Daftar Isi
Pernah nggak sih ngerasa suka sama guru di sekolah? Mungkin kedengerannya konyol, tapi kadang, siapa sangka, bisa ada perasaan tak terduga yang muncul tanpa diundang. Cerita ini bakal bawa kamu ke dalam kisah yang super lucu, menggemaskan, dan penuh kejutan.
Ada siswa perempuan yang punya cara unik buat ungkapin perasaan ke gurunya, dengan cara yang nggak biasa. Siapa sangka, si guru yang tadinya terkesan serius, bisa jadi sumber tawa dan kebingungannya sendiri. Jadi, siap-siap deh buat ngakak dan merasa gemas sama perjalanan cerita ini!
I Love You Pak Guru
Matematika dan Kupu-Kupu di Perutku
Kelas XII-A seperti biasa, penuh dengan kegaduhan yang tak pernah berhenti. Di tengah riuhnya suara teman-teman yang sibuk mengobrol tentang tugas rumah dan kegiatan ekstrakurikuler, aku duduk di bangku belakang, berusaha menghindari pandangan para guru yang selalu datang dengan ekspetasi tinggi.
Tapi, hari ini ada yang berbeda. Sejak pagi tadi, perasaanku terasa aneh. Ada sesuatu yang membuatku merasa gelisah, dan itu bukan karena ujian Matematika yang sudah menunggu di depan mata. Bukan juga karena rumus-rumus yang berputar-putar dalam otakku seperti roda gila. Ada sesuatu yang lebih mengganggu, dan itu berkaitan dengan seseorang yang baru saja memasuki dunia sekolah ini.
“Selamat pagi, kelas!” suara lembut namun tegas itu mengalir dari pintu depan, langsung menyambar ke telinga.
Semua orang di kelas langsung berhenti bicara, mengalihkan perhatian pada sosok yang baru saja masuk. Pak Daryan. Guru Matematika baru kami yang tampaknya datang langsung dari dunia lain—dunia tempat orang-orang tampan mengajar dengan penuh pesona.
Aku menatapnya sesaat, mencoba untuk tetap terlihat biasa saja, meskipun rasanya ada sesuatu yang menggelitik di dalam perutku. Mungkin perasaan ini hanya khayalan. Aku berusaha mengalihkan pandangan, menatap buku di depanku dengan segenap perhatian, tapi entah kenapa, mataku tak bisa lepas dari Pak Daryan.
“Untuk yang baru masuk, saya Pak Daryan, guru Matematika kalian. Semoga kita bisa bekerja sama dengan baik. Kalau ada yang nggak ngerti, tanya aja, jangan malu.”
Aku bisa merasakan suasana di kelas menjadi lebih ringan setelah Pak Daryan berkata begitu. Ada sesuatu dalam cara dia berbicara yang membuat orang merasa nyaman. Yang membuat mereka yakin, kalau soal matematika, dia bukan sekadar guru, tapi seseorang yang bisa membuat rumus-rumus itu terdengar seperti lagu.
“Sekarang, kita mulai pelajaran hari ini, ya. Coba buka buku halaman 35, kita bahas persamaan kuadrat,” lanjut Pak Daryan sambil menulis di papan tulis.
Sementara seluruh kelas membuka buku mereka, aku hanya duduk terpaku, menatap tangan Pak Daryan yang menulis dengan tenang. Ada yang aneh dengan diriku. Aku merasa seperti ada sesuatu yang terbang di perutku—kupu-kupu, mungkin. Sesuatu yang membuat aku tak bisa berhenti memandangi dia.
“Tamara,” suara Pak Daryan memecah lamunanku. Aku mendongak, dan seketika dunia terasa berhenti sejenak. “Kamu mengerti persamaan kuadrat ini?”
Aku terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Tentu saja aku tidak mengerti. Matematika bukan subjek favoritku. Aku hanya bisa menatap papan tulis yang penuh dengan simbol-simbol yang rasanya seperti huruf China bagi orang yang tidak paham.
