Ibu, Bangunan Tua, dan Tragedi Masa Lalu: Cerpen Mengharukan tentang Melepaskan dan Merelakan

Posted on

Pernah nggak sih, kamu merasa ada sesuatu yang berat banget di hati, yang kayak nggak bisa hilang meski waktu terus berjalan? Kayak ada rahasia gelap yang nggak pernah bisa dilupakan, yang terus menghantui setiap langkahmu. Cerita ini tentang seorang ibu yang nggak pernah bisa lepas dari bayang-bayang masa lalu!

Tentang bangunan tua yang menyimpan cerita kelam, dan tragedi yang bikin semua rasa jadi lebih suram. Tapi, seiring berjalannya waktu, mereka harus memilih: terus terjebak di dalam kegelapan atau akhirnya menemukan jalan keluar yang lebih terang. Simak deh cerita yang satu ini, siapa tahu bisa bikin kamu berpikir tentang apa yang sesungguhnya kita coba lupakan.

 

Ibu, Bangunan Tua, dan Tragedi Masa Lalu

Kembali ke Rumah yang Hilang

Senja itu begitu pelan turun, membungkus langit dengan rona jingga yang mengingatkan pada sore-sore masa kecil. Kamila berdiri di depan rumah itu, mata terpejam sebentar, mencoba menyamakan detak jantung dengan suasana yang ada. Rumah tua yang berdiri kokoh meski hampir semua bagian tampak rapuh, dinding yang mengelupas, jendela yang tak pernah lagi dibuka, dan pintu yang seakan menutup rapat kenangan.

Di sana, di balik kerutan waktu, Kamila merasa ada sesuatu yang tak bisa terungkapkan. Mungkin sebuah perasaan yang datang dari kedalaman hatinya yang terlupakan—sesuatu yang ia coba lupakan, tapi selalu kembali, seperti bayangan yang tak pernah mau pergi.

Sebuah suara yang lembut terdengar, membawa Kamila keluar dari lamunannya.

“Kami sudah sampai, Kamila,” suara itu halus, namun penuh kekuatan. Itu suara ibu. Di dekat pintu, ia berdiri, tubuhnya sedikit membungkuk seperti biasa, dengan tangan terlipat di depan dada, menatap Kamila dengan tatapan yang sulit dimengerti.

Kamila menatap ibu, tak tahu harus berkata apa. Ia sudah begitu lama tak bertemu, terlalu lama, hingga kata-kata yang ingin ia ucapkan terasa asing. Namun, matanya tak bisa lepas dari sosok ibu, yang kini tampak lebih tua, lebih rapuh, meski masih ada kilau misteri di balik tatapannya.

“Ibu,” Kamila membuka suara, meski suaranya terdengar seperti bisikan. “Kenapa kita harus kembali ke sini?”

Ibu tidak langsung menjawab. Ia hanya menundukkan kepala sejenak, menahan sesuatu yang mungkin lebih berat daripada yang Kamila bayangkan. Kamila melihat ibu menggenggam erat genggaman tangannya, seolah rumah ini adalah tempat terakhir yang bisa menyelamatkannya dari sesuatu yang tak terdefinisikan.

“Ibu ingin kau tahu, Kamila,” jawab ibu akhirnya. “Ada hal yang tidak bisa ibu lupakan, sesuatu yang ingin ibu perbaiki… sesuatu yang hanya bisa kita temui di sini.”

Kamila merasakan ketegangan yang menyelimuti udara. Ia tak tahu apakah siap untuk mendengarkan apa yang ibu ingin sampaikan. Namun, tanpa berkata apa-apa, ia mengikutinya masuk ke dalam rumah yang mulai dipenuhi oleh senja yang semakin gelap.

Langkah kaki mereka terdengar berat di lantai kayu yang sudah mulai lapuk. Di setiap sudut rumah ini, Kamila merasa ada mata yang mengawasi, ada kenangan yang tak bisa dibuang begitu saja. Ruangan yang dulu penuh canda tawa, kini sepi. Semua berdiam dalam sunyi, hanya ada debu yang mengendap di atas furnitur yang terlupakan.

“Ibu…” Kamila mulai membuka suara lagi. “Aku tidak tahu harus mulai dari mana.”

