I Still Love You: Perjodohan di Balik Hati

Posted on

Apakah Anda pernah terjebak antara cinta sejati dan kewajiban keluarga? Cerpen I Still Love You: Perjodohan di Balik Hati membawa Anda dalam perjalanan emosional Lestari Dewangga, seorang gadis yang menghadapi dilema perjodohan di kampung Sumber Manis. Dengan alur penuh kesedihan, harapan, dan cinta yang teruji, cerita ini menggambarkan perjuangan hati di tengah tradisi dan kehadiran cinta lama yang kembali. Temukan inspirasi dari kisah cinta yang menyentuh ini dan rasakan setiap detik emosinya!

I Still Love You

Bayang Janji Lama

Di sebuah kampung kecil bernama Sumber Manis, yang terletak di tepi Sungai Serayu yang tenang, hiduplah seorang gadis bernama Lestari Dewangga. Usianya 25 tahun, dengan rambut panjang berwarna cokelat gelap yang selalu diikat rapi dalam sanggul sederhana, dan mata hazel yang sering kali menyiratkan kesedihan tersembunyi. Wajahnya lembut namun penuh kekuatan, mencerminkan kehidupan yang telah mengajarinya untuk tegar meski hatinya rapuh. Lestari tinggal di sebuah rumah kayu tua bersama ibunya, Nyai Ratna, seorang janda yang dikenal sebagai penjahit ulung di kampung. Rumah itu sederhana, dengan dinding kayu yang dilapisi anyaman bambu dan atap genting yang kadang bocor saat hujan deras, namun penuh dengan kehangatan kenangan keluarga.

Pagi itu, tanggal 24 Juni 2025, jam di dinding menunjukkan pukul 11:34 WIB, dan sinar matahari menyelinap melalui jendela kayu, menerangi ruang tamu yang dipenuhi kain-kain berwarna-warni. Lestari duduk di meja kecil, menjahit gaun pesanan tetangga dengan tangan yang terampil, tetapi pikirannya melayang jauh. Hari ini adalah hari yang berbeda, karena Nyai Ratna telah mengumumkan rencana yang mengguncang hatinya—perjodohan dengan seorang pemuda bernama Darmo Santoso, putra seorang pedagang kaya di kampung sebelah, Kampung Bumi Sari. Perjodohan itu bukan sekadar tradisi lama, tetapi juga janji yang dibuat oleh almarhum ayah Lestari, Pak Dewa, kepada keluarga Darmo bertahun-tahun lalu saat kedua keluarga masih bersahabat erat.

“Lestari, kau harus mempersiapkan diri. Darmo akan datang sore ini bersama keluarganya,” kata Nyai Ratna, suaranya tegas namun penuh kelembutan saat ia memasuki ruangan dengan nampan teh hangat. Rambutnya yang memutih di ujung menunjukkan usia, tetapi matanya masih tajam, mencerminkan tekad untuk menjaga janji suaminya. “Ini kehendak ayahmu, Nak. Dia ingin kau hidup bahagia dengan keluarga yang mapan.”

Lestari menunduk, jari-jarinya berhenti menjahit. “Ibu, aku tak siap. Aku bahkan tak kenal Darmo. Bagaimana aku bisa menikah dengan seseorang yang asing bagiku?” suaranya lembut, namun penuh kebingungan dan sedih yang mendalam. Di hatinya, ada seseorang yang tak pernah ia lupakan—Raka Jiwantara, cinta pertamanya yang pergi tiga tahun lalu tanpa kabar, meninggalkan luka yang masih segar.

Nyai Ratna menghela napas, duduk di samping putrinya. “Aku tahu ini sulit, Lestari. Tapi janji itu dibuat demi masa depanmu. Darmo adalah pemuda baik, dan keluarganya bisa memberi kehidupan yang stabil. Raka… dia sudah pergi, dan kau harus melangkah maju.” Ia memegang tangan Lestari, mencoba memberikan kekuatan, meski ia sendiri merasa bersalah karena memaksakan putrinya.