“Eh… soal nomor satu, Pak,” jawabku dengan terbata.
Dia tersenyum, senyum yang rasanya langsung menyihir seluruh ruang kelas. “Jawaban kamu, Tamara, benar-benar unik. Tapi… coba belajar sedikit lagi ya. Jangan ragu tanya kalau bingung.”
Aku merasa pipiku memanas. Kenapa harus aku? Kenapa harus saat Pak Daryan yang menatapku seperti itu? Rasanya seluruh tubuhku terasa dingin dan panas bersamaan. Aku hanya bisa membalas senyum itu dengan canggung, lalu kembali menunduk ke buku, berharap dia tidak melihat betapa konyolnya aku sekarang.
Tapi hal itu tidak bisa aku hindari. Setiap kali Pak Daryan berbicara, hatiku seperti terhentak. Setiap kali dia tertawa, aku merasa seperti ikut tertawa meskipun sebenarnya tidak tahu apa yang lucu. Dan setiap kali dia memberikan penjelasan tentang matematika, rasanya seolah-olah dunia ini tidak ada yang lebih penting daripada mendengarkan suaranya.
Di kantin, saat istirahat, aku duduk bersama Naya, sahabat yang selalu tahu apa yang ada di pikiranku.
“Gimana, Tam? Ada yang baru, nih, ya?” Naya bertanya sambil mengunyah donat dengan santai.
Aku menatap meja dengan wajah kusut, mencoba mengatur perasaan yang sedang bergejolak. “Naya, aku nggak tahu deh, kayaknya aku mulai suka sama Pak Daryan.”
Naya hampir tersedak. “Kamu serius, Tam? Pak Guru? Guru Matematika? Kalau nanti ujian Matematika gagal, kamu nggak bisa nyalahin Pak Daryan loh!”
Aku menatapnya cemberut. “Aku tahu, tapi nggak bisa bohong, Nay. Setiap kali lihat dia, rasanya… gimana gitu, kayak ada yang ngagetin di perut.”
Naya menatapku bingung. “Maksud kamu apa sih? Itu gejala penyakit apa?”
Aku mengeluh. “Itu dia, Nay! Aku nggak ngerti. Kok bisa sih, aku kayak gini cuma karena seorang guru?”
Naya hanya tertawa. “Yah, namanya juga jatuh cinta. Tapi ingat, Tam. Kamu nggak bisa jatuh cinta sama orang yang nggak bisa kamu sentuh atau ajak ngobrol secara normal. Itu bakal bikin kamu makin pusing.”
Aku menghela napas panjang. “Iya, aku tahu. Tapi ini beda. Rasanya aneh, Nay. Dan aku nggak bisa bilang ke siapa pun.”
Hari berikutnya, aku mencoba untuk fokus di kelas. Namun, kenyataannya, semakin aku berusaha untuk tetap serius memikirkan pelajaran, semakin aku terjebak dalam pikiranku sendiri. Rasanya seperti ada satu-satunya hal yang bisa aku pikirkan—Pak Daryan.
“Tamara, soal nomor tiga?” suara Pak Daryan memecah lamunanku.
Aku menoleh cepat, merasa seolah-olah dunia ini memutuskan untuk mengejekku. “Ah… itu, Pak. Maaf, saya belum selesai.”
Pak Daryan tersenyum. “Santai aja. Jangan terlalu terburu-buru.”
Namun, senyumnya yang menenangkan itu malah membuatku semakin gugup. Aku tak tahu bagaimana harus bersikap. Dalam pikiranku, semuanya terasa kacau.
Matematika adalah rumus yang rumit, tetapi yang lebih rumit adalah perasaan yang muncul begitu saja tanpa bisa dijelaskan. Aku tak tahu apakah ini hanya sebatas perasaan kagum, atau apakah ini lebih dari itu. Tapi yang jelas, setiap kali Pak Daryan menyapa dengan senyum, aku merasa seperti ada yang menghangatkan hatiku.