Ibu berhenti di depan foto lama yang terpasang di dinding ruang tamu. Foto itu menampilkan ibu, Kamila, dan seorang anak laki-laki yang tersenyum lebar. Raka. Adik Kamila. Si kecil yang dulu selalu berlarian di sekitar rumah ini. Kamila merasa dadanya sesak melihat foto itu. Raka, adik yang sudah lama tidak pernah ia dengar kabarnya. Sejak itu, rumah ini seperti menjadi tempat yang mengubur semua kenangan tentangnya.

“Ibu, apa yang terjadi dengan Raka?” Kamila bertanya dengan suara yang hampir hilang, takut-takut jika pertanyaannya akan membuka luka yang lebih dalam.

Ibu menatap foto itu lama. Matanya mulai berkaca-kaca, tetapi ia tetap berusaha tersenyum tipis, meski itu hanya sebuah senyuman yang terpaksa.

“Raka… dia meninggal di sini, Kamila,” suara ibu pecah, pelan namun penuh makna. “Dia meninggal saat masih kecil, saat rumah ini masih utuh, saat kita masih lengkap.”

Kamila terdiam, kata-kata ibu seperti petir yang menghantamnya. Ia tak tahu harus merespons apa. Kenyataan yang begitu pahit tiba-tiba menyelimuti seluruh tubuhnya. Ia sudah mendengar kabar itu, tentu saja, tetapi saat mendengarnya langsung dari ibu, rasanya seperti sebuah kenyataan yang baru saja ia terima dengan paksa.

“Kenapa ibu tidak memberitahuku?” Kamila berbisik, air mata yang sudah lama terpendam akhirnya mulai mengalir di pipinya. “Kenapa kita tidak pernah bicara tentang ini?”

Ibu menarik napas panjang, mengusap wajahnya dengan telapak tangan. “Karena aku tidak siap, Kamila. Aku tidak siap untuk memberitahumu bahwa aku adalah penyebab semuanya. Aku terlalu sibuk dengan pekerjaan, dengan dunia luar yang tak penting, sementara anakku—anak kita—tertinggal dan terlupakan begitu saja. Aku meninggalkannya sendirian di sini, di rumah ini. Di tempat yang seharusnya menjadi tempat teraman baginya.”

Kamila menggigit bibirnya, berusaha menahan tangis. Ia ingin marah, ingin melontarkan kata-kata yang bisa menyalahkan ibu, tapi ia tahu itu tak akan mengubah apapun. Apa yang sudah terjadi tidak bisa diputar kembali. Namun, ia juga merasakan empati yang dalam, karena ibu juga menderita akibat keputusan-keputusan yang dibuat dengan tergesa-gesa.

“Ibu…” Kamila berkata lagi, kali ini suaranya lebih lembut. “Apa yang ibu harapkan dengan membawa aku kembali ke sini? Apakah aku bisa melakukan sesuatu untuk memperbaikinya?”

Ibu memandang Kamila dengan tatapan yang penuh beban, seperti ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar kesalahan yang ia akui. “Aku hanya ingin kau tahu, Kamila. Rumah ini—tempat ini—bukan hanya sekadar kenangan. Di sini, ada sesuatu yang belum selesai. Sesuatu yang harus kita selesaikan bersama.”

Kamila menatap ibu, merasa ada hal lain yang tersembunyi di balik kata-kata itu. Sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang akan mengubah cara mereka memandang hidup dan masa lalu mereka.

“Tunggu,” Kamila berkata dengan perlahan, menyadari sesuatu. “Apa maksud ibu dengan ‘belum selesai’? Apa yang ibu sembunyikan?”

Ibu menatap Kamila, lalu menunduk, seolah tak bisa lagi bertahan dalam beban yang selama ini ia simpan. Ia memalingkan wajah, seolah mempersiapkan dirinya untuk mengungkapkan sesuatu yang sangat berat.

Tiba-tiba, ada suara yang terdengar di dalam rumah—sesuatu yang nyaris tak terdengar, tapi cukup jelas untuk membuat Kamila terkejut.

Di antara dinding yang rapuh, suara itu terdengar seolah memanggil, sebuah gema yang mengalun dalam kesunyian rumah itu, seperti sesuatu yang tak pernah benar-benar hilang.

Kamila merasakan sesuatu yang aneh. Seperti ada mata yang mengawasi dari kegelapan, seperti ada bayangan yang bergerak mengikuti setiap langkah mereka.