Lestari hanya mengangguk pelan, air mata menggenang di matanya. Ia ingat betul hari-hari bersama Raka—senyumnya yang hangat, tawa mereka di tepi Sungai Serayu, dan janji sederhana yang mereka buat di bawah pohon beringin tua: “Aku akan selalu mencintaimu, Lestari, apa pun yang terjadi.” Tapi Raka pergi setelah ayahnya meninggal, meninggalkan surat pendek yang hanya berkata, “Maaf, aku harus pergi untuk mencari masa depan kita. Tunggu aku.” Tiga tahun berlalu tanpa kabar, dan Lestari mulai kehilangan harapan, meski di dalam hatinya, ia masih berbisik, “I still love you.”

Sore itu, pintu rumah kayu terbuka, dan keluarga Darmo Santoso tiba dengan keramaian. Darmo, seorang pemuda berusia 27 tahun dengan wajah tegas dan postur tinggi, memasuki ruangan dengan senyum sopan. Ia mengenakan kemeja putih yang rapi dan celana kain tradisional, mencerminkan status keluarganya sebagai pedagang sukses. Di sampingnya, ibunya, Nyai Siti, seorang wanita berwajah ramah namun penuh otoritas, membawa bingkisan berisi kain sutra dan buah-buahan sebagai tanda perkenalan. Ayahnya, Pak Santoso, seorang pria gemuk dengan suara berat, duduk di kursi tamu sambil mengamati Lestari dengan tatapan menilai.

“Selamat datang di rumah kami,” sapa Nyai Ratna dengan senyum hormat, mengundang mereka duduk. Lestari berdiri di sudut ruangan, tangannya gugup memainkan ujung sarungnya, mencoba menyembunyikan ketidaknyamanannya. Darmo mendekatinya, menawarkan tangan untuk bersalaman. “Lestari, aku dengar banyak hal baik tentangmu dari Ibu. Aku harap kita bisa saling mengenal,” katanya, suaranya lembut namun penuh percaya diri.

Lestari mengangguk pelan, menjabat tangannya dengan ragu. “Terima kasih, Mas Darmo. Aku… aku masih perlu waktu untuk memahami ini,” jawabnya, suaranya hampir hilang. Matanya tak bisa menahan bayangan Raka, yang seolah muncul di setiap sudut ruangan, mengingatkannya pada cinta yang tak pernah padam.

Percakapan berlangsung dengan tegang. Nyai Siti memuji keterampilan menjahit Lestari, sementara Pak Santoso membahas rencana pernikahan yang akan diadakan dalam tiga bulan ke depan, sesuai tradisi kampung. Nyai Ratna setuju dengan antusias, tetapi Lestari hanya diam, pikirannya terbelah antara kewajiban dan perasaan. Di tengah obrolan, ia melirik jendela, melihat langit jingga yang perlahan gelap, seolah mencerminkan kegelisahannya.

Setelah keluarga Darmo pergi, Lestari duduk di beranda rumah, menatap Sungai Serayu yang berkilau di bawah cahaya senja. Di tangannya, ia memegang liontin kecil pemberian Raka, sebuah perhiasan sederhana dengan ukiran bunga mawar yang menjadi simbol cinta mereka. “Di mana kau sekarang, Raka? Apakah kau masih ingat janjimu?” bisiknya, air mata jatuh ke liontin itu, meninggalkan noda kecil yang menyatu dengan emasnya.

Nyai Ratna mendekatinya, membawa segelas teh hangat. “Lestari, aku tahu kau masih mencintai Raka. Tapi hidup harus berjalan. Aku tak ingin kau hidup dalam bayang masa lalu selamanya,” katanya, suaranya penuh kasih sayang namun tegas.

Lestari menatap ibunya, hatinya bergetar. “Ibu, aku ingin bahagia. Tapi bagaimana kalau hatiku tak bisa menerima orang lain? Aku tak ingin menyakiti Darmo, tapi aku juga tak ingin mengkhianati perasaanku pada Raka.” Ia meletakkan liontin di pangkuannya, merasa terjebak antara kewajiban keluarga dan cinta yang masih hidup di dadanya.

Malam itu, kampung Sumber Manis diselimuti kegelapan yang tenang, hanya diselingi suara jangkrik dan desir angin. Lestari tak bisa tidur, pikirannya dipenuhi wajah Raka dan bayangan pernikahan yang akan datang. Ia berjalan ke tepi Sungai Serayu, tempat ia dan Raka sering bertemu, dan duduk di bawah pohon beringin tua yang menyaksikan janji mereka. Di sana, ia menulis surat dalam hati, seolah berbicara langsung pada Raka: “Aku masih mencintaimu, meski kau jauh. Tapi aku tak tahu apakah aku harus menunggu atau melepaskanmu.”

Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar di belakangnya. Lestari menoleh, hatinya berdetak kencang, berharap itu Raka. Namun, yang muncul adalah Darmo, berdiri dengan ekspresi penuh simpati. “Lestari, aku tahu kau tak nyaman dengan ini. Aku juga tak ingin memaksamu. Aku hanya ingin kita mencoba mengenal satu sama lain,” katanya, suaranya tulus.

Lestari terdiam, terkejut dengan kepekaan Darmo. “Terima kasih, Mas Darmo. Aku… aku butuh waktu. Ada seseorang di hatiku, dan aku tak yakin apa yang harus kulakukan,” akunya jujur, matanya menatap sungai dengan penuh keraguan.

Darmo mengangguk, duduk di sampingnya dengan jarak yang hormat. “Aku mengerti. Aku akan menunggu, selama kau memberi kesempatan. Aku tak ingin pernikahan ini hanya janji orang tua, tapi juga keinginan kita berdua.” Ia tersenyum tipis, meninggalkan Lestari dengan pikiran yang semakin kacau namun juga penuh harapan baru.

Di bawah pohon beringin, dengan liontin di tangannya dan suara sungai yang mengalir pelan, Lestari merasa di ambang keputusan besar. Ia masih mencintai Raka, tetapi kata-kata Darmo membuka pintu bagi kemungkinan lain. Di langit yang dipenuhi bintang, ia berdoa untuk kejelasan, tak tahu bahwa takdir akan membawanya pada ujian emosional yang lebih dalam dalam hari-hari mendatang.

Pertemuan di Bawah Cahaya Bulan

Pagi di kampung Sumber Manis terasa sejuk, dengan embun masih menempel di daun-daun pisang di halaman rumah Lestari Dewangga. Jam di dinding menunjukkan pukul 11:35 WIB, Selasa, 24 Juni 2025, tetapi hati Lestari tetap gelisah. Ia duduk di beranda rumah kayu tua, menatap Sungai Serayu yang berkilau di bawah sinar matahari pagi. Di tangannya, liontin kecil pemberian Raka Jiwantara terasa hangat, seolah menyimpan kenangan yang tak pernah pudar. Percakapan semalam dengan Darmo Santoso masih berputar di pikirannya—kata-kata tulusnya yang menawarkan kesempatan untuk mengenal satu sama lain, kontras dengan bayangan Raka yang terus menghantuinya.

Nyai Ratna, ibunya, tampak sibuk di dapur, mengaduk nasi yang harum di wajan besi tua. Rambutnya yang memutih di ujung diikat sederhana, dan matanya sesekali melirik Lestari dengan ekspresi campur aduk—kecemasan dan harapan. “Lestari, kau harus bersiap. Darmo dan keluarganya akan datang lagi siang ini untuk membahas detail pernikahan. Jangan biarkan mereka menunggu,” katanya, suaranya tegas namun penuh kasih sayang.

Lestari mengangguk pelan, tetapi hatinya berat. Ia bangkit, mengenakan kebaya sederhana berwarna hijau muda yang ia jahit sendiri, mencoba menyamarkan kegelisahannya dengan senyum tipis. Di cermin kecil di kamarnya, ia menatap wajahnya—mata hazel yang biasanya cerah kini tampak redup, mencerminkan pertempuran batin yang ia hadapi. “Raka, jika kau masih di luar sana, tolong beri tanda,” bisiknya pada pantulan dirinya, sebelum mengambil napas dalam dan keluar untuk membantu ibunya.

Siang hari, pintu rumah terbuka lagi, dan keluarga Darmo tiba dengan keramaian yang lebih terorganisir. Darmo memasuki ruangan dengan senyum sopan, membawa sebotol madu lokal sebagai hadiah tambahan. Nyai Siti dan Pak Santoso duduk di kursi tamu, membawa dokumen sederhana berisi rencana pernikahan—tanggal, daftar tamu, dan biaya yang akan dibagi. Lestari duduk di samping Nyai Ratna, tangannya gugup memainkan ujung kain kebayanya, mencoba fokus pada percakapan meski pikirannya melayang.