Perasaan ini aneh, canggung, dan penuh teka-teki—seperti soal matematika yang sulit ditemukan jawabannya. Tapi satu hal yang aku tahu pasti, aku tak bisa berhenti memikirkannya.
Dan itu baru permulaan.
Operasi Cinta di Bangku Depan
Kelas berjalan seperti biasa, tetapi rasanya setiap detik kini dipenuhi oleh ketegangan yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya. Setiap kali Pak Daryan membuka mulut untuk menjelaskan soal, aku merasa jantungku berdebar dengan cara yang aneh—seperti ada sesuatu yang terbang di dalam diriku.
Di hari kedua setelah kejadian itu, aku semakin merasa terpikat. Saat dia menulis di papan tulis, tangannya begitu terampil menggoreskan angka-angka, sementara aku hanya bisa memperhatikan dengan bingung, berharap mataku bisa lebih fokus pada rumus daripada pada Pak Daryan yang tiba-tiba menjadi satu-satunya hal yang aku pikirkan.
Di bangku sebelah, Naya sudah mulai mencurigai sesuatu.
“Tam,” katanya sambil melirik ke arahku dengan tatapan setengah menggoda. “Lo ngapain sih, tiap kali Pak Daryan ngomong, matamu tuh kayak… ngilang ke dalam pikirannya. Cuma dia doang yang lo liat.”
Aku terkejut, mencoba untuk mengalihkan pandanganku ke buku matematika yang seharusnya sudah aku kerjakan. Tapi entah kenapa, buku itu justru terasa berat, seakan-akan ada yang mengikatku untuk terus menatap Pak Daryan.
“Enggak, kok!” jawabku buru-buru, tapi suara itu terdengar sangat tidak meyakinkan. “Aku cuma… fokus aja.”
Naya menatapku dengan pandangan penuh curiga. “Fokus apaan? Fokus ngeliatin Pak Guru? Kalau gue jadi lo, gue mulai harus khawatir deh.”
Aku hanya diam, dan Naya akhirnya memutuskan untuk melanjutkan membaca buku tugasnya tanpa melanjutkan perbincangan lebih lanjut. Tetapi di dalam hatiku, aku tahu bahwa dia sudah melihat keanehanku—dan aku mulai merasa semakin malu dengan perasaanku sendiri.
Hari itu, kelas hampir selesai. Tugas sudah dibagikan, dan aku hanya perlu mengumpulkan jawabanku setelah satu jam. Pak Daryan memberi kami waktu untuk bekerja sendiri, dan aku langsung mulai mengerjakan soal-soal itu dengan sangat pelan, berharap bisa menghabiskan waktu yang tersisa.
Tapi yang lebih membuat aku gelisah adalah kenyataan bahwa mata Pak Daryan sedang melirik ke arahku. Dia melangkah mendekat, membawa buku catatannya, dan berhenti tepat di depan meja aku.
“Hmm, Tamara. Kamu butuh bantuan?” tanya Pak Daryan dengan nada suara yang santai.
Aku hampir terjatuh dari kursiku. Rasanya seperti dunia ini berputar begitu cepat. Aku mencoba untuk tidak panik. “Ah, enggak, Pak! Semua baik-baik aja. Saya cuma butuh waktu sedikit lagi.”
Pak Daryan mengangguk dengan senyum khasnya yang membuat perutku semakin bergejolak. “Jangan ragu tanya kalau ada yang kurang jelas, ya.”
Aku mengangguk, sementara pikiranku mulai kacau. Tahu apa yang lebih mengganggu? Kenyataannya, aku harus berhenti berpikir tentang dia jika aku ingin tetap bisa fokus. Tapi itu, justru makin sulit dilakukan.
Beberapa menit kemudian, aku mendapat ide yang sangat aneh. Yang pasti, ini adalah ide terburuk yang pernah aku punya, tapi aku terpaksa melakukannya.
Aku menatap ke arah Naya, yang sekarang sedang memakan camilan di mejanya. “Nay,” bisikku, “gue mau ngirim surat ke Pak Daryan.”