Tapi saat ia menoleh, semuanya hening.

“Ibu?” Kamila berbisik, namun ibunya hanya berdiri diam, seakan tak mendengar apa pun.

Ada yang tak beres. Ada yang sedang menunggu di rumah ini, dan Kamila mulai merasakannya.

 

Kenangan yang Terlupakan

Kamila menatap ibu dengan cemas. Suara yang tadi ia dengar semakin jelas, seperti langkah-langkah kaki yang datang dan pergi, terhenti sesaat, lalu bergerak lagi, tanpa ada yang terlihat. Suara itu seperti mengitari mereka, berputar di sekitar ruangan yang gelap, memantul di dinding rumah tua ini.

“Ibu, ada yang salah dengan rumah ini,” Kamila berbisik, tidak mampu menahan rasa takut yang mulai mencekamnya. Ia mencoba untuk tetap tenang, tetapi hatinya berdebar begitu cepat, seolah rumah ini bukanlah rumah yang pernah ia kenal.

Ibu tetap diam, tidak mengangkat wajahnya. Kamila bisa melihat punggung ibunya yang membungkuk lebih dalam, seolah menanggung beban yang jauh lebih berat dari sekadar masa lalu yang telah lama terkubur. Kamila melangkah maju, tangan memegang erat pundaknya.

“Ibu, apa yang terjadi di sini? Apa yang ibu sembunyikan? Kenapa rumah ini terasa seperti… hidup?” Kamila bertanya dengan suara bergetar. Ia sudah tidak peduli lagi dengan ketegangan yang ada. Semua yang ia rasa adalah kegelisahan yang semakin dalam.

Ibu menarik napas panjang dan akhirnya menatap Kamila. “Kamila, ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Rumah ini bukan sekadar bangunan tua. Rumah ini menyimpan kisah-kisah yang terperangkap, kenangan yang tak bisa melupakan apa yang telah terjadi.”

Kamila mengernyitkan dahi. “Kisah-kisah apa, Bu? Kenangan apa?”

Ibu berjalan perlahan menuju ruang tengah, tempat yang dulu menjadi ruang favorit keluarga mereka. Tempat di mana mereka sering menghabiskan waktu bersama. Dinding-dindingnya kini kotor, retak, namun di satu sisi, Kamila bisa melihat sesuatu yang mencurigakan—bayangan samar yang berkelip, seperti cahaya yang menyelinap dari celah-celah tembok.

“Ibu tidak pernah memberitahumu karena aku takut kau akan melupakan kami, Kamila. Aku takut kau tak akan mengerti betapa besar harga yang harus kubayar,” suara ibu sangat rendah, penuh beban yang jelas terasa. “Raka, anakmu, tidak hanya meninggal di sini. Dia terjebak.”

Kamila merasa darahnya berhenti sejenak. “Terjebak?” Kamila mengulang kata itu, merasa kata-kata ibu semakin tidak bisa dipahami. “Apa maksudnya, Bu?”

Ibu menoleh, dan untuk pertama kalinya, Kamila melihat ada sesuatu yang sangat gelap di matanya—sesuatu yang menyakitkan, seperti kisah yang telah lama terpendam dan kini harus dikeluarkan dengan cara yang sangat berat.

“Saat Raka meninggal, aku tak bisa menerima kenyataan itu, Kamila,” jawab ibu, suara bergetar. “Aku terlalu tenggelam dalam kesedihan dan penyesalan, hingga aku tak sadar bahwa aku telah melakukan sesuatu yang sangat salah. Sesuatu yang tak bisa diperbaiki. Aku membuka pintu itu—pintu yang tak seharusnya dibuka. Dan sejak saat itu, Raka terjebak di sini.”

Kamila merasakan kepalanya berputar, matanya berkilau, dan jantungnya berdetak semakin cepat. “Ibu… apa yang ibu lakukan?” Kamila bertanya dengan suara tertahan.

“Ibu mencoba menghubungi Raka lagi,” jawab ibu, napasnya semakin berat. “Aku pikir, mungkin dengan membuka pintu itu, aku bisa memanggilnya kembali. Aku sangat merindukannya, Kamila. Aku terlalu kehilangan dan putus asa. Tapi yang aku dapatkan malah sesuatu yang lebih buruk.”

