai, meski tidak dengan kata-kata.”
Naya terdiam sejenak, berpikir. Apa benar doa ibu tak pernah hilang? Mungkin selama ini, ia terlalu fokus pada kata-kata yang tidak pernah keluar dari bibirnya, terlalu sibuk mencari sesuatu yang tampak jelas, hingga ia lupa bahwa doa ibu itu tidak hanya terucap, tetapi juga ada di dalam dirinya.
Malam itu, Naya memejamkan mata, tidak berusaha keras untuk berdoa. Ia hanya mencoba merasakan, mencoba menenangkan hatinya yang gelisah. Mungkin, doa itu akan datang, bukan dalam bentuk kata-kata, tetapi dalam ketenangan yang perlahan mulai meresap.
Ia tidak tahu apakah doa itu akan kembali sepenuhnya, atau jika perasaan itu akan hilang lagi. Namun, satu hal yang ia tahu—ia tidak bisa terus tenggelam dalam kesedihan ini. Naya harus belajar untuk merasakan doa itu, dalam cara yang berbeda.
Langkah yang Tak Terlihat
Pagi itu, Naya bangun dengan perasaan yang sedikit berbeda. Hujan yang terus mengguyur sepanjang malam membuat udara di sekitarnya terasa segar, meskipun perasaan di dalam dirinya masih jauh dari kata tenang. Mungkin memang butuh waktu untuk menenangkan semua kekacauan yang ada dalam hati. Tapi untuk pertama kalinya setelah lama, Naya merasakan sebuah dorongan, meski kecil, untuk mencoba melangkah lagi. Langkah yang lambat, namun sedikit lebih pasti.
Sejak malam kemarin, kenangan tentang ibu kembali muncul dalam benaknya. Bukan kenangan tentang kata-kata ibu yang penuh harapan, atau pelukan yang selalu memberi rasa aman. Kali ini, kenangan itu lebih kepada sesuatu yang tersembunyi—tentang keberanian ibu untuk tetap hidup dengan penuh keyakinan, bahkan ketika segala sesuatu terasa begitu berat. Seperti saat ibu mengajarinya untuk selalu melihat ke depan, untuk terus berjalan meski tak ada jalan yang terlihat jelas.
Pagi ini, Naya memutuskan untuk pergi ke kafe kecil yang biasa ibu bawa setiap akhir pekan. Ia tak berharap banyak, hanya ingin merasakan sedikit kenangan tentang hari-hari yang lebih baik. Di sana, di meja yang biasa mereka duduki, Naya duduk sendirian, memesan secangkir kopi hitam yang sudah terlalu sering ia pesan dalam beberapa minggu terakhir. Kopi hitam yang rasanya sedikit lebih pahit, tetapi entah kenapa ia merasa ini adalah cara terbaik untuk mengingatkan dirinya bahwa kehidupan tetap harus dilanjutkan.
Ketika menyeruput kopi itu, Naya teringat bagaimana ibu selalu bilang, “Kopi hitam adalah teman terbaik di saat-saat sulit, Naya. Ia mengingatkan kita untuk tidak terburu-buru dan untuk meresapi setiap rasa yang datang, meskipun kadang kita tidak suka rasanya.”
Naya tersenyum tipis. Tentu saja ibu mengerti. Ibu selalu tahu cara menyederhanakan hal-hal rumit dalam hidup. Tapi kini, semua itu terasa seperti pelajaran yang terlupakan, hilang seiring berjalannya waktu.
Di meja sebelah, seorang pria muda dengan kacamata tebal sedang sibuk dengan laptopnya. Sesekali ia menatap layar, terkadang menggerakkan tangan di atas keyboard, tetapi ia tampak begitu terfokus. Naya sempat memandangnya sekilas, lalu mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Di luar, dunia terus bergerak. Orang-orang yang sibuk dengan urusan mereka, kendaraan yang berlalu-lalang, dan pepohonan yang meskipun rintik hujan turun tetap berdiri kokoh.
Namun, meski dunia terus berputar, Naya merasa seolah dirinya terjebak di sebuah titik yang seakan tak bergerak. Ia merasa seperti sedang memeriksa jam setiap beberapa menit, berharap waktu akan membawa perubahan. Tapi perubahan itu tak datang begitu saja. Perubahan itu harus dimulai dari dalam dirinya sendiri.
“Naya?”
Suara itu terdengar familiar. Naya menoleh, dan melihat Dara yang tiba-tiba muncul di depannya, tersenyum cerah seperti biasa. Sebelumnya, Naya sudah merencanakan untuk menanggapi ajakan Dara dengan kata-kata yang tidak terlalu mengundang perhatian, tapi kini, melihat wajah teman lamanya itu, ia merasa sedikit lega. Rasanya seperti ada orang yang peduli, seseorang yang masih ingat bahwa ia ada.