Naya berhenti mengunyah, menatapku dengan pandangan campuran antara bingung dan khawatir. “Lo… serius, Tam? Surat cinta? Buat guru?”
Aku mengangguk cepat, dengan keyakinan yang aneh. “Iya, surat cinta. Itu cara paling aman buat bilang sesuatu tanpa harus malu. Gue nggak bisa ngomong langsung. Ini akan lebih lancar.”
Naya tampak lebih khawatir lagi. “Lo yakin? Kalau Pak Daryan tahu, gimana?”
Aku tersenyum canggung. “Iya, ini cuma surat anonim. Jadi dia nggak bakal tahu dari siapa.”
Setelah menyelesaikan beberapa soal, aku segera menulis surat kecil yang aku sembunyikan di dalam laci meja. Dengan tangan gemetar, aku menulis beberapa kalimat yang aku harap bisa menggambarkan perasaanku, meskipun aku tahu itu sangat konyol.
“Pak Daryan,
Saya tidak tahu bagaimana menjelaskan perasaan ini. Setiap kali Anda mengajar, saya merasa ada yang berbeda, dan hati saya berdebar-debar. Saya tahu ini gila, tapi saya hanya ingin Anda tahu betapa pentingnya Anda bagi saya.
Terima kasih telah mengajar dengan cara yang menyenangkan.
Dari,
Seseorang yang mengagumi Anda.”
Aku menatap surat itu sejenak. Rasanya seperti surat yang lebih cocok ada di novel remaja daripada di meja guru. Tapi ya, ini yang bisa aku lakukan.
Tanpa menunggu lebih lama, aku lipat surat itu rapat-rapat dan memasukkannya ke dalam amplop kecil. Aku mencari-cari waktu yang tepat untuk memberikannya, meskipun itu berarti menghadapi risiko malu yang luar biasa.
Namun, tak lama kemudian, suasana di kelas mulai berubah. Tiba-tiba, suara Pak Daryan terdengar lagi.
“Baik, kalian semua sudah cukup waktu. Kumpulkan tugasnya.”
Saat seluruh kelas mulai mengumpulkan lembar tugas mereka, aku merasa degup jantungku semakin cepat. Aku memutuskan untuk menyerahkan surat itu begitu saja, tanpa banyak berpikir. Aku bangkit dari tempat duduk, berdebar-debar, dan melangkah perlahan menuju meja Pak Daryan.
Aku menaruh amplop kecil itu di meja dengan tangan yang gemetar. “Pak Daryan,” aku mengucapkan dengan suara serak. “Ini… tugas saya.”
Pak Daryan menatapku sejenak, lalu mengangguk. “Terima kasih, Tamara. Kalau ada hal lain yang ingin kamu diskusikan, jangan ragu untuk datang ke ruang guru, ya.”
Aku hanya bisa tersenyum canggung, lalu kembali ke tempat dudukku. Pikiranku kacau. Apa yang baru saja aku lakukan? Aku baru saja menulis surat cinta—surat cinta yang konyol dan anonim—untuk seorang guru.
Tapi satu hal yang pasti, perasaanku semakin berat untuk disembunyikan. Dan aku tahu, ini baru permulaan dari cerita yang lebih rumit.
Surat yang Tak Pernah Terkirim
Hari-hari setelah menyerahkan surat itu terasa berjalan begitu lama. Aku merasa seperti orang yang terjebak dalam kebingungan, tak tahu harus bagaimana dengan perasaanku sendiri. Aku sering terperangkap dalam pikiran tentang Pak Daryan, dan setiap kali dia melintas di dekatku, perasaan itu kembali datang—gugup, canggung, dan—entah bagaimana—bahagia.
Aku tidak tahu apa yang membuatku lebih khawatir: apakah Pak Daryan sudah membaca surat itu atau apakah dia belum membacanya sama sekali. Setiap kali aku melihatnya di depan kelas, dia terlihat biasa saja, mengajar dengan penuh semangat seperti biasanya, tidak ada yang aneh. Tapi perasaan janggal di dalam dada ini tak kunjung hilang.