Kamila mendekat, mencoba untuk menyentuh tangan ibu, yang kini gemetar. “Apa yang ibu maksud dengan pintu itu, Bu? Apa yang ibu lakukan?”

Ibu menunduk, tampak berjuang dengan pikirannya sendiri. Kamila bisa melihat ekspresi ibu yang benar-benar terpecah, seolah ada sesuatu yang lebih besar dan lebih mengerikan yang telah terjadi di rumah ini—sesuatu yang ibu tak pernah mampu berbagi.

“Ada ruangan di bawah tanah, Kamila. Ruangan yang tertutup rapat selama bertahun-tahun. Aku tidak tahu apa yang ada di dalamnya. Tetapi suatu malam, aku mendengarnya. Suara Raka. Aku mendengar dia memanggilku, memintaku untuk membuka pintu itu.” Ibu berhenti sejenak, menarik napas panjang, dan melanjutkan, “Aku terlalu tergoda, Kamila. Aku pikir, jika aku membuka pintu itu, aku bisa mendengar suaranya sekali lagi. Tapi yang aku temukan di baliknya bukanlah anak kita yang dulu. Itu bukan Raka lagi. Itu bukan dia.”

Kamila merasa jantungnya nyaris berhenti. Ia tidak tahu harus berkata apa. Tubuhnya terasa kaku, dan mulutnya terasa kering. “Lalu apa yang ibu temukan di balik pintu itu, Bu?”

Ibu menatapnya dalam-dalam, mata penuh rasa bersalah yang mendalam. “Raka… dia terperangkap dalam sesuatu yang lebih gelap dari yang bisa kubayangkan. Di balik pintu itu, ada dunia lain, Kamila. Dunia yang tidak bisa dimengerti. Aku telah membebaskannya, tapi aku juga mengikatnya lebih dalam. Aku… aku membuka gerbang yang tak seharusnya terbuka.”

Kamila merasakan tubuhnya gemetar. “Jadi, dia… dia tidak pernah benar-benar pergi, Bu? Dia terjebak di sini, di rumah ini?”

Ibu hanya mengangguk, matanya dipenuhi air mata yang sudah lama tak jatuh. “Aku tidak tahu bagaimana cara melepaskannya, Kamila. Aku tidak tahu cara mengembalikannya. Tapi aku yakin, jika kita tidak melakukan sesuatu, dia akan tetap terjebak di sini selamanya.”

Suasana menjadi semakin mencekam, dan Kamila merasakan hawa dingin yang semakin menekan. Udara terasa semakin berat, dan suara-suara yang sebelumnya menghilang kini kembali terdengar dengan jelas, seperti ada sesuatu yang merayap dari bawah tanah. Sesuatu yang mengawasi mereka. Sesuatu yang menunggu.

“Apa yang harus kita lakukan, Bu?” Kamila akhirnya bertanya, dengan suara yang nyaris tak terdengar.

Ibu menatapnya dengan kesedihan yang dalam, namun juga ada secercah harapan di matanya. “Kita harus menutup pintu itu, Kamila. Kita harus menutup pintu itu selamanya.”

 

Menutup Pintu yang Terbuka

Suasana malam itu terasa semakin berat, seolah setiap detik yang berlalu membawa beban yang lebih dalam. Kamila dan ibu berdiri di tengah ruang keluarga yang sunyi, dikelilingi oleh tembok-tembok yang seakan menyimpan banyak rahasia. Udara di dalam rumah ini semakin tebal, menyelimuti mereka dengan ketakutan yang tak bisa dihindari.

“Kamila…” suara ibu terdengar lirih, penuh kehati-hatian. “Apa yang kita lakukan malam ini bukanlah hal yang mudah. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini.”

Kamila menatap ibu dengan tatapan tegas. “Ibu, aku sudah tahu sejak awal. Ini bukan soal pilihan lagi. Ini soal kami yang bertahan hidup. Kami harus menyelesaikan ini.”

Ibu mengangguk, tetapi raut wajahnya tetap dipenuhi kekhawatiran. “Tapi ingat, Kamila, membuka pintu itu tidak hanya akan membebaskan Raka. Apa pun yang ada di balik pintu itu juga bisa keluar. Dan kita… kita tidak tahu apa yang akan terjadi setelah kita menutupnya.”