“Hei, Dara,” Naya berkata pelan, berusaha memberi senyuman meski hatinya terasa berat. “Kamu lagi apa di sini?”
Dara duduk di kursi seberang, menatap Naya dengan ekspresi lembut. “Aku cuma ingin memastikan kamu baik-baik saja. Kita sudah lama nggak ketemu, dan aku mulai khawatir,” kata Dara, menatap dengan cermat, seolah melihat lebih dari sekadar penampilan Naya.
Naya menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan gelisah yang mulai menghimpit. “Aku cuma butuh waktu, Dara. Semua ini… masih nggak mudah buatku.”
Dara mengangguk, lalu melipat tangannya di atas meja. “Aku ngerti, kok. Tapi jangan terus menyalahkan dirimu sendiri. Terkadang kita nggak bisa kontrol apa yang terjadi, Naya. Ibu kamu pasti nggak ingin kamu merasa seperti ini.”
Naya terdiam, menatap kopi hitam di hadapannya. Dara benar. Ibu pasti nggak ingin melihatnya terpuruk seperti ini. Ibu selalu bilang, “Jangan pernah biarkan rasa sakit menguasai kamu, Naya. Karena kamu lebih kuat dari itu.” Kata-kata itu kembali terngiang, dan Naya merasakannya sedikit lebih dalam.
“Iya… Aku tahu,” Naya akhirnya mengakui, meski dengan suara pelan. “Tapi kadang, rasa itu datang tanpa diundang, Dara. Aku nggak tahu harus bagaimana.”
Dara tersenyum simpul. “Aku nggak akan memaksamu untuk cepat-cepat pulih, Naya. Tapi aku cuma mau bilang, kamu nggak sendirian. Kalau kamu butuh seseorang untuk diajak bicara, aku ada, selalu ada.”
Naya menatap sahabatnya itu dengan rasa haru yang tiba-tiba mengalir. Bagaimana bisa, meski semua terasa sulit, ada orang yang masih peduli, yang menawarkan bahu untuk bersandar tanpa meminta apa-apa. Dara mungkin tak tahu persis apa yang ia rasakan, tapi setidaknya ada kehadiran yang bisa membuatnya merasa sedikit lebih ringan.
“Terima kasih, Dara. Aku… aku nggak tahu harus berkata apa,” ujar Naya, suaranya serak.
Tidak ada yang lebih menguatkan selain dukungan tanpa syarat, dan meski Naya masih merasa hampa, setidaknya ia tahu bahwa ia tidak sendirian dalam perjalanan ini. Langkahnya mungkin kecil, mungkin tertatih-tatih, tetapi ia tahu, untuk pertama kalinya, ia tidak perlu menempuhnya seorang diri.
Di luar, hujan akhirnya berhenti, dan sinar matahari mulai muncul sedikit demi sedikit, merayapi tanah yang basah. Dunia yang dulu terasa begitu suram kini tampak sedikit lebih terang. Mungkin, hanya mungkin, doa itu sedang berusaha kembali, meski dengan cara yang tidak ia mengerti.
Doa yang Terselip di Antara Langkah
Hari-hari yang terus berjalan tak pernah benar-benar bisa menghapus kesedihan yang masih berdiam di dalam hati Naya. Namun, ada satu hal yang mulai ia pahami: kesedihan itu bukanlah kutukan, melainkan bagian dari perjalanan. Ia mulai memahami bahwa setiap rasa sakit yang ia alami adalah bagian dari proses menuju pemulihan. Sebuah pemulihan yang, meski tak ada jaminan, setidaknya mulai terasa lebih mungkin.
Naya duduk di bangku taman yang biasa ia datangi setelah berhari-hari tidak melangkah ke sana. Matahari terbenam perlahan di balik pepohonan, memberi warna keemasan pada langit yang biru. Rasanya seperti sebuah pelukan hangat yang menyelimuti tubuhnya yang mulai merasa lebih ringan. Hujan telah berhenti, tetapi hati Naya masih tetap membutuhkan waktu untuk sepenuhnya pulih.
Dara datang menghampirinya dengan secangkir teh hangat di tangan. “Kamu di sini lagi?” Dara bertanya dengan senyum lembut, kemudian duduk di sebelah Naya.
Naya menatapnya, terkadang masih merasa bingung mengapa dirinya begitu sulit untuk melepaskan semua beban itu, tapi ada sedikit ketenangan yang mulai ia rasakan. “Iya,” jawab Naya, suara yang lebih ringan daripada beberapa waktu lalu. “Aku cuma ingin duduk sebentar, melihat dunia yang sepertinya mulai mengerti aku.”