Pagi itu, saat pelajaran Matematika dimulai, aku merasa seperti ada yang berbeda. Aku duduk di bangku depan, yang biasanya nyaman, namun sekarang rasanya terlalu dekat dengan Pak Daryan. Setiap gerakan kecilnya—tangan yang menulis di papan, wajahnya yang serius ketika menjelaskan soal—semuanya terasa lebih hidup dari biasanya.
Aku sedang terfokus menulis rumus, berusaha agar tidak terpancing untuk menatapnya lebih lama, ketika tiba-tiba Naya duduk di sebelahku, mencondongkan tubuhnya ke meja.
“Tam,” bisiknya, “lo nggak percaya, kan? Gue dengerin dari teman-teman, katanya Pak Daryan liat surat lo.”
Aku menegang. “Hah? Beneran? Dia baca surat itu?”
Naya mengangguk dengan senyum penuh arti. “Iya. Gue nggak tahu apa yang dia pikirin, tapi teman-teman bilang dia ngelihat amplop itu pas kelas selesai. Terus, ada yang bilang dia tersenyum pas baca. Lo bayangin aja, Pak Daryan, yang kayak gitu, bisa tersenyum cuma karena lo… nulis surat.”
Hatiku berdebar, campuran antara lega dan malu. “Lo… maksud lo dia nggak marah?” Aku mencoba berbicara dengan suara pelan, seolah-olah takut kalau Pak Daryan akan mendengar.
“Gue nggak tahu pasti, Tam,” kata Naya dengan nada menggoda. “Tapi gue rasa sih, dia nggak marah. Gimana ya, mungkin dia malah seneng, kali.”
Aku tidak tahu apa yang lebih membuatku penasaran—apakah itu benar bahwa Pak Daryan tersenyum atau kalau dia malah tersenyum karena geli dengan surat aneh dari muridnya ini. Aku merasa seperti dikejar oleh pikiranku sendiri.
Sejak kejadian itu, aku merasa semakin canggung di kelas. Setiap kali mata Pak Daryan melirik ke arahku, aku selalu merasa seolah-olah dia tahu semua yang ada di pikiranku. Aku mulai bertanya-tanya, apakah itu hanya perasaanku saja atau jika dia benar-benar memperhatikan surat itu.
Tapi, satu hal yang pasti: suasana di kelas menjadi lebih tegang. Aku merasa seperti ada energi yang tidak terucapkan, yang hanya bisa aku rasakan. Setiap kali dia menatapku, aku merasa seolah-olah ada sesuatu yang tergantung di udara antara kami. Sesuatu yang tidak bisa aku jelaskan.
Di suatu siang yang panas, saat jam istirahat, aku duduk di taman sekolah, mencoba menenangkan diri dari semua kegelisahan yang ada. Aku sedang asyik menggigit es krim, berharap sedikit rasa manisnya bisa mengusir ketegangan di kepala, ketika Naya muncul di depan aku dengan ekspresi serius.
“Tam,” kata Naya sambil duduk di sampingku. “Lo tau nggak? Ada yang bilang, Pak Daryan ngumpulin surat-surat dari muridnya. Cuma, dia nggak bilang siapa aja yang ngirim.”
Aku menoleh dengan cepat. “Serius? Jadi surat itu bukan cuma punya gue?”
Naya mengangguk pelan. “Iya, katanya sih Pak Daryan suka banget baca surat-surat dari muridnya. Tapi yang aneh, nggak ada yang tahu apa dia udah baca surat lo atau belum.”
Aku mencerna informasi itu. Jadi, Pak Daryan mengumpulkan surat-surat? Apa dia melihat semua surat muridnya seperti yang aku kirimkan? Apakah surat itu hanya satu dari banyak surat yang dia terima?
Aku menggelengkan kepala, mencoba untuk tidak terlalu khawatir. “Yaudahlah, Nay. Kalau emang dia nggak peduli, berarti gue nggak usah mikirin lagi, kan?”