“Darmo, kau dan Lestari kelihatan cocok. Kami rencanakan pernikahan pada 24 September, tiga bulan lagi, agar semua persiapan matang,” kata Pak Santoso, suaranya berat namun penuh otoritas. Nyai Siti menambahkan dengan senyum, “Kami akan bantu dengan biaya dan seserahan. Lestari, kau hanya perlu menyiapkan hati.”

Lestari memaksakan senyum, merasa seperti boneka dalam drama yang tak ia pilih. “Terima kasih, Pak, Bu. Aku… aku akan berusaha,” jawabnya pelan, matanya menunduk. Darmo menatapnya dengan simpati, seolah memahami pergolakan di dalam dirinya. Setelah pertemuan selesai, Darmo meminta izin untuk berjalan-jalan sebentar dengan Lestari, dan Nyai Ratna mengangguk setuju.

Mereka berjalan menuju tepi Sungai Serayu, di mana angin sepoi-sepoi membawa aroma tanah dan bunga liar. Darmo memulai percakapan dengan hati-hati. “Lestari, aku tahu ini tak mudah bagimu. Aku tak ingin memaksamu, tapi aku ingin kita jadi teman dulu. Ceritakan tentangmu—apa yang kau suka, apa yang membuatmu sedih.” Suaranya lembut, mencoba membangun jembatan di antara mereka.

Lestari terdiam sejenak, menatap air sungai yang mengalir pelan. “Aku suka menjahit, Mas Darmo. Itu cara aku melupakn kesedihan. Tapi… ada seseorang di hatiku, seseorang yang pergi tiga tahun lalu. Aku masih mencintainya,” akunya jujur, air mata menggenang di matanya.

Darmo mengangguk, matanya menunjukkan rasa hormat. “Terima kasih karena jujur. Aku tak akan memaksa kau melupakannya. Tapi izinkan aku ada di sisimu, mungkin suatu hari kau bisa membuka hati untukku.” Ia tersenyum tipis, memberikan ruang tanpa tekanan, meninggalkan Lestari dengan perasaan yang lebih ringan namun tetap bingung.

Malam itu, Lestari duduk di beranda, menatap langit yang dipenuhi bintang. Di tangannya, liontin Raka terasa lebih berat dari biasanya. Ia teringat malam terakhir bersama Raka di bawah pohon beringin tua, saat mereka berjanji untuk selalu bersama. “I still love you,” bisiknya, air mata jatuh ke lantai kayu. Tiba-tiba, suara derit sepeda tua terdengar dari kejauhan, dan sebuah bayangan familiar muncul di ujung jalan kampung.

Lestari berdiri, jantungnya berdegup kencang. Bayangan itu mendekat, dan wajah Raka Jiwantara muncul di bawah cahaya bulan—rambutnya yang hitam sedikit berantakan, matanya yang dalam penuh penyesalan. “Lestari,” panggilnya pelan, suaranya penuh emosi. Ia turun dari sepeda, berdiri di depan Lestari dengan napas terengah.

“Lestari, aku kembali. Maaf aku pergi tanpa kabar. Aku pergi ke kota untuk bekerja, mengumpulkan uang agar kita bisa hidup layak. Tapi aku tak pernah berhenti mencintaimu,” katanya, suaranya bergetar. Di tangannya, ia memegang sebuah kotak kecil yang tampak lusuh, seolah menunjukkan perjuangannya selama ini.

Lestari terdiam, air matanya jatuh deras. “Raka, kenapa kau tak memberi tanda? Aku menunggumu, tapi aku dipaksa menikah dengan orang lain. Aku masih mencintaimu, tapi sekarang semuanya rumit!” katanya, suaranya penuh campuran amarah dan rindu.

Raka melangkah mendekat, membuka kotak itu untuk menunjukkan sebuah cincin sederhana dari perak. “Ini untukmu, Lestari. Aku ingin melamarmu dengan cara yang benar. Tapi aku tahu aku terlambat. Jika kau masih menginginkanku, aku akan berjuang melawan perjodohan ini. Jika tidak, aku akan pergi dan membiarkanmu bahagia.” Matanya penuh harap, tetapi juga siap menerima penolakan.

Lestari menatap cincin itu, lalu ke wajah Raka yang penuh cinta. Di hatinya, ia merasa terbelah—cinta lama yang kembali menyala, tetapi juga kewajiban pada ibunya dan janji yang telah dibuat. “Raka, aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku masih mencintaimu, tapi Darmo… dia baik, dan ibuku menginginkan ini,” katanya, suaranya parau.