Kamila menggenggam tangan ibu dengan erat, seakan ingin memberi kekuatan pada wanita yang telah berjuang sendirian bertahun-tahun. “Aku akan menemanimu, Bu. Kita akan melewati ini bersama-sama.”

Mereka berdua berjalan menuju pintu ruang bawah tanah yang sudah lama tidak dibuka. Kamila merasakan kegelisahan dalam setiap langkahnya, tubuhnya yang dulu terasa ringan kini dipenuhi dengan rasa berat yang sulit dijelaskan. Setiap langkah mendekati pintu itu membuatnya semakin waspada. Seakan ada sesuatu yang mengawasi mereka, mengintai dari balik dinding, menunggu saat yang tepat untuk bergerak.

Pintu yang tertutup rapat itu tampak berbeda malam ini. Kamila merasa seolah ada energi yang membara di baliknya, energi yang selama ini tertahan. Tanpa ada yang mengatakan kata-kata apapun, ibu mengeluarkan kunci dari sakunya, kunci yang sudah lama disimpan dengan hati-hati. Kamila bisa melihat tangannya gemetar saat ia menyisipkan kunci ke dalam lubang kunci, membuka pintu yang seharusnya tetap terkunci untuk selamanya.

“Pintu ini adalah batas antara kita dan segala sesuatu yang sudah lama terperangkap, Kamila,” ibu berbisik, suaranya penuh penyesalan. “Setelah ini, tidak ada lagi jalan mundur.”

Kamila mengangguk, menatap pintu yang terbuka perlahan dengan hati yang berdebar hebat. Ketika pintu itu terbuka, ruangan di baliknya hanya terlihat gelap. Begitu gelap, seolah menghisap semua cahaya yang ada. Kamila merasa hawa dingin semakin menggigit kulitnya, udara menjadi berat, dan rasa takut mulai meresap.

“Mari kita lakukan ini,” ibu berkata, suaranya rendah, hampir tercekik.

Mereka melangkah maju, masuk ke dalam ruangan yang sudah lama terkunci. Kamila bisa merasakan sesuatu yang berbeda di dalamnya—suasana yang tidak seperti di dunia nyata. Udara di dalam ruangan ini terasa lebih padat, seolah mengandung sesuatu yang lebih tua, lebih gelap. Kamila bisa mendengar suara berbisik, suara yang tak bisa dipahami, namun sangat jelas, seakan berasal dari jauh. Suara itu bergema di telinganya, memanggil dengan cara yang tidak bisa dijelaskan.

“Ibu, apa ini?” Kamila berbisik, matanya mulai mencari-cari sesuatu yang bisa memberinya petunjuk.

Ibu tidak menjawab. Mereka terus berjalan, menuruni tangga yang lebih dalam. Suara langkah kaki mereka bergema di ruang bawah tanah yang sunyi, seolah diiringi oleh bisikan-bisikan halus yang semakin intens. Ruangan itu tampak lebih besar dari yang Kamila bayangkan. Dindingnya terbuat dari batu-batu besar yang tampaknya sudah berusia ratusan tahun. Tanpa disadari, Kamila mulai merasakan sebuah tekanan yang luar biasa, seolah sesuatu di ruangan itu sedang mengamati setiap gerakannya.

Di ujung ruangan, ada sebuah altar kecil. Di sana, terdapat batu-batu yang tersusun rapi dan sebuah patung yang tampaknya sangat tua. Patung itu berbentuk manusia, namun dengan wajah yang sangat aneh, seakan tidak manusiawi. Kamila merasa tak mampu menahan rasa ngeri yang menyelusup ke dalam dirinya.

“Ibu, ada apa ini? Apa yang terjadi di sini?” Kamila bertanya, suaranya hampir tidak terdengar di antara gemuruh hati yang mulai gelisah.

Ibu berdiri diam, tidak menjawab, hanya menatap altar itu dengan tatapan kosong. Kamila bisa melihat ekspresi ibu yang berubah, seolah ia sedang mengingat kembali masa-masa yang penuh rasa sakit. Ada penyesalan, ada kehilangan yang sangat dalam. Kamila berjalan mendekat, mengikuti ibu yang perlahan maju ke arah altar.