Naya menatapku dengan ekspresi heran. “Lo nggak mikirin lagi? Tam, lo nggak lihat gimana lo sendiri kayak orang yang ketemu orang yang lo suka di setiap kesempatan. Kayak dia tuh satu-satunya hal yang lo pikirin.”
Aku terdiam sejenak. Naya benar. Setiap hari yang berlalu, pikiranku selalu terisi oleh Pak Daryan, dan setiap detik itu terasa lebih panjang dari biasanya. Aku merasa seperti sedang berlari mengejar sesuatu yang tak akan pernah aku dapatkan.
Namun, ada satu hal yang aku tahu: meskipun aku merasa canggung, meskipun aku merasa malu, surat itu sudah membuat segalanya terasa berbeda. Dan entah kenapa, aku merasa ada harapan di ujung jalan yang panjang ini. Sebuah harapan yang entah bagaimana membuatku tetap bertahan meski aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Hari berikutnya, saat kelas selesai, Pak Daryan tiba-tiba mengadakan pengumuman yang tidak pernah aku duga. “Baik, murid-murid,” katanya, “saya ingin mengucapkan terima kasih untuk surat-surat yang sudah saya terima. Tentu saja, saya menghargai semua tulisan kalian.”
Suasana kelas menjadi sunyi. Aku bisa merasakan semua mata tertuju padaku. Apakah dia sedang mengarahkannya ke aku? Aku tidak tahu, tapi aku merasa jantungku mulai berdetak lebih cepat.
“Dan saya ingin kalian tahu,” Pak Daryan melanjutkan, “terkadang, kata-kata bisa menjadi kekuatan yang luar biasa. Untuk itu, saya akan memilih beberapa surat untuk dibaca, tapi saya tidak akan menyebutkan siapa pengirimnya.”
Aku merasa perutku seperti diikat rapat-rapat. Aku berharap dia tidak membaca suratku. Aku berharap bisa melupakan semua ini. Tapi pada saat yang sama, aku juga ingin tahu bagaimana reaksinya terhadap surat itu.
Semua mata di kelas tertuju pada Pak Daryan yang mulai membuka beberapa surat. Dengan tegang, aku menunggu, berdoa agar nama aku tidak disebutkan.
Akhir yang Baru Dimulai
Suasana kelas semakin tegang saat Pak Daryan membuka surat-surat yang ada di tangannya. Aku merasa dunia ini berputar lebih lambat dari biasanya. Setiap kali dia membuka amplop dan mengangkat surat ke arahnya, rasanya jantungku ikut melompat. Seperti setiap detik yang berlalu adalah kesempatan untuk melihat apakah dia akan membaca suratku atau tidak.
Beberapa surat dibaca, dan aku bisa mendengar suara tawa ringan di antara teman-teman. Tidak ada yang terlalu serius, hanya kisah-kisah ringan dan penuh harapan dari para murid yang ingin membuat Pak Daryan tersenyum. Aku merasa lega setiap kali surat itu selesai dibaca dan tidak ada yang menunjukkan tanda-tanda akan membaca suratku. Mungkin, akhirnya surat itu akan dilupakan begitu saja.
Namun, tiba-tiba, Pak Daryan berhenti dan menatap surat terakhir yang ada di tangannya. Dia melirik sekeliling kelas, lalu kembali melihat surat itu. Ada sedikit senyum di wajahnya, namun entah kenapa, senyum itu terasa berbeda—lebih hangat. Sesuatu yang tidak bisa aku jelaskan.
Aku merasa semakin cemas. Ini dia, detik yang menegangkan itu.
“Baiklah, ini adalah surat terakhir yang akan saya baca,” kata Pak Daryan, dengan suara yang sedikit lebih dalam dari biasanya. “Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada pengirim surat ini karena telah mengungkapkan perasaan mereka dengan sangat tulus.”