Raka mengangguk, memahami pergolakan Lestari. “Aku akan menunggu keputusanmu, Lestari. Besok aku akan bicara dengan ibumu dan Darmo. Aku tak akan menyerah tanpa berjuang.” Ia meletakkan kotak di tangan Lestari, lalu pergi dengan langkah berat, meninggalkan gadis itu dalam dilema yang mendalam.

Malam semakin larut, dan Lestari duduk di beranda, memandang liontin dan cincin di tangannya. Di dalam rumah, Nyai Ratna tertidur dengan napas pelan, tak tahu bahwa putrinya sedang di ambang keputusan besar. Lestari menatap langit, berdoa untuk kejelasan. Di hatinya, ia masih berbisik, “I still love you,” tetapi kini ada pertanyaan baru—apakah cinta itu cukup kuat untuk mengubah takdirnya, atau apakah ia harus melepaskan Raka demi kewajiban keluarga?

Pertarungan di Tengah Hati

Pagi di kampung Sumber Manis terasa berat, dengan udara yang lembap dan langit berawan di hari Selasa, 24 Juni 2025, pukul 01:15 WIB. Lestari Dewangga duduk di beranda rumah kayu tua, menatap Sungai Serayu yang mengalir pelan di kejauhan. Di tangannya, ia memegang dua benda yang seolah mewakili dua dunia yang bertolak belakang—liontin kecil pemberian Raka Jiwantara yang hangat menyentuh kulitnya, dan cincin sederhana dari perak yang Raka tinggalkan semalam sebagai tanda cinta dan harapannya. Matanya yang hazel tampak merah karena kurang tidur, mencerminkan malam yang ia habiskan untuk merenung, terjebak dalam dilema yang semakin dalam.

Di dalam rumah, Nyai Ratna sibuk menyiapkan sarapan—nasi uduk dengan lauk ikan asin—dengan gerakan tangan yang terampil namun wajah penuh kekhawatiran. Ia tahu putrinya sedang menghadapi pergolakan batin, dan pertemuan semalam dengan Raka, yang ia saksikan dari jendela, menambah ketegangan di antara mereka. “Lestari, ayo makan. Kita harus kuat untuk hari ini. Darmo dan keluarganya akan datang lagi, dan aku harap kau siap,” panggilnya, suaranya tegas namun penuh kasih sayang.

Lestari mengangguk pelan, meletakkan liontin dan cincin di saku kebayanya sebelum masuk ke dalam. Ia duduk di meja kayu tua, memakan nasi dengan rasa hambar di mulutnya, pikirannya sibuk menyusun kata-kata untuk menghadapi ibunya dan Raka yang berjanji akan kembali. “Ibu, ada sesuatu yang harus kukatakan. Raka… dia kembali semalam. Ia ingin melamarku dan melawan perjodohan ini,” katanya jujur, matanya menatap ibunya dengan penuh harap dan ketakutan.

Nyai Ratna terdiam, sendok di tangannya berhenti di udara. Wajahnya menegang, tetapi ia menghela napas panjang sebelum menjawab. “Lestari, aku tahu kau masih mencintai Raka. Tapi janji dengan keluarga Darmo adalah kehendak ayahmu. Raka pergi tanpa kabar selama tiga tahun—bagaimana kau bisa yakin ia tak akan pergi lagi?” suaranya lembut, namun penuh kekhawatiran yang mendalam.

Lestari menunduk, air mata menggenang. “Aku tak tahu, Ibu. Tapi hatiku masih untuknya. Aku tak ingin menyakiti Darmo, tapi aku juga tak ingin mengkhianati perasaanku.” Ia mengeluarkan cincin dari sakunya, menunjukkannya pada ibunya. “Ini dari Raka. Ia bilang akan berjuang untukku.”

Sebelum Nyai Ratna bisa menjawab, suara derit sepeda tua terdengar di luar, diikuti langkah kaki yang mendekat. Raka Jiwantara masuk ke dalam rumah, wajahnya penuh tekad meski matanya menunjukkan kelelahan. Ia mengenakan kemeja lusuh dan celana pendek, membawa tas kecil yang tampak penuh. “Nyai Ratna, Lestari, maaf aku datang tanpa permisi. Aku ingin bicara jujur. Aku mencintai Lestari dan ingin melamarku dengan cara yang benar. Aku tahu aku salah pergi tanpa kabar, tapi aku janji tak akan meninggalkannya lagi,” katanya, suaranya teguh namun penuh permohonan.