Ketika ibu berdiri di depan altar, Kamila bisa merasakan kehadiran sesuatu yang sangat kuat, sangat gelap. Suara berbisik yang sebelumnya samar, kini menjadi jelas dan keras. Kamila bisa mendengar nama Raka disebut-sebut di dalam suara-suara itu. Teriakan-teriakan yang seakan berasal dari dunia lain.

Ibu mulai mengucapkan kata-kata dalam bahasa yang tidak dikenalnya. Kata-kata itu terdengar aneh, penuh makna, dan sangat dalam. Kamila merasa tubuhnya menggigil. Ia bisa merasakan bahwa segala sesuatu di sekitar mereka mulai berubah. Tembok-tembok batu itu bergetar, lantai di bawah kaki mereka mengeluarkan suara gemeretak. Pintu yang mereka buka mulai menutup perlahan, meskipun tidak ada yang menyentuhnya.

“Ibu, berhenti!” Kamila berteriak, tidak tahu apa yang sedang terjadi, merasa cemas dan panik. “Apa yang ibu lakukan? Kita harus keluar dari sini!”

Tapi ibu tidak mendengarnya. Mata ibu tertutup rapat, wajahnya tampak seperti terhipnotis. Suara-suara itu semakin keras, dan Kamila bisa merasakan adanya gelombang energi yang datang dari dalam tanah, dari dalam ruangan ini. Sesuatu yang sangat tua, yang sangat kuat.

Tiba-tiba, sebuah suara yang sangat keras terdengar, seperti teriakan yang melolong. Suara itu datang dari altar, dan Kamila bisa melihat bayangan yang mulai bergerak di sana. Bayangan itu berbentuk seperti tubuh manusia, namun sangat besar, sangat gelap, dan begitu mengerikan.

“Raka!” teriak ibu, suara ibu pecah, seakan ada sesuatu yang tertahan dalam dirinya.

Kamila merasa tubuhnya terhuyung mundur, merasa tak berdaya menghadapi kekuatan yang tidak bisa ia pahami. Sesuatu mulai keluar dari dalam altar, bergerak dengan kecepatan yang mengerikan. Kamila bisa melihat bayangan itu mulai mendekat, dan dalam hitungan detik, tubuhnya sudah berada di bawah kekuasaan yang jauh lebih besar dari dirinya.

“Jangan!” Kamila berteriak, namun suara itu seakan tidak sampai.

 

Pintu yang Tertutup

Bayangan itu semakin mendekat, mengancam. Kamila bisa merasakan tubuhnya terhimpit, seakan dunia sekitarnya menyempit dan menghilang. Setiap tarikan napasnya terasa semakin sulit. Udara yang semula dingin kini berubah menjadi panas, seolah segala yang ada di ruangan ini mengalirkan energi yang sangat berat, yang tak dapat dilawan.

Tapi di saat terakhir, suara ibu terdengar, tidak seperti yang Kamila bayangkan. Bukan suara yang penuh penyesalan, melainkan suara yang penuh kekuatan. “Kamila!” Ibu berteriak keras, matanya terbuka lebar, memancarkan sorot yang tidak lagi tampak kosong. “Kita harus keluar. Sekarang!”

Ibu bergerak cepat, seperti terbangun dari sebuah mimpi buruk. Ia meraih tangan Kamila, menggenggamnya erat, dan dalam sekejap mereka berlari. Kamila merasa seperti dunia berputar dengan sangat cepat, tubuhnya dipaksa mengikuti gerakan ibu yang sangat cepat. Namun, setiap langkah yang mereka ambil terasa seperti bertarung melawan sesuatu yang sangat kuat—sebuah kekuatan yang sudah lama bersemayam di bawah tanah ini.

Dengan satu dorongan kuat, ibu dan Kamila berhasil mencapai pintu yang tertutup, namun terasa semakin terbuka. Mereka berdua terjatuh ke luar, keluar dari dunia yang sangat gelap itu. Begitu mereka berada di luar ruangan bawah tanah, pintu itu langsung tertutup dengan keras, mengunci segalanya di dalamnya. Sebuah suara gemuruh terdengar dari dalam ruangan, seperti ada sesuatu yang merengek, seolah tidak ingin dilepaskan begitu saja.

Kamila terengah-engah, masih mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Ia menatap ibu, yang kini terlihat lebih tenang, lebih sadar akan apa yang harus dilakukan.