Mata seluruh kelas kini tertuju pada Pak Daryan. Aku merasa seperti ada angin kencang yang menerpa tubuhku, dan aku tidak bisa menghindarinya. Semua suara, bahkan suara detak jantungku sendiri, terasa begitu keras. Seakan seluruh dunia sedang menunggu. Aku tidak bisa memungkiri, aku mulai berpikir apakah surat itu akan membuat segalanya menjadi lebih buruk atau sebaliknya.
Pak Daryan membuka amplop dengan hati-hati, membaca beberapa baris dengan serius, lalu berhenti sejenak. Dia memandang surat itu seolah-olah sedang memikirkan sesuatu yang dalam. Semua mata di kelas tertuju pada setiap gerakannya.
Aku hanya bisa menunggu dengan napas tertahan, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Aku merasa tubuhku kaku. Apakah dia membaca surat itu dengan rasa geli atau justru terkesan? Ataukah dia bingung dengan isi surat itu?
Pak Daryan akhirnya mengangkat kepalanya, mengamati kelas, dan tersenyum tipis. “Terima kasih sekali lagi, pengirim surat ini. Saya sangat menghargai setiap kata yang ditulis di sini. Tapi ingatlah, tidak ada yang salah dengan menyampaikan perasaan. Itu adalah hal yang manusiawi.”
Aku merasa lega. Tidak ada hujatan, tidak ada cemoohan. Tidak ada yang tertawa terbahak-bahak. Itu semua terasa seperti sebuah pelukan hangat yang meredakan ketegangan. Aku merasa seperti ada sebuah beban yang terangkat dari pundakku.
Namun, ada satu hal yang masih menggantung di pikiranku. Siapa sebenarnya pengirim surat itu? Pak Daryan tidak pernah menyebutkan namaku. Apakah dia tahu siapa aku? Ataukah dia hanya berbicara dengan bijak tanpa benar-benar mengarahkannya padaku?
Kelas pun berlanjut, meskipun aku merasa seolah waktu berjalan lebih cepat dari biasanya. Namun, perasaan yang menggelora dalam dada ini tidak bisa hilang begitu saja. Ketegangan yang ada tidak sepenuhnya lenyap. Ada sesuatu yang tidak terucapkan, yang mengambang di udara, dan aku tahu itu akan tetap ada, mengiringi hari-hariku ke depan.
Hari itu berakhir dengan ketenangan yang agak aneh. Semua murid kembali ke kelas dengan tawa dan obrolan ringan, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Namun, aku tahu, perasaan itu—yang tidak bisa dijelaskan—akan tetap ada di antara kami.
Aku berjalan pulang dengan langkah yang lebih ringan dari sebelumnya, namun tetap merasa penuh dengan pikiran yang belum terselesaikan. Tidak ada jawaban pasti tentang apa yang akan terjadi antara aku dan Pak Daryan. Namun, entah bagaimana, aku merasa bahwa ini bukanlah akhir. Justru, ini mungkin adalah awal dari sebuah kisah yang tak terduga.
Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tetapi satu hal yang pasti: hari itu, surat yang aku kirimkan tidak hanya mengungkapkan perasaan, tapi juga membuka jalan bagi sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang lebih indah, yang mungkin saja akan berkembang seiring waktu.
Dan untuk pertama kalinya, aku merasa tenang. Tertawa dalam hati. Menyadari bahwa mungkin, kadang-kadang, kita hanya perlu memberi sedikit keberanian untuk memulai sebuah perjalanan baru.
Dan begitulah, dari surat yang penuh harapan hingga momen-momen konyol yang nggak terduga, kisah ini ternyata nggak hanya soal perasaan, tapi juga tentang keberanian, tawa, dan segala hal tak terduga yang datang begitu aja.
Kadang, dalam hidup, kita cuma butuh sedikit keberanian untuk mengungkapkan apa yang ada di hati, meskipun itu ke orang yang nggak kita sangka. Siapa tahu, kisah lucu ini malah jadi awal dari sesuatu yang lebih seru dan nggak kalah mengejutkan. Jadi, jangan takut untuk ngasih kejutan, siapa tau kamu juga bisa bikin dunia sekitarmu jadi lebih cerah!