Nyai Ratna berdiri, matanya menatap Raka dengan campuran marah dan simpati. “Raka, kau meninggalkan Lestari dalam kesedihan selama tiga tahun. Bagaimana aku bisa percaya padamu sekarang? Janji dengan keluarga Darmo sudah terlanjur dibuat, dan itu kehendak suamiku.” Suaranya meninggi, mencerminkan beban yang ia pikul sebagai kepala keluarga.

Raka mengangguk, memahami amarah Nyai Ratna. “Aku mengerti, Nyai. Aku pergi untuk bekerja di kota, mengumpulkan uang agar aku dan Lestari bisa hidup layak. Ini tabunganku,” katanya, membuka tas untuk menunjukkan sekumpulan uang kertas yang kusut. “Aku tak punya apa-apa selain cinta dan tekadku. Izinkan aku bicara dengan Darmo, agar ia tahu perasaanku.”

Lestari memandang Raka, hatinya bergetar. “Raka, aku tak ingin kau dan Darmo bertengkar. Aku tak tahu siapa yang harus kupilih,” katanya, suaranya parau. Nyai Ratna menghela napas, lalu mengangguk. “Baiklah, Raka. Kau bisa bicara dengan Darmo. Tapi keputusan ada di tangan Lestari.”

Siang itu, Darmo tiba dengan senyum sopan, membawa buku catatan kecil yang berisi rencana pernikahan. Namun, senyumnya memudar saat ia melihat Raka berdiri di samping Lestari. “Ada apa ini?” tanyanya, suaranya tenang tetapi penuh rasa ingin tahu.

Raka melangkah maju, menatap Darmo dengan hormat. “Mas Darmo, aku Raka Jiwantara. Aku mencintai Lestari sejak lama dan ingin melamarku. Aku tahu ada janji perjodohan, tapi aku mohon kau beri kesempatan baginya memilih. Aku tak ingin ada yang tersakiti,” katanya, suaranya penuh keberanian.

Darmo terdiam, matanya menatap Lestari yang berdiri di tengah, tampak bingung. “Lestari, apakah ini yang kau inginkan?” tanyanya, suaranya lembut namun penuh harap. Lestari menangis, merasa tertekan oleh pilihan yang sulit. “Mas Darmo, kau baik padaku. Tapi hatiku… hatiku masih untuk Raka. Maafkan aku,” akunya jujur, air matanya jatuh ke lantai kayu.

Darmo mengangguk pelan, wajahnya menunjukkan sedih tetapi juga pengertian. “Aku menghormati perasaanmu, Lestari. Aku tak akan memaksamu. Jika ini yang kau pilih, aku akan bicara dengan keluargaku untuk membatalkan perjodohan.” Ia tersenyum tipis, lalu berbalik meninggalkan rumah dengan langkah berat, meninggalkan Lestari dan Raka dalam keheningan.

Nyai Ratna mendekati Lestari, memeluknya erat. “Nak, aku tak suka melihatmu sedih. Jika Raka adalah pilihannya, aku akan menerima, asal ia membuktikan janjinya.” Suaranya penuh pengampunan, meski masih ada keraguan di hatinya.

Raka berlutut di depan Nyai Ratna, matanya penuh tekad. “Nyai, aku janji akan bekerja keras dan menjaga Lestari. Izinkan aku membuktikan cinta ini.” Nyai Ratna mengangguk pelan, memberikan restu yang hati-hati.

Malam itu, Lestari dan Raka berjalan ke tepi Sungai Serayu, duduk di bawah pohon beringin tua yang menjadi saksi cinta mereka. Raka mengambil cincin dari tangan Lestari, memasangkannya di jarinya dengan tangan yang gemetar. “Lestari, aku janji tak akan pergi lagi. I still love you, dan aku akan membuktikannya setiap hari,” katanya, suaranya penuh emosi.