“Ibu…” Kamila berbisik, matanya penuh pertanyaan. “Apa yang sebenarnya terjadi di sana? Apa yang kita hadapi?”

Ibu menatap Kamila, wajahnya penuh kelelahan, tetapi ada sesuatu yang berbeda—sebuah pemahaman yang telah lama terkubur kini muncul kembali. “Kamila, kita tidak bisa melawan masa lalu. Raka sudah pergi, dan bangunan itu—ruangan itu—adalah tempat di mana ia terperangkap.”

Kamila menatap ibu dengan penuh kebingungan. “Terperangkap?”

Ibu mengangguk pelan. “Raka tidak pernah meninggal. Ia terjebak dalam suatu kekuatan yang tidak bisa dijelaskan. Tapi aku tidak tahu bagaimana caranya ia bisa kembali. Aku… aku harus membiarkannya pergi, Kamila.”

Ada sebuah kedalaman dalam kata-kata ibu, sesuatu yang selama ini tidak pernah ia ucapkan dengan begitu jujur. Kamila merasa seperti ada sebuah dinding yang hancur di dalam dirinya. Ibu dan Kamila tidak hanya bertarung melawan ruang bawah tanah itu, tetapi juga melawan diri mereka sendiri.

“Jadi, selama ini, itu adalah rasa bersalah yang membuat ibu terperangkap?” Kamila bertanya, suaranya hampir tak terdengar.

Ibu menundukkan kepala, air mata mulai mengalir di pipinya. “Iya, Kamila. Aku terperangkap dalam rasa bersalah itu. Aku tidak pernah bisa menerima kenyataan bahwa aku tidak bisa menyelamatkannya. Tapi aku sadar, aku tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Aku harus melepaskan Raka.”

Kamila terdiam, merasakan bagaimana kata-kata itu mengalir di dalam hatinya, membuka luka yang selama ini tersembunyi. Ia merasakan sebuah ketenangan yang aneh, seolah seluruh dunia berhenti sejenak untuk memberi kesempatan pada mereka berdua—ibu dan anak—untuk merelakan apa yang telah terjadi.

Malam itu, mereka berdua duduk di depan rumah tua itu, menatap langit yang begitu luas. Semua yang ada di sekitar mereka terasa lebih tenang, meski perasaan yang datang dari dalam hati mereka sangat berat. Mereka tahu bahwa perjalanan ini belum berakhir, tetapi mereka akhirnya bisa melewati pintu itu, yang selama ini menahan mereka dalam bayang-bayang masa lalu yang gelap.

Di kejauhan, mereka bisa mendengar suara angin berhembus pelan, seolah alam turut merasakan apa yang mereka rasakan. Kamila menggenggam tangan ibu dengan erat, tanpa kata-kata, hanya dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Mereka telah berhasil keluar, tapi kali ini, mereka keluar dengan pemahaman yang lebih dalam, dengan rasa yang lebih tenang.

Kamila menatap ibu, dan dalam tatapan itu, mereka tahu bahwa walaupun segala yang terjadi tidak bisa diubah, mereka berdua telah menemukan kedamaian yang tak bisa direnggut lagi. Mereka melepaskan Raka, mereka melepaskan semua yang terperangkap dalam bangunan tua itu.

Di malam yang penuh bintang itu, mereka hanya duduk dalam keheningan, membiarkan pintu masa lalu tetap tertutup rapat. Tidak ada lagi yang perlu dijelaskan, tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Mereka telah berjalan melewati kegelapan dan menemui cahaya yang menunggu di ujung jalan.

Akhirnya, mereka bisa pulang.

 

Kadang, kita terlalu lama terjebak dalam kenangan yang nggak bisa kita ubah. Tapi, seperti ibu dalam cerita ini, kita semua harus belajar untuk melepaskan.

Mungkin nggak mudah, tapi suatu saat kita akan sadar bahwa meninggalkan masa lalu bukan berarti melupakan, melainkan memberi ruang untuk hidup yang lebih baik. Jadi, meski pintu itu tertutup rapat, bukan berarti jalan kita berakhir. Ada cahaya yang menunggu di ujung sana, hanya kalau kita berani untuk melangkah keluar dari kegelapan.

Leave a Reply