Dara meletakkan teh itu di samping Naya. “Aku nggak tahu banyak soal apa yang kamu rasakan, Naya, tapi aku tahu satu hal: kamu nggak harus melawan semuanya sendiri. Semua yang kamu alami itu nyata, dan kamu punya hak untuk merasa kehilangan. Tapi kamu juga punya hak untuk bangkit.”
Kata-kata Dara kali ini terasa lebih dalam, dan Naya hanya bisa mengangguk perlahan. “Kadang aku merasa kehilangan arah,” ujar Naya, suara itu sedikit lebih lembut. “Aku nggak tahu harus ke mana, atau apa yang harus aku lakukan selanjutnya. Aku bingung.”
Dara menatapnya dengan penuh perhatian. “Tapi kamu tahu, Naya, hidup ini nggak selalu tentang mencari arah yang pasti. Terkadang, kita harus membuat arah itu sendiri. Seperti sekarang ini, mungkin langkah kecil yang kamu ambil adalah langkah pertama untuk menemukan tempatmu lagi.”
Naya memejamkan mata sejenak, meresapi kata-kata Dara yang mulai terasa seperti angin segar. “Aku ingin percaya itu, Dara. Aku ingin percaya bahwa aku bisa kembali lagi. Bahwa aku bisa menemukan diriku yang dulu. Tapi kadang, rasa sakit itu masih datang begitu tiba-tiba…”
Dara meraih tangan Naya, menggenggamnya erat. “Kamu akan menemukan caranya, Naya. Setiap langkah, sekecil apa pun, adalah langkah menuju pemulihan. Kamu nggak sendiri. Kamu punya aku. Kamu punya dunia yang siap memberi ruang, meski kadang terasa sempit.”
Naya menatap tangan Dara yang menggenggamnya dengan erat, dan sebuah senyuman kecil mulai terbit di bibirnya. “Terima kasih, Dara. Aku nggak tahu apa yang akan terjadi setelah ini, tapi aku mulai percaya kalau doa itu nggak hilang begitu saja. Mungkin doa itu cuma butuh waktu untuk sampai, dan aku cuma perlu lebih sabar menunggu.”
Dara tersenyum lebar, penuh kebanggaan. “Iya, doa itu selalu ada. Kadang kita cuma perlu mendengarkan dengan lebih teliti. Kamu sudah mulai mendengarkan, Naya.”
Suasana malam semakin sunyi. Di kejauhan, suara jangkrik terdengar berirama, seakan melengkapi ketenangan itu. Naya menatap langit yang kini semakin gelap, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa tidak terlalu kecil di tengah dunia yang luas ini. Mungkin itu adalah awal dari sesuatu yang baru. Sesuatu yang belum bisa ia pahami sepenuhnya, tapi cukup untuk membuat hatinya sedikit lebih ringan.
Ia menyadari bahwa doa ibunya tidak hilang begitu saja, meskipun ia tak pernah mendengarnya lagi. Doa itu masih ada, terpendam di dalam hati, siap untuk diberdayakan kembali. Tidak ada waktu yang terbuang sia-sia, dan tidak ada kesedihan yang tak bisa disembuhkan. Semua itu hanya butuh waktu.
Akhirnya, Naya berdiri, menggenggam teh yang diberikan Dara dengan rasa terima kasih yang tak terucapkan. “Aku nggak tahu ke mana hidup ini akan membawaku, Dara. Tapi aku siap melangkah, sedikit demi sedikit.”
Dara mengangguk, penuh haru. “Dan aku akan ada di sini, Naya, setiap langkah yang kamu ambil.”
Malam itu, meskipun dunia di sekelilingnya terasa begitu luas dan tak terduga, Naya tahu bahwa ia telah menemukan sebuah jalan baru. Jalan itu mungkin berliku, dan penuh dengan ketidakpastian, tetapi ia tahu satu hal: Doa ibunya, meskipun tak pernah terucap lagi, tidak pernah benar-benar hilang. Itu tetap ada dalam setiap langkahnya, dalam setiap hembusan napasnya, dan dalam setiap doa yang ia panjatkan diam-diam di malam yang sunyi.
Dengan keyakinan baru, Naya melangkah maju, tanpa melihat ke belakang.
Jadi, meskipun dunia kadang terasa terlalu besar dan penuh dengan luka, Naya mulai paham kalau setiap doa, setiap harapan, pasti akan menemukan jalannya kembali. Mungkin nggak langsung, dan pasti nggak mudah, tapi hidup selalu punya cara untuk membawa kita pulang.
Cerpen ini nggak cuma soal kehilangan, tapi juga soal bagaimana kita bisa bangkit lagi, meski dunia terus berputar dan waktu nggak bisa berhenti. So, siapa tahu, doa yang kita anggap hilang, sebenarnya cuma menunggu waktu untuk kembali menemukan kita.