Lestari tersenyum di antara air matanya, memeluk Raka erat. “Aku juga masih mencintaimu, Raka. Tapi kita harus membuktikan pada Ibu dan kampung ini bahwa kita serius.” Di bawah cahaya bulan, mereka berjanji untuk membangun masa depan bersama, meski tahu perjalanan ini penuh tantangan. Namun, di hatinya, Lestari merasa lega—cinta yang pernah ia pikir hilang kini kembali, dan ia siap menghadapi apa pun demi Raka.

Cinta di Ujung Janji

Pagi di kampung Sumber Manis terasa hangat, dengan sinar matahari menyelinap melalui celah-celah jendela kayu rumah Lestari Dewangga pada pukul 01:15 WIB, Selasa, 24 Juni 2025. Udara pagi membawa aroma bunga kamboja dari halaman, menciptakan suasana damai yang kontras dengan gejolak emosi yang masih bergema di hati Lestari. Ia berdiri di beranda, memandang Sungai Serayu yang berkilau di kejauhan, cincin perak dari Raka Jiwantara kini tersemat di jarinya, menjadi simbol harapan baru. Di sampingnya, liontin kecil yang pernah menjadi penjaga kenangan lama tergeletak di meja kayu, seolah melepaskan beban masa lalu yang telah ia bawa selama tiga tahun.

Raka Jiwantara, yang kini tinggal sementara di gubuk kecil milik Pak Darto setelah kepulangannya, tiba di rumah Lestari dengan sepeda tua yang berderit. Rambut hitamnya yang sedikit berantakan diusap dengan tangan kasar, dan matanya yang dalam menunjukkan semangat baru meski ada bekas kelelahan di wajahnya. “Lestari, aku sudah bicara dengan Pak Darto. Ia bersedia membantu kita membangun kehidupan di sini,” katanya, tersenyum tipis sambil menyerahkan seikat sayuran segar yang ia beli dari pasar pagi.

Lestari tersenyum balik, merasa hangat di dadanya. “Terima kasih, Raka. Tapi kita harus meyakinkan Ibu dan kampung ini. Darmo mungkin sudah bicara dengan keluarganya, tapi aku tak ingin ada dendam di antara kita.” Suaranya lembut, mencerminkan keinginannya untuk menyatukan semua pihak setelah badai emosi kemarin.

Nyai Ratna keluar dari dalam rumah, membawa nampan teh hangat dengan tangan yang sedikit gemetar. Wajahnya yang memutih di ujung menunjukkan keraguan yang masih ada, tetapi matanya kini lebih lembut saat menatap Raka. “Raka, kau bilang akan membuktikan cinta ini. Mulai hari ini, kau harus bekerja keras. Aku akan memberi kesempatan, tapi jika kau gagal, aku tak akan ragu membawa Lestari kembali ke rencana dengan Darmo,” katanya, suaranya tegas namun penuh harap.

Raka mengangguk dengan penuh hormat. “Nyai, aku janji akan membuktikan diri. Aku akan bekerja di ladang Pak Darto dan menabung untuk masa depan kami.” Ia melirik Lestari, memberikan senyum penuh keyakinan, dan Lestari merespons dengan anggukan kecil, hatinya mulai terbuka untuk kepercayaan baru.

Hari itu, Raka mulai bekerja di ladang milik Pak Darto, menggali tanah dengan cangkul tua yang dipinjamkan tetangga. Lestari membantu Nyai Ratna di rumah, menjahit pesanan tambahan untuk menambah penghasilan keluarga, sambil sesekali melirik ke arah ladang di kejauhan. Di tengah kesibukan, desas-desus mulai menyebar di kampung—berita tentang perjodohan yang dibatalkan dan kembalinya Raka menjadi topik utama di warung kopi dan tepi sungai. Beberapa warga mendukung, tetapi ada juga yang menganggap Raka tak layak setelah meninggalkan Lestari begitu lama.

Pada sore hari, Darmo kembali ke rumah Lestari, kali ini sendirian, dengan wajah yang tenang meski ada sedikit kesedihan di matanya. Ia membawa sekeranjang buah sebagai tanda perpisahan yang hormat. “Lestari, Nyai Ratna, aku sudah bicara dengan keluargaku. Mereka menerima keputusan ini, meski dengan berat hati. Aku harap kau bahagia dengan Raka,” katanya, suaranya lembut namun penuh keikhlasan.

Lestari menunduk, merasa bersalah. “Mas Darmo, maafkan aku. Kau baik, tapi hatiku… hatiku sudah milik Raka sejak lama.” Air matanya jatuh perlahan, dan Darmo mengangguk dengan senyum tipis.

“Tak apa, Lestari. Aku menghormati perasaanmu. Mungkin suatu hari aku akan menemukan cinta yang sejati juga.” Ia berbalik, meninggalkan rumah dengan langkah yang teguh, meninggalkan Lestari dengan rasa lega yang bercampur sedih.

Malam itu, Raka dan Lestari duduk bersama Nyai Ratna di beranda, menikmati teh hangat di bawah langit berbintang. Raka menceritakan rencananya—ia akan membangun rumah kecil di lahan kosong milik Pak Darto, bekerja sebagai petani dan pedagang kecil di pasar, dan menabung untuk masa depan mereka. “Lestari, aku ingin kau hidup bahagia. Aku akan membuktikan bahwa kepergianku bukan sia-sia,” katanya, matanya penuh harap.

Lestari tersenyum, memegang tangan Raka. “Aku percaya padamu, Raka. Tapi kita harus membuktikan pada kampung ini bahwa cinta kita layak diperjuangkan.” Nyai Ratna mengangguk, memberikan restu yang tulus untuk pertama kalinya. “Kalau kalian serius, aku akan dukung. Tapi jangan kecewakan aku lagi, Raka.”

Beberapa minggu berlalu, dan pada 15 Juli 2025, Raka berhasil membangun rumah kecil dari bambu dan kayu bekas, dengan bantuan Pak Darto dan beberapa warga yang mulai menerima kembalinya. Lestari menghias rumah itu dengan kain-kain jahitannya, menciptakan suasana hangat yang penuh cinta. Upacara sederhana diadakan di tepi Sungai Serayu, di bawah pohon beringin tua, dengan Nyai Ratna dan warga hadir sebagai saksi. Raka memasang cincin di jari Lestari lagi, kali ini dengan janji suci di depan semua orang. “Lestari, I still love you, dan aku akan menjagamu selamanya,” katanya, suaranya penuh emosi.

Lestari menangis bahagia, memeluk Raka erat. “Aku juga mencintaimu, Raka. Terima kasih telah kembali.” Di tengah tepuk tangan warga, mereka berbagi ciuman sederhana, menutup luka lama dengan harapan baru.

Namun, di kejauhan, Darmo berdiri di tepi sungai, menatap peristiwa itu dengan senyum tipis. Ia meninggalkan kampung pada hari berikutnya, membawa luka yang tersembunyi, tetapi juga harapan untuk menemukan cinta sejatinya. Sementara itu, Lestari dan Raka memulai hidup baru, menghadapi tantangan ekonomi dan pandangan warga dengan tangan saling menggenggam. Di malam pertama di rumah baru mereka, Lestari menulis di buku catatannya:

“Dari janji yang patah, cinta kita tumbuh kembali. Raka, kau adalah cahayaku, dan aku akan bersamamu melangkah ke masa depan, apa pun yang terjadi.”

Di bawah langit Sumber Manis yang cerah, dengan suara Sungai Serayu yang mengalir pelan, Lestari dan Raka berdiri bersama, siap menghadapi hari esok dengan cinta yang telah teruji oleh waktu, perpisahan, dan perjodohan yang hampir memisahkan mereka. Di hatinya, Lestari tahu bahwa “I still love you” bukan hanya kata, tetapi janji yang akan ia jaga selamanya.

I Still Love You: Perjodohan di Balik Hati adalah bukti bahwa cinta sejati bisa mengatasi rintangan tradisi dan perpisahan panjang. Kisah Lestari dan Raka mengajarkan kita tentang kekuatan pengorbanan, keberanian, dan harapan yang membawa kebahagiaan di ujung perjalanan. Jangan lewatkan kesempatan untuk tenggelam dalam cerita ini—sebuah karya yang akan meninggalkan kesan mendalam dan memancing air mata haru di hati Anda!

Terima kasih telah menyelami I Still Love You: Perjodohan di Balik Hati bersama kami. Semoga kisah ini menginspirasi Anda untuk menjaga cinta sejati dan menghadapi tantangan dengan hati terbuka. Sampai jumpa di artikel menarik lainnya, dan tetaplah menikmati keajaiban dunia sastra!

Leave a Reply